Ariana Claire tak bisa mempercayai matanya saat melihat Nicholas, suaminya yang tampan, tengah memeluk Katrina, wanita yang dikenal Ariana sebagai mantan kekasih suaminya. Nicholas, dengan kemeja biru yang digulung lengannya, terlihat begitu perhatian dan lembut kepada Katrina. Pemandangan itu menghancurkan hatinya.
Ariana yang berada di rumah sakit untuk memeriksakan sakit maag yang kambuh, merasa hancur melihat suaminya tersenyum bahagia—sesuatu yang tidak pernah diberikan padanya selama dua tahun pernikahan mereka. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tanpa menunggu obatnya, Ariana memutuskan untuk segera pergi. Pulang ke rumah, Ariana mencoba tetap tenang. Hingga malam, dia duduk di ruang makan menunggu Nicholas seperti biasa. Ketika Nicholas akhirnya pulang, dia hanya melirik Ariana dan makanan yang telah disajikan. "Nick, kau tidak makan malam?" tanya Ariana dengan suara gemetar, berusaha menahan emosinya. "Aku sudah makan," jawab Nicholas singkat, tanpa menatapnya, sebelum melangkah ke lantai dua. Ariana menggigit bibirnya, menahan air mata yang kembali mengalir. dIa hanya bisa duduk di sana, di ruang makan yang semakin dingin dan sunyi. Sementara Nicholas membersihkan diri di kamarnya, Ariana mondar-mandir di depan pintu, menggigit kukunya dengan cemas. Hatinya dipenuhi rasa bimbang antara ingin berbicara atau tetap diam. Ketika Nicholas keluar dari kamarnya, Ariana akhirnya mengumpulkan keberanian dan berkata, “Tadi pagi aku melihatmu bersama Katrina, di rumah sakit.” "Oh," respon Nicholas singkat sembari berlalu melewati Ariana menuju ruang kerja pribadinya. Lagi, Ariana menelan pil pahit, sepahit empedu. Pria dingin yang melebihi kutub selatan bagi Ariana, tetap saja tak acuh kepadanya. Dia mencoba memantapkan hatinya untuk berbicara kepada Nicholas. Statusnya sebagai istri Nicholas benar-benar tidak dihargai, dia pergi dengan Wanita lain yang sangat Ariana kenal. Ariana mengetuk pintu ruangan Nicholas, dan langsung masuk. Dia melihat Nicholas duduk dengan ekspresi serius di depan layar komputernya. "Aku ingin berbicara,” kata Ariana setelah mengumpulkan keberaniannya. "....." Nicholas tetap larut dengan pekerjaannya, seolah Kehidaran Ariana tidak ada di sana. "Nick … mari kita bercerai, saja," kata Ariana dengan nada meninggi karena merasa diabaikan. Sementara Nicholas yang tengah duduk di kursi meja kerjanya masih tidak bereaksi, seolah pernyataan Ariana hanya masalah sepele. "Nicholas Nathan, apakah kau mendengarkanku?" Terdengar helaan napas kesal dari Nicholas. “Lakukan sesukamu.” Hanya itu tanggapan singkat Nicholas sebelum dia kembali ke layar komputernya. Pria itu tampak tidak terganggu sedikitpun dengan Ariana yang tiba-tiba ingin bercerai. Karena selama ini, Ariana seperti tidak bisa hidup tanpa dirinya. “Baik,” desis Ariana yang mengira Nicholas juga menginginkan hal yang sama agar bisa kembali dengan Katrina. “Pergilah, jika kau sudah selesai bicara," ucap Nicholas dingin. Ariana masih berdiri di sana meski Nicholas sudah memintanya untuk pergi. Dia meyakinkan dirinya bahwa memang sudah tidak ada lagi harapan pria itu akan berubah peduli dan mencintainya. Ketika dia hendak pergi meninggalkan ruangan kerja pribadi Nicholas, tiba-tiba dia teringat dengan Ibu mertuanya yang siang tadi memintanya untuk datang ke rumahnya. Langkah kaki Ariana terhenti saat dirinya berada di ambang pintu keluar. "Ibu memintaku untuk menemuinya besok siang. Aku akan memberitahu ibu tentang rencana perceraian kita," tegas Ariana penuh percaya diri. "Terserah kau saja," balas Nicholas singkat. Matanya terlihat fokus menatap layar komputernya. Mendengar respon Nicholas yang masih saja datar, Ariana memutar balik kepalanya untuk melihat Nicholas yang tengah serius dengan pekerjaannya. Bulir air mata mulai menyembul keluar dari sudut matanya. Dia seperti makhluk tak kasat mata yang hidup menjadi parasit di rumah Nicholas. ** Keesokan harinya, Ariana melajukan mobilnya menuju ke kediaman mewah ibu mertuanya di kawasan elite kota. Begitu dia memasuki pintu utama, Rachel langsung menyambut kedatangannya. "Ariana, anak manis! Ayo masuk, aku sudah menyiapkan teh dan kue-kue kesukaanmu," sambut Rachel ramah sembari merangkul Ariana. Menantunya yang selalu patuh kepadanya. Keduanya lalu duduk di sofa empuk ruang tamu yang mewah itu. Seorang pelayan dengan telaten menyiapkan teh dan menghidangkan kue-kue lezat di hadapan Ariana. "Kau tampak pucat sekali hari ini," ujar Rachel dengan nada khawatir yang terdengar tulus. Ariana menarik napas panjang sebelum berkata, "I-ibu... maaf, pernikahan kami tidak bisa lagi dilanjutkan..." Raut wajah ramah Rachel seketika langsung berubah mengeras begitu mendengar pernyataan Ariana. "Jadi ini rencanamu? Beraninya kau melanggar kontrak yang sudah kau setujui, Ariana!" bentaknya. Suara lembutnya seketika sirna. Ariana terdiam, tak mampu berkata apa-apa menghadapi amukan ibu mertuanya yang tiba-tiba. Dia langsung berlutut dan memohon, "Ibu, Nicholas tidak pernah bahagia bersamaku." Plak! Sebuah tamparan Rachel mendarat di wajah Ariana hingga membuat sudut bibirnya sedikit memar. "Omong kosong! Kau belum menjalankan tugasmu dengan baik sesuai kontrak! Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" sembur Rachel penuh amarah sambil menatap Ariana yang berlutut di hadapannya. Wanita yang dipilihnya untuk menjadi menantunya itu sangat sehat dan memiliki bobot bagus. Rachel tidak akan membiarkan wanita itu meninggalkan kewajibannya untuk melahirkan cucunya begitu saja "Ibu...kumohon...aku tidak bisa melanjutkannya lagi, aku sudah melakukan semuanya, Nicholas tidak pernah sedikitpun melihatku," rintih Ariana di sela isak tangisnya. "Jangan bodoh! Kau pikir aku peduli pada kebahagiaanmu? Yang kuinginkan hanyalah masa depan putraku." Rachel mendecih, meremehkan. "Dengar baik-baik, Ariana! Kau tidak bisa begitu saja lari dari kontrak yang telah kau setujui." "Tidak, Bu," jawab Ariana terbata-bata. Dua tahun lalu, keluarganya terlilit utang akibat paman yang meminjam atas nama ayahnya untuk judi online. Rachel, bos ayahnya, menawarkan bantuan dengan syarat Ariana harus menikah dan memiliki anak dengan Nicholas. Awalnya, Rachel tidak menyukai Ariana karena berasal dari keluarga melarat. Namun, saat mengetahui Ariana adalah lulusan magister terbaik, Rachel berubah pikiran. "Ambil ini, dan pastikan Nicholas meminumnya," kata Rachel, memberikan sebuah bungkusan kepada Ariana. "Apa ini, Bu?" tanya Ariana ragu-ragu, menerima bungkusan itu. "Ini akan membantu kalian.” jawab Rachel dengan senyum penuh arti.“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem