Beranda / Rumah Tangga / Suamiku, Mari Kita Bercerai / 5. Teh Vitamin Adalah Maut

Share

5. Teh Vitamin Adalah Maut

Penulis: SayaNi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-20 11:38:32

Ariana duduk di sebuah kafe ditemani dua rekan dosennya, Diana dan Sarah. Mereka sedang berdiskusi serius tentang proposal pengabdian masyarakat yang mereka rencanakan. Sementara Diana, dosen ekonomi, dan Sarah, dosen hukum, berfokus pada rincian proyek mereka, Ariana tampak jauh dalam pikirannya. Kakinya sudah sembuh dari kecelakaan sebulan lalu, tetapi luka emosional akibat perselingkuhan suaminya, Nicholas, masih membekas.

“Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil,” kata Diana, membuka laptopnya yang menampilkan dokumen proposal.

Ariana hanya mengangguk, tetapi pikirannya melayang jauh. Perasaan kecewa dan pengkhianatan masih menyelimuti hatinya. Suara Diana terdengar jauh dan teredam.

Sarah, dengan pengetahuan hukumnya, tiba-tiba mengangkat topik yang menarik perhatian Ariana. “Aku membaca beberapa kasus tentang wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tetapi tidak bisa bercerai karena kontrak pranikah yang tidak adil. Bagaimana jika kita menambahkan aspek sosial dengan memberikan perlindungan hukum untuk mereka?” tanyanya.

Ariana terjaga dari lamunannya. “Apa yang kau maksud dengan tidak bisa bercerai? Bagaimana kontrak pranikah bisa menghalangi perceraian?” tanyanya dengan penuh minat.

Sarah menjelaskan, “Ada beberapa kasus di mana kontrak pranikah disusun dengan sangat bias, membuat pihak yang lebih lemah terikat dan tidak memiliki jalan keluar yang mudah. Namun, ada perlindungan hukum yang bisa diperjuangkan, meskipun prosesnya tidak mudah.”

Ariana merasakan secercah harapan. “Jadi, ada cara untuk melawan kontrak semacam itu?” tanyanya, matanya berbinar dengan keingintahuan.

Sarah mengangguk. “Tentu saja. Hukum memiliki cara untuk melindungi orang-orang yang terjebak dalam situasi tidak adil. Jika kontrak itu dibuat di bawah paksaan atau tanpa pengetahuan yang cukup, bisa dinyatakan batal demi hukum. Ada juga undang-undang yang melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.”

Mendengar penjelasan Sarah, Ariana merasa ada harapan baru. “Itu bagus, kita bisa menambahkannya dalam proposal kita,” katanya sambil tersenyum penuh harapan.

Diskusi mereka selesai di kafe yang nyaman, dan Ariana pulang ke rumah dengan langkah berat. Dulu, dia selalu menantikan pertemuan dengan Nicholas di rumah dengan penuh harap, tetapi kini dia merasa tertekan setiap kali harus bertemu dengan suaminya.

Saat malam tiba, Ariana duduk di meja makan, masih terfokus pada proposal yang harus diselesaikannya. Matanya mulai mengantuk setelah terlalu lama menatap layar laptop. Dia merasa perlu segelas kopi, tetapi bubuk kopi sudah habis. Pandangannya beralih ke teh herbal yang diberikan Rachel bulan lalu.

“Dia tidak akan minum ini, sayang kalau dibuang,” gumam Ariana sambil mengambil teh herbal itu dan menyeduhnya. Aroma teh mengisi dapur.

Ariana mencicipi teh yang berbau aneh itu. “Hmm, rasanya tidak buruk,” ucapnya sambil membawa gelas teh ke meja makan dan melanjutkan pekerjaannya.

Suara Nicholas tiba-tiba mengejutkannya. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya dari ambang pintu ruang makan.

Ariana mengangkat kepalanya, melihat Nicholas berdiri di sana. “Bukan urusanmu,” jawabnya ketus, kembali fokus pada laptopnya.

Nicholas tampak tidak peduli dengan sikap Ariana. “Masih mencari cara agar bisa bercerai denganku?” sindirnya. “Kita akan berangkat besok sore untuk konferensi di luar kota.”

Ariana menatap Nicholas dengan sinis. “Aku ingin bercerai, apakah kau pikir aku masih mau tampil sebagai istrimu?”

Nicholas mengabaikan komentar Ariana dan mengambil gelas teh yang diminum Ariana, meneguknya hingga habis tanpa tahu apa isinya.

Ariana terbengong. Nicholas, yang biasanya menghindari makanan yang disiapkannya, baru saja meminum teh yang dia buat?

Nicholas tampak tidak peduli. “Bersiaplah untuk pergi besok!” katanya sebelum meninggalkan ruang makan.

Setelah Nicholas pergi, Ariana kembali duduk, perasaannya campur aduk. Dia masih terfokus pada proposal pengabdian yang harus diselesaikan. Namun, dia tidak tahu bahwa Nicholas, setelah mandi dan kembali ke ruang kerjanya, mengalami gejala aneh yang membuatnya merasa terjaga dan gelisah.

Nicholas merasakan gelombang panas dan gairah yang intens setelah meminum teh tersebut. Pikirannya dipenuhi hasrat yang tidak dapat dijelaskan. Dalam kebingungannya, dia mengingat tentang teh yang diminumnya dari gelas Ariana.

“Apa yang terjadi?” gumamnya bingung, mencoba memahami perubahan aneh yang terjadi pada tubuhnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   135. An Open Chapter

    “Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   134. Past Choices

    Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   133. The Final breath

    Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   132. Henry's Last Stand

    Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   131.

    Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   130.

    Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status