[Flashback on]
“Selamat sayang atas pernikahanmu.”
Ucapan selamat dari papa, papa orang pertama yang teristimewa saat mengucapkan selamat karena saat itu papa berkata :
“Sayang kamu tau nggak?”
Aku menggeleng.
“Papa itu pengen gendong cuci sebelum Papa tua, kalau Papa tua nggak bisa main sepeda sama cucu-cucu papa dong. Segera bikinin Papa cucu yah, kalau bisa bikinin cucu yang banyak. Papa bakalan seneng karena nanti rumah Papa ramai menjadi keluarga besar, nggak bakalan sepi hahaha. Papa udah nggak sabar pengen gendong nih.
Aku waktu itu mencubit lengan papa karena merasa malu saat papa mengatakan itu di depan keluarga Drey. Ingin mengendong cucu? Duh, baru saja menikah di hari pertama. Papa sudah meminta cucu segala.
“Papa apa-apaan, sih!” bisikku malu dan kesal.
“Lho, Papa, 'kan cuma minta dibuatin cucu. Emang itu salah, Ryn?” <
Aku tahu tidak sepantasnya beralut-larut dalam kesedihan dan terpuruk dengan kepergian Papa. Apa gunannya terus menangis? Tangis tidak akan mengembalikan Papa.Jadi, hari ini aku memutuskan untuk kuliah kembali setelah beberapa hari cuti. Well, aku akan baik-baik saja. Jangan bersedih lagi. Aku harus bersemangat, sebentar lagi akan bertemu dua sahabatku.“Kalau udah selesai hubungi aku, ya. Nanti kita pulang bareng, Ryn. Jangan pulang sendiri dong kaya hari itu.”Aku memajukan bibir beberapa senti. Lagi pula aku pulang sendiri karena Drey tidak bisa dihubungi dan pergi entah kemana tanpa kabar.“Iya iya,” kataku. “Nanti aku telfon kalau kelas sudah selesai. Tapi kalau kamu sibuk biar aku pulang sendiri aja.”“Hari ini aku nggak sibuk, Ryn,” tutur Drey.“Kalau kamu ada urusan mendadak gimana dong? Aku bakal
Aku menghubungi Drey, katanya akan pulang bersama. Tapi Drey mengatakan saat ini sedang berada di perpustakaan, aku mengernyit. Kenapa Drey berada di sana?Sekarang kakiku melangkah memasuki ruangan perpustakaan kampus. Sepi, perpustakaan terlihat sepi saat kakiku menginjakkan lantai marmer. Bola mataku mengedar mencari suamiku, beberapa saat bibirku melengkung melihat Drey yang tengah serius membaca sebuah buku. Tanpa permisi aku langsung duduk di samping Drey, aku menyandarkan kepala di bahunya.“Drey,” panggilku seraya melingkarkan tangan di pinggang Drey dengan manja. “Aku mencarimu kemana-kemana ternyata di sini.”Drey masih terfokus pada buku. “Kenapa nggak menghubungi aku lebih dahulu sebelum mencariku. Hm?”“Oh, iya. Aku lupa,” kataku sambil meringis. “Tumben ke sini. Kesurupan apa?” Yang aku tahu, Drey memang jarang ke perpust
[Author POV]Sepanjang perjalanan, Drey melamun. Drey memikirkan kejadian tadi waktu di kantin saat makan siang. Waktu itu ....[Flashback on]Gabut. Bosan, lama menunggu makanan datang. Mata Drey menyapa ke seluruh penjuru kantin, lumayan ramai suasanya sehingga sedikit berisik dan merasa terganggu. Rasa gabut serta bosan sekarang malah menghilang saat melihat Auryn memasuki kantin tersebut dan duduk agak jauh dari posisi Drey.Sepertinya Auryn tidak menyadari keberadaan Drey tengah memperhatikannya.Drey terus memperhatikan Auryn. Wanita itu sedang asik mengobrol bersama kedua sahabatnya entah membahas apa, yang jelas Auryn terlihat tenang diantara kedua sahabatnya.Ah, kenapa Drey memperhatikan Auryn dengan sangat fokus dan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan ke arah lain, hanya tertuju pada satu wanita di sana.Tanpa sadar Drey menarik sudut bibir
[Author POV]“Nikahi aku, Drey!”Drey menghembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya. Kepalanya panas dan terasa ingin pecah menghadapi ini semua. Beberapa kali dia mengacak-acak rambut gusar.“Astaga, wanita ini,” celutuk Drey dalam hati. Dia tak habis pikir, berani sekali Anna datang ke rumahnya hanya untuk meminta menikah dengannya. Tanpa memikirkan perasaan Auryn.“Drey, aku mohon menikah denganku.”“Aku sudah menikah dengan Ryn. Kenapa kamu tiba-tiba datang hanya ingin meminta menikah?” Drey memainkan alisnya, memandang Anna tak percaya.“Kamu bisa bercerai dengan Ryn!” pungkasnya.Auryn yang sedang bersembunyi sontak memegang dadanya. Terkejut bukan main. Anna yang selama ini peduli dengannya, ternyata tidak sebaik yang dia kira. Bisa-bisanya menyuruh Drey untuk bercerai.“Lalu kamu menikahiku,” imbuh Anna.
“Kenapa kamu, Ryn?” Viola mendongak.Aku melirik Viola malas.Viola menarik tempat duduknya, mendekatiku. “Ada apa sih? Jujur aja, muka kamu beda banget tau!” celutuk Viola.Jessica ikut menyambar. “Kelihatanya kamu lesu gitu. Mau pulang atau mau di sini?” tanyanya.Oh, ya. Hari ini kelas pertama selesai dan akan masuk nanti jam satu. Aku berpikir, mau pulang dulu atau tidak. “Aku ngggak tau,” jawabku lemas. Kepalaku benar-benar pusing dan sepertinya tidak enak badan.“Pulang aja deh, Ryn. Muka kamu pucat,” kata Viola.“Coba telfon, Drey,” perintah Jessica.Ah! Kenapa dari tadi aku tidak kepikiran. Tanpa menunggu apapun, aku menyalakan ponsel dan mencari kontak Drey dan mencoba menelfon. Aku ingin pulang diantarkan oleh Drey.Viola sam
Aku menghembuskan napas dengan kasar, memijit pangkal hidung dengan gelisah. Kakiku melangkah keluar dari gerbang, berdiri sendiri di tepi jalan. Menunggu taksi ternyata kelewat lama. Kakiku pegal, ditambah sinar matahari semakin terik dan panas.Aku putuskan untuk meneduh di cafe yang tak jauh dari sini, hanya berjalan beberapa menit sampai di sana. Di sana lebih gampang mendapatkan taksi.Sinar suminar matahari seakan menghantam kepalaku, aku terus berjalan sepanjang jalan, mendongak ke atas langit, mataku sedikit menyipit dengan silaunya cahaya sang surya. Akhirnya aku sampai di depan cafe, aku berdiri di sana. Lumayan. Cahaya matahari tidak mengenai kepalaku.“Hati-hati, Kak!” teriak seseorang.Tadi tubuhku sedikit oleng dan hampir roboh. Untung suara teriakan membuat kesadaranku kembali dan mampu menahan tubuhku yang lemas namun tak kuasa aku hampir roboh.Wanita yang tadi berteriak mengh
Aku ingin sekali menghampiri, namun kaki terasa sangat berat untuk masuk ke cafe tersebut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan di dalam, mungkin hanya mengobrol biasa, tapi ... sakit untuk diliat.Cukup lama aku diam di tempat memperhatikan kedua orang di dalam. Batinku teriris-iris hingga aku menarik sudut bibir dengan paksa, menahan air mata agar tidak tumpah.Amarah, kesedihan dan rasa sakit, aku pendam. Entah kapan aku akan sejauh ini untuk lebih menahan lagi. Kedua orang yang aku sayangi terlihat menyedihkan. Mereka tahu aku sudah menikah dengan Drey. Mereka sedang mengobrol akrab, sedangkan aku tersenyum pahit.Aku putuskan untuk menelfon Drey, dengan tangan gemetaran memainkan layar ponsel lalu mencoba menghubungi Drey. Mataku sambil mengamati kedua orang di dalam cafe.Tut ... cukup lama panggilan itu, namun aku melihat Drey sama sekali tidak melirik ponselnya yang di atas meja, sebelah kirinya. H
“Apa Kak Anna sedang bersama Drey?” tanyaku dengan suara sangat pelan.Jantungku mulai berdetak keras menunggu jawaban dari Anna. Mungkinkah Anna akan menjawab? Atau tidak mengatakan yang sebenarnya?Cukup lama Anna terdiam membuat jeda yang tercipta beberapa saat.“Iya, Ryn. Kakak sedang bersama Drey.”Mendengar itu, hati aku semakin tertusuk layaknya busur panah menatap dalam hatiku. Sakit sekali. Demi Tuhan. Pengakuan bersama Drey terucap dari bibir Anna.Ada jeda beberapa menit. Aku tarik napas dalam-dalam, menenangkan diriku. “Kenapa kakak bersama Drey?” tanyaku agak dingin. “Apa ada sesuatu yang penting?”Terdengar helaian napas darinya. “Iya, Ryn. Kami sedang membicarakan pekerjaan. Tidak ada hal lain,” jelasnya. “Dan aku meminta bantuan dari Drey.”Aku tersenyum kecut. Haruskah membicarakan pekerjaan di cafe? Berduaan? Haha. Lucu sekali. Aku ingin tertawa h