[Author POV]
“Nikahi aku, Drey!”
Drey menghembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya. Kepalanya panas dan terasa ingin pecah menghadapi ini semua. Beberapa kali dia mengacak-acak rambut gusar.
“Astaga, wanita ini,” celutuk Drey dalam hati. Dia tak habis pikir, berani sekali Anna datang ke rumahnya hanya untuk meminta menikah dengannya. Tanpa memikirkan perasaan Auryn.
“Drey, aku mohon menikah denganku.”
“Aku sudah menikah dengan Ryn. Kenapa kamu tiba-tiba datang hanya ingin meminta menikah?” Drey memainkan alisnya, memandang Anna tak percaya.
“Kamu bisa bercerai dengan Ryn!” pungkasnya.
Auryn yang sedang bersembunyi sontak memegang dadanya. Terkejut bukan main. Anna yang selama ini peduli dengannya, ternyata tidak sebaik yang dia kira. Bisa-bisanya menyuruh Drey untuk bercerai.
“Lalu kamu menikahiku,” imbuh Anna.
“Kenapa kamu, Ryn?” Viola mendongak.Aku melirik Viola malas.Viola menarik tempat duduknya, mendekatiku. “Ada apa sih? Jujur aja, muka kamu beda banget tau!” celutuk Viola.Jessica ikut menyambar. “Kelihatanya kamu lesu gitu. Mau pulang atau mau di sini?” tanyanya.Oh, ya. Hari ini kelas pertama selesai dan akan masuk nanti jam satu. Aku berpikir, mau pulang dulu atau tidak. “Aku ngggak tau,” jawabku lemas. Kepalaku benar-benar pusing dan sepertinya tidak enak badan.“Pulang aja deh, Ryn. Muka kamu pucat,” kata Viola.“Coba telfon, Drey,” perintah Jessica.Ah! Kenapa dari tadi aku tidak kepikiran. Tanpa menunggu apapun, aku menyalakan ponsel dan mencari kontak Drey dan mencoba menelfon. Aku ingin pulang diantarkan oleh Drey.Viola sam
Aku menghembuskan napas dengan kasar, memijit pangkal hidung dengan gelisah. Kakiku melangkah keluar dari gerbang, berdiri sendiri di tepi jalan. Menunggu taksi ternyata kelewat lama. Kakiku pegal, ditambah sinar matahari semakin terik dan panas.Aku putuskan untuk meneduh di cafe yang tak jauh dari sini, hanya berjalan beberapa menit sampai di sana. Di sana lebih gampang mendapatkan taksi.Sinar suminar matahari seakan menghantam kepalaku, aku terus berjalan sepanjang jalan, mendongak ke atas langit, mataku sedikit menyipit dengan silaunya cahaya sang surya. Akhirnya aku sampai di depan cafe, aku berdiri di sana. Lumayan. Cahaya matahari tidak mengenai kepalaku.“Hati-hati, Kak!” teriak seseorang.Tadi tubuhku sedikit oleng dan hampir roboh. Untung suara teriakan membuat kesadaranku kembali dan mampu menahan tubuhku yang lemas namun tak kuasa aku hampir roboh.Wanita yang tadi berteriak mengh
Aku ingin sekali menghampiri, namun kaki terasa sangat berat untuk masuk ke cafe tersebut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan di dalam, mungkin hanya mengobrol biasa, tapi ... sakit untuk diliat.Cukup lama aku diam di tempat memperhatikan kedua orang di dalam. Batinku teriris-iris hingga aku menarik sudut bibir dengan paksa, menahan air mata agar tidak tumpah.Amarah, kesedihan dan rasa sakit, aku pendam. Entah kapan aku akan sejauh ini untuk lebih menahan lagi. Kedua orang yang aku sayangi terlihat menyedihkan. Mereka tahu aku sudah menikah dengan Drey. Mereka sedang mengobrol akrab, sedangkan aku tersenyum pahit.Aku putuskan untuk menelfon Drey, dengan tangan gemetaran memainkan layar ponsel lalu mencoba menghubungi Drey. Mataku sambil mengamati kedua orang di dalam cafe.Tut ... cukup lama panggilan itu, namun aku melihat Drey sama sekali tidak melirik ponselnya yang di atas meja, sebelah kirinya. H
“Apa Kak Anna sedang bersama Drey?” tanyaku dengan suara sangat pelan.Jantungku mulai berdetak keras menunggu jawaban dari Anna. Mungkinkah Anna akan menjawab? Atau tidak mengatakan yang sebenarnya?Cukup lama Anna terdiam membuat jeda yang tercipta beberapa saat.“Iya, Ryn. Kakak sedang bersama Drey.”Mendengar itu, hati aku semakin tertusuk layaknya busur panah menatap dalam hatiku. Sakit sekali. Demi Tuhan. Pengakuan bersama Drey terucap dari bibir Anna.Ada jeda beberapa menit. Aku tarik napas dalam-dalam, menenangkan diriku. “Kenapa kakak bersama Drey?” tanyaku agak dingin. “Apa ada sesuatu yang penting?”Terdengar helaian napas darinya. “Iya, Ryn. Kami sedang membicarakan pekerjaan. Tidak ada hal lain,” jelasnya. “Dan aku meminta bantuan dari Drey.”Aku tersenyum kecut. Haruskah membicarakan pekerjaan di cafe? Berduaan? Haha. Lucu sekali. Aku ingin tertawa h
“Tidak apa-apa, Pak,” jawabku parau.“Pak, tolong antarkan ke alamat ini, ya.” Aku menyodorkan kertas berisi rumah mama Katerina.“Okay, Nona.”Sang pengemudi sepertinya tahu aku sedang tidak ingin ditanya banyak hal. Ketika sudah sampai di rumah mama Katerina, aku tidak langsung turun dari mobil. Masuk ke dalam rumah. Mama Katerina menyambut dengan hangat.“Lho, Ryn? Kamu lagi sakit ya? Kok mukanya pucat banget.”Aku menggeleng lemah. “Aku baik-baik saja, Ma. Aku ke kamar dulu, ya.” Kepalaku semakin berputar-putar, tubuh lemas dan aku ingin tidur. Rasanya pusing dan pening di kepala.“Nanti mama buatkan sesuatu untukmu, sesuatu yang lezet pastinya. Istirahatlah, sayang,” kata Mama sedikit berteriak.Aku tersenyum dibalik wajah pucat pasi, aku semakin sadar, aku benar-benar menjadi lakon yang pintar sekali menyembunyikan apa yang aku rasakan.
“Jangan-jangan kamu ....”“....”“Ryn?”Kepalaku memutar ke ambang pintu, Drey berdiri di sana, memandangiku dengan tatapan yang membuat aku ingin menangis. Kenapa dia baru datang? Saking asiknya berbicara dengan Anna?Mama melihat Drey datang, Mama berdiri dan mengecup keningku, kemudian pergi dari kamar seolah membiarkan kami berduaan di dalam kamar ini.Drey menghampiriku.Dia mengusap lembut dahiku oleh tangan besarnya. Posisi Drey sedang berjongkok di lantai. Aku hanya memandang dia tanpa ekspresi, Drey meraih tanganku dan menggenggam erat.“Maafkan aku. Lagi lagi aku menyakitimu lagi, Ryn.”Drey memandang lekat wajahku dengan tatapan rasa bersalah. Aku juga tahu, bukan diriku yang sakit hati di sini, tapi Drey pun merasakan hal yang sama. Aku sakit melihat suamiku bersama wanita lain.“Aku masih mencintainya, Ryn.
Aku terbangun, jam dinding menunjukkan jam 3 pagi. Aku menuju ke kamar mandi selagi Drey masih tidur. Dengan tangan gemetaran aku menadah air kencing dalam gelas plastik. Entah kenapa aku gemetaran, mungkin aku takut akan mengandung anak Drey dan akan lebih sulit untuk berpisah. Aku sudah muak dengan hubungan Drey dan Anna. Demi cinta mereka rela bermain di belakangku. Ya, berpisah lebih baik. Atau Drey akan memperbaiki semuanya?Aku sedikit mengejan agar air kencing keluar dengan baik, tapi sulit sekali keluar. Aku sampai harus menarik napas dalam-dalam. Argh, ini merepotkan sekali! Aku juga harus menadah kencing di dalam gelas itu. Tanganku sampai basah. Huft! Lebih susah dari dugaanku.Tanganku gemetaran saat mencelupkan alat tes pemberian dari mama, test pack. Menurut aturan harus sampai batas yang ditentukan. Lalu tunggu kurang lebih 5 detik, kemudian angkat test pack. Satu garis merah muncul di indikator alat itu dan ada satu garis lagi.
[Author POV]Di dalam taksi Anna memejamkan mata sebentar, mengingat kejadian beberapa hari lalu, waktu berada di cafe. Anna merasa bersalah ketika Auryn menelfonnya saat bersama dengan Drey. Suara Auryn terdengar berbeda di telinga Anna. Anna menyadari bahwa selama ini dia tidak pernah memikirkan perasaan Auryn. Hanya ada rasa kemenangan diri sendiri dan keegoisan merebut Drey dari Auryn. Sekarang dalam posisi, tidak bisa berkata apa-apa.Pada akhirnya Anna hanya bisa mengigit bibir bawahnya saat berkata lirih, “Maafin Kakak selama ini, Ryn.” Nada lirih terdengar penuh rasa bersalah.“Kamu baik-baik saja, Nona?"Anna agak kaget saat suara bariton itu sejenak terdengar mengisi hening dalam taksi, taksi yang terus melaju memecahkan jalanan. Iris Anna melirik pada lelaki tua di balik kemudi yang bertanya hangat. Anna membalas agak ragu, "Maaf? Maksudnya?" tanyanya, sebab Anna merasa baik-baik saja.Lelaki tua itu tertawa agak canggung. "Maaf jika pe