Terasa ada yang turun dari ranjang. Aku yang sedang tertidur bisa merasakan hal itu. Kuubah posisi tidur dari menyamping menghadap dinding, menjadi miring ke kanan, menghadap ke arah suamiku. Kuraba, namun tak ada terasa tubuh Mas Gilhan, suamiku. Kubuka mata perlahan dan benar saja, tempat tidurnya sudah kosong. Kukucek mata, dan melihat jam di dinding yang mengarah ke 01.05.
Agghh ... suamiku memang suka menghilang di setiap malam. Pergi ke mana dia? Ketika subuh barulah dia kembali dan aku tak pernah tahu kapan ia datang, tapi tiba-tiba sudah ada di sampingku, selalu begitu setiap hari.
Aku berusaha bangkit dari tempat tidur untuk mencarinya, tapi tubuh ini terasa berat dengan mata yang terasa amat mengantuk. Aku tak bisa menggerakkan tubuh hingga akhirnya kembali tertidur.
*****
“Sayang, Mas berangkat kerja dulu!” Terdengar suara samar-samar.
Aku membuka mata dan mendapati Mas Gilhan sudah bersiap dengan pakaian kerjanya, setelan jas berwarna hitam. Kulirik jam di dinding yang sudah mengarah ke angka 07.30, oh tuhan ... lagi-lagi aku tak sholat subuh dan tak menyadari kapan suamiku kembali.
“Mas, kamu tadi malam ke mana?” tanyaku dengan sambil bangkit dari tempat tidur.
Mas Gilhan mengerutkan dahi dan menjawab, “Nggak ada ke mana-mana.”
“Masa? Sudah beberapa kali kamu selalu menghilang setiap malam, kamu ke mana, Mas?” tanyaku dengan tak bisa menyembunyikan rasa penasaran ini.
“Apa sih maksud kamu, Sayang? Aku nggak pernah ke mana-mana kok setiap malam, sepanjang malam tidur di samping kamu kok,” jawabnya dengan mendekat ke arahku yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh selidik.
“Mas ....” Aku masih tak puas dengan jawabannya.
“Ya sudah, kamu Cuma mimpi saja kali. Aku berangkat dulu, ya. Aku titip anak-anak, I love you,” ujarnya sambil mendaratkan kecupan di dahiku.
Aku berusaha tersenyum, dan kembali duduk di atas ranjang sebab semua ini terasa aneh. Aku sangat yakin, kalau setiap malam suamiku memang selalu menghilang dari kamar tapi dia menyangkalnya.
Setelah cukup lama termenung, aku bangkit dan meraih handuk lalu mandi. Aku merasa ada keanehan setiap malam di rumah ini, selain suamiku yang selalu menghilang, aku juga tak bisa bangun sebab tubuhku ketindihan sepanjang malam dan akan tersadar saat pagi.Setelah mandi dan berpakaian, aku keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga untuk ke lantai bawah kemudian menuju dapur. Di ruang tengah, terlihat Bik Ana sedang bermain dengan Naura dann Nayla, putri bungsu suamiku, hmm ... namun kini sudah menjadi putriku juga. Mereka kembar identik, aku masih sulit membedakan mereka sebulan ini.
“Selamat pagi, Cantik,” sapaku kepada dua putri tiriku itu.
“Selamat pagi juga, Mama Sindy,” jawabnya serempak dengan sambil tersenyum.
Aku mendekat dan mendaratkan ciuman di dahi gadis kecil yang usianya kurang beberap bulan lagi akan menginjak empat tahun.
“Udah sarapan belum, Sayang?” tanyaku.
“Udah, Ma,” jawab mereka serempak.
“Nyonya Sindy, sarapan sudah ada di atas meja makan. Silakan!” ujar Bik Ana dengan suara kaku, gaya biacaranya memag begitu, datar dan tanpa ekspresi. Usianya masih muda, mungkin seusia dengan suamiku, 37 tahunan.
“Hmm ... iya, Bik, terima kasih,” jawabku. “Niko udah ke sekolah?” tanyaku saat teringat akan putra sulung suamiku yang kini sudah duduk di bangku SMP itu.
“Udah, Nyonya. Den Niko, pukul 06.30 sudah berangkat ke sekolah,” jawabnya dengan nada sengit.
Aku berusaha berpikir positif dan beranggapan kalau sifat jutek begitu memang wataknya, walau aku menangkap ada kejengkelan karena aku bangun selalu siang. Bukan mauku seperti ini, tapi aku selalu terbangun selalu siang walau sudah menyetel alarm, padahal ketika masih gadis dan tinggal di rumah mama, aku tak pernah seperti ini. Di rumah ini, aku selalu kesusahan untuk bangun jika sudah tidur, maka dengan itu, aku tak mau tidur siang sebab beberapa hari yang lalu aku pernah tidur siang dan terbangun besoknya. Aneh bukan?
Aktivitasku di rumah ini berjalan seperti hari-hari kemarin, aku cuma duduk bengong di depan televisi sebab dua putri kembar suamiku itu selalu menghabiskan waktu dengan pembantunya saja.
Aku mulai jenuh sebulan terus seperti ini, kalau begini lebih baik aku kembali bekerja di kantor Mas Gilhan sebab dulu aku karyawannya sebelum dia melamarku jadi istri. Ah, akan kubicarakan nanti dengannya.
Bersambung .....
Sayangnya, aku lupa mengatakan keinginanku pada Mas Gihan. Pria itu sudah terlihat terlelap sekarang.Maka dari itu, aku pun memikirkan sebuah ide. Sengaja kujaga mata agar tak tertidur, sebab aku ingin memergoki ke mana perginya suamiku itu setiap malam. Dia akan selalu menghilang setiap di atas pukul 00.00, begitu menurut analisaku sebulan ini. Aku hanya pura-pura memejamkan mata saja dengan posisi memeluk guling dengan membelakanginya, agar ia tak tahu kalau aku tak benaran tidur.Tak lama kemudian setelah aku membuka sedikit mata untuk melihat jam di dinding kamar, terasa gerakan Mas Gilhan bangkit dari tempat tidur lalu melangkah. Aku membalikkan tubuh perlahan dan melihatnya membuka pintu kamar dan keluar.Dengan sigap, aku juga bangkit dari tempat tidur dan mengikutinya membuka perlahan pintu dan mengintip ke luar, dia terlihat menuruni anak tangga. Untung saja lampu di rumah ini di matikan sebagian, jadi aku bisa mengikutinya dengan aman. Setelah kulihat Mas Gilhan sampai d
Aku kembali terkaget-kaget dengan memegangi dada.Segera, aku menoleh ke belakang. Ternyata pintu belakang tertutup dengan sendirinya dan di depan pintu ada seorang anak laki-laki. Aku tak bisa melihat dengan jelas sosok pucat itu, wajahnya mirip Niko, putra sulung suamiku. “Ni—Niko .... “ seruku dengan terbata-bata. Tanpa menjawab perkataanku, dia melangkah melewatiku dan tubuh ini seperti tertarik untuk mengikuti langkahnya menyusuri lorong untuk menuju ke dapur. Saat tersadar, ternyata aku sudah berada di depan anak tangga untuk menuju ke lantai atas. “Niko!” panggilku dengan sambil celingukan, mencari sosok Niko yang tadi menuntunku untuk sampai di sini. Tak ada siapa pun di sini, bulu kuduknya tak hentinya meremang, tubuh ini semakin panas dingin. Aku memegangi dada, berusaha mengatur pernapasan. Sebaiknya aku kembali ke kamar saja. Besok pagi akan kutelusuri halaman belakang itu sebab aku sangat yakin kalau Mas Gilhan menuju ke sana tadi. Dengan tergesa-gesa, aku menaiki a
Aku menggelengkan kepalaku.Setelah Niko berangkat ke sekolah, Mas Gilhan juga pamit kantor. Kini di rumah hanya tinggal aku, Bik Ana juga si kembar. Aku melangkah menuju anak tangga, hendak kembali ke kamar. Setelah mandi nanti, aku akan menyelidiki rumah ini. Aku sedikit heran, di rumah sebesar ini hanya memiliki satu asisten rumah tangga saja yang merangkap sebagai pengasuh juga. Saat menaiki anak tangga, Nayla dan Naura terlihat sedang menonton acara kartun di televisi, sedang Bik Ana sedang menyapu lantai. Dia memang wanita tangguh, bisa mengerjakan semuanya.Sesuai yang kurencanakan, setelah selesai mandi dan berpakaian, aku segera turun ke bawah dan menuju dapur. Bik Ana tak ada di sini, mungkin sedang menemani si kembar bermain. Oke, hari ini aku yang akan memasak sebab bosan juga rasanya kalau cuma bengong sendiri di kamar dan tak mengerjakan apa pun. Aku yang keseharian selalu menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor, namun sekarang harus menghabiskan waktu di rumah, ras
Bik Ana mendekat kepadaku, namun aku segera berlalu menuju ruang keluarga yang terdapat televisi. Lebih baik menonton sinetron saja kalau mengerjakan apa pun tak dibolehkan.Kuraih ponsel lalu mengetik pesan yang akan kukirimkan kepada suamiku. Akan kuadukan perlakuan tak menyenangkan dari pembantu bertampang sangar itu. [Mas, aku tak senang dengan perlakuan Bik Ana kepadaku hari ini. Masa aku mau memasak saja gak dibolehin dan malah diusir dari dapur? Memangnya kamu pernah memberikan mandat kepadanya agar melarangku melakukan apa pun di rumah ini?] Segera kukirimkan pesan itu dan menunggu Mas Gilhan membukanya. Akan tetapi, jangankan dibaca, terkirimkan pun tidak, pesanku hanya centang satu saja. Ke mana suamiku itu? Aku tak habis akal, kuketik pesan untuk temanku yang masih bekerja di kantornya. [Mir, Mas Gilhan, suamiku ... sedang apa dia? Apa dia ada di ruangannya atau sedang keluar?] Pesan itu langsung kukirim kepada Mira, temanku. Lima menit kemudian, pesanku langsung mendap
#Suamiku_Menghilang_Setiap_MalamPart 6 : Ketindihan “Hahaa ... oke, oke. Jadi begini, Mas memang ada bilang kepada Bik Ana agar jangan membiarkan kamu melakukan pekerjaan apa pun di rumah ini sebab aku membawamu ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai ... hmm ... wanita yang akan disuruh-suruh melakukan pekerjaan apa pun. Kamu Ratu di rumah ini, Sayang, juga Ratu di hati, Mas. Jangan marah lagi, soalnya Mas sibuk sekali di kantor hari ini sehingga pegang ponsel saja tak sempat,” ujar suamiku dengan nada khasnya, lemah lembut dan bikin darah tinggi mendadak turun.“Mas, nggak gitu juga kali? Kalo cuma masak, masa aku juga nggak boleh? Aku bosan kalau cuma duduk bengong saja di rumah ini, udah gitu ... mau main sama di kembar juga nggak dibolehin sama pembantu songong itu!” Aku mengerucutkan bibir.“Hmm ... bukan maksudnya begitu, Bik Ana hanya menuruti perintahku saja kalau ia tak boleh membebankan pekerjaan apa pun kepadamu termasuk mengasuh dua putriku,” jawab saumiku lagi.Aku m
#Suamiku_Menghilang_Setiap_MalamPart 7 : Naura dan NaylaSetelah Mas Gilhan pamit ke kantor, aku melangkah masuk dan di ruang tengah. Di sana terlihat si kembar sedang membongkar keranjang mainannya. Bik Ana kayaknya lagi sibuk di dapur, bagus deh, aku jadi ada kesempatan untuk bermain bersama dua gadis kecil menggemaskan ini.“Mama Sindy, main yuk!” ajak salah satu dari putri tiriku itu, karena wajah, gaya rambut dan pakaian yang selalu sama, aku tak bisa membedakan keduanya.“Ayo!” jawabku dengan tesenyum dan duduk di antara mereka.“Nayla mau yang ini!” ujar anak tiriku itu sambil meraih sebuah boneka barby, aku langsung mengingat kalau yang duduk di sebelah kananku adalah Nayla jadi yang sebelah kiri pasti Naura.“Iya, Naura yang ini saja dan Mama Sindy yang ini,” ujar Naura dengan memberikan boneka barby dengan gaun pesta bewarna pink itu. “Hmm ... dan untuk Mama .... “ sambungnya dengan memberikan boneka barby dengan baju santai, celana pendek dan tanktop, ke udara.Eh! Aku ber
#Suamiku_Menghilang_Setiap_MalamPart 8 : Ramalan BiancaBik Ana terlihat mempercepat langkahnya, sedang aku mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu belakang, wanita yang selalu mengenakan pakaian berwarna putih itu menoleh ke belakang, mungkin memastikan tak ada yang membuntutinya.“Hey, siapa di sana?!” teriaknya lantang dengan membalik badan dan menatap ke sekeliling.Aku yang sedang bersembunyi di balik dinding jadi berdebar-debar, takut tertangkap olehnya. Dengan sambil berdoa dalam hati, aku memegangi dada, berharap ia tak tahu kalau aku sedang membuntutinya.Beberapa saat kemudian. Bik Ana tak kunjung keluar dari lorong itu, kuberanikan diri untuk kembali mengintip ke posisi ia berdiri tadi tapi tak ada siapa pun lagi di lorong depan pintu itu. Apakah dia sudah keluar? Tapi kok aku nggak dengar suara pintu terbuka, ya? Bagaimana ini, aku masuk atau tidak, ya? Jangan-jangan Bik Ana hanya sedang bersembunyi saja dan ingin menangkap basah siapa yang sedang membuntu
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 9 : Lingeri“A—apa, Bi?!” tanyaku dengan dada yang mendadak terasa sesak, jantung berdebar tak karuan, tubuh jadi panas dingin.“Ah, ya sudah ... anggap saja aku tak mengatakan apa pun, aku benci dengan perasaan aneh ini. Maafkan aku, Sin!” Bianca tiba-tiba memegangi kepalanya dengan tatapan mata yang nanar.“Bi, kalau ngomong itu jangan setengah-setengah, aku jadi merinding ini,” ujar Rahel dengan menyikut Bianca.“Jangan percaya dengan ucapanku yang tadi, aku cuma ngelantur!” Bianca bangkit dari kursinya, meraih tas dan pergi begitu saja.“Bi, kok langsung pergi sih?” teriak Sinta.Aku masih termenung, terus terang, aku takut akan kebenaran kata-kata dari sahabatku dari bangku kuliah itu. Dari dulu dia memang aneh, tapi terkadang apa yang diocehkannya itu menjadi kenyataan. Dia juga bisa merasakan adanya makhluk gaib dan aku percaya akan kelebihannya itu, walau terkadang teman-teman suka menetertawainya.Dulu, Bianca juga pernah meramalkan kalau a