Share

Ramalan Bianca

#Suamiku_Menghilang_Setiap_Malam

Part 8 : Ramalan Bianca

Bik Ana terlihat mempercepat langkahnya, sedang aku mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu belakang, wanita yang selalu mengenakan pakaian berwarna putih itu menoleh ke belakang, mungkin memastikan tak ada yang membuntutinya.

“Hey, siapa di sana?!” teriaknya lantang dengan membalik badan dan menatap ke sekeliling.

Aku yang sedang bersembunyi di balik dinding jadi berdebar-debar, takut tertangkap olehnya. Dengan sambil berdoa dalam hati, aku memegangi dada, berharap ia tak tahu kalau aku sedang membuntutinya.

Beberapa saat kemudian. Bik Ana tak kunjung keluar dari lorong itu,  kuberanikan diri untuk kembali mengintip ke posisi ia berdiri tadi tapi tak ada siapa pun lagi di lorong depan pintu itu. Apakah dia sudah keluar? Tapi kok aku nggak dengar suara pintu terbuka, ya? Bagaimana ini, aku masuk atau tidak, ya? Jangan-jangan Bik Ana hanya sedang bersembunyi saja dan ingin menangkap basah siapa yang sedang membuntutinya? Agh, aku tak berani. Lebih baik aku segera pergi saja dan menunggunya kembali.

Kuhembuskan napas berat dan menunggu kedatangan pembantu aneh itu di ruang tengah. Walau ketus dan sangar, aku tetap harus pamit kepadanya. Cukup lama aku menunggu kemunculan Bik Ana dari arah lorong.

“Bik!” panggilku yang membuatnya gugup.

“Iya, Nyonya Sindy, ada apa?” tanyanya dengan bola mata yang tajam, kali ini ia kembali dari lorong itu tanpa membawa apa pun sebab tempo hari aku sempat melihatnya membawa piring.

“Dari mana?” tanyaku dengan menautkan alis.

“Hmm ... Nyonya tak perlu tahu saya dari mana, ada apa Nyonya memanggil saya?” Dia melototiku.

Andai ia bukan pembantu kepercayaan suamiku, mungkin sudah kupecat dia karena aku tak suka dengan sifatnya yang kurang ajar ini.

“Ada apa di halaman belakang? Kenapa pintu di lorong itu selalu digembok? Ada apa di balik sana?” tanyaku beruntun.

Bukannya menjawab, Bi Ana malah hanya terlihat melengos lalu meninggalkan aku menuju dapur. Ya Tuhan, dia benar-benar tak punya sopan santun, bikin jengkel saja. Aku mengepalkan tangan geram. Kuhela napas panjang, lalu beranjak dari sofa kemudian melangkah menuju dapur, mengikuti pembantu yang bikin darah naik turun ini.

“Bik, saya mau pergi keluar,” ujarku sambil berlalu dan melangkah menuju garasi.

Heran juga sih, rumah ini besar dengan dua lantai dan memiliki halaman depan yang luas. Namun sayangnya, tembok rumah bagian samping itu mepet jadi tak ada celah untuk lewat kehalaman belakang. Jalan satu-satunya untuk pergi ke halaman belakang hanya dengan lewat pintu di lorong samping dapur itu saja.

Beberapa saat kemudian, aku sudah melenggang dengan mobil sport warna meraha, mas kawin dari suamiku saat kami menikah sebulan yang lalu. Jadi, waktu nikah, mas kawin darinya itu seperangkat alat sholat dan sebuah mobil.

Setengah jam kemudian, mobilku telah tiba di parkiran mall. Kuraih ponsel dan mengecek chat di grup wa, dan ternyata sudah ada banyak chat dari teman-temanku.

Kutekan tombol panggilan untuk teleponan grup agar kami bisa langsung video call secara beramai-ramai.

“Gaes, gue udah di parkiran mall ini. Kalian di mana?” tanyaku.

“Kita-kita udah di dalam, buruan masuk!” ujar Bianca.

“Iya nih, buruan! Kirain nggak jadi, mana kita-kita udah pesan makanan pula. Bakal disuruh nyuci piring kalau nggak bisa bayar, hehee .... “ timpal Sinta.

“Iya, iya, ini gue udah masuk kok,” jawabku dengan sambil menatap layar ponsel.

Taklama kemudian, langkahku telah tiba di Restoran Jepang tempat kami janjian. Ternyata empat temanku itu sudah menunggu.

“Sorry, telat,” ujarku dengan sambil cepika-cepiki dengan teman-temanku.

“Nggak apa-apa telat, yang penting datang,” sambut Melly.

Aku langsung bergabung bersama mereka dengan sambil menikmati aneka makanan yang sudah dipesan teman-temanku, sembari bercanda sebab sudah lama kami tak ngumpul begini sejak sibuk dengan urusan masing-masing.

“Eh, Sin, kamu kok tampak pucat gitu sih? Sakit kamu atau lagi hamil?” tanya Bianca tiba-tiba, sedari tadi dia memang terlihat menatap aneh kepadaku.

“Nggak kok, aku sehat-sehat aja dan belum hamil juga sih,” jawabku.

“Itu di lehermu biru-biru kenapa? Tanda cinta dari suamimu atau apa?” tanya Bianca lagi, dia memang yang paling aneh dari kami berlima sebab dia adalah cucu dukun dan memiliki kemampuan supranatural.

Mendengar pertanyaan Bianca, ketiga temanku yang lainnya langsung terbahak.

“Biru-biru seperti apa sih? Boro-boro tanda cinta, aku masih belum disentuh juga,” ujarku pelan karena takut jadi bahan tertawaan empat temanku itu.

Sinta terlihat menahan tawa dengan menutup mulutnya, tapi tak berani mengeluarka suara tertawa. Melly dan Rahel saling pandang.

“Coba ulurkan tanganmu dan naikkan lengan swetermu!” perintah Bianca lagi.

Aku menjulurkan tangan dengan menyinsing lengan sweter, Bianca langsung mengamati lenganku, dahinya hingga berkerut.

“Bi, Sindy kenapa?” tanya Melly pelan.

“Hmm ... semoga saja Sindy tak apa-apa, soalnya banyak tanda biru lebam di sekujur tubuhnya. Saranku sih, kamu harus segera meminta nafkah batin dengan suamimu!” ujar Bianca lagi.

“Menurut terawanganmu, aku ini kenapa, Bi? Biru lebam ini kenapa? Tapi kok aku nggak bisa lihat,” ujarku lagi, sedikit bingung juga.

“Tidak ada apa-apa, aku cuma mau kamu selalu hati-hati saja. Setelah pulang dari sini, langsung pulang ke rumah dan usahakan malam ini kamu harus bisa melakukan hubungan itu,” ujar Bianca lagi.

“Kalau nggak, emangnya kenapa?” tanyaku dengan masih penasaran.

“Nyawamu dalam bahaya, eh!” Bianca menutup mulutnya.

Ketiga temanku melotot kaget, begitu juga aku. Benarkah yang dikatakan Bianca? Apa semua ini berhubungan dengan selalu menghilangnya suamiku setiap malam juga hal-hal aneh di rumah itu?

Bersambung ....  

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
serem banget,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status