Share

Bab 8

 

 

[Sudah kusiapkan tempat khusus buat kamu belajar sama Linda. Ingat, jangan banyak mengeluh, jangan crewet dan ikutin Linda! Semoga berhasil!] 

 

 

[Nanti pukul 07.00 akan ada mobil khusus yang jemput kamu. Kamu ikut saja sama dia. Sekarang bangun dan bersiap.] Hany tersenyum melihat pesan dari Reyhan. Serasa minum susu coklat di pagi hari, sangat terasa segar dan menghangatkan perut. 

 

 

"Hihihihi, Reyhan baik banget sih! Semoga sehat dan lancar selalu," lirihnya sambil bergagas ke kamar mandi. 

 

 

 

"Han! Mandinya pelan-pelan dong. Airnya nyipret keluar ini. Semangat banget kamu ini," ucap Ibunya dari luar. 

 

 

"Hany buru-buru, Bu. Mau sekolah lagi. Tadi abis subuh tidur lagi, eh jadi ketiduran," jawabnya sambil terus mengguyurkan air.

 

 

Bu Evi tak menjawab lagi ucapan anak-nya. Dia segera keluar untuk membeli sayuran. Semenjak rutin minum obat, keadaannya sudah semakin membaik dan mulai bisa mengajak cucunya bermain ditemani Mbak Asih. 

 

 

"Bu, Hany nggak kerja di klub lagi?" tanya Dina penasaran. 

 

 

"Udah nggak, Din. Allhmdullillah, kenal sama orang baik. Dikasih kerjaan yang lebih enak. Rezeki Hany," jawab Bu Evi sambil memilih sayur bayam untuk cucunya.

 

 

"Iya, Bu. Allhamdullillah. Rezeki Hany memang bagus." Sebenarnya Dina lebih suka Hany bekerja di klub dengan suaminya. Ada rasa iri melihat rezeki Hany bagus, sedangkan suaminya masih begitu.

 

 

"Din, saya duluan ya," pamit Bu Evi setelah membayar sayuran.

 

 

"Iya, Bu," jawab Dina. Hatinya mendoakan hal yang tidak baik. Dia tidak suka melihat keberhasilan tetangganya. Namun, dia mampu menutupi ketidaksukaannya. Cukup dia menyimpannya dalam hati. Iri dengan rezeki orang lain, begitulah sifat Dina, meski diluar mampu berbuat baik. Hanya saja di dalam hatinya dia bersedih.

 

 

πŸ’₯

 

 

"Loh, sudah rapi tah?" tanya Bu Evi pada Hany setelah pulang  membeli sayur. 

 

 

"Udah, Bu. Mobil jemputannya sebentar lagi datang, tadi udah dapat telepon," jawab Hany. Tak lama dia pun mendengar suara klakson mobil. Segera dia mencium kening anak-anaknya lalu berpamitan pada Ibunya. 

 

 

"Hati-hati, Han. Belajar yang benar dan bersungguh-sungguh," titah Ibunya. 

 

 

"Siap, Bu. Doakan Hany ya, Bu," ucapnya sembari keluar.

 

 

 

"Wih, Hany udah sukses ya sekarang? Selamat ya, Han. Jangan lupa sama kita-kita kalau udah sukses!" Teriak Dina yang sedang berdiri di ambang pintu. 

 

 

"Siap, Din! Doakan ya," jawabnya dengan senyum merekah lalu masuk ke mobil.

 

 

"Hem …! Nggak aamminn deh. Maaf Yee," sungutnya. Rasa kesal semakin menyelinap ketika mobil yang ditumpangi Hany telah melaju. "Mudah-mudahan saja tidak berhasil." Doa yang jelek dia panjatkan untuk kegagalan Hany.

 

 

                         πŸ’₯

 

 

Hany dan Linda berkenalan ulang di dalam mobil. Sebab, biasanya hanya sebatas sapa. Maklum, mereka hanya bertemu sebentar di kantor Reyhan kemarin. 

 

 

Sepanjang perjalanan, mereka asyik mengobrol. Hany bercerita kalau dirinya tidak berpengalaman, dan berharap semoga Linda bersabar menghadapinya. 

 

 

"Tenang aja, Han. Jangan tegang belajar sama aku. Palingan kalau kesabaranku habis, ya maaf aja, kamu harus siap kena bentak," ucap Linda penuh tawa. 

 

 

"Aku tidak peduli kamu siapa! Tak peduli kamu dekat dengan bos utama sekalipun. Kalau salah, aku tetap akan bilang salah. Dan maaf kalau harus sampai kena marah. Terkadang, aku tak mampu mengontrol emosiku. Aku kasih tahu kamu sekarang, supaya tidak kaget nantinya. Percayalah, hatiku baik dan lembut," pesan Linda. Hany mengangguk tanda mengerti. Meskipun di dalam hati ada rasa takut. 

 

 

Setengah jam berlalu, mereka pun telah sampai di sebuah rumah minimalis yang sederhana tapi, terlihat mewah. 

 

 

"Rumah siapa ini, Mbak?" tanya Hany. 

 

 

"Rumahku. Kita akan belajar disini. Les privat tepatnya," jawab Linda. Santai, namun terdengar tegas. "Semoga kamu cepat tanggap dan mudah mengerti supaya tensiku tidak tinggi. Sejujurnya aku tidak cocok jadi guru. Namun, entah apa yang membuat Reyhan memilihku untuk membimbingmu!" keluh Linda. 

 

 

"Mungkin …  karena, Mbak Linda sekretaris kantor? Kemaren ketika kami pergi keluar, aku banyak bertanya tentang, Mbak," ungkap Hany. Padahal Hany tidak membahas apapun tentang Linda pada Reyhan. Bisa saja cara dia mengorek informasi. Dia hanya bingung, bukankah Reyahn sudah memiliki sekretaris, lantas kenapa justru menginginkan Hany yang bekerja dengannya.

 

 

"Aku hanya membantu dia menyelesaikan pekerjaannya. Aku bukan sekretaris disana. Aku hanya sepupu, Reyhan. Maklum, dia kan baru beberapa hari menerima tanggung jawab dari pimpinan perusahaan sebelumnya. Jadi banyak yang harus dipahami sebelum menjalankan tanggung jawab menjadi pemimpin yang baru." 

 

 

"Dan sekarang, setelah dia bisa menghandle semua. Aku disuruh menjadi gurumu," dengusnya merasa kerepotan.

 

 

"Bukannya dia punya sekretaris ya, Mbak?"Hany kembali bertanya. Otaknya masih bingung dan belum bisa mencerna ucapan Linda.

 

 

"Sehari setelah Meysa memberi tahu padaku semua jadwal dan berkas-berkas penting apa saja atas permintaan Reyhan, dan bertepatan dengan Pak Tama menyerahkan tanggung jawab pada, Reyhan. Hari itu juga Reyhan memecat Meysa. Tidak tahu alasannya, itu urusan Reyhan," jelas Linda. "Tapi, Meysa terlihat sangat marah," lanjutnya bercerita.

 

 

"Oh, gitu,  Mbak," ucap Hany. 

 

 

"Kalau ngomong terus kapan belajarnya? Yuk mulai," ajak Linda.

 

 

"Hem … padahal masih kepo," batin Hany. Apa lagi Linda menyebutkan nama Tama, sebenarnya ingin mengetahui info tentang mantan suaminya itu.

 

 

              πŸ’₯πŸ’₯πŸ’₯

 

 

"Kamu semalam nggak pulang?" tanya Tama setelah bangun dari tidurnya. 

 

 

"Pulang kok! Kamu aja yang udah tidur, Mas!" jawab Dewi yang sudah rapi dengan pakaian kantornya. 

 

 

"Kenapa nggak bangunin aku?" kesal Tama.

 

 

"Aku pikir kamu kan masih belum bisa masuk kantor, Mas. Jadi kubiarkan dulu istirahat. Wajah kamu masih bengap begitu," ujar Dewi. Lalu mengambil tas dan segera bergagas. Sebelum Dewi melangkahkan kakinya, tangan Tama lebih dulu menahannya.

 

 

 "Bukannya buat sarapan dulu untuk suami. Heh, harusnya kamu itu urusin aku! Bukan lebih mentingin pekerjaan kamu! Utamakan tanggung jawabmu sebagai istri!" ucap Tama dengan wajah penuh amarah. 

 

 

"Aduh, Mas! Kan ada Bibi! Lagian aku udah kesiangan nih! Udah, nggak usah manja! biasanya juga begitu. "Dewi melepaskan tangan Tama lalu ngeloyor keluar. Sedangkan Tama, hanya bisa diam menatap kepergian istrinya. 

 

 

"Aaarrrgggghhh! Brengsek!" pekiknya. 

 

Lagi dan lagi dia kembali teringat hal kecil. Saat Hany dengan lantang memanggilnya untuk sarapan. Menyiapkan pakaiannya sebelum berangkat kerja. Kenapa hal kecil yang sangat dia benci justru sekarang menjadi sangat dirindukannya? Kenapa sikap manis Dewi hanya dilakukan saat mereka belum menikah? Apakah itu hanya sebuah tak tik untuk mendapatkannya? Pertanyaan itu yang kini memenuhi isi kepala Tama.

 

 

Tama mengeluarkan ponsel, lalu kembali menekan nomor Hany. Dia mencoba menghubunginya untuk mengajak bertemu. Tetiba saja Tama sangat merindukan Hany.

 

 

Tut ….!

 

Sambungan ponsel itu berdering. Namun, Hany yang sedang sibuk dengan kegiatannya tidak sempat mengangkat panggilan dari Tama. Bahkan dia tidak meliriknya sama sekali. Mungkin kalau dia tahu itu panggilan dari mantan suaminya, konsentrasi belajarnya mampu terpecahkan. Tak putus asa, Tama terus mencoba menghubungi Hany sampai pada akhirnya, Hany pun mengangkat panggilan itu karena di layar HP-nya, tertera nama yang mampu membuat hatinya bergetar hebat tak karuan. Karena dia memakai kartu yang lama, tentu saja kontak Tama masih tersimpan dengan nama 'Mas Sayang.'

 

 

"Mbak Linda, sebentar ya?" Hany meminta izin. Linda pun mengangguk. Karena penasaran apa yang membuat Tama tiba-tiba menghubunginya, dia pun menepi dari Linda. 

 

 

[Halo, Mas! Ada apa?] tanyanya dengan nada yang lembut dan mampu membuat orang yang mendengarnya merasa tentram.

 

 

[Aku pengin ketemu sama kamu bisa?] Tama balik bertanya. Jelas saja Hany merasa senang. "Ada apa Mas Tama mau ketemu aku?" batinnya.

 

 

[Bisa, Mas. Tapi setelah saya selesai les ya? Mungkin sekitar pukul 15.00 sore. Sebab banyak sekali yang harus aku pelajari, Mas] jawabnya santai. Berharap Tama bertanya tentang kegiatannya. Karena, Hany akan menjadi perempuan yang seperti Tama inginkan. 

 

 

[Iya, aku tunggu di cafe biasa kita makan. Atau mau aku jemput aja?] Harap-harap cemas Tama mendengar jawaban Hany. Dia ingin tahu dimana Hany tinggal, makanya menawarkan diri untuk menjemputnya. 

 

 

[Enggak usah, Mas. Kita langsung ketemu di cafe aja. Nanti aku diantar seseorang," tolak Hany lembut. Panggilan pun terputus ketika Tama mengucapkan sampai ketemu di cafe.

 

 

"Yesss!!! Akhirnya, Hany masih mau menemuiku. Aku memang yakin dia masih mencintaiku," lirih Tama.

 

Setelah itu, dia menghubungi Reyhan, untuk tidak masuk kantor sehari lagi. Dengan alasan, efek pukulannya masih terasa sakit dan ngilu. Setelah mendapat izin dari Reyhan, Tama kembali berbaring ditempat tidur sambil memikirkan senyum Hany. Sebuah foto Hany bersama anak-anak dan dirinya, dia pandangi tanpa henti. Ber-ulang kali dia mengecup foto itu sambil berucap, "Kita akan kembali." Sejenak, terbesit dalam otak Tama untuk menceraikan Dewi dan kembali pada Hany.

 

 

                           πŸ’₯πŸ’₯πŸ’₯

 

 

Tepat, setelah pukul 15.00, Hany pun sampai di cafe tempatnya berjanjian dengan Tama. Bersusah payah dia mencari alasan pada Linda hanya untuk bertemu Tama.

 

 

"Han, dari tadi ya?" sapa Tama yang baru datang dan langsung duduk di depan Hany. 

 

 

"Enggak kok, Mas. Baru sampai," jawab Hany menunduk malu. Mereka berjabat tangan saling menanyakan kabar. Tama juga menanyakan kabar Kembar. Seperti pasangan yang baru bertemu, keduanya terlihat malu-malu. 

 

 

"Han, aku mau minta maaf sama kamu," ucap Tama. Dia memegang tangan Hany. Hany sengaja membiarkannya. 

 

 

"Aku sudha maafin kamu, Mas."

 

 

"Han, aku bukanlah laki-laki yang pandai berkelit, tapi aku mengajakmu bertemu karena aku ingin kembali denganmu," ungakap Tama. 

 

 

"Tapi kamu sudah punya istri, Mas," cetus Hany sambil menarik tangannya sari genggaman Tama. 

 

 

"Aku tahu! Tapi aku tidak mencintai, Dewi! Aku siap menceraikan dia, asal kamu mau kembali sama aku, Han! Coba tatap mata aku, kamu masih mencintai aku kan?" desak Tama.

 

 

"Aku …." Hany tak mampu melanjutkan ucapannya. "Lagi pula kamu sudah memiliki istri!" lanjutnya. 

 

 

" Aku tak peduli dengan Dewi! Aku ingin kita kembali. Pikirkan anak-anak, Han. Aku janji akan menyayangi kalian. Aku akan meminta maaf pada Ibu atas perlakuanku. Kuakui, meski telah bercerai darimu, tapi bayangan wajahmu tak pernah hilang dari ingatanku.  Aku selalu memikirkan kalian terutama kamu, Han," akunya.

 

 

"Apa yang kamu ucapkan benar? Atau karena istrimu tidak sesuai keinginanmu?" Pertanyaan Hany terlontar begitu saja. 

 

 

"Bukan, itu. Hanya saja Dewi tidaklah lebih baik dari kamu! Kamu yang terbaik untukku, Han. Tolong percaya sama aku." Raut wajah Tama begitu terlihat menyesali perbuatannya. 

 

 

"Kalau seandainya Dewi lebih baik dari aku?" 

 

 

"Maka aku tetap ingin kembali denganmu, Han. Aku baru sadar, aku sangat mencintaimu. Aku mau kita rujuk lagi, Han," ucap Tama, berharap Hany akan mau kembali dengannya. 

 

 

"Tapi kalau kita rujuk, aku harus menikah lagi dengan orang lain. Baru aku bisa kembali denganmu," ucap Hany.

 

 

Tama terdiam sejenak. Namun, apapun akan dia lakukan demi bisa bersama dengan Hany. Sekalipun harus bercerai dengan Dewi. Bahkan, dia memang berniat akan menceraikan Dewi karena tak sanggup dengan sifat pembangkangannya. Merasa tak berguna sebagai laki-laki.

 

 

"Aku setuju, Han. Asal kita bisa kembali bersatu." Untuk mendapatkan kembali Hany, Tama akan berusaha memperbaiki hubungan mereka, terutama, Tama akan memperbaiki hubungannya dengan Bu Evi. 

 

 

Deeeerrrttttt! Deerrrtttt! 

 

 

Ponsel Hany terus bergetar. Tama memberi izin pada Hany untuk mengangkat panggilan dari teleponnya. 

 

 

[Halo, Rey. Maaf aku ada urusan.]

 

 

[Nggak usah, Rey. Aku bisa pulang sendiri. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu.]

 

 

[Iya, aku akan hati-hati. Kamu juga ya] Ucapan Hany yang terdengar memberi perhatian pada seseorang, membuat Tama bertanya. 

 

 

"Siapa yang telpon? Kok nada suaranya sangat perhatian?" tanya Tama cemburu. 

 

 

"Oh, orang yang mukul kamu kemaren, Mas. Reyhan. Dia sangat dekat dengan anak-anak," jawab Hany santai. Dia tak memikirkan kalau orang yang duduk di depannya menahan api cemburu. 

 

 

"Kamu ada hubungan sama dia? Kenapa bisa kenal sama dia?" 

 

 

"Ceritanya panjang. Dan hubungan kami hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu. Dan sekarang, aku sedang ada pelatihan khusus agar bisa menjadi sekretarisnya," ucap Hany menjelaskan. 

 

 

"Bagaimana mungkin seperti ini? Kalau begitu, aku akan sering bertemu Hany? Bukan sering lagi, justru setiap hari. Mungkinkah Reyhan menyukai Hany? Ah, mana mungkin … dia kan seorang janda. Tidak mungkin selera Reyhan yang seperti ini. Jadi aku harus tetap tenang," pikir Tama dalam hati. 

 

 

"Mas! Kok bengong? Aku pulang dulu ya, kasihan anak-anak," ucap Hany sambil berdiri dari duduknya. Bahkan minuman yang mereka pesan pun tak sempat diminum. Rasanya, setelah bertemu keduanya, tak mampu menelan makanan ataupun minuman. 

 

 

"Biar aku antar. Aku juga ingin bertemu anak-anak." Kali ini, Tama akan menggunakan anaknya sebagai alat agar mereka bisa kembali. 

 

 

"Ayok aku antar," ucap Tama. Hany pun menurut dan melangkah bersama menuju mobilnya. 

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Lie Miang
wanita lemah , membosankan , malas mau baca
goodnovel comment avatar
Agnes Kristiani
gak ngerti deh udah baca 18 menit dan lihat di Bonus join waktu baca baru 8 menit, lah yang 10 menit baca hilang sia sia,, inovel jadi aneh gini ya
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
ex suami edan dia pikir hanya dia lelaki yang baik setelah minta maaf, gampang pikirnya, emang dia tu lelaki terbaik,ciuhhh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status