Share

Bab 7

POV Author

 

"Kan aku udah bilang nggak bisa! Kamu ngeyelan banget sih dibilangin. Kalau kaya gini kan kasihan kamunya repot, Rey," ucap Hany sambil mengernyitkan kening. Semua pekerjaan tidak ada yang beres satu pun. Membuat Hany merasa tidak enak. Disuruh mencari berkas penting, tapi dia tidak mengerti berkas seperti apa. Rasanya Hany sungguh ingin menyerah. 

 

 

"Rey, mendingan kasih kerjaan lain aja deh! Jadi tukang ngepel apa jadi tukang kopi. Apa namanya? OB kalau nggak salah. Aku bisa kalau itu. Kalau ini, otakku nggak nyampe, pusing. Aku nggak bisa, Rey," protesnya dengan bibir monyong lima cm. Terlihat putus asa dan hampir menyerah. 

 

 

"Pelan-pelan pasti bisa! Nggak ada yang langsung bisa, semua bertahap, Hany! Kan aku ajarin. Kamu belajar dari Linda. Mulai besok, ya. Kamu belajar deh apa-apa aja yang harus kamu pelajari dari Linda. Ini nggak sehoror yang kamu bayangkan," ucap Reyhan meyakinkan.

 

 

"Nggak horor gimana? Kalau aku aja nggak ada pengalaman. Batu deh, Reyhan dibilanginnya! Aku nggak bakal bisa! Ini itu susah! Ah elah, Rey. Aku jadi pembantu di rumah kamu aja deh," keluhnya. Wajahnya terlihat lesu dan tidak bersemangat. Reyhan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, melihat perempuan di depannya sibuk mengeluh sambil memainkan pulpen. Sesekali ada panggilan telpon dia pun bingung menjawab apa. Sementara itu, Reyhan terus bergulat dengan tumpukkan berkas. 

 

 

🌿

 

 

"Han! Udah, nggak usah BT gitu. Makan siang dulu, ayok," ajak Reyhan. Dengan perasaan bersalah dan langkah sedikit malas, dia pun mengikuti Reyhan. 

 

 

🌿🌿🌿🌿🌿🌿

 

 

"Bi! Dewi mana?" tanya Tama pada pembantunya. 

 

 

"Kan, Bu Dewi kerja, Pak," jawab Bi Endang pembantu Tama. Hah Sepertinya dia lupa kalau istrinya wanita karir bukan wanita rumahan.

 

 

Tama duduk termenung di depan teras setelah mengobati lukanya. Dia mulai merasa jenuh dengan Dewi. Semua keperluan dan kebutuhannya selalu di urus oleh pembantu. Dari makan hingga pakaian kantor, semua pembantu yang menyiapkan.

 

Berangkat pagi pulang malam. Saat Tama terbangun, Dewi sudah tidak ada di kamar. Saat Tama pulang, Dewi masih sibuk dengan rekan kantornya. Dia merasa seperti tidak dibutuhkan oleh Dewi. Tama pun mulai memikirkan Hany. Dulu, saat Tama jatuh dari motornya, Hany siap siaga mengobati dan mengkhawatirkan lukanya. 

 

Sekarang, Tama merasa Hany lebih baik dari Dewi. Dia mulai menyadari keberadaan Hany sangat dibutuhkan. Hanya karena Hany lebih mengutamakan Ibunya yang sedang sakit, justru dia jadikan alasan untuk menceraikan-nya.

 

 

"Aku merindukan kamu, Han. Sebelum terlambat, aku harus memperbaiki hubungan kita," lirihnya. 

 

 

Tama mengambil ponsel lalu menekan nomor Hany dan menghubunginya. Dia berniat akan menemui Hany, dan mengajaknya untuk rujuk. Tama tahu kalau Hany itu pemaaf dan berhati lembut, maka dia akan memanfaatkan kelemahan itu agar bisa kembali pada Hany. Namun, beberapa kali Tama mencoba menghubungi, nomor ponselnya tidak bisa terhubung. 

 

 

πŸ’¦πŸ’¦πŸ’¦

 

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 malam, Tama bangun dari tidur dan menuju ke meja makan. 

 

 

"Dewi mana, Bi?" tanya Tama.

 

 

"Belum pulang, Pak. Tadi Ibu bilang, saya suruh menyiapkan makan malam untuk, Pak Tama," jawab Bi Endang. 

 

 

"Nggak usah, Bi. Saya nggak lapar," tolak Tama sambil berlalu lagi ke kamarnya. Hatinya diliputi perasaan kesal. Menunggu Dewi agar cepat kembali. 

 

 

πŸ’₯πŸ’₯πŸ’₯

 

 

 

Krek!

 

 

Pintu dibuka, yang ditunggu pun tiba.

 

 

"Dari mana aja kamu?" tanya Tama saat Dewi baru saja masuk ke kamar. 

 

 

"Habis kerja dong, Mas. Itu muka kamu kenapa bonyok begitu?" Dewi menghampiri Tama, dan mencoba menyentuh lukanya. Namun, Tama menghempaskan tangan Dewi. 

 

 

"Kamu kenapa sih, Mas?! kasar banget!"

 

 

"Seharusnya kamu itu tau tanggung jawab sebagai istri, Dewi! Jangan semua keperluan aku, pembantu yang urus! Kamu itu istri aku!" berang Tama pada Dewi. Sikap asli Dewi  sekarang mulai nampak. Dia yang dulu manis dan lembut saat mendekati, Tama. Sekarang berubah menjadi keras dan selalu melawan apapun yang Tama ucapkan.

 

 

"Aku tahu, aku ini istri kamu, Mas! Tapi aku ini udah biasa kerja. Jadi kamu nggak usah atur-atur aku! Lagian 'kan ada pembantu! Dewi tak kalah membentak Tama.

 

 

"Aku ngatur kamu itu wajar, Wi! Kamu istri aku! Sadar itu! Tahu kaya gini aku nyesel nikahin kamu! Ternyata Hany jauh lebih baik daripada kamu!" hardik Tama. 

 

 

"Kamu jangan coba-coba bandingin mantan istri kamu yang kampungan itu sama aku ya, Mas! Dia juga nggak lebih baik dari aku!" balas Dewi. 

 

 

"Tapi setidaknya dia masih tahu tanggung jawab sebagai istri!" 

 

 

"Halah! Nggak usah berisik kamu, Mas! Kamu sendiri kan yang menginginkan istri karir! Jadi terima aja! Ingat jangan sekalipun kamu bandingkan aku dengan perempuan kampung itu! Bukan level aku dibandingkan dengan dia!" hardik Dewi tak kalah kesal. Tama tak menyangka harga dirinya harus di injak-injak oleh Dewi. 

 

 

Prang!

 

 

Dia memukul kaca rias hingga pecah. Jemari tangannya pun berdarah karena terkena goresan kaca yang retak.  Dewi tak mempedulikan Tama. Dia yang baru pulang, segera mengambil tas dan kunci mobil lalu keluar. "Harrrgggghhhh! Bereng------ek!" pekik Tama. 

 

 

 

Duduk di pinggir ranjang dan menjambak rambutnya sendiri, Tama mengutuk kebodohannya menceraikan Hany. "Hah! Bodoh! Bukannya Hany tadi pagi ada di kantor? Ngapain dia? Kenapa aku nggak ngeh? Han … aku akan kembali," lirihnya. Kali ini wajahnya sedikit senang. Dia pun mulai membaringkan tubuh dan mencoba untuk memejamkan mata. Selama dengan Hany, tidak pernah sekalipun Hany membentaknya.

 

 

🌿🌿🌿🌿

 

 

"Makasih ya, Rey. Ini bajunya banyak banget. Cakep-cakep lagi. Aduh, makin nggak enak ini, kamu juga repot-repot beliin baju untuk Ibu dan anak-anak," ucapnya saat mereka sudah sampai di depan kontrakan kecil Hany. 

 

 

"Sama-sama, Han. Ayok turun! Aku mau antar kamu masuk. Soalnya nggak enak sama Ibu, hari pertama kerja pulangnya malah larut banget," ujar Reyhan. 

 

 

Keduanya pun turun bersamaan. Seperti biasa, setelah mengucap salam, masuk lalu mencium punggung tangan Ibu Hany. Kebiasaan itu memang sudah menjadi kebiasaan Reyhan. Menghargai orang yang lebih tua. 

 

 

"Haloo … Reva dan Ravi," sapanya sambil memberikan mainan yang telah ia beli. Kedua anak itu sangat senang dan antusias menyambutnya. Mendekat, memeluk, lalu mereka duduk dipangkuan Reyhan, layaknya bermanja pada Ayahnya. Si kecil, memang merasa kalau Reyhan itu Ayahnya. "Papa," ucap Reva mengelus pipi Reyhan lalu menciumnya. Begitupun, Ravi mengikuti apa yang Reva lakukan. Reyhan terharu hingga akhirnya memeluk erat kedua anak itu. 

 

 

"Sayang … Reva dan Ravi," ucapnya lalu mengecupi wajah kedua bocah kecil itu.

 

Tidak ada keluhan sedikit pun yang keluar dari mulut Reyhan meski anak-anak terus mengajaknya bercanda.

 

 

"Udah ya bercandanya sama, Om Reyhan. Udah Mama buatin susu, sekarang waktunya anak-anak Mama tidur," ucap Hany sambil membawa dua botol susu. Melihat susu, mereka langsung mengambilnya dan membaringkan tubuh di kasur. Seperti telah mengerti, kalau malam diberi susu mereka tiduran dan memejamkan mata.  

 

 

Ya Tuhan … pinter banget kalian, Nak," lirih Reyhan.

 

 

"Aku pulang dulu ya, Han. Jangan lupa besok kamu mulai kursus dan fokuslah dengan kursusmu. Aku ingin melihat kesungguhanmu dalam belajar. Karena tidak ada yang tidak mungkin jika ada motivasi dalam dirimu kalau kamu yakin, kamu pasti bisa. Linda akan menjadi gurumu. Aku ingin melihatmu sukses. Boleh berpendidikan, rendah. Tapi kalau memiliki ketrampilan? Tidak ada yang bisa menghambat karirmu." 

 

 

"Pendidikan adalah modal penting untuk mengejar apapun yang diinginkan dalam hidup. Tetapi bukan berarti orang tanpa pendidikan tinggi tidak bisa meraih kesuksesan. Pada kenyataannya, ada begitu banyak orang yang jadi 'besar' walaupun mereka tidak mengantongi gelar sarjana. Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menanamkan pikiran, kamu pasti akan sukses. Jadikan pengalamanmu sebagai cambuk dan jnagan pernah takut mencoba hal baru. Semangat, Hany." 

 

Perkataan Rayhan yang membuat Ibu Hany terharu, menjadi vitamin penyemangat untuk Hany. Hany menjadi memliki keyakinan dalam dirinya. 

 

 

Sebelum Reyhan beranjak, dia pun mengeluarkan sebuah ponsel. Masih baru meski tanpa kardus.  

 

 

"Gunakan ini untuk berkomunikasi," ucapnya. "Kamu tinggal kasih kartu aja, Han. Sengaja nggak aku kasih kardus takut dijual, hahahah." Reyhan teratwa menghoda Hany. Membuat wajahnya bersemu malu. Sekali lagi dia mengucapkan terima kasih pada teman yang baru dikenalnya ini. Semua keperluan Hany untuk belajar sudah disediakan oleh, Reyhan. Dia hanya perlu menurut pada guru yang telah ditunjuk olehnya. 

 

 

Bersambung ….

 

🌿🌿🌿🌿🌿

 

 

 

Akankah Linda merasa kerepotan mengajari Hany? 

 

 

Next?

 

 

 

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sssst
Nyesel kan loe tam! Sadar tam ga bs asal rujuk jg ingat loe udah talak 3 Hani Inget jg loe msh pny bini
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
pisau yang tumpul akan tajam Bila di asah.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status