Share

Bab 3. Diamku

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-07-21 17:44:38

Aira datang seperti bunga lily di musim panas terlihat bersih, harum, dan menyesakkan. Sejak pertemuan di rumah Mama Retha, nama itu seperti menempel di pikiranku. Awalnya aku mencoba tak peduli, mencoba percaya bahwa masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, tapi dunia tidak selalu bersikap adil kepada istri yang tidak dicintai.

Dua hari setelahnya, aku datang ke kantor Abiyasa untuk mengantar dokumen dari rumah yang tertinggal. Sekali-kali aku ingin merasakan bagaimana rasanya "menjadi bagian" dari hidupnya, bahkan jika hanya dari lobi.

Resepsionis mengenaliku entah karena statusku atau karena rasa kasihan yang terpancar jelas dari mataku. Dia memberi akses ke lantai atas tanpa banyak tanya dan di sanalah aku melihatnya. Aira berdiri di depan ruang kerja suamiku, mengenakan setelan krem yang sangat rapi dan elegan. Senyum di wajahnya tidak dibuat-buat dan yang paling menyakitkan Abiyasa membalas senyum itu.

Aku tidak tahu bagian mana yang paling membuat dadaku tercekat, fakta bahwa dia tersenyum pada Aira atau kenyataan bahwa aku belum pernah melihatnya tersenyum seperti itu padaku. Tanganku mengepal tanpa sadar.

"Mbak Edwina?" suara Aira terdengar ringan. "Oh kamu ke sini juga?"

Seolah-olah dia tidak tahu bahwa aku adalah istrinya. Seolah-olah dia ingin membuatku merasa seperti orang luar di tempat yang seharusnya jadi bagianku. Abiyasa berbalik. Matanya bertemu mataku sebentar, lalu kembali ke Aira.

"Aira datang untuk rapat," katanya cepat, datar seperti biasa.

Tapi aku bisa melihat, dia tak mengusir Aira. Dia juga tak menyambutku.

"Maaf, aku hanya mengantar dokumen yang tertinggal," jawabku pelan. Aku menyodorkan map cokelat ke arah suamiku, lalu membalik badan.

Aku tidak ingin tinggal lebih lama di tempat di mana kehadiranku terasa tidak diinginkan. Malamnya, di rumah keluarga besar Dirgantara, aku dipanggil ke ruang tamu khusus. Suasana rumah itu terlalu mewah untuk rasa tidak nyaman yang terus tumbuh di dadaku.

Mama Retha duduk bersama dua tante Abiyasa dan satu paman yang selalu bersuara lebih keras dari yang seharusnya. Suamiku tidak ada di ruangan itu.

"Kami ingin bicara, Winnie," ujar Mama Retha sambil menyesap teh.

Aku duduk tegak, mencoba tetap tenang.

"Kamu tahu Aira, kan?" tanya Tante Indira, wanita paruh baya yang sepertinya lebih suka berbicara langsung tanpa basa-basi.

Aku mengangguk pelan."Tahu. Kami pernah bertemu."

"Dia itu dulu pernah dekat sekali dengan Abiyasa, bahkan sebelum kalian dijodohkan, tapi waktu itu situasi keluarga tidak memungkinkan," lanjutnya. "Sekarang Aira kembali dan dia bekerja di salah satu anak perusahaan Dirgantara Corp."

Hatiku menegang.

"Kami pikir mungkin kamu bisa beri ruang sedikit," ucap Mama Retha dengan nada lembut yang terasa sangat tidak lembut. "Abiyasa kelihatan lebih hidup saat bersama Aira bukan berarti kami menyalahkan kamu, tapi kamu terlalu diam, terlalu lembut, terlalu ‘tak terlihat’."

Tak terlihat. Kata itu menggema seperti palu di dalam dadaku. "Tapi aku, istri Mas Abiyasa, Ma," suaraku bergetar. "Apa salahku selama ini?"

Paman Abiyasa menyela, "Ini bukan soal salah atau tidak, Winnie. Ini soal kecocokan. Kamu baik, tapi terlalu biasa untuk jadi pendamping seorang pemimpin sebesar Abiyasa."

Jadi semua ini tentang kecocokan?

Tentang "terlalu biasa"?

Aku menunduk, menahan air mata. Aku tidak menangis di depan mereka. Aku tidak mau terlihat lebih lemah dari yang mereka kira.

"Kami hanya minta kamu berpikir lebih dewasa," sambung Mama Retha. "Kalau pun suatu saat Aira dan Abiyasa lebih dekat ya kamu harus bisa menempatkan diri. Jangan buat suasana jadi berat."

Suasana jadi berat. Mereka berbicara seolah aku ini beban. Padahal aku hanya mencoba menjadi istri yang mencintai diam-diam yang menunggu, dan yang berharap, meski tahu harapan itu mungkin bodoh.

Malam itu, aku pulang tanpa semangat. Langkah kakiku menggema di lorong rumah seperti suara hati yang kosong.

Di kamar, aku kembali ke meja kecil dan membuka jurnal biruku.

Surat 24

Mas Abiyasa,

Hari ini aku diberitahu bahwa ada perempuan yang lebih cocok untukmu, bahwa aku terlalu biasa, terlalu lembut, dan terlalu tidak terlihat. Mungkin mereka benar, tapi yang tidak mereka tahu adalah aku mencintaimu dalam diam yang tidak pernah menuntut apa pun.

Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menulis surat-surat ini, Mas, tapi hari ini, untuk pertama kalinya aku bertanya pada diri sendiri. Sampai kapan aku sanggup bertahan jika kamu terus memilih untuk tidak melihatku?

Aku menutup jurnal itu perlahan, meletakkannya kembali ke laci, lalu berbaring di tempat tidur yang masih terlalu luas untuk seorang istri yang tidur sendiri. Di luar, bulan menggantung sempurna, tapi aku tidak melihat cahayanya, karena malam ini aku merasa, aku mulai kalah.

***

Aku tidak tahu sejak kapan diam menjadi satu-satunya bahasa yang bisa kuterjemahkan dengan sempurna. Sejak menikah dengan Abiyasa, diamku bukan lagi tanda tunduk. Diamku adalah bentuk perlindungan terhadap hatiku sendiri.

Namun hari ini, diamku mulai menggigil bukan karena kehilangan makna, tapi karena terlalu banyak luka yang tak sempat kututup. Aku tidak datang ke kantor Abiyasa untuk sekadar mencari perhatian atau membuat diriku terlihat menyedihkan. Aku punya alasan. Alasan yang masuk akal dan profesional.

Pagi itu, yayasan tempatku bekerja sama tengah mengalami gangguan sistem. Semua file penting termasuk dokumen kerja sama dengan perusahaan Abiyasa tidak bisa dikirim lewat email. Padahal, tenggat penandatanganan kontrak hanya tinggal dua hari lagi. Jika dokumen itu tak sampai hari ini, program bantuan pendidikan untuk anak-anak di pelosok Kalimantan bisa saja batal dan aku tak sanggup membayangkan kekecewaan di mata mereka.

Karena itulah, aku memutuskan untuk datang langsung ke kantor suamiku membawa dokumen yang sudah ditandatangani dan siap dicap perusahaan. Lagipula, kerja sama ini penting bukan hanya untuk yayasan, tapi juga citra perusahaan Abiyasa, tapi aku tak menyangka, kehadiranku justru dianggap mengganggu.

Aira datang lagi dengan wangi parfum manis yang menguar terlalu tajam dengan langkah anggun dan senyum penuh rasa kepemilikan yang tak lagi disembunyikan. Tangannya menyentuh lengan Abiyasa saat menyerahkan dokumen, seolah lupa ada aku di ruangan yang sama.

"Masih suka lupa sarapan ya, Abi?" ucapnya manja sambil meletakkan kotak makanan di meja kerja Abiyasa.

Aku yang berdiri tak jauh dari sana, sejenak menahan napas.

"Ini masakan aku sendiri, kamu harus coba. Jangan buang, ya. Ini ayam lada hitam yang kamu suka," lanjutnya sambil melirik ke arahku sejenak. Senyum tipisnya terlalu sopan untuk disebut ramah, tapi terlalu tajam untuk disebut netral.

Abiyasa hanya mengangguk pelan tanpa menatap siapa pun, suaranya dingin seperti biasa. "Taruh saja di sana!"

Tanpa kata lain, aku berbalik pergi. Kakiku tidak goyah, tapi jantungku berdetak tidak karuan.

***

Sore harinya, aku duduk di depan meja belajarku. Jurnal harian terbuka dan surat ke-27 tertulis rapi dengan tinta hitam.

Mas Abiyasa,

Kamu bilang kita menikah karena kewajiban, tapi aku bertanya-tanya, tidakkah kamu pernah ingin mencintaiku meski cuma karena aku tetap tinggal ketika semua orang ingin aku pergi?

Kukunci jurnal itu, lalu kulempar pandanganku ke luar jendela. Hari sudah hampir gelap, tapi tidak dengan isi kepalaku yang makin terang oleh satu kesadaran, aku tidak bisa terus begini. Tidak bisa terus membiarkan orang lain menentukan tempatku dalam hidup Abiyasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 7. Tamu Yang Merebut Rumahku

    Sejak hari itu, hidupku berubah. Aira resmi tinggal di rumah kami. Keputusan yang dipaksakan Mama Retha dengan wajahnya yang dingin dan kata-kata tajam yang seolah mengiris harga diriku. Aku tidak sempat menolak dan tidak sempat membela diri. Semua sudah ditetapkan.Aku masih ingat jelas saat pertama kali Aira menyeret koper besarnya masuk ke rumah. Matanya meneliti seisi ruangan, seakan ia sedang menilai apakah rumahku cukup layak untuknya tinggali. Aku berusaha menahan diri, meski hatiku sudah mulai terasa sesak."Aku berharap kita bisa saling menghargai di sini," kataku pelan, mencoba menetralkan keadaan. "Kau bisa memanggilku Winnie saja. Semua orang di sini memanggilku begitu."Aira tersenyum miring, tatapan matanya menusuk. "Winnie, ya?" Ia menyebut nama itu dengan nada mengejek. Aku terdiam. Tanganku refleks mengepal di sisi tubuhku, tapi aku menahan diri. Aku harus kuat dan harus sabar. Setidaknya demi Abiyasa dan demi pernikahan ini.Awalnya aku mencoba menenangkan diriku, m

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 6. Menantu Bukan Ratu

    Aku masuk ke kamar dengan langkah berat, lalu menutup pintu perlahan. Aku bersandar pada pintu, mencoba bernapas, tapi dada ini rasanya sesak sekali. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutku berputar-putar lagi, menggema, dan membuatku sadar bahwa aku sudah tidak lagi bicara dengan lembut. Aku mulai kehabisan kesabaran sedikit demi sedikit. Malam itu aku tidak makan malam. Aku berdiam diri di kamar, pura-pura tidur ketika Abiyasa masuk. Aku mendengar langkahnya, desah napasnya, bahkan suara gesekan kancing bajunya ketika ia melepas kemeja, tapi tidak ada kata-kata untukku, tidak ada pelukan, dan tidak ada sekedar sentuhan. Keesokan paginya, aku turun ke dapur lebih pagi dari biasanya, tapi pemandangan yang kulihat menusuk lebih dalam dari apapun. Aira sudah ada di sana. Rambutnya terurai rapi, bibirnya tersenyum cerah sambil menuangkan kopi ke cangkir yang biasanya selalu kusiapkan untuk Abiyasa. "Pagi, Abi!" suaranya ringan, penuh keakraban. Abiyasa duduk di meja makan. Dia men

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 5. Pengkhianatan dalam diam

    Sudah hampir dua minggu sejak Aira datang dan semuanya berubah. Tidak secara kasat mata, mungkin, tapi aku tahu ada jarak baru antara aku dan Abiyasa. Jarak yang lebih dingin dari sebelumnya. Lebih menyakitkan. Pagi tadi, dia bahkan tak menoleh saat aku membawakannya kopi. Ia hanya berkata pelan, tanpa menatapku, "Taruh saja di meja." Dan setelahnya, dia kembali menatap layar laptopnya seperti aku tak pernah ada di ruangan itu. Sakit? Ya, tapi aku tak menangis lagi. Aku memilih diam. Sore ini, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Pintu ruang tamu terbuka sedikit dan aku sempat ragu sebelum mendorongnya penuh. Aku mendapati Aira sedang duduk di sofa dengan posisi miring, tubuhnya condong ke arah Abiyasa yang duduk di seberangnya. "Aku masih ingat waktu kamu dulu bilang nggak suka teh manis," kata Aira, terkikik. "Tapi pas aku bikinin, kamu habisin juga, tuh." Abiyasa tidak tertawa, tapi dia tersenyum tipis. Senyum yang belum pernah kudapatkan selama berbulan-bulan jadi istri

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 4. Berteduh setelah hujan

    Saat aku datang ke pesta pernikahan teman SMA-ku, Abiyasa ikut atas nama hubungan bisnis. Wajahnya datar seperti biasa, tapi pandangannya berubah saat matanya menangkap punggung tanganku yang disentuh ringan oleh Alvin sambil tertawa renyah di tengah obrolan nostalgia. Alvin tersenyum hangat. "Kamu masih sama seperti dulu, Win. Selalu bersinar meski berusaha bersembunyi." Aku hanya tersenyum, tak ingin membahas hal yang terlalu jauh, tapi aku tidak bisa menghindari kenyataan, karena untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat. Diperhatikan tanpa dituntut apa pun dan dari kejauhan, aku tahu sepasang mata coklat itu sedang memperhatikanku. Dingin, tajam, tapi berbeda. Setelah pesta usai, perjalanan pulang kami sunyi seperti biasa, tapi tidak senyap. Ada sesuatu yang bergemuruh, tak hanya dalam diriku, tapi juga di dirinya. Tepat ketika aku hendak turun dari mobil, suara dinginnya terdengar. "Alvin, ya?" Aku menoleh pelan. "Iya. Teman lama." "Hm." Ia menatap lurus ke depa

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 3. Diamku

    Aira datang seperti bunga lily di musim panas terlihat bersih, harum, dan menyesakkan. Sejak pertemuan di rumah Mama Retha, nama itu seperti menempel di pikiranku. Awalnya aku mencoba tak peduli, mencoba percaya bahwa masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, tapi dunia tidak selalu bersikap adil kepada istri yang tidak dicintai. Dua hari setelahnya, aku datang ke kantor Abiyasa untuk mengantar dokumen dari rumah yang tertinggal. Sekali-kali aku ingin merasakan bagaimana rasanya "menjadi bagian" dari hidupnya, bahkan jika hanya dari lobi. Resepsionis mengenaliku entah karena statusku atau karena rasa kasihan yang terpancar jelas dari mataku. Dia memberi akses ke lantai atas tanpa banyak tanya dan di sanalah aku melihatnya. Aira berdiri di depan ruang kerja suamiku, mengenakan setelan krem yang sangat rapi dan elegan. Senyum di wajahnya tidak dibuat-buat dan yang paling menyakitkan Abiyasa membalas senyum itu. Aku tidak tahu bagian mana yang paling membuat dadaku tercekat, fakta

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 2. Surat-surat yang tak pernah sampai

    Aku masih ingat hari itu, cuaca hangat di luar, tapi hatiku beku bukan karena sedih, tapi karena terpesona. Namanya kusebut pelan-pelan dalam hati. Abiyasa Dirgantara. Lelaki itu berdiri di sudut aula besar, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlalu cocok untuknya, seperti pakaian itu memang dijahit oleh waktu hanya untuk tubuhnya. Aku menghadiri acara ulang tahun ke-60 seorang paman dari pihak keluarga ibuku. Acara yang biasanya membosankan, tapi entah kenapa hari itu jadi titik mula. Dia berdiri sendiri, memegang gelas tanpa minuman, memandangi taman dari balik jendela kaca besar, seperti tidak betah berada di tengah keramaian atau mungkin dia memang bukan bagian dari keramaian mana pun. Aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita keluarga besar, CEO muda, anak semata wayang dari keluarga Dirgantara, seorang yang terlalu serius, terlalu tertutup, dan terlalu dingin untuk pria berusia tiga puluh, tapi tak ada yang menyebutkan bahwa tatapannya bisa menahan langkah orang dan aku sal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status