Home / Romansa / Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir / Bab 2. Surat-surat yang tak pernah sampai

Share

Bab 2. Surat-surat yang tak pernah sampai

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-07-21 17:35:40

Aku masih ingat hari itu, cuaca hangat di luar, tapi hatiku beku bukan karena sedih, tapi karena terpesona. Namanya kusebut pelan-pelan dalam hati. Abiyasa Dirgantara.

Lelaki itu berdiri di sudut aula besar, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlalu cocok untuknya, seperti pakaian itu memang dijahit oleh waktu hanya untuk tubuhnya.

Aku menghadiri acara ulang tahun ke-60 seorang paman dari pihak keluarga ibuku. Acara yang biasanya membosankan, tapi entah kenapa hari itu jadi titik mula. Dia berdiri sendiri, memegang gelas tanpa minuman, memandangi taman dari balik jendela kaca besar, seperti tidak betah berada di tengah keramaian atau mungkin dia memang bukan bagian dari keramaian mana pun.

Aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita keluarga besar, CEO muda, anak semata wayang dari keluarga Dirgantara, seorang yang terlalu serius, terlalu tertutup, dan terlalu dingin untuk pria berusia tiga puluh, tapi tak ada yang menyebutkan bahwa tatapannya bisa menahan langkah orang dan aku salah satu yang terhenti.

"Aku kenalin, ini Abiyasa, anak dari Om Raditya."

Aku tidak bisa menjawab apa-apa saat sepupu jauhkulah yang menarikku untuk bertemu langsung dengannya. Dia menoleh. Tatapan cokelat itu jatuh tepat ke mataku, datar, netral, dan terlalu tenang, tapi entah kenapa detak jantungku justru berdebar tak karuan.

"Edwina," ucapku cepat sambil menjulurkan tangan. Suaraku agak gemetar. "Panggil saja Winnie."

Dia menatap tanganku selama dua detik, lalu akhirnya menjabatnya. Sekilas. Cepat. Ringan, dan datar.

"Abiyasa."

Itu saja. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya satu kata yang meluncur dari bibirnya yang terlalu tenang untuk seseorang yang begitu menarik, tapi anehnya justru dari ketenangan itu aku jatuh cinta.

Kami tidak berbicara banyak hari itu, bahkan bisa dibilang hampir tidak sama sekali, tapi aku tidak bisa berhenti mencuri pandang. Saat dia duduk di bangku taman belakang sendirian dengan kepala menengadah menatap langit. Saat dia diam-diam membantu anak kecil yang menjatuhkan mainan. Saat dia menolak ajakan dansa dari keluarga dengan alasan, "Saya tidak suka jadi pusat perhatian."

Aku tahu mungkin ini konyol. Aku tidak mengenalnya, bahkan dia tidak peduli siapa aku, tapi perasaan itu tumbuh diam-diam, seperti tunas kecil di dalam tanah tak terlihat. Saat acara hampir selesai, dia berjalan ke arahku. Langkahnya mantap. Matanya lurus ke depan. Aku hampir tidak bisa bernapas.

"Aku pergi dulu."

Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas!"

Dia mengangguk kecil, lalu berbalik tanpa melihat ke belakang dan aku masih berdiri di tempat, seperti anak kecil yang baru diberi hadiah, meski isinya kosong.

Aku tidak tahu apakah takdir mendengar detak hatiku malam itu, karena beberapa minggu kemudian, ayah memanggilku ke ruang tamu. Ekspresinya serius. Matanya agak berat.

"Winnie, keluarga Dirgantara menghubungi Ayah. Mereka ingin menjodohkan kamu dengan anak mereka. Abiyasa."

Dunia rasanya berhenti selama dua detik. Aku tidak langsung menjawab, tapi jantungku yang menjawab duluan, berdebar, kencang, tidak karuan. Pernikahan? Dengan lelaki itu? Dengan Abiyasa yang bahkan tidak tahu makanan favoritku, tidak tahu aku suka membaca puisi, tidak tahu aku selalu gugup kalau bicara di depan umum? Tapi cinta tidak pernah menunggu semua itu lengkap, bukan?

Aku hanya menjawab, pelan. "Kalau itu keinginan Ayah, aku siap."

Tapi dalam hati, aku ingin berbisik, "Mas Abiyasa, mungkin kamu tidak mencintaiku sekarang, tapi aku akan tetap mencintaimu, bahkan kalau aku harus berdiri sendirian dalam pernikahan kita."

Dan mungkin dari awal aku tahu, aku mencintai seseorang yang belum tentu akan mencintaiku kembali, tapi cinta pertamaku adalah kamu dan hari itu aku resmi memilih jatuh meski tidak ada yang berjanji akan menangkapku.

***

Aku mulai menulis surat di hari ke-78 setelah pernikahan kami. Bukan surat resmi. Bukan permintaan cerai. Bukan pula catatan curhat seperti yang biasa kutulis saat SMA. Hanya surat-surat sederhana, jujur, dan terlalu rapuh untuk bisa dibacakan dengan suara keras. Surat-surat yang kutulis dengan pena biru, tinta biasa, tapi setiap katanya terasa seperti luka yang dilapisi harapan.

Kupilih buku bersampul kain warna biru tua, bekas jurnal kuliah yang tak terpakai. Kujadikan ia rumah bagi setiap kata yang tak berani kukatakan langsung pada Mas Abiyasa. Kujuluki buku itu, "Untuk Suamiku yang Tak Pernah Membaca."

Surat 1

Mas Abiyasa,

Hari ini kamu pulang jam sebelas malam. Aku belum tidur, tapi berpura-pura sudah terlelap, karena aku tahu kamu tidak suka ditanya "Kenapa baru pulang." Padahal aku hanya ingin tahu apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu mau makan? Apakah kamu merasa lelah?

Kadang aku lupa, bahwa rasa peduli juga bisa jadi hal yang mengganggu, jika datang dari orang yang tidak kamu cinta, tapi aku tetap menulis ini, karena hanya lewat tulisan aku bisa bicara padamu tanpa membuatmu menjauh.

Kusimpan buku itu di laci meja kecil dekat tempat tidur, bersama dengan puluhan surat yang belum sempat kutulis. Entah akan kuberikan atau tidak. Entah akan terbaca atau tidak, tapi setidaknya, aku tidak membiarkan semua rasa itu membusuk di dadaku. Kadang aku berpikir, kalau aku mati duluan, dan buku ini ditemukan mungkin dia akan tahu, bahwa selama ini dia dicintai lebih dari yang dia sadari.

Hari ini hari Sabtu. Mas Abiyasa tetap pergi ke kantor, seperti biasa. Tak ada hari libur untuknya dan mungkin juga tak ada waktu luang untuk memikirkan istrinya. Aku pergi ke rumah keluarga Dirgantara siang ini atas undangan mendadak dari Mama Retha, ibunya.

"Jangan lupa pakai yang sopan ya, Winnie," katanya di telepon.

Nada suaranya selalu terdengar mengukur. Tidak sepenuhnya dingin, tapi juga tidak hangat. Seolah aku adalah sesuatu yang masih belum sepenuhnya pantas berdiri di antara mereka. Sesampainya di sana, aku disambut dengan senyum tipis.

"Kamu kelihatan lebih kurus," komentar Mama Retha sambil memandangi ujung rambutku hingga ke tumit. "Kamu nggak makan cukup?"

Aku hanya tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Ma."

Dia menyesap tehnya, lalu menaruh cangkirnya dengan suara yang terdengar terlalu keras. "Aku dengar Abiyasa makin sibuk. Kamu harus bisa jaga penampilannya, Winnie. Jangan sampai orang berpikir kamu nggak bisa ngurus suami."

Kata-kata itu bukan nasihat. Lebih seperti sindiran yang dibungkus senyum sosialita. Aku tahu aku bukan menantu pilihan utama. Mereka ingin seseorang dari kalangan pebisnis besar atau perempuan yang bisa berbicara tiga bahasa sambil bermain golf. Bukan aku yang hanya lulusan desain interior, lebih suka diam, dan terlalu mudah tersenyum pada orang asing.

Aku mencoba tetap tenang, tapi aku tahu, ada luka yang perlahan mengintip dari balik senyumku. Saat hendak pamit, aku mendengar sebuah suara yang membuatku berhenti di ambang pintu ruang tamu. Suara itu ringan. Nyaring dan sangat asing di telingaku, tapi terasa berbahaya.

"Tante! Sudah lama banget!"

Langkahku terhenti. Hatiku ikut berhenti. Suara itu milik seorang perempuan. Perempuan yang tidak kukenal, tapi firasatku sudah lebih cepat membaca sesuatu yang tidak beres. Aku menoleh dan saat itu aku melihatnya, perempuan berambut lurus panjang, mengenakan gaun putih dengan senyum percaya diri dan mata yang menatap tajam.

Mama Retha bangkit menyambutnya. "Aira Sayang, kamu makin cantik saja!"

Aira. Nama itu kutelan perlahan, seperti racun.

"Aku dengar Abiyasa sekarang makin sibuk, ya?" ucap Aira sambil tertawa kecil, "Kangen juga rasanya ngobrol-ngobrol bareng dia."

Aku menggigit bibirku sendiri. Mama Retha tidak memperkenalkanku dan Aira menatapku seperti aku tidak ada atau mungkin seperti aku hanya penghalang sementara.

Dalam perjalanan pulang, aku membuka halaman baru di jurnal biruku.

Surat 16

Mas Abiyasa,

Hari ini aku bertemu seseorang yang sepertinya lebih mengenalmu daripada aku. Namanya Aira. Dia cantik. Percaya diri. Pintar. Aku tidak tahu siapa dia dalam hidupmu, tapi aku tahu apa yang kutakutkan, bahwa suatu hari, kamu akan tersenyum untuk orang lain, cara yang tidak pernah kamu berikan padaku.

Aku memejamkan mata, lalu menahan napas lama-lama. Aku tidak tahu apakah rumah tangga ini sedang goyah atau memang tidak pernah kokoh dari awal. Yang kutahu untuk pertama kalinya sejak menikah, aku takut benar-benar kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah jadi milikku sepenuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 57. Hati Yang Menemukan Jalan Pulang. TAMAT.

    Beberapa hari setelah pameran itu, aku menerima pesan singkat dari sekretaris Abiyasa.Nona Edwina, Pak Abiyasa ingin mengatur pertemuan lanjutan di kantor Dirgantara Group besok pukul 10 pagi untuk membahas proyek heritage Bandung.Aku menatap layar ponsel lama sekali dan jantungku tiba-tiba berdetak begitu keras seakan tubuhku menolak sekaligus menantikan hal yang sama. Nama Abiyasa terasa begitu asing dan akrab di saat bersamaan seperti lagu lama, tapi diam-diam masih kuhafal setiap nadanya.Aku menatap jendela apartemenku yang sekarang mulai diterpa mentari pagi. Aku mengembuskan napas panjang, lalu membalas pesan itu dengan tangan bergetar.Baik. Saya akan datang.***Kantor Dirgantara Group berdiri megah dengan dinding kaca tinggi yang memantulkan cahaya matahari. Saat aku melangkah masuk ke lobi utama, aroma kopi dan kayu mahoni langsung memenuhi udara terasa hangat, berkelas, dan tenang seperti dulu.Asisten resepsionis mengantarkanku ke lantai atas dan ketika pintu lift terbu

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 56. Saat Semesta Memberi Kita Awal Yang Baru

    Mataku terpejam, tapi napasku terasa berat. "Dia nggak ingat aku," bisikku dan suaraku nyaris tak terdengar.Cherry menatapku dengan tatapan lembut. "Iya, Winnie, tapi mungkin itu lebih baik untuk kalian berdua."Aku tidak menjawab hanya terdiam. "Benarkah itu yang terbaik untuk kami," pikirku.Aku mengira, aku sudah kehilangan semuanya, cinta, suami, masa lalu, tapi ternyata yang paling menyakitkan juga ketika orang itu masih hidup, tapi tidak lagi mengenalmu.Tiga tahun telah berlalu. Jakarta tidak seindah Paris, tapi aku mulai belajar untuk berdamai. Studio desainku berkembang dengan sangat pesat. Aku mulai menata hidupku seperti menata ruang dan kembali menyusun ulang kepingan yang berantakan, memberi jarak pada yang harus dilepaskan, dan menambahkan cahaya di tempat yang dulu gelap. Hingga suatu sore di bulan Mei, sebuah undangan datang melalui email.Jakarta Architectural Vision 2030. Kolaborasi Desain dan Properti Masa DepanAku diundang sebagai salah satu pembicara dan hampir

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 55. Maison d'Elara

    Ibuku masuk dan menggenggam tanganku, sesaat ibuku menoleh pada Mama Retha, tapi tidak mengatakan apa pun. Mama Retha keluar dari ruangan. "Sayang, semua sudah siap. Aruna sudah menunggumu." Aku menatapnya. "Iya, Bu," jawabku lirih berusaha terdengar yakin meskipun hatiku terasa sedih di setiap langkah. Aula pernikahan di Château Clairvoix berkilau oleh pantulan sinar matahari yang menembus jendela. Aruna berdiri di ujung lorong dengan tuxedo putih dan senyum yang menenangkan yang seharusnya bisa membuatku tenang. Aku melangkah perlahan, setiap langkahku terasa begitu berat seolah ada tangan tak terlihat yang menarikku kembali ke masa lalu ke dalam pelukan seseorang yang sekarang terbaring koma ribuan kilometer dari sini. Ketika Aruna menggenggam tanganku di depan altar, aku menatapnya dalam diam.Tatapan lembutnya membuat hatiku bergetar. Suara di sekitar aula tenggelam di antara gemuruh detak jantungku sendiri. "Apakah kamu, Edwina Laurent Ardiwijaya, bersedia menerima Aruna M

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 54. Kesempatan Terakhir

    Aku terpaku di tempat. Mama Retha, wanita yang dulu dengan tegas menentang hubunganku dengan Abiyasa sekarang berdiri di hadapanku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Ruangan mendadak terasa sempit. Ibu dan aku saling berpandangan bingung, tapi sebelum ada yang sempat berbicara, Mama Retha melangkah maju."Bisakah kita bicara berdua, Winnie?" suaranya lembut, tapi tak bisa kutolak.Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan."Ibu, tolong beri kami waktu sebentar."Kami saling pandang, lalu ibu keluar tanpa bertanya. Begitu pintu tertutup, aku menarik napas panjang. "Kenapa Mama ada di sini?" tanyaku hati-hati berusaha menahan getar suaraku.Mama Retha menatapku lama sebelum menjawab, "Aku tahu kamu akan menikah dengan Aruna."Aku mengerutkan kening. "Dari mana Ibu tahu?""Dari Abiyasa," jawabnya perlahan. "Dia tahu dari unggahan dari temanmu, Cherry, di media sosial. Dari sanalah aku tahu dan aku memutuskan harus menemuimu sendiri di sini. Mama sengaja pergi ke Paris mencarimu."Aku han

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 53. Ruang Kosong Diantara Masa Lalu Dan Masa Sekarang

    Tawa masih menggantung di udara ketika Elodie tiba-tiba berhenti mengaduk adonan rotinya. Ia menatapku dengan raut sedikit ragu seolah mencari waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu."Ah, Madame Edwina," katanya pelan sambil meletakkan sendok kayu di meja. "Aku hampir lupa menyampaikan sesuatu."Aku menatapnya. "Tentang apa?"Elodie menatapku dan Aruna bergantian sebelum akhirnya berkata dengan hati-hati, "Tadi pagi sebelum matahari terbit Monsieur Abiyasa sudah berpamitan dengan kami. Ia berangkat ke bandara. Katanya ia harus kembali ke Indonesia lebih awal dari jadwal, karena urusan pekerjaan mendadak."Cangkir di tanganku nyaris terlepas."Pulang?" suaraku nyaris tidak terdengar.Elodie mengangguk perlahan. "Iya. Ia bahkan menolak sarapan hanya meninggalkan pesan singkat bahwa ia berterima kasih untuk semua kebaikanmu selama di sini."Aku terdiam. Suara tawa yang tadi memenuhi dapur sekarang berganti hening yang kaku dan hanya bunyi jam di dinding yang terdengar berdetak pelan.

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 52. Bagian Kecil Dari Hidupmu

    Langkah Aruna cepat, namun aku bisa melihat bagaimana bahunya sedikit bergetar. Mungkin karena dingin atau mungkin karena sesuatu yang lebih menyakitkan daripada hujan itu sendiri.Aku ingin memanggilnya, tapi suaraku lenyap di antara suara air yang menghantam tanah.Aku hanya berdiri di sana, membiarkan hujan membasahi wajahku, dan mencampur air mata yang entah sejak kapan mulai jatuh.Saat Aruna menghilang di balik kabut tipis taman Château Clairvoix, aku akhirnya berbalik pergi, melangkah pelan menuju kastil yang sekarang terasa lebih sunyi dari sebelumnya.Malam itu tidak ada yang makan malam bersama. Elodie mengetuk pintu kamarku beberapa kali, menanyakan apakah aku baik-baik saja, tapi aku hanya menjawab singkat, "Aku ingin sendiri."Malam pun berlalu tanpa suara hanya diisi oleh detak jarum jam dan suara hujan yang masih turun tanpa henti di luar jendela.***Keesokan paginya aku baru saja selesai menyisir rambut ketika terdengar ketukan pelan di pintu. Suara itu suara yang aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status