Home / Romansa / Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir / Bab 4. Berteduh setelah hujan

Share

Bab 4. Berteduh setelah hujan

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-07-21 19:50:18

Saat aku datang ke pesta pernikahan teman SMA-ku, Abiyasa ikut atas nama hubungan bisnis. Wajahnya datar seperti biasa, tapi pandangannya berubah saat matanya menangkap punggung tanganku yang disentuh ringan oleh Alvin sambil tertawa renyah di tengah obrolan nostalgia.

Alvin tersenyum hangat. "Kamu masih sama seperti dulu, Win. Selalu bersinar meski berusaha bersembunyi."

Aku hanya tersenyum, tak ingin membahas hal yang terlalu jauh, tapi aku tidak bisa menghindari kenyataan, karena untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat. Diperhatikan tanpa dituntut apa pun dan dari kejauhan, aku tahu sepasang mata coklat itu sedang memperhatikanku. Dingin, tajam, tapi berbeda.

Setelah pesta usai, perjalanan pulang kami sunyi seperti biasa, tapi tidak senyap. Ada sesuatu yang bergemuruh, tak hanya dalam diriku, tapi juga di dirinya. Tepat ketika aku hendak turun dari mobil, suara dinginnya terdengar.

"Alvin, ya?"

Aku menoleh pelan. "Iya. Teman lama."

"Hm." Ia menatap lurus ke depan, tapi rahangnya mengeras. "Terlalu dekat untuk ukuran teman lama."

Aku tersenyum kecil. Senyum paling tenang yang bisa kubentuk malam ini.

"Mungkin, tapi itu tak akan melebihi dekatnya Aira padamu, kan?"

Udara seperti membeku sesaat. Aku melihat keretakan kecil di balik tembok kebekuan Abiyasa. Diamku bukan lagi pelindung. Malam ini, diamku adalah perlawanan.

***

Malam itu hujan turun tanpa jeda. Di luar jendela kamar, titik-titik air menari liar di balik kaca, mengiringi kesunyian yang kembali menyergap rumah ini. Rumah yang terlalu besar untuk dua orang asing yang tidur sekasur, namun jiwanya berjauhan sejauh benua.

Aku duduk di meja rias, memandangi pantulan wajahku yang pucat di cermin. Rambutku yang ikal panjang terurai, sedikit lembap, karena aku terlalu lama diam di balkon tadi, menatap gelap yang tak menjanjikan apa-apa.

Suara pintu kamar terbuka membuatku refleks menegakkan tubuh. Abiyasa masuk, tanpa melirikku sedikit pun. Wajahnya tetap datar, seperti biasanya. Stelan jasnya masih menempel di tubuhnya, ia belum menggantinya sejak pulang dari resepsi pernikahan Alvin sore hari tadi.

"Aku mandi dulu," katanya pendek.

Aku hanya mengangguk. Detik-detik sunyi kembali menyelimuti, tapi pikiranku terlalu gaduh. Sejak kedatangan Aira, rumah ini menjadi panggung bagi luka-luka kecil yang disayat perlahan, tapi dalam. Aira semakin sering datang ke kantor dan ke rumah terkadang membawa makanan, terkadang hanya untuk 'menemani' Abiyasa bekerja di ruang kerjanya. Dan aku? Selalu jadi bayang-bayang yang tidak dianggap.

Namun malam ini berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Hari ini aku menolak makan malam bersama keluarganya. Ibu mertuaku menelepon dengan suara sinis, bertanya kenapa aku tidak hadir. Katanya, "Perempuan sepertimu seharusnya tahu diri. Tanpa kami, kamu bukan siapa-siapa."

Aku tidak menjawab hanya mematikan telepon dan kembali menulis di jurnalku.

"Jika aku tak dianggap keluarga, apa aku harus terus berusaha menjadi menantu yang sempurna? Apakah cinta saja cukup untuk bertahan, bahkan saat aku satu-satunya yang merasakannya?"

Tak ada yang bisa kujawab. Aku sedang menata laci buku di ruang kerja ketika suara ketukan lembut terdengar dari arah pintu utama. Kupikir mungkin satpam kompleks atau kurir, tapi saat kubuka, aku terpaku.

"Edwina?"

Pria itu masih mengenakan jas hujan, wajahnya sedikit berantakan tapi senyumnya hangat. Lelaki dari masa lalu. Aruna Mahardika. Teman kuliahku yang pernah menjadi bagian dari cerita manis sebelum semuanya jadi rumit.

"Aku baru pindah kantor. Aku baru tahu ternyata rumahmu dekat sini."

Aku tak tahu harus menjawab apa. Kami mengobrol sebentar, basa-basi tentang masa lalu dan hal-hal lucu semasa kuliah. Rasanya ringan seperti udara segar di tengah ruangan yang pengap oleh perasaan tertahan. Saat itulah Abiyasa muncul dari arah tangga. Matanya langsung tertuju pada kami. Diam, tapi sorotnya tidak biasa.

"Ada tamu?" tanyanya datar.

Aku mengangguk pelan. "Ini Aruna, teman kuliahku dulu."

Aruna menjulurkan tangan dengan sopan, tapi Abiyasa hanya mengangguk singkat tidak ramah, tidak juga kasar.

Abiyasa hanya berdiri beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Sudah malam.” Kalimat itu meluncur ringan, tapi nadanya mengandung penekanan. Aku tidak tahu apakah itu sindiran, peringatan, atau hanya kebiasaannya bersikap dingin, tapi aku menangkap maksudnya.

Aruna mengerti. Ia tersenyum tipis, matanya berpindah dari Abiyasa lalu kembali padaku. "Aku pamit dulu, Win. Senang sekali bisa ketemu kamu lagi." Ia tak menyebut nama suamiku sama sekali. Entah disengaja atau tidak.

Aku mengantarkannya sampai ambang pintu. Hujan mulai reda hanya sisa rintik. Sebelum melangkah pergi, Aruna menatapku dalam.

"Kalau suatu hari kamu lelah berdiri sendirian di tengah hujan, kamu tahu ke mana harus berteduh," katanya pelan.

Bukan rayuan, tapi pernyataan hangat dari seseorang yang pernah mengenalku sebelum semua ini dimulai. Aku tak menjawab hanya tersenyum.

Aku berjalan pelan ke arah kamar. Kukira Abiyasa sudah kembali masuk, tapi dia masih berdiri di dekat tangga, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Dia sering ke sini?" tanyanya tiba-tiba, masih tanpa menatapku.

Aku menoleh cepat, agak heran. "Siapa? Aruna?"

Dia mengangguk tipis, ekspresinya tetap datar, tapi matanya menatapku kali ini. Langsung.

"Baru hari ini. Kebetulan," jawabku, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang.

"Lucu," gumamnya. "Baru satu malam bicara dengan teman lama, kamu langsung terlihat seperti orang yang berbeda."

Aku mengernyit. "Berbeda?"

"Iya," katanya sambil melangkah pelan ke arahku. "Biasanya kamu diam, tunduk, menyendiri, tapi tadi kamu bicara dengan cahaya di mata kamu."

Aku tersenyum kecil, tapi bukan karena bahagia. "Mungkin karena tadi aku dilihat. Bukan sekadar diakui keberadaannya, tapi benar-benar dilihat. Dianggap."

Kalimat itu menggantung di antara kami, tapi tak ada bantahan, tak ada klarifikasi. Yang ada hanya keheningan panjang yang seakan berkata, aku tahu, tapi aku tak akan mengakuinya.

Malam itu, saat aku berbaring di ranjang yang sama dengannya, punggung kami saling membelakangi seperti biasa, tapi kali ini ada jarak yang lebih dari sekedar tubuh. Ada jarak yang lahir dari luka-luka yang tak pernah dibicarakan dan dalam diamku, aku tahu perasaan ini tidak bisa terus begini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 7. Tamu Yang Merebut Rumahku

    Sejak hari itu, hidupku berubah. Aira resmi tinggal di rumah kami. Keputusan yang dipaksakan Mama Retha dengan wajahnya yang dingin dan kata-kata tajam yang seolah mengiris harga diriku. Aku tidak sempat menolak dan tidak sempat membela diri. Semua sudah ditetapkan.Aku masih ingat jelas saat pertama kali Aira menyeret koper besarnya masuk ke rumah. Matanya meneliti seisi ruangan, seakan ia sedang menilai apakah rumahku cukup layak untuknya tinggali. Aku berusaha menahan diri, meski hatiku sudah mulai terasa sesak."Aku berharap kita bisa saling menghargai di sini," kataku pelan, mencoba menetralkan keadaan. "Kau bisa memanggilku Winnie saja. Semua orang di sini memanggilku begitu."Aira tersenyum miring, tatapan matanya menusuk. "Winnie, ya?" Ia menyebut nama itu dengan nada mengejek. Aku terdiam. Tanganku refleks mengepal di sisi tubuhku, tapi aku menahan diri. Aku harus kuat dan harus sabar. Setidaknya demi Abiyasa dan demi pernikahan ini.Awalnya aku mencoba menenangkan diriku, m

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 6. Menantu Bukan Ratu

    Aku masuk ke kamar dengan langkah berat, lalu menutup pintu perlahan. Aku bersandar pada pintu, mencoba bernapas, tapi dada ini rasanya sesak sekali. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutku berputar-putar lagi, menggema, dan membuatku sadar bahwa aku sudah tidak lagi bicara dengan lembut. Aku mulai kehabisan kesabaran sedikit demi sedikit. Malam itu aku tidak makan malam. Aku berdiam diri di kamar, pura-pura tidur ketika Abiyasa masuk. Aku mendengar langkahnya, desah napasnya, bahkan suara gesekan kancing bajunya ketika ia melepas kemeja, tapi tidak ada kata-kata untukku, tidak ada pelukan, dan tidak ada sekedar sentuhan. Keesokan paginya, aku turun ke dapur lebih pagi dari biasanya, tapi pemandangan yang kulihat menusuk lebih dalam dari apapun. Aira sudah ada di sana. Rambutnya terurai rapi, bibirnya tersenyum cerah sambil menuangkan kopi ke cangkir yang biasanya selalu kusiapkan untuk Abiyasa. "Pagi, Abi!" suaranya ringan, penuh keakraban. Abiyasa duduk di meja makan. Dia men

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 5. Pengkhianatan dalam diam

    Sudah hampir dua minggu sejak Aira datang dan semuanya berubah. Tidak secara kasat mata, mungkin, tapi aku tahu ada jarak baru antara aku dan Abiyasa. Jarak yang lebih dingin dari sebelumnya. Lebih menyakitkan. Pagi tadi, dia bahkan tak menoleh saat aku membawakannya kopi. Ia hanya berkata pelan, tanpa menatapku, "Taruh saja di meja." Dan setelahnya, dia kembali menatap layar laptopnya seperti aku tak pernah ada di ruangan itu. Sakit? Ya, tapi aku tak menangis lagi. Aku memilih diam. Sore ini, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Pintu ruang tamu terbuka sedikit dan aku sempat ragu sebelum mendorongnya penuh. Aku mendapati Aira sedang duduk di sofa dengan posisi miring, tubuhnya condong ke arah Abiyasa yang duduk di seberangnya. "Aku masih ingat waktu kamu dulu bilang nggak suka teh manis," kata Aira, terkikik. "Tapi pas aku bikinin, kamu habisin juga, tuh." Abiyasa tidak tertawa, tapi dia tersenyum tipis. Senyum yang belum pernah kudapatkan selama berbulan-bulan jadi istri

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 4. Berteduh setelah hujan

    Saat aku datang ke pesta pernikahan teman SMA-ku, Abiyasa ikut atas nama hubungan bisnis. Wajahnya datar seperti biasa, tapi pandangannya berubah saat matanya menangkap punggung tanganku yang disentuh ringan oleh Alvin sambil tertawa renyah di tengah obrolan nostalgia. Alvin tersenyum hangat. "Kamu masih sama seperti dulu, Win. Selalu bersinar meski berusaha bersembunyi." Aku hanya tersenyum, tak ingin membahas hal yang terlalu jauh, tapi aku tidak bisa menghindari kenyataan, karena untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat. Diperhatikan tanpa dituntut apa pun dan dari kejauhan, aku tahu sepasang mata coklat itu sedang memperhatikanku. Dingin, tajam, tapi berbeda. Setelah pesta usai, perjalanan pulang kami sunyi seperti biasa, tapi tidak senyap. Ada sesuatu yang bergemuruh, tak hanya dalam diriku, tapi juga di dirinya. Tepat ketika aku hendak turun dari mobil, suara dinginnya terdengar. "Alvin, ya?" Aku menoleh pelan. "Iya. Teman lama." "Hm." Ia menatap lurus ke depa

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 3. Diamku

    Aira datang seperti bunga lily di musim panas terlihat bersih, harum, dan menyesakkan. Sejak pertemuan di rumah Mama Retha, nama itu seperti menempel di pikiranku. Awalnya aku mencoba tak peduli, mencoba percaya bahwa masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, tapi dunia tidak selalu bersikap adil kepada istri yang tidak dicintai. Dua hari setelahnya, aku datang ke kantor Abiyasa untuk mengantar dokumen dari rumah yang tertinggal. Sekali-kali aku ingin merasakan bagaimana rasanya "menjadi bagian" dari hidupnya, bahkan jika hanya dari lobi. Resepsionis mengenaliku entah karena statusku atau karena rasa kasihan yang terpancar jelas dari mataku. Dia memberi akses ke lantai atas tanpa banyak tanya dan di sanalah aku melihatnya. Aira berdiri di depan ruang kerja suamiku, mengenakan setelan krem yang sangat rapi dan elegan. Senyum di wajahnya tidak dibuat-buat dan yang paling menyakitkan Abiyasa membalas senyum itu. Aku tidak tahu bagian mana yang paling membuat dadaku tercekat, fakta

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 2. Surat-surat yang tak pernah sampai

    Aku masih ingat hari itu, cuaca hangat di luar, tapi hatiku beku bukan karena sedih, tapi karena terpesona. Namanya kusebut pelan-pelan dalam hati. Abiyasa Dirgantara. Lelaki itu berdiri di sudut aula besar, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlalu cocok untuknya, seperti pakaian itu memang dijahit oleh waktu hanya untuk tubuhnya. Aku menghadiri acara ulang tahun ke-60 seorang paman dari pihak keluarga ibuku. Acara yang biasanya membosankan, tapi entah kenapa hari itu jadi titik mula. Dia berdiri sendiri, memegang gelas tanpa minuman, memandangi taman dari balik jendela kaca besar, seperti tidak betah berada di tengah keramaian atau mungkin dia memang bukan bagian dari keramaian mana pun. Aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita keluarga besar, CEO muda, anak semata wayang dari keluarga Dirgantara, seorang yang terlalu serius, terlalu tertutup, dan terlalu dingin untuk pria berusia tiga puluh, tapi tak ada yang menyebutkan bahwa tatapannya bisa menahan langkah orang dan aku sal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status