Home / Romansa / Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir / Bab 5. Pengkhianatan dalam diam

Share

Bab 5. Pengkhianatan dalam diam

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-07-21 20:02:28

Sudah hampir dua minggu sejak Aira datang dan semuanya berubah. Tidak secara kasat mata, mungkin, tapi aku tahu ada jarak baru antara aku dan Abiyasa. Jarak yang lebih dingin dari sebelumnya. Lebih menyakitkan.

Pagi tadi, dia bahkan tak menoleh saat aku membawakannya kopi. Ia hanya berkata pelan, tanpa menatapku, "Taruh saja di meja." Dan setelahnya, dia kembali menatap layar laptopnya seperti aku tak pernah ada di ruangan itu.

Sakit? Ya, tapi aku tak menangis lagi. Aku memilih diam.

Sore ini, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Pintu ruang tamu terbuka sedikit dan aku sempat ragu sebelum mendorongnya penuh. Aku mendapati Aira sedang duduk di sofa dengan posisi miring, tubuhnya condong ke arah Abiyasa yang duduk di seberangnya.

"Aku masih ingat waktu kamu dulu bilang nggak suka teh manis," kata Aira, terkikik. "Tapi pas aku bikinin, kamu habisin juga, tuh."

Abiyasa tidak tertawa, tapi dia tersenyum tipis. Senyum yang belum pernah kudapatkan selama berbulan-bulan jadi istrinya.

"Kadang selera bisa berubah," jawabnya santai.

Aku berdiri di ambang pintu dan Aira baru menyadari kehadiranku. Tatapan matanya tajam tapi manis.

"Edwina, kamu udah pulang? Wah, pas banget, aku tadi lagi cerita-cerita sama Abiyasa tentang masa SMA. Kamu tahu nggak sih, dia itu cowok yang paling dingin di sekolah, tapi semua cewek tetap suka dia." Dia tertawa lagi. Tawa yang entah kenapa menusuk dadaku.

Aku hanya tersenyum kecil. "Ya memang dia tidak pernah benar-benar hangat," gumamku, lalu berlalu ke dapur dengan langkah perlahan.

Malamnya, saat aku sedang menyusun buku-buku di rak, aku mendengar langkah kaki Abiyasa mendekat. Aku menoleh sekilas, tapi dia hanya berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun.

"Abi," panggilku pelan.

Dia berhenti. Tidak menoleh hanya berdiri di ambang pintu kamar.

"Apa Aira akan sering datang ke sini?" tanyaku, suaraku bergetar sedikit bukan karena takut, tapi karena aku lelah menahan semuanya sendirian.

Dia menoleh setengah, tak sepenuhnya melihatku. "Ini rumahku. Aku bisa menerima tamu siapa saja."

Jawaban itu seperti bilah pisau yang ditancapkan perlahan ke dadaku, tapi aku mengangguk. Aku diam. Lagi-lagi diam.

Di dalam kamar, aku membuka laci kecil di meja rias. Mengambil surat yang belum pernah kukirim. Surat-surat yang kusimpan sejak minggu pertama pernikahan kami. Surat-surat yang kutulis saat hatiku terlalu penuh oleh perasaan yang tidak bisa kuungkapkan langsung padanya.

"Abiyasa, kenapa kau tidak pernah bertanya apa yang kusuka saat sarapan pagi?"

"Aku menuliskan ini karena aku rindu, rindu sesuatu yang bahkan tak pernah benar-benar kumiliki."

Surat demi surat kubaca ulang dan kali ini tidak kutahan air mataku.

***

Pagi itu langit belum terlalu terang ketika suara bel pintu terdengar nyaring. Aku yang sedang memotong sayur di dapur terhenti sejenak. Abiyasa masih di kamar mandi. Aku buru-buru menyeka tangan dengan celemek dan berjalan cepat menuju pintu.

Begitu pintu kubuka, aroma parfum melati langsung menyergapku. Mama Retha berdiri di ambang pintu dengan tas tangan mahal menggantung di lengannya dan ekspresi tak ramah di wajahnya yang dingin.

"Mama," sapaku, mencoba tersenyum meski jantungku berdebar tak nyaman.

Dia tak membalas senyumku hanya melangkah masuk seolah rumah ini miliknya.

"Kamu nggak belajar-belajar ya jadi istri. Masak ibu mertua datang kamu bukain pintu pakai celemek dapur kayak pembantu," sindirnya tajam sambil melepas kacamata hitamnya dan menaruhnya di meja tamu.

Aku menelan ludah. "Maaf, Ma. Aku tadi di dapur...."

"Ya jelas," potongnya cepat. "Kamu pikir cukup jadi menantu cuma bisa masak? Hati suami kamu itu bukan cuma dimenangkan dari dapur, Win."

Aku hanya diam. Kata-kata itu bukan hal baru bagiku, tapi tetap saja menyakitkan setiap kali diucapkan.

Tak lama, Abiyasa turun dari tangga. Raut wajahnya sedikit berubah saat melihat siapa yang datang.

"Mama?" sapanya, menghampiri dan mencium tangan ibunya.

"Akhirnya kamu muncul juga," kata mama Retha, lalu menepuk tangan Abiyasa. "Kamu makin kurusan ya, Bi. Kamu tuh pasti nggak dijaga sama istrimu. Coba kalau Aira yang jadi istri kamu, pasti kamu udah makin gemuk dan bahagia."

Nama itu. Lagi-lagi Aira. Aku mendekap kedua tangan di depan perut, mencoba tetap tenang.

"Ma, Winnie jaga aku kok," jawab Abiyasa pendek.

Mama Retha tertawa kecil, sinis. "Dijaga gimana? Lihat tuh, rumah kayak kapal pecah. Karpet kusam, tirai udah kayak lap mobil. Aira tuh, rumah orang tuanya selalu wangi. Dia tuh rapi, lembut, dan nggak banyak bicara. Nggak kayak orang lain yang senyum aja dipaksa."

Aku menunduk. Kata-kata itu menusuk, lebih tajam dari pisau dapur yang baru saja kupakai. Abiyasa menghela napas, lalu duduk di samping ibunya, tapi dia tak membelaku, tidak sekalipun.

"Mama pengen kamu serius pertimbangin lagi, Bi. Aira itu masih sendiri dan dia tuh...." Mama Retha menoleh ke arahku, tersenyum palsu, "Lebih pantas jadi bagian dari keluarga kita."

Hatiku tercekat. Di hadapanku, terang-terangan, aku dibandingkan, direndahkan dan suamiku diam saja. Aku menarik napas, lalu berkata pelan, "Maaf, Ma. Kalau rumah ini tidak nyaman, saya akan lebih sering membersihkannya."

"Oh, Winnie," mama Retha menghela napas dramatis. "Masalahnya bukan di rumah. Masalahnya ya kamu. Dari dulu mama nggak pernah yakin kamu cocok buat Abiyasa."

Aku tak sanggup menahan rasa sakit itu lebih lama. Kutundukkan kepala lebih dalam, berharap air mata yang mulai menggumpal tidak jatuh di hadapannya.

Di dalam kamar mandi tadi pagi, aku sempat menatap diriku di cermin dan bertanya, Sampai kapan? Dan sekarang, pertanyaan itu kembali menggema, jauh lebih keras di dalam kepalaku.

Setelah mama Retha pulang, rumah kami terasa lebih sepi dari biasanya. Bukan sepi karena suara, tapi karena yang tersisa hanyalah perasaan getir yang menggantung di antara dinding-dinding rumah ini. Aku mencuci piring dengan gerakan lambat. Air mengalir, tapi yang terasa hanya panas yang membakar mata.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Abiyasa berdiri di belakangku.

"Jangan dimasukin hati! Mama memang suka ngomong seenaknya," katanya.

Aku menoleh perlahan, mataku merah tapi masih menahan tangis. "Tapi kamu diam saja."

Dia terdiam. Wajahnya menegang. "Aku bukan minta kamu melawan ibumu. Aku cuma ingin tahu kalau kamu masih di pihakku."

"Aku nggak di pihak siapa-siapa. Aku cuma capek," ucapnya sambil mengusap wajah. "Kamu tahu sendiri, sejak kita menikah, hidup kita kayak ladang ranjau."

"Capek?" Aku menahan tawa getir. "Kamu capek mendengar ibumu menyindirku di rumah kita sendiri? Bagaimana denganku yang setiap hari tidur dengan rasa tidak cukup, tidak pantas, dan tidak diinginkan?"

Dia tak menjawab dan itu lebih menyakitkan daripada teriakan sekalipun.

Aku menatapnya lama. "Kamu bisa mencintai seseorang, tapi kalau kamu terus membiarkan dia dilukai tanpa membelanya itu bukan cinta. Itu pengkhianatan dalam diam."

Aku meninggalkannya berdiri di dapur bukan karena aku marah, tapi karena aku terlalu hancur untuk tetap berdiri di sampingnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 57. Hati Yang Menemukan Jalan Pulang. TAMAT.

    Beberapa hari setelah pameran itu, aku menerima pesan singkat dari sekretaris Abiyasa.Nona Edwina, Pak Abiyasa ingin mengatur pertemuan lanjutan di kantor Dirgantara Group besok pukul 10 pagi untuk membahas proyek heritage Bandung.Aku menatap layar ponsel lama sekali dan jantungku tiba-tiba berdetak begitu keras seakan tubuhku menolak sekaligus menantikan hal yang sama. Nama Abiyasa terasa begitu asing dan akrab di saat bersamaan seperti lagu lama, tapi diam-diam masih kuhafal setiap nadanya.Aku menatap jendela apartemenku yang sekarang mulai diterpa mentari pagi. Aku mengembuskan napas panjang, lalu membalas pesan itu dengan tangan bergetar.Baik. Saya akan datang.***Kantor Dirgantara Group berdiri megah dengan dinding kaca tinggi yang memantulkan cahaya matahari. Saat aku melangkah masuk ke lobi utama, aroma kopi dan kayu mahoni langsung memenuhi udara terasa hangat, berkelas, dan tenang seperti dulu.Asisten resepsionis mengantarkanku ke lantai atas dan ketika pintu lift terbu

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 56. Saat Semesta Memberi Kita Awal Yang Baru

    Mataku terpejam, tapi napasku terasa berat. "Dia nggak ingat aku," bisikku dan suaraku nyaris tak terdengar.Cherry menatapku dengan tatapan lembut. "Iya, Winnie, tapi mungkin itu lebih baik untuk kalian berdua."Aku tidak menjawab hanya terdiam. "Benarkah itu yang terbaik untuk kami," pikirku.Aku mengira, aku sudah kehilangan semuanya, cinta, suami, masa lalu, tapi ternyata yang paling menyakitkan juga ketika orang itu masih hidup, tapi tidak lagi mengenalmu.Tiga tahun telah berlalu. Jakarta tidak seindah Paris, tapi aku mulai belajar untuk berdamai. Studio desainku berkembang dengan sangat pesat. Aku mulai menata hidupku seperti menata ruang dan kembali menyusun ulang kepingan yang berantakan, memberi jarak pada yang harus dilepaskan, dan menambahkan cahaya di tempat yang dulu gelap. Hingga suatu sore di bulan Mei, sebuah undangan datang melalui email.Jakarta Architectural Vision 2030. Kolaborasi Desain dan Properti Masa DepanAku diundang sebagai salah satu pembicara dan hampir

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 55. Maison d'Elara

    Ibuku masuk dan menggenggam tanganku, sesaat ibuku menoleh pada Mama Retha, tapi tidak mengatakan apa pun. Mama Retha keluar dari ruangan. "Sayang, semua sudah siap. Aruna sudah menunggumu." Aku menatapnya. "Iya, Bu," jawabku lirih berusaha terdengar yakin meskipun hatiku terasa sedih di setiap langkah. Aula pernikahan di Château Clairvoix berkilau oleh pantulan sinar matahari yang menembus jendela. Aruna berdiri di ujung lorong dengan tuxedo putih dan senyum yang menenangkan yang seharusnya bisa membuatku tenang. Aku melangkah perlahan, setiap langkahku terasa begitu berat seolah ada tangan tak terlihat yang menarikku kembali ke masa lalu ke dalam pelukan seseorang yang sekarang terbaring koma ribuan kilometer dari sini. Ketika Aruna menggenggam tanganku di depan altar, aku menatapnya dalam diam.Tatapan lembutnya membuat hatiku bergetar. Suara di sekitar aula tenggelam di antara gemuruh detak jantungku sendiri. "Apakah kamu, Edwina Laurent Ardiwijaya, bersedia menerima Aruna M

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 54. Kesempatan Terakhir

    Aku terpaku di tempat. Mama Retha, wanita yang dulu dengan tegas menentang hubunganku dengan Abiyasa sekarang berdiri di hadapanku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Ruangan mendadak terasa sempit. Ibu dan aku saling berpandangan bingung, tapi sebelum ada yang sempat berbicara, Mama Retha melangkah maju."Bisakah kita bicara berdua, Winnie?" suaranya lembut, tapi tak bisa kutolak.Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan."Ibu, tolong beri kami waktu sebentar."Kami saling pandang, lalu ibu keluar tanpa bertanya. Begitu pintu tertutup, aku menarik napas panjang. "Kenapa Mama ada di sini?" tanyaku hati-hati berusaha menahan getar suaraku.Mama Retha menatapku lama sebelum menjawab, "Aku tahu kamu akan menikah dengan Aruna."Aku mengerutkan kening. "Dari mana Ibu tahu?""Dari Abiyasa," jawabnya perlahan. "Dia tahu dari unggahan dari temanmu, Cherry, di media sosial. Dari sanalah aku tahu dan aku memutuskan harus menemuimu sendiri di sini. Mama sengaja pergi ke Paris mencarimu."Aku han

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 53. Ruang Kosong Diantara Masa Lalu Dan Masa Sekarang

    Tawa masih menggantung di udara ketika Elodie tiba-tiba berhenti mengaduk adonan rotinya. Ia menatapku dengan raut sedikit ragu seolah mencari waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu."Ah, Madame Edwina," katanya pelan sambil meletakkan sendok kayu di meja. "Aku hampir lupa menyampaikan sesuatu."Aku menatapnya. "Tentang apa?"Elodie menatapku dan Aruna bergantian sebelum akhirnya berkata dengan hati-hati, "Tadi pagi sebelum matahari terbit Monsieur Abiyasa sudah berpamitan dengan kami. Ia berangkat ke bandara. Katanya ia harus kembali ke Indonesia lebih awal dari jadwal, karena urusan pekerjaan mendadak."Cangkir di tanganku nyaris terlepas."Pulang?" suaraku nyaris tidak terdengar.Elodie mengangguk perlahan. "Iya. Ia bahkan menolak sarapan hanya meninggalkan pesan singkat bahwa ia berterima kasih untuk semua kebaikanmu selama di sini."Aku terdiam. Suara tawa yang tadi memenuhi dapur sekarang berganti hening yang kaku dan hanya bunyi jam di dinding yang terdengar berdetak pelan.

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 52. Bagian Kecil Dari Hidupmu

    Langkah Aruna cepat, namun aku bisa melihat bagaimana bahunya sedikit bergetar. Mungkin karena dingin atau mungkin karena sesuatu yang lebih menyakitkan daripada hujan itu sendiri.Aku ingin memanggilnya, tapi suaraku lenyap di antara suara air yang menghantam tanah.Aku hanya berdiri di sana, membiarkan hujan membasahi wajahku, dan mencampur air mata yang entah sejak kapan mulai jatuh.Saat Aruna menghilang di balik kabut tipis taman Château Clairvoix, aku akhirnya berbalik pergi, melangkah pelan menuju kastil yang sekarang terasa lebih sunyi dari sebelumnya.Malam itu tidak ada yang makan malam bersama. Elodie mengetuk pintu kamarku beberapa kali, menanyakan apakah aku baik-baik saja, tapi aku hanya menjawab singkat, "Aku ingin sendiri."Malam pun berlalu tanpa suara hanya diisi oleh detak jarum jam dan suara hujan yang masih turun tanpa henti di luar jendela.***Keesokan paginya aku baru saja selesai menyisir rambut ketika terdengar ketukan pelan di pintu. Suara itu suara yang aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status