Home / Romansa / Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir / Bab 6. Menantu Bukan Ratu

Share

Bab 6. Menantu Bukan Ratu

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-08-20 06:34:37

Aku masuk ke kamar dengan langkah berat, lalu menutup pintu perlahan. Aku bersandar pada pintu, mencoba bernapas, tapi dada ini rasanya sesak sekali. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutku berputar-putar lagi, menggema, dan membuatku sadar bahwa aku sudah tidak lagi bicara dengan lembut. Aku mulai kehabisan kesabaran sedikit demi sedikit.

Malam itu aku tidak makan malam. Aku berdiam diri di kamar, pura-pura tidur ketika Abiyasa masuk. Aku mendengar langkahnya, desah napasnya, bahkan suara gesekan kancing bajunya ketika ia melepas kemeja, tapi tidak ada kata-kata untukku, tidak ada pelukan, dan tidak ada sekedar sentuhan.

Keesokan paginya, aku turun ke dapur lebih pagi dari biasanya, tapi pemandangan yang kulihat menusuk lebih dalam dari apapun. Aira sudah ada di sana. Rambutnya terurai rapi, bibirnya tersenyum cerah sambil menuangkan kopi ke cangkir yang biasanya selalu kusiapkan untuk Abiyasa.

"Pagi, Abi!" suaranya ringan, penuh keakraban.

Abiyasa duduk di meja makan. Dia mengangguk, lalu menyesap kopi itu. "Pas," katanya singkat dengan nada yang sama seperti biasanya, tapi matanya berbinar sedikit.

Aku berdiri di pintu, tanganku refleks mengepal. Aku bisa mendengar nadiku sendiri, lalu Aira menoleh padaku, tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Oh, Mbak sudah bangun? Aku tadi kebetulan nemu kopi di dapur dan ingin minum kopi, jadi aku bikinin Abi sekalian. Katanya dia suka kopi pahit, kan?"

Aku berusaha tersenyum. "Iya. Memang."

Hari-hari berikutnya, kehadiran Aira semakin terasa. Dia akhir-akhir ini lebih sering datang ke rumah, selalu ada di ruang tamu, di dapur, bahkan di halaman. Dia tahu cara membuat obrolan ringan dengan Abiyasa, hal yang tidak pernah berhasil kulakukan. Mereka tertawa, meski tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri.

Abiyasa tidak pernah menegur, tidak pernah menghentikan. Justru kadang aku menangkap tatapan matanya yang berbeda tidak dingin seperti kepadaku dan tidak kaku, seolah Aira berhasil membuka celah yang aku sendiri tak pernah mampu aku sentuh.

Malam itu, setelah semuanya tenang, aku duduk di ranjang sambil memegang salah satu surat lama. Surat yang kutulis untuk Abiyasa di awal pernikahan kami. Kutatap tulisan tanganku yang sedikit bergetar waktu itu.

"Abi, kalau suatu hari kamu merasa sendirian, ketahuilah aku ada di sini, bahkan kalau pun kamu tidak menginginkanku, aku tetap akan mencintaimu dengan seluruh hatiku."

Air mataku menetes, membasahi kertas itu. Aku sadar, mungkin cintaku sejak awal hanyalah cinta sepihak. Aku memejamkan mata, berharap esok tidak seberat hari ini, tapi jauh di dalam diriku, aku tahu musim dingin ini baru saja dimulai dan entah kapan akan berakhir.

***

Keesokan harinya, pintu rumah megah itu terbuka perlahan, menampakkan sosok Mama Retha yang melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Di sampingnya, seorang gadis muda berwajah manis dengan senyum penuh kemenangan berdiri anggun. Tatapannya langsung menyapu ruangan, seakan rumah itu sudah menjadi miliknya sendiri.

Aku yang baru saja keluar dari dapur, menghentikan langkahku begitu melihat pemandangan itu. Dadaku mendadak sesak.

"Mama, ada apa datang mendadak seperti ini?" tanyaku hati-hati.

Mama Retha tersenyum tipis, nada suaranya lembut, tapi sarat tekanan.

"Winnie, Abiyasa. Mulai hari ini, Aira akan tinggal di sini anggap saja rumah ini rumahnya juga."

"Ma, apa maksud Mama?" Abiyasa ikut bersuara, nada herannya jelas terdengar.

Dengan tatapan tajam, Mama Retha menepuk bahu Aira seakan mempertegas kehadiran gadis itu.

"Aira butuh tempat tinggal sementara."

"Kamu nggak keberatan kan kalau aku numpang beberapa minggu di sini?Rumahku lagi direnovasi total dan kontraktornya bilang butuh waktu lumayan lama buat beresin semuanya. Lagipula Papa Mama masih di luar negeri, jadi aku sendirian."

Aku menatapnya tanpa berkedip. Ada desir aneh di dadaku, campuran curiga dan tidak enak hati. Aku tahu betul, Aira bukan tipe orang yang benar-benar “tidak punya tempat". Gadis itu punya banyak kerabat kaya, punya koneksi luas, tapi entah kenapa memilih rumahku. Rumah yang sekarang aku tinggali bersama suamiku, Abiyasa.

"Aku bisa sewa apartemen, sih," lanjut Aira, kali ini dengan tawa renyah yang dibuat-buat. "Tapi rasanya sendirian di apartemen asing agak menakutkan. Lebih nyaman tinggal sama kalian."

"Mama tidak tega membiarkan Aira sendirian. Bukankah rumah ini cukup luas? Tidak ada alasan menolak," kata mama Retha.

Abiyasa yang tidak bisa menolak permintaan ibunya langsung menyetujuinya.

Aku menarik napas panjang mencoba menahan gejolak yang mendesak di dada. Aku menatap Abiyasa, berharap ada sekilas keberpihakan di matanya, tapi yang aku temui hanyalah wajah tenang tanpa ekspresi.

"Ma....," suaraku akhirnya terdengar, pelan tapi tegas. "Aku rasa tidak tepat kalau Aira tinggal di sini."

Ruangan mendadak hening. Senyum Aira menghilang, sementara tatapan Mama Retha langsung berubah tajam.

"Tidak tepat?" ulang Mama Retha, suaranya meninggi. "Apa maksudmu, Win? Bukankah rumah ini rumah keluarga? Bukankah seharusnya kamu justru senang ada teman di sini?"

Aku menggenggam jemariku erat. "Ini bukan soal senang atau tidak, Ma. Ini rumah tangga kami. Aku dan Abi butuh ruang. Kehadiran orang lain apalagi untuk waktu yang cukup lama rasanya akan mengganggu."

Aira tertawa kecil, ringan tapi menusuk. "Wah, Mbak Edwina takut aku ganggu, ya? Padahal aku cuma mau numpang sementara. Aku pikir kita bisa lebih dekat dan lagipula aku dan Abi kan teman lama masa sih aku dianggap orang asing?"

Kata-kata itu membuat darahku berdesir. Aku ingin sekali membalas, ingin mengatakan bahwa justru itulah masalahnya, tapi Mama Retha sudah lebih dulu memotong dengan nada tajam.

"Winnie, jangan egois. Kamu ini menantu bukan ratu di rumah ini. Kalau Mama bilang Aira tinggal di sini, ya tinggal. Titik. Kamu pikir Mama tega biarin Aira sendirian? Kamu nggak kasihan?"

"Ma, aku bukan nggak kasihan,” suaraku mulai bergetar. "Aku cuma ingin hidup tenang sama Abi. Kenapa Aira harus di sini? Dia punya banyak pilihan lain."

"Winnie!" bentak Mama Retha, membuatku terdiam. "Kamu jangan kurang ajar. Kamu merasa lebih tahu dari Mama soal apa yang baik buat keluarga ini?"

Abiyasa yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, tapi kalimatnya justru membuat hatiku runtuh.

"Win, Aira cuma sebentar. Jangan dipermasalahkan! Mama benar, rumah ini cukup luas."

Aku menatap lama suamiku, mencari sedikit saja pembelaan, tapi yang ia temukan hanyalah ketegasan dingin seperti biasa, Abi memilih diam atau lebih tepatnya memilih bukan dirinya.

Tanganku gemetar. Aku tahu, jika aku memaksa yang aku dapatkan hanyalah lebih banyak luka. Perlahan aku mengangguk, menunduk dalam-dalam menutupi air mataku yang hampir jatuh.

"Baiklah. Kalau itu keputusan Mama dan Abi, aku tidak bisa melarang."

Senyum puas muncul di wajah Mama Retha. Aira menoleh pada Edwina, menatapnya dengan tatapan manis penuh kemenangan.

"Terima kasih, Mbak! Aku janji nggak akan merepotkan," katanya.

Aku sadar, sekali lagi aku kalah. Aku bukan hanya kalah pada Aira atau Mama Retha, tapi juga kalah pada suamiku sendiri yang tidak pernah sekalipun berdiri di sisiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 7. Tamu Yang Merebut Rumahku

    Sejak hari itu, hidupku berubah. Aira resmi tinggal di rumah kami. Keputusan yang dipaksakan Mama Retha dengan wajahnya yang dingin dan kata-kata tajam yang seolah mengiris harga diriku. Aku tidak sempat menolak dan tidak sempat membela diri. Semua sudah ditetapkan.Aku masih ingat jelas saat pertama kali Aira menyeret koper besarnya masuk ke rumah. Matanya meneliti seisi ruangan, seakan ia sedang menilai apakah rumahku cukup layak untuknya tinggali. Aku berusaha menahan diri, meski hatiku sudah mulai terasa sesak."Aku berharap kita bisa saling menghargai di sini," kataku pelan, mencoba menetralkan keadaan. "Kau bisa memanggilku Winnie saja. Semua orang di sini memanggilku begitu."Aira tersenyum miring, tatapan matanya menusuk. "Winnie, ya?" Ia menyebut nama itu dengan nada mengejek. Aku terdiam. Tanganku refleks mengepal di sisi tubuhku, tapi aku menahan diri. Aku harus kuat dan harus sabar. Setidaknya demi Abiyasa dan demi pernikahan ini.Awalnya aku mencoba menenangkan diriku, m

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 6. Menantu Bukan Ratu

    Aku masuk ke kamar dengan langkah berat, lalu menutup pintu perlahan. Aku bersandar pada pintu, mencoba bernapas, tapi dada ini rasanya sesak sekali. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutku berputar-putar lagi, menggema, dan membuatku sadar bahwa aku sudah tidak lagi bicara dengan lembut. Aku mulai kehabisan kesabaran sedikit demi sedikit. Malam itu aku tidak makan malam. Aku berdiam diri di kamar, pura-pura tidur ketika Abiyasa masuk. Aku mendengar langkahnya, desah napasnya, bahkan suara gesekan kancing bajunya ketika ia melepas kemeja, tapi tidak ada kata-kata untukku, tidak ada pelukan, dan tidak ada sekedar sentuhan. Keesokan paginya, aku turun ke dapur lebih pagi dari biasanya, tapi pemandangan yang kulihat menusuk lebih dalam dari apapun. Aira sudah ada di sana. Rambutnya terurai rapi, bibirnya tersenyum cerah sambil menuangkan kopi ke cangkir yang biasanya selalu kusiapkan untuk Abiyasa. "Pagi, Abi!" suaranya ringan, penuh keakraban. Abiyasa duduk di meja makan. Dia men

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 5. Pengkhianatan dalam diam

    Sudah hampir dua minggu sejak Aira datang dan semuanya berubah. Tidak secara kasat mata, mungkin, tapi aku tahu ada jarak baru antara aku dan Abiyasa. Jarak yang lebih dingin dari sebelumnya. Lebih menyakitkan. Pagi tadi, dia bahkan tak menoleh saat aku membawakannya kopi. Ia hanya berkata pelan, tanpa menatapku, "Taruh saja di meja." Dan setelahnya, dia kembali menatap layar laptopnya seperti aku tak pernah ada di ruangan itu. Sakit? Ya, tapi aku tak menangis lagi. Aku memilih diam. Sore ini, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Pintu ruang tamu terbuka sedikit dan aku sempat ragu sebelum mendorongnya penuh. Aku mendapati Aira sedang duduk di sofa dengan posisi miring, tubuhnya condong ke arah Abiyasa yang duduk di seberangnya. "Aku masih ingat waktu kamu dulu bilang nggak suka teh manis," kata Aira, terkikik. "Tapi pas aku bikinin, kamu habisin juga, tuh." Abiyasa tidak tertawa, tapi dia tersenyum tipis. Senyum yang belum pernah kudapatkan selama berbulan-bulan jadi istri

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 4. Berteduh setelah hujan

    Saat aku datang ke pesta pernikahan teman SMA-ku, Abiyasa ikut atas nama hubungan bisnis. Wajahnya datar seperti biasa, tapi pandangannya berubah saat matanya menangkap punggung tanganku yang disentuh ringan oleh Alvin sambil tertawa renyah di tengah obrolan nostalgia. Alvin tersenyum hangat. "Kamu masih sama seperti dulu, Win. Selalu bersinar meski berusaha bersembunyi." Aku hanya tersenyum, tak ingin membahas hal yang terlalu jauh, tapi aku tidak bisa menghindari kenyataan, karena untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat. Diperhatikan tanpa dituntut apa pun dan dari kejauhan, aku tahu sepasang mata coklat itu sedang memperhatikanku. Dingin, tajam, tapi berbeda. Setelah pesta usai, perjalanan pulang kami sunyi seperti biasa, tapi tidak senyap. Ada sesuatu yang bergemuruh, tak hanya dalam diriku, tapi juga di dirinya. Tepat ketika aku hendak turun dari mobil, suara dinginnya terdengar. "Alvin, ya?" Aku menoleh pelan. "Iya. Teman lama." "Hm." Ia menatap lurus ke depa

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 3. Diamku

    Aira datang seperti bunga lily di musim panas terlihat bersih, harum, dan menyesakkan. Sejak pertemuan di rumah Mama Retha, nama itu seperti menempel di pikiranku. Awalnya aku mencoba tak peduli, mencoba percaya bahwa masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, tapi dunia tidak selalu bersikap adil kepada istri yang tidak dicintai. Dua hari setelahnya, aku datang ke kantor Abiyasa untuk mengantar dokumen dari rumah yang tertinggal. Sekali-kali aku ingin merasakan bagaimana rasanya "menjadi bagian" dari hidupnya, bahkan jika hanya dari lobi. Resepsionis mengenaliku entah karena statusku atau karena rasa kasihan yang terpancar jelas dari mataku. Dia memberi akses ke lantai atas tanpa banyak tanya dan di sanalah aku melihatnya. Aira berdiri di depan ruang kerja suamiku, mengenakan setelan krem yang sangat rapi dan elegan. Senyum di wajahnya tidak dibuat-buat dan yang paling menyakitkan Abiyasa membalas senyum itu. Aku tidak tahu bagian mana yang paling membuat dadaku tercekat, fakta

  • Suamiku, Musim Dingin Tanpa Akhir   Bab 2. Surat-surat yang tak pernah sampai

    Aku masih ingat hari itu, cuaca hangat di luar, tapi hatiku beku bukan karena sedih, tapi karena terpesona. Namanya kusebut pelan-pelan dalam hati. Abiyasa Dirgantara. Lelaki itu berdiri di sudut aula besar, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlalu cocok untuknya, seperti pakaian itu memang dijahit oleh waktu hanya untuk tubuhnya. Aku menghadiri acara ulang tahun ke-60 seorang paman dari pihak keluarga ibuku. Acara yang biasanya membosankan, tapi entah kenapa hari itu jadi titik mula. Dia berdiri sendiri, memegang gelas tanpa minuman, memandangi taman dari balik jendela kaca besar, seperti tidak betah berada di tengah keramaian atau mungkin dia memang bukan bagian dari keramaian mana pun. Aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita keluarga besar, CEO muda, anak semata wayang dari keluarga Dirgantara, seorang yang terlalu serius, terlalu tertutup, dan terlalu dingin untuk pria berusia tiga puluh, tapi tak ada yang menyebutkan bahwa tatapannya bisa menahan langkah orang dan aku sal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status