Mag-log inAku masuk ke kamar dengan langkah berat, lalu menutup pintu perlahan. Aku bersandar pada pintu, mencoba bernapas, tapi dada ini rasanya sesak sekali. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutku berputar-putar lagi, menggema, dan membuatku sadar bahwa aku sudah tidak lagi bicara dengan lembut. Aku mulai kehabisan kesabaran sedikit demi sedikit.
Malam itu aku tidak makan malam. Aku berdiam diri di kamar, pura-pura tidur ketika Abiyasa masuk. Aku mendengar langkahnya, desah napasnya, bahkan suara gesekan kancing bajunya ketika ia melepas kemeja, tapi tidak ada kata-kata untukku, tidak ada pelukan, dan tidak ada sekedar sentuhan. Keesokan paginya, aku turun ke dapur lebih pagi dari biasanya, tapi pemandangan yang kulihat menusuk lebih dalam dari apapun. Aira sudah ada di sana. Rambutnya terurai rapi, bibirnya tersenyum cerah sambil menuangkan kopi ke cangkir yang biasanya selalu kusiapkan untuk Abiyasa. "Pagi, Abi!" suaranya ringan, penuh keakraban. Abiyasa duduk di meja makan. Dia mengangguk, lalu menyesap kopi itu. "Pas," katanya singkat dengan nada yang sama seperti biasanya, tapi matanya berbinar sedikit. Aku berdiri di pintu, tanganku refleks mengepal. Aku bisa mendengar nadiku sendiri, lalu Aira menoleh padaku, tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Oh, Mbak sudah bangun? Aku tadi kebetulan nemu kopi di dapur dan ingin minum kopi, jadi aku bikinin Abi sekalian. Katanya dia suka kopi pahit, kan?" Aku berusaha tersenyum. "Iya. Memang." Hari-hari berikutnya, kehadiran Aira semakin terasa. Dia akhir-akhir ini lebih sering datang ke rumah, selalu ada di ruang tamu, di dapur, bahkan di halaman. Dia tahu cara membuat obrolan ringan dengan Abiyasa, hal yang tidak pernah berhasil kulakukan. Mereka tertawa, meski tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Abiyasa tidak pernah menegur, tidak pernah menghentikan. Justru kadang aku menangkap tatapan matanya yang berbeda tidak dingin seperti kepadaku dan tidak kaku, seolah Aira berhasil membuka celah yang aku sendiri tak pernah mampu aku sentuh. Malam itu, setelah semuanya tenang, aku duduk di ranjang sambil memegang salah satu surat lama. Surat yang kutulis untuk Abiyasa di awal pernikahan kami. Kutatap tulisan tanganku yang sedikit bergetar waktu itu. "Abi, kalau suatu hari kamu merasa sendirian, ketahuilah aku ada di sini, bahkan kalau pun kamu tidak menginginkanku, aku tetap akan mencintaimu dengan seluruh hatiku." Air mataku menetes, membasahi kertas itu. Aku sadar, mungkin cintaku sejak awal hanyalah cinta sepihak. Aku memejamkan mata, berharap esok tidak seberat hari ini, tapi jauh di dalam diriku, aku tahu musim dingin ini baru saja dimulai dan entah kapan akan berakhir. *** Keesokan harinya, pintu rumah megah itu terbuka perlahan, menampakkan sosok Mama Retha yang melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Di sampingnya, seorang gadis muda berwajah manis dengan senyum penuh kemenangan berdiri anggun. Tatapannya langsung menyapu ruangan, seakan rumah itu sudah menjadi miliknya sendiri. Aku yang baru saja keluar dari dapur, menghentikan langkahku begitu melihat pemandangan itu. Dadaku mendadak sesak. "Mama, ada apa datang mendadak seperti ini?" tanyaku hati-hati. Mama Retha tersenyum tipis, nada suaranya lembut, tapi sarat tekanan. "Winnie, Abiyasa. Mulai hari ini, Aira akan tinggal di sini anggap saja rumah ini rumahnya juga." "Ma, apa maksud Mama?" Abiyasa ikut bersuara, nada herannya jelas terdengar. Dengan tatapan tajam, Mama Retha menepuk bahu Aira seakan mempertegas kehadiran gadis itu. "Aira butuh tempat tinggal sementara." "Kamu nggak keberatan kan kalau aku numpang beberapa minggu di sini?Rumahku lagi direnovasi total dan kontraktornya bilang butuh waktu lumayan lama buat beresin semuanya. Lagipula Papa Mama masih di luar negeri, jadi aku sendirian." Aku menatapnya tanpa berkedip. Ada desir aneh di dadaku, campuran curiga dan tidak enak hati. Aku tahu betul, Aira bukan tipe orang yang benar-benar “tidak punya tempat". Gadis itu punya banyak kerabat kaya, punya koneksi luas, tapi entah kenapa memilih rumahku. Rumah yang sekarang aku tinggali bersama suamiku, Abiyasa. "Aku bisa sewa apartemen, sih," lanjut Aira, kali ini dengan tawa renyah yang dibuat-buat. "Tapi rasanya sendirian di apartemen asing agak menakutkan. Lebih nyaman tinggal sama kalian." "Mama tidak tega membiarkan Aira sendirian. Bukankah rumah ini cukup luas? Tidak ada alasan menolak," kata mama Retha. Abiyasa yang tidak bisa menolak permintaan ibunya langsung menyetujuinya. Aku menarik napas panjang mencoba menahan gejolak yang mendesak di dada. Aku menatap Abiyasa, berharap ada sekilas keberpihakan di matanya, tapi yang aku temui hanyalah wajah tenang tanpa ekspresi. "Ma....," suaraku akhirnya terdengar, pelan tapi tegas. "Aku rasa tidak tepat kalau Aira tinggal di sini." Ruangan mendadak hening. Senyum Aira menghilang, sementara tatapan Mama Retha langsung berubah tajam. "Tidak tepat?" ulang Mama Retha, suaranya meninggi. "Apa maksudmu, Win? Bukankah rumah ini rumah keluarga? Bukankah seharusnya kamu justru senang ada teman di sini?" Aku menggenggam jemariku erat. "Ini bukan soal senang atau tidak, Ma. Ini rumah tangga kami. Aku dan Abi butuh ruang. Kehadiran orang lain apalagi untuk waktu yang cukup lama rasanya akan mengganggu." Aira tertawa kecil, ringan tapi menusuk. "Wah, Mbak Edwina takut aku ganggu, ya? Padahal aku cuma mau numpang sementara. Aku pikir kita bisa lebih dekat dan lagipula aku dan Abi kan teman lama masa sih aku dianggap orang asing?" Kata-kata itu membuat darahku berdesir. Aku ingin sekali membalas, ingin mengatakan bahwa justru itulah masalahnya, tapi Mama Retha sudah lebih dulu memotong dengan nada tajam. "Winnie, jangan egois. Kamu ini menantu bukan ratu di rumah ini. Kalau Mama bilang Aira tinggal di sini, ya tinggal. Titik. Kamu pikir Mama tega biarin Aira sendirian? Kamu nggak kasihan?" "Ma, aku bukan nggak kasihan,” suaraku mulai bergetar. "Aku cuma ingin hidup tenang sama Abi. Kenapa Aira harus di sini? Dia punya banyak pilihan lain." "Winnie!" bentak Mama Retha, membuatku terdiam. "Kamu jangan kurang ajar. Kamu merasa lebih tahu dari Mama soal apa yang baik buat keluarga ini?" Abiyasa yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, tapi kalimatnya justru membuat hatiku runtuh. "Win, Aira cuma sebentar. Jangan dipermasalahkan! Mama benar, rumah ini cukup luas." Aku menatap lama suamiku, mencari sedikit saja pembelaan, tapi yang ia temukan hanyalah ketegasan dingin seperti biasa, Abi memilih diam atau lebih tepatnya memilih bukan dirinya. Tanganku gemetar. Aku tahu, jika aku memaksa yang aku dapatkan hanyalah lebih banyak luka. Perlahan aku mengangguk, menunduk dalam-dalam menutupi air mataku yang hampir jatuh. "Baiklah. Kalau itu keputusan Mama dan Abi, aku tidak bisa melarang." Senyum puas muncul di wajah Mama Retha. Aira menoleh pada Edwina, menatapnya dengan tatapan manis penuh kemenangan. "Terima kasih, Mbak! Aku janji nggak akan merepotkan," katanya. Aku sadar, sekali lagi aku kalah. Aku bukan hanya kalah pada Aira atau Mama Retha, tapi juga kalah pada suamiku sendiri yang tidak pernah sekalipun berdiri di sisiku.Beberapa hari setelah pameran itu, aku menerima pesan singkat dari sekretaris Abiyasa.Nona Edwina, Pak Abiyasa ingin mengatur pertemuan lanjutan di kantor Dirgantara Group besok pukul 10 pagi untuk membahas proyek heritage Bandung.Aku menatap layar ponsel lama sekali dan jantungku tiba-tiba berdetak begitu keras seakan tubuhku menolak sekaligus menantikan hal yang sama. Nama Abiyasa terasa begitu asing dan akrab di saat bersamaan seperti lagu lama, tapi diam-diam masih kuhafal setiap nadanya.Aku menatap jendela apartemenku yang sekarang mulai diterpa mentari pagi. Aku mengembuskan napas panjang, lalu membalas pesan itu dengan tangan bergetar.Baik. Saya akan datang.***Kantor Dirgantara Group berdiri megah dengan dinding kaca tinggi yang memantulkan cahaya matahari. Saat aku melangkah masuk ke lobi utama, aroma kopi dan kayu mahoni langsung memenuhi udara terasa hangat, berkelas, dan tenang seperti dulu.Asisten resepsionis mengantarkanku ke lantai atas dan ketika pintu lift terbu
Mataku terpejam, tapi napasku terasa berat. "Dia nggak ingat aku," bisikku dan suaraku nyaris tak terdengar.Cherry menatapku dengan tatapan lembut. "Iya, Winnie, tapi mungkin itu lebih baik untuk kalian berdua."Aku tidak menjawab hanya terdiam. "Benarkah itu yang terbaik untuk kami," pikirku.Aku mengira, aku sudah kehilangan semuanya, cinta, suami, masa lalu, tapi ternyata yang paling menyakitkan juga ketika orang itu masih hidup, tapi tidak lagi mengenalmu.Tiga tahun telah berlalu. Jakarta tidak seindah Paris, tapi aku mulai belajar untuk berdamai. Studio desainku berkembang dengan sangat pesat. Aku mulai menata hidupku seperti menata ruang dan kembali menyusun ulang kepingan yang berantakan, memberi jarak pada yang harus dilepaskan, dan menambahkan cahaya di tempat yang dulu gelap. Hingga suatu sore di bulan Mei, sebuah undangan datang melalui email.Jakarta Architectural Vision 2030. Kolaborasi Desain dan Properti Masa DepanAku diundang sebagai salah satu pembicara dan hampir
Ibuku masuk dan menggenggam tanganku, sesaat ibuku menoleh pada Mama Retha, tapi tidak mengatakan apa pun. Mama Retha keluar dari ruangan. "Sayang, semua sudah siap. Aruna sudah menunggumu." Aku menatapnya. "Iya, Bu," jawabku lirih berusaha terdengar yakin meskipun hatiku terasa sedih di setiap langkah. Aula pernikahan di Château Clairvoix berkilau oleh pantulan sinar matahari yang menembus jendela. Aruna berdiri di ujung lorong dengan tuxedo putih dan senyum yang menenangkan yang seharusnya bisa membuatku tenang. Aku melangkah perlahan, setiap langkahku terasa begitu berat seolah ada tangan tak terlihat yang menarikku kembali ke masa lalu ke dalam pelukan seseorang yang sekarang terbaring koma ribuan kilometer dari sini. Ketika Aruna menggenggam tanganku di depan altar, aku menatapnya dalam diam.Tatapan lembutnya membuat hatiku bergetar. Suara di sekitar aula tenggelam di antara gemuruh detak jantungku sendiri. "Apakah kamu, Edwina Laurent Ardiwijaya, bersedia menerima Aruna M
Aku terpaku di tempat. Mama Retha, wanita yang dulu dengan tegas menentang hubunganku dengan Abiyasa sekarang berdiri di hadapanku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Ruangan mendadak terasa sempit. Ibu dan aku saling berpandangan bingung, tapi sebelum ada yang sempat berbicara, Mama Retha melangkah maju."Bisakah kita bicara berdua, Winnie?" suaranya lembut, tapi tak bisa kutolak.Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan."Ibu, tolong beri kami waktu sebentar."Kami saling pandang, lalu ibu keluar tanpa bertanya. Begitu pintu tertutup, aku menarik napas panjang. "Kenapa Mama ada di sini?" tanyaku hati-hati berusaha menahan getar suaraku.Mama Retha menatapku lama sebelum menjawab, "Aku tahu kamu akan menikah dengan Aruna."Aku mengerutkan kening. "Dari mana Ibu tahu?""Dari Abiyasa," jawabnya perlahan. "Dia tahu dari unggahan dari temanmu, Cherry, di media sosial. Dari sanalah aku tahu dan aku memutuskan harus menemuimu sendiri di sini. Mama sengaja pergi ke Paris mencarimu."Aku han
Tawa masih menggantung di udara ketika Elodie tiba-tiba berhenti mengaduk adonan rotinya. Ia menatapku dengan raut sedikit ragu seolah mencari waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu."Ah, Madame Edwina," katanya pelan sambil meletakkan sendok kayu di meja. "Aku hampir lupa menyampaikan sesuatu."Aku menatapnya. "Tentang apa?"Elodie menatapku dan Aruna bergantian sebelum akhirnya berkata dengan hati-hati, "Tadi pagi sebelum matahari terbit Monsieur Abiyasa sudah berpamitan dengan kami. Ia berangkat ke bandara. Katanya ia harus kembali ke Indonesia lebih awal dari jadwal, karena urusan pekerjaan mendadak."Cangkir di tanganku nyaris terlepas."Pulang?" suaraku nyaris tidak terdengar.Elodie mengangguk perlahan. "Iya. Ia bahkan menolak sarapan hanya meninggalkan pesan singkat bahwa ia berterima kasih untuk semua kebaikanmu selama di sini."Aku terdiam. Suara tawa yang tadi memenuhi dapur sekarang berganti hening yang kaku dan hanya bunyi jam di dinding yang terdengar berdetak pelan.
Langkah Aruna cepat, namun aku bisa melihat bagaimana bahunya sedikit bergetar. Mungkin karena dingin atau mungkin karena sesuatu yang lebih menyakitkan daripada hujan itu sendiri.Aku ingin memanggilnya, tapi suaraku lenyap di antara suara air yang menghantam tanah.Aku hanya berdiri di sana, membiarkan hujan membasahi wajahku, dan mencampur air mata yang entah sejak kapan mulai jatuh.Saat Aruna menghilang di balik kabut tipis taman Château Clairvoix, aku akhirnya berbalik pergi, melangkah pelan menuju kastil yang sekarang terasa lebih sunyi dari sebelumnya.Malam itu tidak ada yang makan malam bersama. Elodie mengetuk pintu kamarku beberapa kali, menanyakan apakah aku baik-baik saja, tapi aku hanya menjawab singkat, "Aku ingin sendiri."Malam pun berlalu tanpa suara hanya diisi oleh detak jarum jam dan suara hujan yang masih turun tanpa henti di luar jendela.***Keesokan paginya aku baru saja selesai menyisir rambut ketika terdengar ketukan pelan di pintu. Suara itu suara yang aku







