Share

Suamiku Pangeran Muda
Suamiku Pangeran Muda
Author: Roesaline

1. Aku Korban Bully

Plag!

"Bodoh!" teriaknya geram.

Dengan sekuat tenaga tamparan Faruq mendarat di wajahku. Seketika pipiku terasa sakit, panas bak terbakar. Kepala terasa berputar karena pusing. Kebodohan aku, bagaimana aku tanpa berpikir panjang mengibaskan jas itu di depannya. Sontak saja bersin-bersin Faruq semakin parah.

"Kamu bukan saja bodoh tapi juga jorok! Bagaimana banyak bulu kucing di jasku? Malah dikibaskan di depanku, otak itu dipakek!" bentaknya.

Tangannya yang besar itu mencengkeram dengan kasar pipiku. Sehingga bibirku mengkerucut dan sakit. Kini bukan saja wajahku yang panas dan perih, ditambah cengkeraman Faruq membuat ngilu rahangku.

"Kamu sengaja ya?" bisik Faruq sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku terdiam, tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Faruq. Sekilas mataku menangkap Ruby, Sena dan Markamah tertawa puas penuh kelicikan. Tiga orang teman pembantu itu selalu saja ada cara untuk membuat aku dalam masalah.

"Maafkan aku Tuan Muda, aku tidak sengaja. Bagaimana bisa ada bulu kucing, padahal jas itu kuambil dari lemari," kataku membela diri.

"Kok malah curhat? Itu karena kamu tidak becus bekerja, tau!" bentak Faruq makin emosi.

Dia menarik rambutku yang terbungkus hijab dengan kuat, sontak tubuhku terdorong ke belakang.

"Sakit Tuan Muda!" pekikku menahan tangis.

"Abi,...!" teriak Iqbal anakku yang tiba-tiba muncul.

Faruq bersin, sehingga tanpa disadari dia melepas cengkeramannya. Iqbal berlari mendekap tubuhku. Terdengar suaranya bergetar memanggil,

"Umi," sambil tangannya semakin erat memeluk pinggangku.

Dia adalah anakku, yang terlahir karena perkosaan yang dilakukan Faruq saat dia masih kuliah. Hampir setiap hari aku harus melayani nafsu bejatnya, dan itu masih dilakukannya hingga sekarang. 

Kini anakku sudah berusia sembilan tahun. Dia selalu memberikan badannya untuk melindungi aku dari siksaan abinya maupun neneknya.

"Abi, jangan siksa Umi terus, kasihan Umi kesakitan!" pekik Iqbal menangis.

"Umi kamu bodoh sih!" jawab Faruq ketus.

"Tapi Iqbal sangat menyayangi Umi, Abi! Umi juga sayang sama Iqbal. Apakah Abi tidak sayang sama Umi, sama Iqbal?" Iqbal bertanya dengan lembut diiringi isak tangis.

"Tentu saja Abi menyayangi Umi maupun Iqbal," jawab Faruq tampak terpaksa karena gengsi.

Kehadiran Iqbal di tengah-tengah keluarga mereka sanggup menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Tuan dan nyonya juga sangat menyayanginya, apalagi Faruq, abinya.

"Cepat siapkan jas yang lain! Aku sudah terlambat rapat, Fahim!" pintanya datar.

"Baik, Tuan Muda," jawabku pelan sambil bergegas mengambil jas yang lain dari dalam lemari. 

Aku melirik kearah Faruq yang mulai melepas jas dan celananya sambil sesekali masih terdengar bersinnya.

Kini dia hanya mengenakan boxer dan kaos dalam. Terus terang setiap kali aku melihatnya seperti ini, ada getar-getar bak listrik yang menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saja ada anakku Iqbal, kalau tidak, pasti otak cabul Faruq juga muncul. Dia akan meraih tanganku dan menuntunnya menjelajah kemana-mana.

"Iqbal, bujuk Umimu, agar mau dinikahi Abi! Umimu keras kepala dan sombong. Apa kurangnya Abi coba, ganteng, kaya, iya kan?" tanya Faruq sombong.

"Abi galak sih,... kasar!" sahut Iqbal.

"Umimu saja yang bodoh! Di luar sana banyak wanita cantik ingin Abi nikahi ... Umimu sombong dan jual mahal!" kata Faruq sambil menepuk pundak Iqbal, tapi pandangannya tajam menatapku.

Aku yakin dengan tatapannya yang tajam ke arahku, menandakan kata-kata itu ditujukan langsung kepadaku.

"Baik Abi, biar Umi aku yang urus!" jawab anakku dengan lembut.

"Kuberi waktu satu bulan, mau tidak mau penghulu datang ke sini menikahkan kita!" bisiknya kepadaku kemudian pergi.

Aku terdiam, percuma aku berontak toh dia sudah pergi ke luar.

"Umi, kenapa Umi tidak mau menikah dengan Abi. Iqbal ingin punya keluarga utuh kayak teman-teman. Demi Iqbal, Umi!" pinta Iqbal memohon kepadaku.

"Iqbal sayang, Umi minta waktu berpikir ya!" kataku menenangkan.

Padahal dalam hatiku menolak keras, aku tidak mau menikah dengan orang kasar dan kejam serta ringan tangan. Dia sudah lama membuat hidupku dalam penderitaan. Pernah aku berpikir mempunyai seorang imam yang berhati lembut, romantis dan pengertian. Semua itu tidak ada padanya.

Iqbal berjalan pergi meninggalkan kamar abinya. Aku hanya menatap punggung mungilnya. Satu-satunya yang membuat aku bertahan di sini hanyalah dia.

Kini aku seorang diri merapikan kamar Faruq.

Sena dan Ruby adalah TKW dari suatu negara lain. Tiba-tiba dia datang dan menggelandang aku keluar kamar dan menyeret ke ruang loundry.

"Cuci korden dan baju-baju ini, setelah itu masakkan makan siang buat kita semua!" perintah Sena dan Ruby menekan.

"Baik," jawabku pelan penuh kepasrahan.

Satu-satunya temanku sesama Indonesia adalah Markamah. Tapi dia lebih memilih membantu TKW dari negara lain, daripada aku sesama orang Indonesia. Mungkin karena dia takut kena intimidasi sama seperti diriku. Satu-satunya yang bisa aku ajak bicara adalah TKW dari negara Banlada, dia Priya.

Aku sudah sepuluh tahun bekerja di suatu negara sebut saja Inagara, di rumah Tuan Muhammad Hussein seorang polisi yang berpangkat Jendral. Sedang dua orang pembantu dari negara Arcada sudah dua belas tahun bekerja.

Faruq adalah putra tunggalnya yang ketampananya bikin para wanita meleleh. Banyak wanita memimpikannya, termasuk Sena dan Ruby.

Entah kenapa aku tidak bisa jatuh cinta padanya. Jujur, terkadang aku melihat ketampanan sesekali tergetar. Tapi saat mengingat perangainya yang kasar, kejam dan selalu ringan tangan membuatku tersiksa. Selain diriku, dia juga suka merendahkan orang lain, itu yang aku benci.

Sepuluh tahun bekerja di Inagara tak sekalipun Faruq mengijinkan aku cuti pulang ke Indonesia.Berbeda dengan pembantu yang lain, dua tahun sekali mereka mendapat cuti satu bulan pulang ke negaranya.

Ini sangat tidak adil bagiku, tapi apa dayaku. Jangankan untuk pulang cuti, ke luar rumah saja aku tidak bisa. Mereka menjagaku dengan ketat seolah tahanan. Faruq takut kalau aku melarikan diri. Padahal pasporku sudah sejak awal ditahan oleh Faruq. Andai saja aku bisa kabur dari penjara ini, tentu hanya anakku yang ingin aku bawa pulang ke Indonesia.

     ***

"Fahim, buatkan susu kurma hangat!" perintah nyonya, mamanya Faruq. 

"Baik Nyonya," jawabku bersemangat.

 Aku segera pergi ke dapur membuatkan minuman untuk nyonya maupun Iqbal. Kebetulan dia sedang libur sekolah.

Aku berjalan dengan nampan di tanganku, tiba-tiba saja kaki Ruby menjulur tepat dibawah kakiku.

Pyaar!

Suara gelas jatuh, dan aku terjerembab bersama nampan dan minumannya.

"Oups jatuh!" ujar Ruby tersenyum puas kemudian pergi begitu saja.

"Ya Allah, ceroboh sekali kamu! Jalan pakek mata, setiap hari selalu membuat kesalahan. Heran deh, bagaimana anakku bisa menyukai kamu?" Katanya sambil tangannya menampar wajahku dengan kuat.

Plag!

"Oma!" teriak anakku. "Jangan pukul Umiku!" pekik Iqbal memohon.

 "Umimu ceroboh sekali! Ayo kita pergi dari sini banyak pecahan kaca, Iqbal!" ajak nyonya sambil menggandeng anakku. "Cepet bersihkan!" teriaknya sambil melangkah pergi.

Aku masih meraba pipiku yang panas karena tamparan majikanku. Bekas cap tangan dari Faruq belum sembuh, kini sudah ditambah lagi tamparan majikanku perempuan. 

    ***

Di rumah ada pesta, aku tidak tahu pesta apa itu? Karena hampir setiap bulan para kerabat berdatangan makan bersama. Mereka bersenang-senang menari dan bernyanyi. Saat-saat seperti ini aku selalu disembunyikan dan disekap oleh Faruq. Bahkan aku dikunci di kamarnya.

Tiba-tiba pintu kamar Faruq dibuka, Faruq datang bersama dua orang wanita disisinya.

"Dandani dia yang cantik!" perintah Faruq kepada kedua wanita itu.

"Baik Tuan,' jawab mereka serempak.

"Ada apa, Tuan Muda? Kenapa saya berdandan?" teriakku bertanya.

"Diam!" jawabnya membentak.

Sontak terbersit dalam ingatanku bahwa Faruq akan menikahiku. Dia memberiku waktu satu bulan untuk berpikir. Tapi dia belum minta jawaban dariku, setuju atau tidak? Ini berarti dia memaksaku meskipun aku tidak setuju.

Dua wanita itu mulai memoles wajahku, satu orang yang lain menyiapkan make up, kemudian baju. Tak terasa air mata yang lama aku tahan akhirnya bergulir di pipiku.

"Kalau Nona terus menangis, bagaimana saya bisa meriasnya. Pipi Nona basah dan bedaknya akan berantakan!" tutur perias.

Bagaimana aku tidak menangis mereka memperlakukan aku seperti ini? Pernikahan ini bukan atas dasar cinta, tapi nafsu. Dia hanya ingin menghalalkan kegiatan berhubungan suami istri. Karena yang ada di otaknya hanya nafsu sexnya. Hampir setiap hari aku diperlakukan bagai budak pemuas nafsunya. Ayahnya yang seorang polisi, membiarkan anaknya melakukan ini.

"Nona cantik sekali, seperti boneka India," kata perias kepadaku.

Aku menatap wajahku di cermin, inikah Fahim Roesaline? Seorang TKI yang menjadi budak sex majikannya, hingga melahirkan seorang anak diluar nikah? Gadis bodoh yang hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah.

Aku terdiam, pikiranku sedang melayang, bersiasat. Bagaimana cara aku bisa lepas dari acara pernikahan ini?

"Kak, bisa minta tolong panggilkan Iqbal, anakku?" kataku meminta tolong.

Ketika salah satu perias keluar kamar, Ruby masuk dengan membawa segelas jus jeruk.

"Ini jus segar buat kamu, agar kamu fresh." Katanya sambil tersenyum sinis menatap aku dengan tajam.

Aku bisa membaca pikirannya, ada sesuatu yang sedang dia rencanakan. Aku pasrah, karena pikiranku benar-benar buntu. Aku tidak mau pernikahan ini terjadi.

"Tuan Kecil Iqbal sedang makan, sehabis makan dia akan kemari, Nona!" kata perias itu.

Selesai merias, mereka pun pamit pulang meninggalkan aku dan Ruby di kamar.

"Minumlah!" kata Ruby sambil menyodorkan gelas jus.

Tanpa berpikir panjang aku meneguk jus jeruk yang segar sebagai pelepas dahagaku. Sedari tadi aku menahan tenggorokanku yang mulai mengering.

Tiba-tiba aku mengantuk hebat, kepalaku berat sekali. Terasa pening menggigit, dan ...

Apa yang terjadi padaku?

Bersambung ...

     

     

    

..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status