Share

2. Di Sekap Di Gudang Dan Keguguran

 Kepalaku terasa sakit dan berat, mataku sulit sekali kubuka. Samar-samar dari jauh kudengar tangis Iqbal  memanggilku.

"Umi ...!" teriaknya histeris.

Aku berusaha membuka mataku yang masih berat. Dimanakah aku? Udara sangat pengap dan panas. Kuraba bajuku sangat ketat dan tidak nyaman. Gaun pengantin? Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan aku mulai mengingat semuanya.

Kakiku penuh luka, darah mulai mengering di sana-sini. Ada bercak darah di gaun putih pernikahan. Aku tidak tahu bagaimana aku mendapatkan luka ini? Dan bagaimana aku tiba-tiba berada di gudang. Ada terpal kotor menutupi tubuhku yang lemah yang kini mulai terasa gatal-gatal.

Tangis Iqbal makin jelas terdengar di telingaku. Dan kini mataku pun mulai jelas melihat sekelilingku. Meski kepala masih terasa sakit dan berat, cukup untukku bisa membawa tubuhku bangun dan duduk.

Kenapa aku disekap di gudang? Satu-satunya pemegang kunci gudang penyimpanan makanan ini adalah Ruby. Dan aku yakin ini adalah perbuatannya.  Tapi aku tidak menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya kepadaku. Karena dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku memang ingin menghindari pernikahan itu.

"Ruby, mana kunci gudang ini?" Aku mendengar Iqbal berteriak kepada Ruby.

"Untuk apa Tuan kecil?" suara Ruby bertanya.

"Cepat berikan!" bentak Iqbal emosi.

 Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu mulai dibuka.

"Umi ...!" teriak Iqbal menghamburkan tubuhnya ke pelukanku setelah pintu itu terbuka. Aku masih belum sadar benar, tubuhku terasa melayang.

"Umi, kenapa ini harus terjadi padamu?" Iqbal memelukku semakin erat.

Tangisnya pun makin menjadi saat dia melihat ada luka di kakiku. Dia meraba lukaku, tatapannya nanar sambil meremas tanganku. Seolah dia merasakan juga luka ini. Dia meremas semakin kuat seolah ingin memberikan kekuatan dan dukungan kepadaku.

"Ruby, kenapa kamu melakukan ini kepada Umiku? Emangnya siapa kamu?" bentak Iqbal.

"Apa yang kamu katakan, Tuan Kecil?" bantah Ruby yang berdiri di belakang Iqbal.

"Jangan berpura-pura lagi, aku tahu semuanya!" teriak Iqbal.

 Aku terkejut saat Iqbal mengatakan kalau dia mengetahui apa yang dilakukan Ruby. Darimana dia tahu? Tapi Iqbal anak yang cerdas, dia pasti berani bicara berdasarkan bukti. Apakah dia memeriksa CCTV?

"Tuan Muda ... Tuan Muda ...!" teriak Ruby tiba-tiba, sambil keluar gudang.

"Darimana kamu tahu kalau Ruby yang melakukannya, Iqbal?" bisikku di telinga Iqbal.

"Aku mengecek CCTV, Umi," jawab Iqbal berbisik juga.

"Jangan katakan apapun pada Abimu ya!" pesanku.

"Kenapa, Umi? Abi harus tahu, kalau tidak, dia akan menyalahkan Umi terus," berontak Iqbal.

"Sayang, kalau sampai Ruby diusir oleh Abi, maka kedua pembantu itu akan ikut bersamanya pergi. Kalau mereka semua pergi, kita harus cari pembantu baru. Dan itu sulit, nanti masih harus mengajari bekerja dari awal, pasti makin ribet bikin Oma kamu sedih nanti." Aku menjelaskannya kepada Iqbal karena memang aku tidak mau suasana semakin kacau.

"Mana dia?" teriak Faruq yang sudah berdiri di depanku.

Iqbal menatapku dengan iba, air matanya meleleh. Tampak dari raut mukanya sedih dan ketakutan. Aku membalas tatapan Iqbal dengan senyum pasrah.

Faruq dengan tanpa menaruh iba sedikitpun menarik tanganku dengan kuat. Tubuhku yang lemah dan Iqbal terseret karena dia sedang memelukku.

"Lepaskan Umimu! Dan pergi kamu ke kamar!" perintah Faruq membentaknya.

"Jangan sakiti Umi, Abi!" pekik Iqbal memohon.

Dengan kasar Faruq mendorong tubuh Iqbal dengan kuat dan membuatnya terpelanting jatuh.

"Iqbal ...!" teriakku spontan. "Jangan sakiti, anakku, Tuan Muda!" tangisku memohon.

"Itu karena kamu berani mempermalukan aku di depan tamu-tamuku." Faruq semakin keras mencengkeram lenganku.

Iqbal yang terjatuh, kembali berdiri dan menghampiri tubuhku dan memelukku kembali.

"Lepaskan Umimu, Iqbal!" bentaknya dengan mencengkeram lengan Iqbal.

"Lepaskan anakku, Tuan Muda! Tanganmu bisa melukainya!" kataku memohon.

"Hasan ... Hasan ...!" teriak Faruq.

"Iya, Tuan Muda?" Hasan muncul dengan tergopoh-gopoh dan diikuti Tuan Muhammad Husain dan nyonya.

"Bawa Iqbal ke kamarnya!" perintahnya berteriak.

"Baik Tuan Muda," jawab Hasan tegas.

 "Jangan sakiti umiku, Abi! Tolong .., umi tidak bersalah!" teriak Iqbal menangis memohon.

Aku menatap Iqbal yang dibawa paksa oleh penjaga keamanan. Hatiku terasa perih seperti tergores sembilu. Dadaku tiba-tiba terasa sesak bernafas.

"Jadi kamu bersembunyi di sini? Dasar wanita bodoh! Jual mahal sekali kamu! Hajar saja dia, bikin ulah saja!" kata Tuan Hussein dengan marah.

"Hukum saja gadis tolol ini! Jangan beri dia ampun!" nyonya menimpalinya.

Faruq menyeret paksa tubuhku ke luar gudang.

"Ampun Tuan Muda!" desahku lirih menahan sakit.

Tampak Faruq terbelalak melihat ada darah di kaki dan gaun pengantin.

"Bagaimana ada darah, ini darah apa?" tanya Faruq panik.

Aku sudah tidak sanggup berkata-kata. Faruq mulai membopong tubuhku dan membawanya masuk ke kamarku.

"Panggilkan dokter, Hasan!" teriak Faruq panik.

Dia membaringkan tubuhku diatas tempat tidur. Aku masih bisa merasakan tangannya yang besar itu membelai rambutku.

"Kalau kamu berniat lari dan sembunyi, kenapa ada luka dikakimu, kenapa sekujur tubuhmu bintik-bintik merah?" gumamnya sendiri.

Aku pura-pura pingsan untuk menghindari hukuman dari Faruq.

"Ada apa Faruq, kenapa kamu memanggil dokter?" tanya nyonya membuka pintu kamarku.

"Dia sakit Umi, badannya demam dan ada bintik-bintik merah di tubuhnya," jawab Faruq.

"Kok bisa? Bikin repot saja!" gerutu nyonya.

Tak berselang lama dokter keluarga datang. Dengan intens dia memeriksa tubuhku. Aku mulai berani membuka mataku dan mengakhiri sandiwaraku.

"Kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan?" tanya dokter dengan lembut.

Faruq ikut mengamatiku dengan penuh kekhawatiran. Dia duduk disampingku sambil tangannya mengusap dan memijat kakiku.

"Perut saya sakit dokter dan pinggang saya nyeri sekali," kataku lirih.  

"Sepertinya anda sedang keguguran ya? Apakah anda hamil?" tanya dokter hati-hati.

Aku terkejut sekali dengan pertanyaan dokter. Sambil mengingat-ingat memang bulan ini harusnya aku mentruasi, tapi terlambat tiga minggu. Aku benar-benar tidak menyadarinya.

"Aku tidak tahu, dokter," jawabku ragu.

"Kapan terakhir mentruasi?" tanya dokter.

Aku jadi takut dan malu menjawabnya. Karena kehamilanku bukanlah sesuatu yang kuharapkan bahkan momok bagiku. Bagaimana aku mengatakan hamil kepada orang lain, dimana tidak ada pernikahan diantara kami?

"Tanggal lima dokter." jawabku ragu.

"Iya, berarti anda sedang hamil tujuh minggu. Sayang sekali keguguran, Nyonya. Mungkin karena anda  kecapekan atau stres bisa juga," kata dokter pelan.

"Jadi dia hamil dan keguguran dokter?" tanya Faruq terperangah.

"Benar, sudah tujuh minggu, kok bisa  anda tidak mengetahuinya? Ini aku beri resep tolong belikan obatnya ya, untuk membersihkan rahim anda. Syukur-syukur kalau mau kuret biar bersih rahimnya!" kata dokter memberi saran.

"Tidak usah dokter!" sahutku.

Dokter tersenyum, kemudian pamit pulang dan meninggalkan selembar kertas resep obat.

Faruq menatapku dengan tajam, aku hanya terdiam dan menunduk menahan rasa takut.

"Aku tidak tahu harus bicara apa, bagaimana kamu hamil anakku dan kamu diam saja. Atau jangan-jangan ini pendarahan memang kamu sengaja ingin menggugurkannya, iya kan?" tuduh Faruq dengan emosi. "Aku mau menikahi kamu, memberi status pada hubungan kita, tapi kamu menolaknya, apa maumu? Apakah aku tidak pantas buat kamu? Sementara di luaran sana para wanita mengidolakan diriku. Memangnya kamu cantik, pintar, kaya? Kamu tuh cuma seorang budak yang bodoh dan tidak cantik, aku tidak tahu kenapa aku tergila-gila padamu?" pekiknya menahan emosi.

Baru kali ini aku mendengar dengan jelas pernyataan Tuan Muda bahwa dia sedang tergila-gila padaku.

Akankah sikap Faruq berubah karena kejadian ini?

Bersambung ...

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status