Share

3. Pertemuan Pertama Dengan Muzammil

Faruq shock, ternyata dia menginginkan bayi itu. Tapi aku tidak berdaya, bagaimana aku bisa tidak menyadari kalau ada pertumbuhan mahluk mungil di rahimku. Betapapun aku menyesalinya, nasi sudah menjadi bubur.

"Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau hamil, Fahim? Atau jangan-jangan memang kamu sengaja ingin menggugurkannya karena kamu tidak menginginkan bayi itu?" tuduh Faruq memekik menangis.

"Apakah aku sekejam itu? Bagaimana mungkin aku membunuh darah dagingku sendiri? Meskipun aku tidak menginginkan bayi itu, meskipun aku benci sama kamu, aku jijik sama kamu tapi aku bukan manusia kejam yang bisa membunuh anakku sendiri!" teriakku emosi tepat di depan wajahnya.

Seolah ingin melepaskan gejolak hatiku yang lama kutahan. Tak perduli kekejaman apalagi yang bakal kuterima, pasti rasanya tak sesakit kehilangan bayiku.

"Beraninya kamu bicara seperti itu kepadaku! Dasar wanita gila, bodoh!  Wanita pembangkang, bukannya minta maaf, malah ngelunjak!" teriaknya lebih garang.

Plag ... Plag ... Plag!  Berkali-kali tamparan itu mendarat di wajahku. Bahkan aku merasakan ada aroma sengir darah yang masuk ke mulutku, entah dari hidungku atau bibirku. Yang kurasakan wajahku perih dan panas bak terbakar. Kemudian Faruq menjambak rambutku yang terbungkus hijab, hingga aku mendongak ke atas.

"Aku bisa melakukan apa saja padamu, tak peduli kamu suka atau tidak! Kamu hanyalah babu di sini!" hujat Faruq makin emosi.

"Lakukan yang kamu suka, Tuan Muda! Tapi ingat, aku makin membencimu!" ujarku pelan menahan geram.

"Wanita jalang!" teriak Faruq sambil menghulus ikat pinggangnya.

Bak kesetanan dia mengayunkan ikat pinggangnya menyabetkan ke betisku dan kaki.  Sontak aku terjatuh dan bersimpuh di lantai. Sakit yang tak bisa kugambarkan saat cambuk itu mendarat di jari kakiku.

"Auh ... ampuuun, Tuan Muda!" jeritku histeris meraung dan meratap.

Tanganku spontan meraba dan melindungi kakiku agar tidak terkena cambuk lagi, tapi justru kini jemari tanganku yang terkena amukan sabetan ikat pinggang Faruq. Tak terlukiskan rasa sakitnya, benar-benar aku tak mampu menggambarkannya rasa sakit itu.

Ternyata aku tidak sanggup menahan sakit hati dan sakit fisik ini. Aku membayangkan lebih sakit kehilangan bayiku daripada sakit pukulan Faruq ternyata tidak benar, nyatanya aku tidak sanggup fisiku dianiaya.

"Ampuuun, Tuan Muda! Aku tidak kuat ... bunuh saja aku! Bunuh aku, aku tidak kuat!" tangisku meronta-ronta.

"Kamu benci kepadaku? Kamu jijik kepadaku?" tanyanya memekik sambil tangannya yang besar mencengkeram pipiku. 

Wajahku yang panas dan sakit kini ditambah rahangku terasa ngilu. Sontak  bibirku mengkerucut, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaannya. Aku melihat ada pisau diatas keranjang buah diatas mejaku.Tidak berpikir panjang lagi aku menarik tubuhku dan berlari mengambil pisau itu. Kini pisau sudah ada di tanganku.

"Apa yang akan kau lakukan, Fahim! Jangan main-main dengan pisau itu!" tanya Faruq gugup. 

"Lebih baik aku mati daripada menjadi pelampiasan nafsu bejad dan amarah kamu!" teriakku penuh pemberontakan.

"Kamu yakin? Bukankah kamu muslimah yang taat? Bagaimana kamu akan mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini? Allah akan melaknatmu, kau pasti tahu itu kan?" ujar Faruq mengingatkan.

"Allahu A''lam, Tuan Muda! Aku ingin memperjuangkan kehormatanku! Aku tidak sanggup lagi, Tuan Muda!" gumamku sambil menaruh pisau itu di leherku. "Kamu jangan sok suci, kamu sudah menghancurkan hidupku!" lanjutku putus asa.

"Fahim, dengar ... apa kamu tidak memikirkan bagaimana Iqbal hidup tanpa kamu?" gumam Faruq mulai pelan dan hati-hati. Dia menyembunyikan rasa takut dan gusarnya.

Faruq pelan-pelan menghibur melerai emosiku, kemudia dengan sigap tangannya menangkap tanganku yang memegang pisau dan merebutnya. Aku melihat tangan Faruq terluka, darah segar mengucur disela-sela jemarinya. Sontak aku melepas pisau itu, ada perasaan bersalah dan kasihan. Hatiku terasa perih melihat darah Faruq.

"Kenapa kamu melakukan itu, Tuan Muda?" tanyaku penuh penyesalan.

Tiba-tiba Faruq berlutut di depanku, pisaunya dilemparkan ke bawah ranjang. Tangannya yang penuh darah meraih kedua tanganku dan menciumi punggung tanganku yang terluka baik kena pisau maupun cambuk Faruq.

"Maafkan aku, Fahim! Jangan pernah ulangi lagi, aku takut! Aku dan Iqbal tidak bisa hidup tanpa kamu, kau tahu itu?" gumam Faruq pelan penuh penyesalan.

Dia menatap tanganku, kakiku yang terluka parah karena cambuk. Dia kembali menciumi tanganku kemudian memelukku. Semakin dalam dia membenamkan tubuhku ke dalam dekapannya yang hangat.

"Maafkan aku, Fahim," gumamnya lagi. "Sebagai permintaan maafku aku akan membawa kamu dan Iqbal jalan-jalan, gimana mau kan?" tawar Faruq.

"Tidak, Tuan Muda," jawabku tegas.

Bagaimana dia mengajakku jalan-jalan dengan fisikku yang seperti ini? Untuk jalan saja rasanya mau pingsan.

"Kamu selama di sini belum pernah kan ke luar? Ayolah aku mau bahagiakan kamu dan Iqbal, Fahim! Atau kita cari makan malam di luar biar Iqbal bahagia, gimana?" tanya Faruq mendesak memohon.

Selama aku datang di Inagara, aku langsung serasa disekap, belum pernah ke luar rumah walau hanya di luar pintu pagar. Kini Faruq mengajak aku ke luar untuk makan malam untuk pertama kalinya. Tapi fisikku tidak kuat, apakah aku harus nekat demi Iqbal?

"Gimana, Fahim?" 

"Baik, demi Iqbal!" jawabku ketus.

"Berdandanlah! Sebentar lagi Priya akan mengantarkan gaun buat kamu. Aku akan memberitahu Iqbal, dia pasti senang sekali," kata Faruq kemudian pergi dari kamarku.

***

Kini aku, Faruq dan Iqbal sudah berada di dalam mobil. Kami bertiga duduk di bangku belakang. Pertama kalinya aku ke luar rumah dan menghirup udara di luar, padahal sepuluh tahun aku di Inagara.

Mobil super mewah yang aku tumpangi, begitu nyaman. Rasanya seperti terbang, begitu tenang, tanpa bising mesin, tanpa jalan terjal, udaranya sejuk, serta jalanan sangat lengang.

Tidak seperti mobil angkutan desa di tempatku seperti senam, semua tubuh bergoyang, turun dari angkutan umum pinggang sakit dan kepala kliyengan. Belum lagi campur aduk dari bau keringat sampai ke parfum yang menyengat, semua ada.

Aku melihat ke luar jendela, penuh dengan hamparan padang pasir yang panas dan berdebu. Sedikit rerumputan dan pohon palem atau apalah seperti pohon kurma, begitu mulai masuk perkotaan.

"Umi, senang?" tanya Iqbal sambil meremas tanganku.

Aku hanya menatap Iqbal sambil tersenyum mengangguk. Dia duduk di tengah diantara aku dan Faruq. Sebelah tangannya memegang tangan Faruq, ada ikatan yang kuat antara bapak dan anak itu.

Dret ... Dret ... Dret ... Dret!  Ponsel Faruq bergetar.

"Assalamualaikum Muzammil?" sapa Faruq setelah telepon diangkat.

"Aku lagi acara sama anak dan istriku," ujar Faruq.

"Faruq memperkenalkan aku kepada temannya sebagai istrinya?" batinku, aku terkesima.

"Tidak, cuma makan malam, kalau kamu hanya butuh tanda-tanganku kenapa tidak sekalian kita makan malam bersama?" ajak Faruq kepada seseorang di balik telepon.

"Iya, aku tunggu di restoran Seafood dekat kantorku ya!" ujar Faruq kemudian.

"Oke, Waalaikum salam," jawab Faruq kemudian menutup teleponnya.

Kini mobil mulai masuk di halaman restoran mewah. Aku terpukau, sempat nervous, untung Iqbal menggandeng tanganku dengan erat. Luka kaki karena cambuk tadi masih sakit sekali. Bahkan punggung tanganku bengkak, lecet dan memar juga karena cambuk.

Tidak sengaja Iqbal selalu menyentuh lukaku membuat aku terperanjat dan mengaduh. Kini Faruq dan Iqbal menggandeng aku yang jalannya tertatih-tatih.

"Maafkan aku, Tuan Muda kalau kamu harus malu karena aku jalan pincang," kataku sedih.

"Sudah jangan berpikir macem-macem!" sahut Faruq.

Faruq dan Iqbal terus memapah aku sampai ke kursi di sebuah ruangan VVIP. Meja makan oval itu dipenuhi dengan aneka macam masakan seafood. Ada sebuah lopster besar di atas piring lonjong. Iqbal lebih suka memakannya dengan dicocol saos dan kecap.

"Umi senang?" tanya Iqbal lagi karena penasaran.

"Iya sayang," ujarku sambil mengambilkan makanan buat Iqbal dan Faruq.

Kita bertiga menikmati makan malam seperti layaknya keluarga bahagia. Kalau sekilas orang memandangnya pasti mengira bahwa kami adalah keluarga kecil yang bahagia.

"Tuan Muda, aku mau ke toilet." pamitku setelah selesai makan.

"Iqbal, antarkan Umimu ke toilet! Jaga dia baik-baik jangan sampai dia lari!" pesan Faruq.

"Baik, Abi!" jawab Iqbal.

Iqbal menggandeng langkahku yang masih tertatih-tatih. Sesampai di toilet entah kenapa aku tiba-tiba berpikiran ingin kabur.

"Ini saatnya aku kabur mumpung aku berada di luar rumah. Banyak orang yang pastinya akan menolongku bila aku berontak," pikirku.

"Iqbal kita kabur, yuk! Umi tidak kuat lagi hidup bersama abimu!  Ayo sayang, kita pulang ke Indonesia," ajakku.

"Tidak Umi, Iqbal tidak mau! Aku tidak mau jauh dari abi!" ujar Iqbal menolak sambil berontak menarik tangannya.

"Ayo sayang, Umi tidak bisa jauh dari kamu?" pintaku memaksa sambil menarik tangan Iqbal.

Dengan sekuat tenaga Iqbal mendorong tubuhku sampai aku jatuh terpelanting. Untung ada seseorang yang tiba-tiba  menangkap tubuhku.

"Auh!" jeritku.

"Umiiii!" Iqbal pun histeris.

Dia seorang lelaki yang tampan dan gagah perkasa. Bibir merona yang terbelah tengah, dengan matanya yang indah dan bulunya yang lentik. Kumis dan jenggot yang tipis serta bulu halus di rahangnya, terkesan lelaki banget. Dia menatap tajam bola mataku sehingga terasa menusuk di jantungku.

"Kamu tidak apa-apa, Nyonya?" tanyanya lembut dengan senyum sedikit lesung di pipinya.

Kedua tanganku dengan erat bergelayut di lengannya yang kekar, takut aku terjatuh. Tatapan mata kami beradu, matanya begitu teduh membuat aku ingin hanyut di dalamnya. Dia membalas menatapku dengan tajam hingga menghujam jantungku.

Tangan kekarnya memeluk pinggangku, hatiku berdebar-debar. Tak sadar cadarku tersibak sehingga dia bisa melihat bibirku yang pecah dan membiru.

"Ada apa dengan bibir cantikmu, Nyonya? Siapakah yang melakukannya?" bisiknya lirih.

"Maaf Tuan, saya tidak sengaja!" kataku sambil menarik diriku dan beranjak bangun.

"Hati-hati!" lanjutnya kembali dengan senyum lembutnya.

"Umi, ayo kita kembali ke Abi!" pinta Iqbal merengek.

"Tidak Iqbal, mumpung kita di luar, ayo kita berdua pergi!" ajakku memaksanya sambil menarik lagi tangannya.

"Umi tidak punya uang, Umi miskin aku tidak mau! Aku mau sama Abi! Ayok Umi kita kembali ...!" ajak Iqbal berteriak.

"Nyonya, kalau memang ada masalah keluarga diselesaikan saja baik-baik, jangan sampai gaduh di luar!" saran lelaki tampan itu.

Akhirnya aku pun berpikir ulang, aku menurut saat Iqbal menarik tanganku dengan paksa kembali bergabung di meja makan dengan Faruq.

"Lama sekali kenapa sih?" hardik Faruq.

"Umi kan lagi sakit Abi, aku harus pelan-pelan membantu Umi," ujar Iqbal menutupinya.

Tampak di belakang Faruq adalah lelaki yang menolongku di depan toilet tadi.

"Assalamualaikum Faruq?" sapa lelaki itu.

"Waalaikum salam, Muzammil," jawab Faruq terkejut.

"Kamu sudah datang?"tanyanya lagi. "Sendirian saja?" lanjutnya.

"Bersama asisten, tapi sudah pulang karena mendadak ada urusan," jawabnya.

"Oh begitu, mari duduk!" Faruq mempersilahkan. "Kamu mau minum atau makan apa, Zammil?" lanjutnya.

"Tidak perlu, aku sudah makan bersama asistenku," tolaknya. 

Dia orang yang menolong aku di depan toilet tadi. Ternyata dia adalah orang  yang tadi telepon Faruq saat di mobil. Namanya Muzammil, dia sangat tampan dan baik hati, benar-benar lelaki idaman.

"Aku tidak ingin mengganggu acara keluarga kamu, Faruq, aku hanya ingin minta tanda tangan," kata Muzammil sungkan.

Dia mengeluarkan beberapa lembar fail dari map untuk diserahkan kepada  Faruq. Tiba-tiba angin berhembus menerbangkan beberapa lembar kertas jatuh di bawah kakiku. Spontan aku berjongkok mengambilnya dan Muzammil melakukan hal yang sama.

Tinggal selembar kertas, tanganku memegangnya tapi Muzammil juga. Tak sengaja lengan baju tersingkap sedikit membuat luka di tanganku terlihat olehnya.

"Nyonya, kenapa tangan dan kaki Nyonya terluka separah itu?" ujarnya sambil tangannya hendak menyentuh tanganku.

"Jangan!" tolakku sambil menarik tanganku.

Aku menyerahkan beberapa lembar kertas yang aku pungut kepada Muzammil.

Dan Muzammil menerimanya sambil menatap tajam mataku. Untung aku mengenakan cadar, kalau tidak pasti Faruq akan emosi menghujat aku.

"Terima kasih," ucapnya lembut masih terus menatapku.

Sekilas aku melihat Faruq tajam menatap kami berdua. Wajahnya tampak tegang menyembunyikan rasa tidak sukanya.

"Mana yang harus saya tandatangani, Zammil?" tanyanya membuyarkan konsentrasi Muzammil.

"Iya Faruq ... ini," ujarnya sambil berdiri dan menyerahkannya kepada Faruq. 

"Bila kamu masih ada acara lain, kamu bisa pergi duluan, Zammil!" ujar Faruq terkesan mengusir.

"Iya Faruq kebetulan aku juga tergesa-gesa kok," jawab zammil sambil tatapannya kembali ke arahku.

Muzammil adalah teman bisnis Faruq karena terjalin hubungan sudah lama maka mereka berdua akrab seperti saudara.

Apakah yang sedang dipikirkan Muzammil?

Bersambumg ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status