Share

4. Nafsu Yang Melukai

Aku lebih suka tidur di kamar Iqbal. Tanpa sepengetahuan Tuan Hussein dan nyonya aku sering menyelinap tidur di kamar Iqbal. Bila mereka mengetahuinya, aku pasti dimarahi bahkan dihukum karena tidur di sana.

Mereka merasa aku tidak sederajat dengan Iqbal sehingga tidak boleh tidur seranjang dengan anakku sendiri. Tidur di kamar Iqbal adalah salah satu cara agar aku bisa selamat dari nafsu Faruq. 

Malam ini aku masih sakit, aku yakin Faruq tidak akan memaksaku bercinta. Maka itu aku tidur di kamarku sendiri.

Terdengar dia membuka pintu kamarku yang sebenarnya sudah aku kunci. Tapi dia memegang kunci duplikatnya. Dia sudah melakukan ini hampir setiap malam. Nafsu sexnya terlalu tinggi, mungkin pengaruh dari makanan yang dikonsumsinya setiap hari.

Aku pura-pura tidur saat dia mendekatiku. Seluruh badanku yang dilukai dengan cambuk itu pun belum sembuh. Aku sengaja tidak menutupinya dengan selimut karena sentuhan selimut menyakiti lukaku. Aku melirik Faruk yang berdiri di belakang ku. Di balik cahaya yang remang-remang dia berusaha mengamati dan mengelus-elus luka kakiku dengan pelan. 

"Aku tahu kamu belum tidur. Kamu pasti juga menunggu aku datang kan?" tanyanya kaku.  

"Cuih! Bahkan aku muak, jijik dan risih. Apa yang ada di otak kamu sehingga berpikiran aku sedang  menunggumu?" batinku menghujat.

Tiba-tiba dia membaringkan tubuhnya di belakangku. Tangannya yang kekar itu melingkar di tubuh mungilku. Aku selalu tenggelam di dalam dekapannya. Dia tinggi, besar dan perkasa. Kalau sedang berdiri aku hanya setinggi dadanya. Tanganku teramat kecil bila dibanding dengan tangannya yang besarnya dua kali lipat.

"Aku hanya ingin tidur di sampingmu, Fahim! Memeluk tubuh kamu, aku janji tidak akan memaksamu melayani aku," ujar Faruq.

Aku tetap berpura-pura tidur, dengan tidak memberi respon apapun.

Faruq mulai mencium tengkukku, dia memelukku dengan erat dari belakang. Disibakkannya rambutku yang membelai wajahnya.

Ternyata aku benar-benar ketiduran, demikian juga dengan Faruq. Benar malam ini dia tidak melakukan apapun kepadaku. Dia hanya mendekapku dengan penuh kehangatan. 

Saat mataku terbuka, aku berada dalam dekapan dadanya yang bidang. Dibalik piyamanya, aku masih bisa menyentuh bulu lembut di dadanya. Aku menatap dengan dalam wajah tampan Faruq yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Bahkan hembusan hangat nafasnya, aku sangat merasakannya.

Kamu memang sangat tampan, Faruq. Bibir kamu merah dan indah, ada samar-samar belahan di bibirmu.. Alis kamu  tebal dan rapi, ditambah bulu mata kamu yang lentik, oh karunia terindah dariNya. Mata kamu sangat indah, kebiruan dan berkilau. Kumis kamu yang tipis, bulu-bulu halus di dagu dan rahang kamu ... oh!

Andai saja kamu berhati malaikat, aku pasti bertekuk lutut memohon cintamu? Aku yang akan berjuang mendapatkan hatimu!" batinku. "Sayangnya kamu berhati iblis, kamu bagai hewan, yang memperlakukan orang lain juga seperti hewan.

Tak sadar ternyata tanganku meraba bulu halus di rahangnya, kemudian merayap ke bibirnya dengan penuh kekaguman. Selama ini aku tidak pernah punya keberanian untuk menatapnya selekat ini, bahkan menyentuhnya.

Hah! Aku terperanjat ketika matanya tiba-tiba terbuka.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya datar sambil merebut tanganku. Aku tidak mengira dia tiba-tiba terbangun.

Dia membalikkan tubuhku dengan cepat, kini dia menindihku. Kedua tanganku direntangkan ke atas. Dan kedua kakinya menghimpit pahaku. Aku tidak berdaya, apalagi dia menatap mataku dengan tajam. Sontak mataku memejam karena takut dan malu. Bergegas dia menyambar bibirku dan mengulumnya dengan hangat.

Dengan sekuat tenaga aku mendorong dadanya. Dengusanku yang kasar ungkapan pemberontakanku.

"Kamu yakin tidak menginginkannya?" bisiknya di telingaku.

"Tidak! Tidak sama sekali!" sahutku ketus.

"Tapi kamu menatapku, meraba ... kamu mulai mengagumiku kan?" tanyanya kaku.

"Lepaskan, Tuan Muda! Kamu salah paham!" bantahku semakin memberontak. 

Dia masih mengunci kedua tanganku diatas kepalaku. Kaki dan pahaku yang sakit mulai terasa. Dan kini dia malah menghimpitnya dengan kuat.

"Bagaimana aku bisa mengagumimu, kamu persis seperti binatang!" hardikku.

Plag! 

Dengan sekuat tenaga tangannya diayunkan menampar bibirku. Kemudian tangannya yang kekar dengan kuat mencengkeram rahangku. Aku meringis kesakitan, ada cairan yang anyir merasuk ke dalam mulutku. Aku bisa menebak itu pasti darah dari bibirku juga hidungku yang terluka, karena tamparan Faruq.

Rasa sakit yang tidak bisa kuraba, semua terasa sakit. Dari cengkeraman tangannya, himpitan tubuhnya, luka di bibir, luka cambuk kemarin, semua terasa menggerogotiku. Terlebih luka dalam, yaitu hati yang tidak bisa sembuh.

Rintihan tangisku, luka bibirku justru membuat birahi Faruk bergejolak. Detak jantungnya kencang, aku bisa mendengarnya. Bibirku yang pecah berdarah justru dia mengulumnya  penuh nafsu. Tak bisa ku gambarkan betapa sakitnya ...

Bak kesetanan dia terus menikmati setiap lekuk tubuhku. Ciuman dan jilatan yang basah dan hangat menyusuri tubuhku yang sudah tak terhalang selembar benangpun.

Semakin aku menangis karena tersiksa, semakin naik adrenalin bercintanya. Harus dengan menyiksa  dulu birahinya memuncak. Dengan tanpa jijik dia menjilati setiap luka yang dia toreh. 

"Apakah ini iblis atau kelainan sex?" batinku.

Sepuluh tahun sudah Faruq memperlakukan aku seperti ini. Sejak usiaku 18 tahun dan kini menginjak 28 tahun. Ada trauma bercinta, yang menghantuiku yang tidak mungkin bisa  terobati. Itu alasanku kenapa aku tidak mau menikah dengannya. Serasa menikahi iblis, aku hanya akan menjadi pemuas nafsunya belaka. 

Aku dan dia terkapar setelah melayani nafsu bejat Faruq. Aku menangis melampiaskan sakit dan kecewa karena ulah Faruq yang tak pernah ada puasnya.

Dia mengangkat tubuhku yang terbungkus selimut masuk ke kamar mandi. Ditariknya selimut kemudian dibuka showernya, membuatku terbelalak kaget. Faruq mengguyur tubuhku dengan air shower sambil ngakak. Tapi suara tawanya membuatku semakin terluka.

     ***

"Umi, tolong ambilkan buku Sejarah Islam dan karya kaligrafi aku di atas meja ya!" pinta Iqbal kepadaku.

Aku terdiam, "Bagaimana cara aku mengambilnya? Kan tulisannya Arab gundul, bahasanya juga aku tak mengerti, bagaimana aku tahu?" batinku.

Tapi aku tidak bisa berkata tidak, aku juga ingin membantu anakku meskipun aku tidak pandai, kapan lagi aku membantunya. Dia jarang meminta tolong masalah sekolah kepadaku.

Tanpa berpikir panjang aku segera masuk kamar anakku mencari buku yang sedang dibutuhkannya. Aku harus segera menemukannya karena anakku sedang menunggu di meja makan sambil sarapan bersama abinya dan opa serta omanya.

Aku melihat meja penuh buku dan beberapa lembar kaligrafi. Berantakan sekali, lalu buku manakah yng sedang dibutuhkan Iqbal? Apakah buku yang paling atas ini dan kaligrafi juga paling atas. Semoga aku tidak melakukan kesalahan, pikirku.

Aku sedang turun dari tangga membawa apa yang sedang dibutuhkan Iqbal. Dari jauh aku sudah melihat Ruby datang membawa nampan berisi minuman. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi sepertinya Ruby sedang usil. Dari jauh dia sudah menatapku dengan licik.

Dia pura-pura tersandung sesuatu sehingga sontak Ruby terjerembab menimpa aku. Minuman panas di nampan tu mengguyur tanganku juga buku dan pekerjaan Iqbal.

"Auh!" jeritku spontan.

"Gimana sih, Fahim, jalan pakek mata dong!" hardik Ruby menuduh.

Aku terperanjat, kenapa justru dia menuding aku yang tidak hati-hati?

Aku sudah tidak memperdulikan tanganku yang panas kena tumpahan  kopi dan susu kurma. 

"Umi, kamu tidak apa-apa?" teriak Iqbal sambil berlari menghampiri aku. Dia memegang dan mengamati tanganku.

"Apapun yang kamu pegang selalu bermasalah, heran deh!" teriak Faruq.

"Kerja apapun selalu tidak beres, ceroboh!" Nyonya Hussein menimpali.

"Bukan Umi yang salah, Oma? Ruby tidak hati-hati," ujar Iqbal.

"Maafkan Umi, Iqbal! Umi yang salah, pekerjaan kamu jadi rusak, buku kamu juga basah," kataku menyesal.

"Tuan Kecil kok jadi nyalahin saya, kan Fahim yang ceroboh jalan tidak hati-hati," bantahya.

"Bisa mikir tidak, itu kaligrafi Iqbal mengerjakannya sejak dua hari yang lalu," sahut Faruq.

"Maafkan Umi, Iqbal!" Kataku menyesal sambil memegang erat tangan Iqbal sebagai permintaan maafku.

"Dasar wanita bodoh, memangnya guru Iqbal bisa mendengarkan permintaan maaf Iqbal. Dia tetap akan kena hukuman atas kesalahan kamu!"

Byur! 

"Auh!" pekikku.

Tuan Hussein dengan cekatan mengguyur wajahku dengan air putih dari gelas. Aku terperanjat kaget, wajahku basah kuyup.

"Opa! Jangan!" teriak Iqbal ikut terperanjat melihat perlakuan Opanya kepadaku.

"Ruby, puas kamu? Semua orang memarahi umiku!" hardik Iqbal.

 "Umi, syukurlah itu bukan kaligrafi untuk hari ini. Itu sudah di nilai. Berarti pekerjaan untuk hari ini masih di kamar!" kata Iqbal tersenyum puas.

Aku ikut bahagia, ternyata kesalahanku mengambil tugas Iqbal itu, justru menyelamatkannya.

Akhirnya Iqbal mengambil sendiri pekerjaan kaligrafinya yang masih tertinggal di kamar.

Aku mengantar Iqbal ke mobil sambil membawakan bekal untuk makan siangnya. 

"Umi, kenapa bibir kamu luka dan membiru? Abi yang melakukannya ya?" tanya Iqbal sebelum masuk mobil.

"Umi kejedok pintu, Iqbal!" jawabku sekenanya. Ternyata anakku terlalu cerdas untuk membaca pikiranku.

"Umi, aku sudah besar, jangan bohongi aku seperti anak kecil!" pinta Iqbal sambil menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Iqbal salim dan mencium punggung tanganku kemudian mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Umi!"

"Waalaikum salam, anakku sayang."

Belum aku kembali masuk, Faruq sudah menyusul ke luar.

"Cepat masuk, kenapa kamu masih di luar? Mau kabur?" tanya Faruq menohok.

Aku diam tak menjawab, perlakuannya semalam kepadaku terbayang lagi dengan jelas.

"Aku bulan depan ulang tahun, di hari bahagiaku itu hanya satu keinginanku, menikahi kamu," bisik Faruq di telingaku.

Aku hanya diam menahan terkejut yang tak terkira. "Dia masih mau  berjuang untuk menikahi aku? Demi siapakah, dirinya sendiri atau Iqbal?" batinku.

Apakah kali ini aku bisa lolos lagi?

Bersambung ...

     

    

   

     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status