Zaweel mengecek ponselnya ketika dia merebahkan badan di tempat tidur. Namun, dia merasa aneh dengan pesan yang belum dibalas oleh Haziya. Bahkan sekadar dibaca pun belum.
Apakah terjadi sesuatu dengan Haziya?
Zaweel mencoba untuk tidak berpikiran buruk, mungkin saja Haziya sedang sibuk menikmati liburannya sehingga tidak sempat membalas pesan.
"Bang ..."
Jarang sekali Miska mengirim chat menggantung seperti itu, biasanya dia selalu langsung to the point jika ada hal penting.
"Iya, ada apa?" Zaweel segera membalas, perasaannya sedikit deg-degan menunggu pesan lanjutan Miska.
"Kangen enggak? Wkwk."
Miska mengirimkan foto Haziya tersenyum memandang lautan sedang berdiri di tepi pantai yang diambil gambarnya oleh Lidya.
Zaweel menghela napas lega setelah melihat Haziya baik-baik saja. 
"Aku pulang ke Jakarta tadi pagi."Saat membaca pesan terakhir dari Zaweel, Haziya merasakan desiran aneh di dada. Bahkan dia tidak langsung membalas, matanya terasa berat oleh genangan embun.Mengapa Haziya mendadak didesak oleh perasaan tak menentu? Hatinya terasa nyeri membaca kalimat itu.Haziya sadar dia hanyalah klien bagi Zaweel, tidak punya hak mengatur kapan lelaki itu kembali ke kotanya lagi. Namun, mengapa tidak ada salam pamitan sejak kemarin? Setidaknya Zaweel memberitahukan soal keberangkatan tadi pagi itu kepadanya, sekadar basa-basi?Seketika Haziya sadar, jika hubungan mereka tidak lebih dari antara klien dan pengacara. Dia tidak punya hak untuk menuntut Zaweel dengan kekecewaan diterimanya kini. Lelaki itu bebas ke mana pun, bahkan jika tidak kembali lagi ke Aceh untuk melanjutkan status seorang pengacara baginya sah-sah saja.Dia tidak tahu al
30*Safia menyapa Zaweel saat melihat bosnya memasuki ruangan kerja. Dia baru saja mengantarkan segelas kopi susu untuk Zaweel."Selamat pagi, Mas Zaweel.""Pagi," balas Zaweel, dia berjalan menuju meja kerja."Setengah jam lagi kita rapat, aku sudah menyiapkan semua berkasnya.""Baik, terima kasih," ucapnya seraya tersenyum simpul. Safia mengangguk kecil, tetapi tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri."Ada apa, Safia?" tanya Zaweel melihat tatapan ragu-ragu Safia. "Kamu ingin mengatakan sesuatu? Katakan saja."Zaweel bisa membaca jelas raut wajah merona Safia, perempuan itu memang cantik tapi sayangnya belum mampu menarik hatinya."Aku ... hanya ingin mengingatkan Mas, tentang undangan makan malam nanti di rumah."Safia menggigit bibir merahnya yang ranum, lelaki mana yang tidak tergoda melihat seorang perempuan berpenampilan cantik dan modis seperti Safia kini. Namun, Zaweel sudah biasa melihat pe
Jam sudah menunjukkan pukul enam petang, Zaweel masih di meja kerja. Dia masih berkutit dengan berkas-berkas dan dokumen penting lainnya.Sesuai rencananya, dia ingin segera membereskan kekacauan di kantor supaya bisa segera kembali ke Serambi Mekkah untuk menjadi pengacara bagi Haziya. Menuntaskan janjinya pada Miska untuk menolong sahabat saudaranya itu. Dan, tentu saja agar bisa makan masakan Haziya.Zaweel bahkan sudah tidak menerima tawaran kasus apa pun, meskipun diiming-imingi dengan banyak fee. Karena jika dia mengambil satu kasus saja, bakal menghabiskan beberapa hari."Kamu langsung pulang saja, besok lanjutkan lagi. Jangan lupa nanti malam makan malam di rumah Safia."Papanya mengingatkan ketika rapat usai tadi siang. Namun, Zaweel tidak menghiraukan karena dia lebih mementingkan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibanding harus bersiap-siap berjam-jam demi makan malam yang membosankan. Apalagi jika dia pasangan orang tua akan
Zaweel menunggu balasan dari Haziya, dia menanyakan bagaimana keadaan perempuan itu sekarang. Namun, sejak usai magrib tadi dia mengirimkan pesan belum juga kunjung dibalas."Makin tampan saja, Nak Zaweel," puji mama Safia menyambut kedatangan mereka bertiga.Safia juga menyapa mereka, dia sangat senang karena Zaweel menyempatkan diri untuk hadir dan memenuhi undangan makan malam ini.Zaweel hanya tersenyum getir, meski raganya di rumah Safia, tetapi jiwa dan pikirannya melayang ke Haziya."Makasih, Mas, mau hadir.""Ayo, masuk!" Mama Safia mempersilakan semuanya memasuki ruang tamu, lalu diajak ke ruang makan karena sudah waktu makan malam."Langsung ke ruang makan saja, ya, sudah waktu makan malam. Yuk!" Sekar menuntun Monika untuk duduk di kursi."Safia, ayo duduk di sini!" Sekar menunjuk kursi di sebelah Zaweel. Se
Zaweel langsung meminta izin kepada Safia untuk mengangkat panggilan dari Haziya. Sejak petang tadi perasaannya begitu gelisah dan resah. Haziya sangat jarang mengirimkan pesan lebih dulu apalagi menghubunginya. Tentu saja dia langsung mengangkat karena penting."Assalamualaikum," sapa Zaweel memberi salam. "Gimana, Ziya? Kamu baik-baik saja?" tanyanya langsung tanpa menunggu penelepon menjawab salam."Waalaikumsalam, Bang, maaf ini Lidya. Sebentar ya, aku kasih ke Kakak. Sengaja aku hubungi Abang soalnya Kak Ziya mah mana berani telpon langsung.""Iya, boleh Dek. Abang juga ingin bicara sesuatu sama Kak Ziya."Meski bukan Haziya yang menghubunginya, tetapi Lidya memakai nomor Haziya seperti alasan yang dikemukakan barusan, tetap saja Zaweel senang. Setidaknya, dia bisa mendengar langsung Haziya bicara kepadanya."Ayo Kak, Abang Zaweel mau bicara juga katanya. Nih!'
Safia tidak langsung menjawab, dia melirik Zaweel yang sejak tadi tidak membantah apa pun apalagi mengiyakan. Apakah lelaki itu menyetujui rencana pertunangan ini?"Nak, kamu ditanya lho," bisik Sekar.Sekar selalu berdoa untuk kebahagiaan Safia, apa pun yang terbaik untuk putrinya dia akan berusaha untuk memberikan itu. Termasuk, jika harus menjadi besan Monika. Namun, melihat respon Zaweel yang tidak menaruh ketertarikan kepada Safia sejak dulu membuatnya sedikit kecewa dan sedih.Safia sangat berharga baginya. Selain jadi Putri tercantik di matanya, Safia juga selalu membanggakan di bidang prestasi sejak sekolah.Meski Sekar sempat meminta Safia untuk tidak begitu menaruh harap kepada Zaweel, dan meminta untuk membuka hati kepada lelaki lain saja karena banyak yang mengejarnya. Namun, karena Safia gigih mendapatkan hati Zaweel dia ingin mendukung
Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje
Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan."Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam."Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya."Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis."Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya."Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat.