LOGINRumah orangtuaku selalu terasa lebih besar dari yang seharusnya. Bangunan dua lantai dengan pilar-pilar tinggi itu berdiri megah di tengah halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga mahal. Tapi bagiku, rumah ini tak pernah terasa seperti rumah.
Aku melangkah masuk, melewati ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit. Seorang pelayan mengantarku ke ruang keluarga, tempat Ibuku, Tiana, duduk dengan elegan di sofa panjang berlapis beludru. Tangannya memegang secangkir teh porselen, sementara matanya yang tajam langsung menatapku begitu aku masuk. "Akhirnya kau datang juga," katanya tanpa basa-basi. Aku mengeratkan genggaman tanganku. Sebenarnya, aku ingin langsung mengatakan alasanku datang—aku ingin meminjam uang. Tapi sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Ibu sudah mendahuluiku. "Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," katanya, meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja. "Perusahaan keluarga kita sedang dalam masalah. Kami butuh tambahan dana, dan aku ingin kau meminta bantuan Aditya." Aku terdiam. Dada terasa sesak, tapi bukan karena penyakitku. Aku sudah menduga ini akan terjadi, namun tetap saja mendengarnya langsung seperti tamparan keras di wajah. "Kau tahu, Aria, ini bukan pertama kalinya perusahaan menghadapi kesulitan," lanjut Ibu dengan nada tajam. "Ayahmu sedang berusaha menstabilkan keadaan, tapi kali ini kami benar-benar membutuhkan suntikan dana. Aditya memiliki kekuatan finansial untuk membantu. Kau hanya perlu sedikit membujuknya." Aku menelan ludah. "Ibu …." suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuinginkan. "Aku tidak bisa melakukan itu." Dahi Ibu mengernyit. "Apa maksudmu tidak bisa?" Aku menggigit bibir. Tiga tahun pernikahan, dan aku bahkan tidak bisa menyentuh Aditya, apalagi meminta sesuatu sebesar ini. "Ibu tidak mengerti," kataku pelan. "Aditya bukan tipe yang bisa dibujuk untuk hal-hal seperti ini." "Jangan bodoh, Aria." Nada suara Ibu berubah tajam. "Dia suamimu. Kau seharusnya bisa berbicara dengannya. Atau kau ingin kami semua jatuh miskin sementara kau duduk diam?" Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan getaran di tubuhku. "Aku benar-benar tidak bisa," ulangku. "Aditya tidak—" "Tidak apa?" Ibu menatapku tajam. "Jangan bilang kau masih belum bisa mengendalikannya? Tiga tahun menikah, dan kau masih menjadi istri yang tak berguna?" Darahku berdesir. Aku menunduk, merasakan jantungku berdebar keras. "Apa kau tahu kenapa kami memilih Aditya untukmu?" lanjutnya. "Karena kami tahu dia bisa menjadi aset yang besar. Kami tahu dia bisa membantu keluarga kita. Tapi kalau kau bahkan tidak bisa memanfaatkannya dengan baik, untuk apa pernikahan ini?" Aku ingin tertawa, tapi yang keluar dari bibirku hanyalah napas gemetar. Pernikahan ini memang bukan tentangku. Bukan tentang kebahagiaanku. Sejak awal, aku hanya alat. Ibu menghela napas, seolah lelah menghadapi kebodohanku. "Aku tidak peduli bagaimana caramu melakukannya, Aria. Aku ingin kau berbicara dengan Aditya. Buat dia membantu kita. Jika kau tidak bisa meminjam uang darinya, setidaknya yakinkan dia untuk berinvestasi dalam perusahaan kita." Aku diam. Ini momen yang seharusnya tepat. Aku bisa saja membalas dengan mengatakan bahwa akulah yang membutuhkan uang. Bahwa aku yang membutuhkan pertolongan. Tapi aku tahu percuma. Ibu tidak akan peduli. Bahkan jika aku mengatakan bahwa aku sekarat, dia mungkin hanya akan bertanya apakah aku bisa bertahan cukup lama sampai masalah perusahaan selesai. Jadi aku memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya mengangguk pelan, lalu berdiri. "Aku akan mencoba," kataku, meskipun suaraku terdengar kosong. Ibu tersenyum tipis, puas. "Bagus. Jangan mengecewakan kami, Aria." Aku berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu dengan tubuh yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Hari ini, aku datang dengan harapan bisa meminta bantuan. Tapi seperti biasa, aku pulang dengan tangan kosong. ….. Aku berdiri di depan pintu kantor Aditya, membawa kotak makan siang yang kubuat sendiri. Jemariku sedikit gemetar saat kuketuk pintunya pelan. Dari dalam, suara seorang pria menjawab tanpa emosi. "Masuk." Aku menarik napas dalam, lalu mendorong pintu. Kantor ini terasa dingin seperti biasa—tidak hanya karena AC yang menyala, tetapi juga karena suasana yang ditinggalkan pemiliknya. Aditya duduk di balik meja besar, matanya tetap fokus pada layar laptop. Dia bahkan tidak melirik saat aku masuk. Seperti biasa. Aku melangkah mendekat, hati-hati meletakkan kotak makan siang di atas mejanya. "Aku membawakan makan siang untukmu," kataku pelan. Aditya tidak langsung merespon. Tangannya masih sibuk mengetik, seolah aku tidak ada di sana. Detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan, sebelum akhirnya dia mengangkat kepalanya—bukan untuk melihatku, tetapi untuk melirik kotak makan itu dengan ekspresi datar. "Aku tidak memintanya." Aku sudah menduga ini, tapi entah kenapa tetap ada sesuatu di dalam diriku yang mencelos. Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. "Aku hanya ingin kau makan sesuatu yang sehat. Aku memasaknya sendiri." Matanya yang dingin seperti es, akhirnya menatapku. Tapi bukan dengan kehangatan. Hanya kebencian yang nyaris tak tersamarkan. "Aku tidak butuh makanan darimu." Suaranya tajam, menusuk tepat ke dalam dadaku. "Dan aku tidak ingin melihatmu datang ke kantorku hanya untuk melakukan hal konyol seperti ini." Aku menundukkan kepala, menggenggam jemariku sendiri di bawah meja. Rasanya sakit, tapi bukan pertama kali aku mendengar kata-kata seperti ini darinya. "Aku mengerti," jawabku, masih mencoba tersenyum. "Maaf kalau aku mengganggumu." Aditya mengalihkan pandangannya kembali ke layar laptop, seolah aku tak lebih dari angin yang berhembus tanpa arti. "Kalau sudah selesai, keluar." Aku tetap diam beberapa detik sebelum akhirnya berbalik, berjalan menuju pintu. Langkahku ringan, tapi tubuhku terasa berat. Mungkin karena kelelahan yang semakin hari semakin menjadi, atau mungkin karena dinginnya tatapan suamiku yang membuatku semakin sadar bahwa aku hanyalah bayangan tak berharga di kehidupannya. Lihat, kan? Apa yang bisa aku harapkan? Mengabulkan permintaan Ibuku? Hahahaha Bahkan dia tidak memiliki waktu untuk melihatku. Apalagi untuk mendengar keluhku. Tepat sebelum aku keluar, aku menoleh sedikit, melihat kotak makan yang masih tergeletak di meja. Aku tahu dia tidak akan menyentuhnya. Seperti biasa. Tapi aku tidak keberatan. Selama aku masih bisa, aku ingin tetap melakukan hal kecil seperti ini untuknya. Walaupun dia membenciku. Walaupun aku mungkin tidak akan punya banyak waktu lagi. Baru beberapa langkah, aku melihat wajah Davis, teman baik suamiku sekaligus rekan bisnisnya. Pria tinggi itu berjalan mendekat, matanya menatapku seperti aku ini setumpuk kotoran yang menji jikkan. “Mau apalagi kamu datang ke sini?” Nadanya ketus, sama sekali tidak menyenangkan. Sebenarnya selama ini aku selalu bersikap baik pada teman-teman suamiku, berharap dengan seperti itu, hubunganku dengan Aditya pun akan membaik perlahan. Namun ternyata, pepatah itu benar. Burung-burung dengan bulu yang sama, berkumpul bersama. Sekarang aku hanya bersikap seadanya saja. Bibirku mengulas senyum tipis, tidak ada perasaan benci pada pria ini, sebab, sekali lagi, ini sudah biasa. “Aku sudah selesai. Aku akan pergi,” kataku sambil melewatinya. “Berhenti di situ, Aria!” Aku berhenti, menoleh sedikit ke arahnya. “Ya?” “Sudahi sikap sok polosmu ini. Kami semua tahu, jika bukan kelakuan licik keluargamu, Aditya tidak akan terperangkap dengan wanita menyedihkan sepertimu. Yessy telah menyelesaikan pendidikannya, dan dia akan kembali ke tanah air. Bersiaplah untuk menerima perceraian dari Aditya.” Yessy mungkin bisa kusebut cinta matinya Aditya. Jika bukan karena jebakan Ibuku, mungkin mereka sudah menikah dan memiliki lusinan bayi saat ini. Sekali lagi aku mengangguk. “Ya, terima kasih atas pengingatnya.” ***Koridor depan ruangan Gustav tiba-tiba berubah seperti ruang tunggu UGD.Beberapa karyawan berdiri saling berbisik, sebagian memeluk map seperti pelindung dada, sebagian lain hanya menatap pintu direktur dengan wajah penuh tanda tanya. Tak sedikit yang memilih menguping halus—sekedar menunggu momen pintu itu terbuka.Dari dalam ruangan, terdengar suara kursi bergeser, langkah tergesa, dan potongan kalimat pendek yang terdengar penting namun samar. Cukup untuk membuat orang yang santai jadi gelisah.Alan berdiri paling depan, map laporan menempel di dadanya. Aria berada di sisinya, memegang dokumen yang seharusnya ia berikan pada pamannya.Beberapa staf dari berbagai departemen ikut berkumpul di belakang mereka.“Ada apa ini sebenarnya?” gumam seseorang.“Sejak tadi semua orang IT dipanggil,” bisik staf lain. “Aku lihat Kepala Gudang lari ke sini. Lari. Bukan jalan cepat.”“Setelah kurir tadi diseret masuk, suasana jadi kacau,” seseorang menambahkan sambil melirik Aria. “Aria, kau tahu
Pintu ruang direktur ditutup dengan suara keras, nyaris menampar udara.Aditya bahkan belum sempat menarik napas ketika Gustav melepaskan genggamannya, seolah baru saja menyeret seekor singa yang bisa menggigit balik kapan saja.Di ruangan itu, Tuan Abram duduk dengan bahu tegang, wajahnya pucat.Tidak ada teriakan.Tidak ada makian.Tapi justru itu yang membuat suasananya mengerikan.Meja besar penuh kertas berserakan.Laptop terbuka dengan puluhan email masuk—semuanya ditandai merah.Satu notifikasi berbunyi pling, membuat Gustav dan Tuan Abram sama-sama menegang seperti baru mendengar tembakan.“Duduk.” Suara Tuan Abram rendah … dan itu jauh lebih buruk daripada marah.Aditya duduk tanpa suara.Matanya menangkap sekilas wajah Tuan Abram yang tampak seperti orang yang telah begadang semalaman. Ada bayangan gelap di bawah mata, dan garis rahang yang mengeras seperti menahan amarah yang sudah berada di batasnya.Gustav mengusap wajahnya sekali, napasnya pendek. “Biar aku jelaskan.”Ia
Alan belum sempat membalas ketika suara Aria terdengar pelan namun jelas.“Alan,” panggilnya, tanpa menoleh dari layar. “Kau boleh kembali ke mejamu. Aku akan mengirim dokumennya nanti setelah selesai.”Alan menoleh cepat, terkejut. “Aria, tapi—”“Tolong,” lanjut Aria, suaranya tetap tenang namun tegas. “Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Kau kembali saja.”Alan memandang Aria, lalu Aditya, lalu Aria lagi.Ia ingin menolak, tapi tatapan Aria jelas-jelas tidak ingin ada diskusi.Dengan rahang mengeras, ia mengambil tablet kerjanya dan melangkah pergi. Tapi sebelum pintu tertutup, Alan masih sempat memberikan tatapan tajam ke arah Aditya, seolah ingin mengatakan: ‘Aku akan kembali dan kita belum selesai.’Aditya tidak peduli.Begitu pintu tertutup, Aditya berjalan dan berdiri tepat di sisinya, meletakkan itu di hadapan istrinya. “Makan.”Aria menoleh, menatapnya dari ujung ke ujung.Bukankah dia baru saja bersenang-senang dengan Ava?Bukankah Ava akan membantunya berbelanja dan menunjuk
Lorong depan perusahaan Tuan Abram tampak begitu mewah hingga membuat pakaian yang Aditya kenakan terasa semakin memalukan.Sweater longgar milik Gustav, celana santai, dan sneakers yang bahkan bukan miliknya—semuanya kontras dengan karyawan yang lalu-lalang memakai setelan rapi dan kartu ID yang menggantung di dada.Cahaya lampu marmer di resepsionis memantul di lantai, membuat penampilannya semakin … tidak pantas.Aditya menarik napas.Ya sudah. Sudah terlanjur.Ia melangkah mendekati meja resepsionis.“Selamat pagi, saya ingin bertemu dengan—”“Maaf, Pak.” Resepsionis wanita itu bahkan tidak membiarkan kalimatnya selesai. Matanya menatap Aditya dari atas ke bawah, lalu tersenyum sopan … tapi jelas meremehkan. “Untuk tamu, ada daftar janji yang perlu dicek dulu.”“Saya tidak membuat janji,” jawab Aditya.Kontan saja ekspresi gadis itu berubah kaku. “Kami tidak bisa menerima tamu tanpa janji. Apalagi …” ia menahan lidahnya, tapi tatapannya tidak. “Kurir makanan dilarang masuk. Anda b
Aroma wafel, telur orak-arik, dan kopi hitam memenuhi ruang makan besar keluarga Nugraha. Aria turun lebih dulu. Penampilannya sudah rapi dan siap berangkat kerja, seolah insiden di pagi buta tadi tidak pernah terjadi.Di meja makan, beberapa orang telah menunggu.Tuan Abram duduk di ujung meja, wajahnya masam seperti biasa—atau mungkin sedikit lebih masam pagi ini.Gustav Nugraha, paman Aria, langsung tersenyum hangat begitu melihat keponakannya masuk.Di sebelahnya ada istrinya, Isla Haidi, wanita berambut pirang, elegan, dan ramah, serta putri mereka, Ava, gadis dua puluh tiga tahun yang terlalu ceria untuk jam makan pagi.“Morning, Aria!” Ava melambai heboh.Aria tersenyum lebar dan duduk di sebelah Kakeknya.“Di mana Aditya? Dia datang tadi malam, kan?” tanya Ava sambil melirik tangga.“Ya, di mana suamimu, Aria?” Isla menambahkan dengan nada penasaran.Mereka memang baru melihat Aditya sekali—saat pesta pertunangan keluarga—bahkan belum sempat berkenalan resmi. Tapi entah bagai
Cahaya pagi merayap perlahan dari balik tirai kamar. Aria menggeliat kecil, tubuhnya masih berat, pikirannya masih setengah tertinggal dalam mimpi. Ia menarik selimut, beringsut sedikit … lalu merasakan sesuatu.Hangat.Keras.Dan … bernapas.Alis Aria berkerut dalam tidur. Tangannya yang biasanya memeluk bantal kini justru menempel pada sesuatu yang jauh lebih besar—dada seseorang. Permukaan hangat itu naik turun perlahan, stabil, seperti ritme napas manusia.Aria bergeser sedikit. Kulitnya bersentuhan dengan kulit lain—hangat, nyata, dan sama sekali bukan miliknya.Tubuhnya langsung tegang.Bukan bantal.Bukan selimut.Bukan anjing keluarga.Detik berikutnya, matanya terbuka lebar.Dan dunia seolah berhenti.Di hadapannya, masih terlelap, dengan rambut sedikit berantakan dan napas teratur, adalah Aditya. Suaminya.Pria yang seharusnya berada ribuan kilometer jauhnya.Pria yang … entah bagaimana, sekarang tertidur di ranjangnya.Aria menganga tanpa suara.Beberapa detik ia hanya mena







