Home / Romansa / Suamiku Selalu Ingin Bercerai / Bab 2 Tidak Ingin Melihatnya

Share

Bab 2 Tidak Ingin Melihatnya

Author: Fachra. L
last update Last Updated: 2025-09-18 20:37:30

Rumah orangtuaku selalu terasa lebih besar dari yang seharusnya. Bangunan dua lantai dengan pilar-pilar tinggi itu berdiri megah di tengah halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga mahal. Tapi bagiku, rumah ini tak pernah terasa seperti rumah.

Aku melangkah masuk, melewati ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit. Seorang pelayan mengantarku ke ruang keluarga, tempat Ibuku, Tiana, duduk dengan elegan di sofa panjang berlapis beludru. Tangannya memegang secangkir teh porselen, sementara matanya yang tajam langsung menatapku begitu aku masuk.

"Akhirnya kau datang juga," katanya tanpa basa-basi.

Aku mengeratkan genggaman tanganku. Sebenarnya, aku ingin langsung mengatakan alasanku datang—aku ingin meminjam uang. Tapi sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Ibu sudah mendahuluiku.

"Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," katanya, meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja. "Perusahaan keluarga kita sedang dalam masalah. Kami butuh tambahan dana, dan aku ingin kau meminta bantuan Aditya."

Aku terdiam.

Dada terasa sesak, tapi bukan karena penyakitku. Aku sudah menduga ini akan terjadi, namun tetap saja mendengarnya langsung seperti tamparan keras di wajah.

"Kau tahu, Aria, ini bukan pertama kalinya perusahaan menghadapi kesulitan," lanjut Ibu dengan nada tajam. "Ayahmu sedang berusaha menstabilkan keadaan, tapi kali ini kami benar-benar membutuhkan suntikan dana. Aditya memiliki kekuatan finansial untuk membantu. Kau hanya perlu sedikit membujuknya."

Aku menelan ludah. "Ibu …." suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuinginkan. "Aku tidak bisa melakukan itu."

Dahi Ibu mengernyit. "Apa maksudmu tidak bisa?"

Aku menggigit bibir. Tiga tahun pernikahan, dan aku bahkan tidak bisa menyentuh Aditya, apalagi meminta sesuatu sebesar ini.

"Ibu tidak mengerti," kataku pelan. "Aditya bukan tipe yang bisa dibujuk untuk hal-hal seperti ini."

"Jangan bodoh, Aria." Nada suara Ibu berubah tajam. "Dia suamimu. Kau seharusnya bisa berbicara dengannya. Atau kau ingin kami semua jatuh miskin sementara kau duduk diam?"

Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan getaran di tubuhku. "Aku benar-benar tidak bisa," ulangku. "Aditya tidak—"

"Tidak apa?" Ibu menatapku tajam. "Jangan bilang kau masih belum bisa mengendalikannya? Tiga tahun menikah, dan kau masih menjadi istri yang tak berguna?"

Darahku berdesir. Aku menunduk, merasakan jantungku berdebar keras.

"Apa kau tahu kenapa kami memilih Aditya untukmu?" lanjutnya. "Karena kami tahu dia bisa menjadi aset yang besar. Kami tahu dia bisa membantu keluarga kita. Tapi kalau kau bahkan tidak bisa memanfaatkannya dengan baik, untuk apa pernikahan ini?"

Aku ingin tertawa, tapi yang keluar dari bibirku hanyalah napas gemetar.

Pernikahan ini memang bukan tentangku. Bukan tentang kebahagiaanku.

Sejak awal, aku hanya alat.

Ibu menghela napas, seolah lelah menghadapi kebodohanku. "Aku tidak peduli bagaimana caramu melakukannya, Aria. Aku ingin kau berbicara dengan Aditya. Buat dia membantu kita. Jika kau tidak bisa meminjam uang darinya, setidaknya yakinkan dia untuk berinvestasi dalam perusahaan kita."

Aku diam.

Ini momen yang seharusnya tepat. Aku bisa saja membalas dengan mengatakan bahwa akulah yang membutuhkan uang. Bahwa aku yang membutuhkan pertolongan.

Tapi aku tahu percuma.

Ibu tidak akan peduli.

Bahkan jika aku mengatakan bahwa aku sekarat, dia mungkin hanya akan bertanya apakah aku bisa bertahan cukup lama sampai masalah perusahaan selesai.

Jadi aku memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

Aku hanya mengangguk pelan, lalu berdiri. "Aku akan mencoba," kataku, meskipun suaraku terdengar kosong.

Ibu tersenyum tipis, puas. "Bagus. Jangan mengecewakan kami, Aria."

Aku berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu dengan tubuh yang terasa lebih berat dari sebelumnya.

Hari ini, aku datang dengan harapan bisa meminta bantuan.

Tapi seperti biasa, aku pulang dengan tangan kosong.  

…..  

Aku berdiri di depan pintu kantor Aditya, membawa kotak makan siang yang kubuat sendiri. Jemariku sedikit gemetar saat kuketuk pintunya pelan. Dari dalam, suara seorang pria menjawab tanpa emosi.

"Masuk."

Aku menarik napas dalam, lalu mendorong pintu. Kantor ini terasa dingin seperti biasa—tidak hanya karena AC yang menyala, tetapi juga karena suasana yang ditinggalkan pemiliknya. Aditya duduk di balik meja besar, matanya tetap fokus pada layar laptop. Dia bahkan tidak melirik saat aku masuk.

Seperti biasa.

Aku melangkah mendekat, hati-hati meletakkan kotak makan siang di atas mejanya. "Aku membawakan makan siang untukmu," kataku pelan.

Aditya tidak langsung merespon. Tangannya masih sibuk mengetik, seolah aku tidak ada di sana. Detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan, sebelum akhirnya dia mengangkat kepalanya—bukan untuk melihatku, tetapi untuk melirik kotak makan itu dengan ekspresi datar.

"Aku tidak memintanya."

Aku sudah menduga ini, tapi entah kenapa tetap ada sesuatu di dalam diriku yang mencelos. Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. "Aku hanya ingin kau makan sesuatu yang sehat. Aku memasaknya sendiri."

Matanya yang dingin seperti es, akhirnya menatapku. Tapi bukan dengan kehangatan. Hanya kebencian yang nyaris tak tersamarkan.

"Aku tidak butuh makanan darimu." Suaranya tajam, menusuk tepat ke dalam dadaku. "Dan aku tidak ingin melihatmu datang ke kantorku hanya untuk melakukan hal konyol seperti ini."

Aku menundukkan kepala, menggenggam jemariku sendiri di bawah meja. Rasanya sakit, tapi bukan pertama kali aku mendengar kata-kata seperti ini darinya.

"Aku mengerti," jawabku, masih mencoba tersenyum. "Maaf kalau aku mengganggumu."

Aditya mengalihkan pandangannya kembali ke layar laptop, seolah aku tak lebih dari angin yang berhembus tanpa arti. "Kalau sudah selesai, keluar."

Aku tetap diam beberapa detik sebelum akhirnya berbalik, berjalan menuju pintu. Langkahku ringan, tapi tubuhku terasa berat. Mungkin karena kelelahan yang semakin hari semakin menjadi, atau mungkin karena dinginnya tatapan suamiku yang membuatku semakin sadar bahwa aku hanyalah bayangan tak berharga di kehidupannya. 

Lihat, kan? Apa yang bisa aku harapkan? Mengabulkan permintaan Ibuku? 

Hahahaha 

Bahkan dia tidak memiliki waktu untuk melihatku. Apalagi untuk mendengar keluhku. 

Tepat sebelum aku keluar, aku menoleh sedikit, melihat kotak makan yang masih tergeletak di meja. Aku tahu dia tidak akan menyentuhnya. Seperti biasa.

Tapi aku tidak keberatan.

Selama aku masih bisa, aku ingin tetap melakukan hal kecil seperti ini untuknya.

Walaupun dia membenciku.

Walaupun aku mungkin tidak akan punya banyak waktu lagi. 

Baru beberapa langkah, aku melihat wajah Davis, teman baik suamiku sekaligus rekan bisnisnya. Pria tinggi itu berjalan mendekat, matanya menatapku seperti aku ini setumpuk kotoran yang menji jikkan. 

“Mau apalagi kamu datang ke sini?” Nadanya ketus, sama sekali tidak menyenangkan. 

Sebenarnya selama ini aku selalu bersikap baik pada teman-teman suamiku, berharap dengan seperti itu, hubunganku dengan Aditya pun akan membaik perlahan. Namun ternyata, pepatah itu benar. 

Burung-burung dengan bulu yang sama, berkumpul bersama. 

Sekarang aku hanya bersikap seadanya saja. Bibirku mengulas senyum tipis, tidak ada perasaan benci pada pria ini, sebab, sekali lagi, ini sudah biasa. 

“Aku sudah selesai. Aku akan pergi,” kataku sambil melewatinya. 

“Berhenti di situ, Aria!” 

Aku berhenti, menoleh sedikit ke arahnya. “Ya?” 

“Sudahi sikap sok polosmu ini. Kami semua tahu, jika bukan kelakuan licik keluargamu, Aditya tidak akan terperangkap dengan wanita menyedihkan sepertimu. Yessy telah menyelesaikan pendidikannya, dan dia akan kembali ke tanah air. Bersiaplah untuk menerima perceraian dari Aditya.”  

Yessy mungkin bisa kusebut cinta matinya Aditya. Jika bukan karena jebakan Ibuku, mungkin mereka sudah menikah dan memiliki lusinan bayi saat ini. 

Sekali lagi aku mengangguk. “Ya, terima kasih atas pengingatnya.” 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 5 Sampai Sah

    Lima hari setelah aku menandatangani surat perceraian, suara Tiana menerobos masuk ke dalam telingaku dengan kemarahan yang tak tertahankan."Apa maksudmu menceraikan Aditya diam-diam?! Kau pikir bisa lari dari tanggung jawabmu, hah?"Aku menekan ponsel lebih erat ke telinga, berusaha menahan napas yang mulai berat. Tubuhku masih terasa nyeri setelah bekerja sejak pagi, menjadi buruh cuci di pusat pencucian di desa kecil ini demi membayar uang sewa kos kamar dan makan sehari-hari. Tapi tentu saja, itu bukan sesuatu yang penting bagi Tiana."Aku tidak lari," jawabku lirih, suara yang hampir tak terdengar dibandingkan nada tinggi yang Ibu gunakan. "Aku hanya—""Diam!" bentaknya, memotong kalimatku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. "Aku sudah mencari ke rumah Aditya, tapi kau tidak ada! Kau pikir bisa bersembunyi dariku? Kau sengaja, ya? Kau tidak mau aku tahu soal perceraian ini, hah?!"Tanganku bergetar, tidak hanya karena kelelahan, tetapi juga karena kata-kata Ibu yang sela

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 4 Jangan Coba-coba! (POV Aditya)

    Aku duduk di pojok bar, menyesap wh!skey dengan satu tangan sambil mendengarkan suara gelak tawa di sekelilingku. Davis dan dua temanku yang lain sibuk berceloteh, sesekali menyinggung tentang perceraianku seolah itu hanyalah urusan remeh. Aku tidak menyanggah, tidak membenarkan, hanya mengangkat gelasku tanpa ekspresi."Jadi, kapan kau akan menyelesaikan semuanya?" Davis bertanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, nada suaranya terdengar malas, seakan jengah karena aku belum juga menyelesaikan urusan dengan Aria. "Yessy akan segera kembali ke tanah air, bukan? Apa kau ingin menyia-nyiakan dia begitu saja?"Yessy.Aku menggerakkan gelas di tanganku, memperhatikan pantulan lampu neon yang membias di permukaannya. Yessy adalah sesuatu yang nyata—sesuatu yang selalu bisa kupercayai. Tidak seperti Aria."Jangan bilang kau masih mempertimbangkan untuk membatalkan perceraian." Salah satu temanku menimpali, suaranya setengah mengejek.Aku mendengus pelan. "Aku tidak akan menj!lat luda

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 3 Gugatan Cerai

    Jarum kecil di tanganku bergetar, benangnya hampir terlepas dari ujungnya saat aku menariknya perlahan di atas kain. Mataku terasa panas dan perih, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena aku mulai kesulitan untuk fokus. Sesekali, bayangan di depanku berputar seperti ombak yang menggulung, memaksaku untuk menutup mata sebentar sebelum kembali melanjutkan.Jahitanku masih belum rapi. Aku tahu. Tapi aku tak punya waktu untuk mengulangnya dari awal.Cahaya lampu kamar yang redup menerangi sepotong kemeja yang hampir selesai. Bukan kemeja terbaik yang bisa dibeli seseorang, tapi ini yang terbaik yang bisa aku buat. Jahitannya mungkin tidak sempurna, tapi aku merapikan setiap helai benang dengan tanganku sendiri. Aku ingin memberikannya pada Aditya, sebelum semuanya berakhir.Tanganku terhenti. "Sebelum semuanya berakhir."Kata-kata itu berputar di kepalaku.Aku menatap setumpuk kain di pangkuanku, lalu ke jam kecil di meja samping tempat tidur. Sudah lewat jam dua pagi. Aku har

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 2 Tidak Ingin Melihatnya

    Rumah orangtuaku selalu terasa lebih besar dari yang seharusnya. Bangunan dua lantai dengan pilar-pilar tinggi itu berdiri megah di tengah halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga mahal. Tapi bagiku, rumah ini tak pernah terasa seperti rumah.Aku melangkah masuk, melewati ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit. Seorang pelayan mengantarku ke ruang keluarga, tempat Ibuku, Tiana, duduk dengan elegan di sofa panjang berlapis beludru. Tangannya memegang secangkir teh porselen, sementara matanya yang tajam langsung menatapku begitu aku masuk."Akhirnya kau datang juga," katanya tanpa basa-basi.Aku mengeratkan genggaman tanganku. Sebenarnya, aku ingin langsung mengatakan alasanku datang—aku ingin meminjam uang. Tapi sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Ibu sudah mendahuluiku."Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," katanya, meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja. "Perusahaan keluarga kita sedang

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 1 Negatif

    Aku duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan tangan mengepal di atas pangkuanku. Udara di ruangan ini terasa dingin, mungkin karena pendingin ruangan atau mungkin karena hatiku sendiri yang semakin membeku.Di depanku, seorang perawat berjalan melewati lorong, menyerahkan amplop hasil tes kepada pasien lain. Aku menelan ludah, menunggu namaku dipanggil. Jantungku berdegup kencang, meskipun di dalam hati aku tahu jawabannya mungkin masih sama.“Aria?”Suara perawat itu terdengar lembut, tapi tetap saja membuatku tersentak. Aku bangkit, mengambil amplop itu dengan tangan sedikit gemetar.“Terima kasih,” ucapku, sebelum kembali duduk. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka kertas di dalamnya. Aku sudah melalui ini berkali-kali, tapi entah kenapa kali ini rasanya lebih menyesakkan.Perlahan, aku membuka lembaran hasilnya. Mataku langsung tertuju pada bagian yang paling penting.Negatif.Lagi.Dunia di sekitarku seakan memudar. Suara-suara samar dari pasie

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status