LOGINJarum kecil di tanganku bergetar, benangnya hampir terlepas dari ujungnya saat aku menariknya perlahan di atas kain. Mataku terasa panas dan perih, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena aku mulai kesulitan untuk fokus. Sesekali, bayangan di depanku berputar seperti ombak yang menggulung, memaksaku untuk menutup mata sebentar sebelum kembali melanjutkan.
Jahitanku masih belum rapi. Aku tahu. Tapi aku tak punya waktu untuk mengulangnya dari awal. Cahaya lampu kamar yang redup menerangi sepotong kemeja yang hampir selesai. Bukan kemeja terbaik yang bisa dibeli seseorang, tapi ini yang terbaik yang bisa aku buat. Jahitannya mungkin tidak sempurna, tapi aku merapikan setiap helai benang dengan tanganku sendiri. Aku ingin memberikannya pada Aditya, sebelum semuanya berakhir. Tanganku terhenti. "Sebelum semuanya berakhir." Kata-kata itu berputar di kepalaku. Aku menatap setumpuk kain di pangkuanku, lalu ke jam kecil di meja samping tempat tidur. Sudah lewat jam dua pagi. Aku harus segera menyelesaikan ini. Tapi kepalaku mendadak terasa berat, seolah ada sesuatu yang menghantam bagian belakangnya. Pandanganku mulai kabur, dan aku hampir tak sadar ketika sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku. Da rah. Aku buru-buru mengangkat tangan, menyeka cairan merah yang menetes ke kain kemeja. Tidak, tidak boleh. Aku menggigit bibir, menahan napas sejenak agar pendarahan ini berhenti. Ini bukan pertama kalinya. Aku tahu ini akan terjadi lagi, tapi aku tak bisa berhenti sekarang. Aku menarik napas dalam, mencoba mengingat kembali bagian mana yang belum selesai. Tapi otakku terasa seperti kabut tebal, sulit untuk menembusnya. Aku sudah menjahit bagian ini, bukan? Atau belum? Aku melirik sisi kemeja, mencari tanda-tanda apakah aku melewatkan sesuatu. Aku mengingat dengan jelas bahwa aku sudah menyelesaikan bagian lengan … atau belum? Aku menggigit bibir. Kenapa aku mulai sering lupa? Aku menatap pantulan diriku di cermin kecil di meja. Wajahku pucat, bibirku kering, dan mataku tampak kosong. Aku terlihat seperti seseorang yang nyaris kehilangan segalanya. Tapi aku tidak boleh kehilangan ini. Tanganku kembali meraih jarum. Aku harus menyelesaikan ini sebelum Aditya menceraikanku. Aku tahu, pada akhirnya aku tidak akan bisa mempertahankannya. Pernikahan ini sudah mati sejak awal, dan aku pun tak memiliki cukup alasan untuk tetap bertahan. Tapi sebelum dia benar-benar menghapus keberadaanku dari hidupnya, aku ingin meninggalkan sesuatu. Aku ingin dia memilikinya, bahkan jika dia membuangnya. Aku ingin dia tahu bahwa aku pernah ada. Tidak sadar kapan aku tertidur, aku terbangun dengan suara ketukan keras dari pintu. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi, matahari sudah terik di luar sana, menerobos tirai jendela kamarku. “Aria, ini Ibu, Aria ….” “Ya!” sahutku dengan keras. Rambut sebahuku aku ikat dengan asal. Kuusap wajahku yang masih mengantuk sambil berjalan ke luar. “Ibu? Kenapa di sini pagi-pagi sekali?” “Pagi kau bilang? Astaga … ini sudah siang, Aria! Jangan mentang-mentang tidak ada yang kamu lakukan dan kerjaanmu hanya tidur sepanjang waktu, Aria!” Ibuku mendengkus. Dia mendorongku masuk, melihat sekeliling. “Di mana suamimu? Dia tidak pulang?” “Dia sibuk. Kenapa Ibu mencarinya?” “Kau masih tanya kenapa? Aria, kita sudah membicarakan ini kemarin. Sekarang bagaimana, kau sudah berhasil membujuk Aditya untuk memberikan suntikan dana ke perusahaan keluarga kita?” Aku menggeleng. “Kami belum sempat bicara serius.” “Aria!” Ibu membentakku, keras sekali. “Sudah tiga hari ini dan kau masih belum membicarakannya dengan suamimu? Apa maksudmu? Kau ingin membuatku mat! lebih cepat, hah?!” Aku diam, menelan semuanya. “Apa yang kau lakukan, Aria … kau ini Nyonya Muda Wiguna! Seharusnya kau bisa melakukan ini dengan mudah. Ini juga! Apa ini? Rumah macam apa ini? Aku sudah bilang padamu, mintalah apartemen mewah pada suamimu! Paling tidak penthouse! Kenapa kau mau saja tinggal di rumah kecil ini bertahun-tahun? Suamimu itu kaya raya! Kenapa kau tidak memanfaatkan dia dengan baik? Bahkan kandang ba bi saja jauh lebih baik dari ini.” Ibuku melengos, melipat tangannya di dada. “Aku akan mencoba bicara padanya secepatnya.” “Halah! Terus saja itu yang bisa kau katakan. Sudahlah, aku muak denganmu! Jika kau tidak bisa bicara dengannya, aku sendiri yang akan bicara pada suamimu. Siapa pun dia, dia tetap menantu keluarga Ginanjar, dan dia bertanggung jawab untuk membantu keluarga kita.” Terserah apa yang mau Ibuku katakan. Kepalaku kembali terasa berat, dan terus memberat. Seperti ada beban berton-ton yang mengalung di kepalaku. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu lebih banyak di atas ran jang. Tidur. Rasanya lelah sekali. Aku baru melanjutkan jahitan kemarin setelah merasa lebih baik. Namun saat aku baru memulai, ada suara deru mobil terdengar dari luar. Kubuka sedikit tirai jendelaku, dan melihat bahwa itu mobil Aditya. Aditya pulang? Buru-buru aku melompat turun dari kursi, keluar untuk menyambutnya. Senyumku mengembang. Aku benar-benar bahagia melihatnya di depan mataku saat ini. Tidak peduli sedingin apa reaksi wajahnya untukku. “Aditya, kau pulang?” Pria tinggi dengan postur tegap itu terlihat perka sa di mataku. Dia berdiri tepat di depanku, menjulang seperti menutupi langit. “Aku sudah bilang aku akan pulang. Kenapa begitu terkejut?” Sungguh? Kapan? “Masuklah, aku akan menyiapkan sesuatu untukmu.” Jarang-jarang Aditya pulang. Tentu saja aku sangat senang. Sialnya, itu benar jika dia sudah membalas pesanku bahwa dia akan pulang malam ini. Padahal aku sudah membuka pesan tersebut, tapi sekali lagi, aku melupakannya. Dokter Herlambang memang pernah mengatakan padaku jika aku mungkin akan kehilangan ingatanku bertahap. Namun anehnya, aku tidak pernah lupa untuk mengirim pesan pada Aditya setiap sore, menanyakan apa dia pulang atau tidak nanti malam. Sebelum ini aku selalu menyiapkan makanan, tapi karena aku melupakan pesan balasan tadi, aku tidak tahu apa yang harus aku masak. Apa yang bisa aku hidangkan dengan cepat? Ada mie instant dan telur. Apa dia mau makan makanan seperti ini? Aditya sudah duduk di kursi meja makan, melepas long coat-nya. Dengan ragu aku mendekat, meletakkan sepiring mie instan dan telur mata sapi yang baru aku masak. “Makanlah! Maaf jika aku hanya bisa menyajikan ini untukmu. Aku tidak melihat pesan balasanmu.” Aku duduk di sisinya, memandanginya saat dia menggenggam garpu dan sendok. Alat makan itu terlihat kecil dan tidak berharga dalam genggaman telapak tangannya yang kuat dan lebar. Tidak tahu apa yang salah, Aditya tiba-tiba mendorong piring itu menjauh darinya. Ekspresinya juga berubah masam sebelum dia meneguk air minum dengan buru-buru. “Aku kemari karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu.” Kata selanjutnya … aku bisa menebak. “Aku ingin kita bercerai.” Nadanya tenang, tatapannya datar, seperti kata perceraian itu begitu mudah lolos dari mulutnya. Seperti tidak lagi berarti. Atau aku yang tidak berarti? “Sejak awal pernikahan ini bukan aku yang menginginkan. Kalian menjebakku, dan sudah saatnya mengakhiri permainan ini. Dalam tiga hari, aku akan mengirim gugatan cerai padamu. Aku juga akan memberimu kompensasi, dan aku harap kau serta keluargamu tidak menggangguku lagi.” Setelah mengatakan itu, Aditya menyeka mulutnya dengan tisu, lalu berdiri dan berbalik pergi. Tanpa mau mendengar apa aku bersedia atau tidak. Aku tahu dia pasti akan menceraikan aku. Cepat, atau lambat. Tapi … dada ini tetap berdenyut nyeri. Rasa sakitnya tetap sama. Tanganku menarik piringnya, menyendok potongan telur. Asin. Asin sekali. Lidahku berdesir, tapi air mataku meleleh. ***Koridor depan ruangan Gustav tiba-tiba berubah seperti ruang tunggu UGD.Beberapa karyawan berdiri saling berbisik, sebagian memeluk map seperti pelindung dada, sebagian lain hanya menatap pintu direktur dengan wajah penuh tanda tanya. Tak sedikit yang memilih menguping halus—sekedar menunggu momen pintu itu terbuka.Dari dalam ruangan, terdengar suara kursi bergeser, langkah tergesa, dan potongan kalimat pendek yang terdengar penting namun samar. Cukup untuk membuat orang yang santai jadi gelisah.Alan berdiri paling depan, map laporan menempel di dadanya. Aria berada di sisinya, memegang dokumen yang seharusnya ia berikan pada pamannya.Beberapa staf dari berbagai departemen ikut berkumpul di belakang mereka.“Ada apa ini sebenarnya?” gumam seseorang.“Sejak tadi semua orang IT dipanggil,” bisik staf lain. “Aku lihat Kepala Gudang lari ke sini. Lari. Bukan jalan cepat.”“Setelah kurir tadi diseret masuk, suasana jadi kacau,” seseorang menambahkan sambil melirik Aria. “Aria, kau tahu
Pintu ruang direktur ditutup dengan suara keras, nyaris menampar udara.Aditya bahkan belum sempat menarik napas ketika Gustav melepaskan genggamannya, seolah baru saja menyeret seekor singa yang bisa menggigit balik kapan saja.Di ruangan itu, Tuan Abram duduk dengan bahu tegang, wajahnya pucat.Tidak ada teriakan.Tidak ada makian.Tapi justru itu yang membuat suasananya mengerikan.Meja besar penuh kertas berserakan.Laptop terbuka dengan puluhan email masuk—semuanya ditandai merah.Satu notifikasi berbunyi pling, membuat Gustav dan Tuan Abram sama-sama menegang seperti baru mendengar tembakan.“Duduk.” Suara Tuan Abram rendah … dan itu jauh lebih buruk daripada marah.Aditya duduk tanpa suara.Matanya menangkap sekilas wajah Tuan Abram yang tampak seperti orang yang telah begadang semalaman. Ada bayangan gelap di bawah mata, dan garis rahang yang mengeras seperti menahan amarah yang sudah berada di batasnya.Gustav mengusap wajahnya sekali, napasnya pendek. “Biar aku jelaskan.”Ia
Alan belum sempat membalas ketika suara Aria terdengar pelan namun jelas.“Alan,” panggilnya, tanpa menoleh dari layar. “Kau boleh kembali ke mejamu. Aku akan mengirim dokumennya nanti setelah selesai.”Alan menoleh cepat, terkejut. “Aria, tapi—”“Tolong,” lanjut Aria, suaranya tetap tenang namun tegas. “Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Kau kembali saja.”Alan memandang Aria, lalu Aditya, lalu Aria lagi.Ia ingin menolak, tapi tatapan Aria jelas-jelas tidak ingin ada diskusi.Dengan rahang mengeras, ia mengambil tablet kerjanya dan melangkah pergi. Tapi sebelum pintu tertutup, Alan masih sempat memberikan tatapan tajam ke arah Aditya, seolah ingin mengatakan: ‘Aku akan kembali dan kita belum selesai.’Aditya tidak peduli.Begitu pintu tertutup, Aditya berjalan dan berdiri tepat di sisinya, meletakkan itu di hadapan istrinya. “Makan.”Aria menoleh, menatapnya dari ujung ke ujung.Bukankah dia baru saja bersenang-senang dengan Ava?Bukankah Ava akan membantunya berbelanja dan menunjuk
Lorong depan perusahaan Tuan Abram tampak begitu mewah hingga membuat pakaian yang Aditya kenakan terasa semakin memalukan.Sweater longgar milik Gustav, celana santai, dan sneakers yang bahkan bukan miliknya—semuanya kontras dengan karyawan yang lalu-lalang memakai setelan rapi dan kartu ID yang menggantung di dada.Cahaya lampu marmer di resepsionis memantul di lantai, membuat penampilannya semakin … tidak pantas.Aditya menarik napas.Ya sudah. Sudah terlanjur.Ia melangkah mendekati meja resepsionis.“Selamat pagi, saya ingin bertemu dengan—”“Maaf, Pak.” Resepsionis wanita itu bahkan tidak membiarkan kalimatnya selesai. Matanya menatap Aditya dari atas ke bawah, lalu tersenyum sopan … tapi jelas meremehkan. “Untuk tamu, ada daftar janji yang perlu dicek dulu.”“Saya tidak membuat janji,” jawab Aditya.Kontan saja ekspresi gadis itu berubah kaku. “Kami tidak bisa menerima tamu tanpa janji. Apalagi …” ia menahan lidahnya, tapi tatapannya tidak. “Kurir makanan dilarang masuk. Anda b
Aroma wafel, telur orak-arik, dan kopi hitam memenuhi ruang makan besar keluarga Nugraha. Aria turun lebih dulu. Penampilannya sudah rapi dan siap berangkat kerja, seolah insiden di pagi buta tadi tidak pernah terjadi.Di meja makan, beberapa orang telah menunggu.Tuan Abram duduk di ujung meja, wajahnya masam seperti biasa—atau mungkin sedikit lebih masam pagi ini.Gustav Nugraha, paman Aria, langsung tersenyum hangat begitu melihat keponakannya masuk.Di sebelahnya ada istrinya, Isla Haidi, wanita berambut pirang, elegan, dan ramah, serta putri mereka, Ava, gadis dua puluh tiga tahun yang terlalu ceria untuk jam makan pagi.“Morning, Aria!” Ava melambai heboh.Aria tersenyum lebar dan duduk di sebelah Kakeknya.“Di mana Aditya? Dia datang tadi malam, kan?” tanya Ava sambil melirik tangga.“Ya, di mana suamimu, Aria?” Isla menambahkan dengan nada penasaran.Mereka memang baru melihat Aditya sekali—saat pesta pertunangan keluarga—bahkan belum sempat berkenalan resmi. Tapi entah bagai
Cahaya pagi merayap perlahan dari balik tirai kamar. Aria menggeliat kecil, tubuhnya masih berat, pikirannya masih setengah tertinggal dalam mimpi. Ia menarik selimut, beringsut sedikit … lalu merasakan sesuatu.Hangat.Keras.Dan … bernapas.Alis Aria berkerut dalam tidur. Tangannya yang biasanya memeluk bantal kini justru menempel pada sesuatu yang jauh lebih besar—dada seseorang. Permukaan hangat itu naik turun perlahan, stabil, seperti ritme napas manusia.Aria bergeser sedikit. Kulitnya bersentuhan dengan kulit lain—hangat, nyata, dan sama sekali bukan miliknya.Tubuhnya langsung tegang.Bukan bantal.Bukan selimut.Bukan anjing keluarga.Detik berikutnya, matanya terbuka lebar.Dan dunia seolah berhenti.Di hadapannya, masih terlelap, dengan rambut sedikit berantakan dan napas teratur, adalah Aditya. Suaminya.Pria yang seharusnya berada ribuan kilometer jauhnya.Pria yang … entah bagaimana, sekarang tertidur di ranjangnya.Aria menganga tanpa suara.Beberapa detik ia hanya mena







