Share

Bab 3 Gugatan Cerai

Penulis: Fachra. L
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-18 20:41:20

Jarum kecil di tanganku bergetar, benangnya hampir terlepas dari ujungnya saat aku menariknya perlahan di atas kain. Mataku terasa panas dan perih, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena aku mulai kesulitan untuk fokus. Sesekali, bayangan di depanku berputar seperti ombak yang menggulung, memaksaku untuk menutup mata sebentar sebelum kembali melanjutkan.

Jahitanku masih belum rapi. Aku tahu. Tapi aku tak punya waktu untuk mengulangnya dari awal.

Cahaya lampu kamar yang redup menerangi sepotong kemeja yang hampir selesai. Bukan kemeja terbaik yang bisa dibeli seseorang, tapi ini yang terbaik yang bisa aku buat. Jahitannya mungkin tidak sempurna, tapi aku merapikan setiap helai benang dengan tanganku sendiri. Aku ingin memberikannya pada Aditya, sebelum semuanya berakhir.

Tanganku terhenti.

"Sebelum semuanya berakhir."

Kata-kata itu berputar di kepalaku.

Aku menatap setumpuk kain di pangkuanku, lalu ke jam kecil di meja samping tempat tidur. Sudah lewat jam dua pagi. Aku harus segera menyelesaikan ini.

Tapi kepalaku mendadak terasa berat, seolah ada sesuatu yang menghantam bagian belakangnya. Pandanganku mulai kabur, dan aku hampir tak sadar ketika sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku.

Da rah.

Aku buru-buru mengangkat tangan, menyeka cairan merah yang menetes ke kain kemeja. Tidak, tidak boleh. Aku menggigit bibir, menahan napas sejenak agar pendarahan ini berhenti. Ini bukan pertama kalinya. Aku tahu ini akan terjadi lagi, tapi aku tak bisa berhenti sekarang.

Aku menarik napas dalam, mencoba mengingat kembali bagian mana yang belum selesai. Tapi otakku terasa seperti kabut tebal, sulit untuk menembusnya.

Aku sudah menjahit bagian ini, bukan? Atau belum?

Aku melirik sisi kemeja, mencari tanda-tanda apakah aku melewatkan sesuatu. Aku mengingat dengan jelas bahwa aku sudah menyelesaikan bagian lengan … atau belum?

Aku menggigit bibir. Kenapa aku mulai sering lupa?

Aku menatap pantulan diriku di cermin kecil di meja. Wajahku pucat, bibirku kering, dan mataku tampak kosong. Aku terlihat seperti seseorang yang nyaris kehilangan segalanya.

Tapi aku tidak boleh kehilangan ini.

Tanganku kembali meraih jarum. Aku harus menyelesaikan ini sebelum Aditya menceraikanku.

Aku tahu, pada akhirnya aku tidak akan bisa mempertahankannya. Pernikahan ini sudah mati sejak awal, dan aku pun tak memiliki cukup alasan untuk tetap bertahan. Tapi sebelum dia benar-benar menghapus keberadaanku dari hidupnya, aku ingin meninggalkan sesuatu.

Aku ingin dia memilikinya, bahkan jika dia membuangnya.

Aku ingin dia tahu bahwa aku pernah ada.

Tidak sadar kapan aku tertidur, aku terbangun dengan suara ketukan keras dari pintu. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi, matahari sudah terik di luar sana, menerobos tirai jendela kamarku.

“Aria, ini Ibu, Aria ….”

“Ya!” sahutku dengan keras.

Rambut sebahuku aku ikat dengan asal. Kuusap wajahku yang masih mengantuk sambil berjalan ke luar.

“Ibu? Kenapa di sini pagi-pagi sekali?”

“Pagi kau bilang? Astaga … ini sudah siang, Aria! Jangan mentang-mentang tidak ada yang kamu lakukan dan kerjaanmu hanya tidur sepanjang waktu, Aria!”

Ibuku mendengkus. Dia mendorongku masuk, melihat sekeliling. “Di mana suamimu? Dia tidak pulang?”

“Dia sibuk. Kenapa Ibu mencarinya?”

“Kau masih tanya kenapa? Aria, kita sudah membicarakan ini kemarin. Sekarang bagaimana, kau sudah berhasil membujuk Aditya untuk memberikan suntikan dana ke perusahaan keluarga kita?”

Aku menggeleng. “Kami belum sempat bicara serius.”

“Aria!” Ibu membentakku, keras sekali. “Sudah tiga hari ini dan kau masih belum membicarakannya dengan suamimu? Apa maksudmu? Kau ingin membuatku mat! lebih cepat, hah?!”

Aku diam, menelan semuanya.

“Apa yang kau lakukan, Aria … kau ini Nyonya Muda Wiguna! Seharusnya kau bisa melakukan ini dengan mudah. Ini juga! Apa ini? Rumah macam apa ini? Aku sudah bilang padamu, mintalah apartemen mewah pada suamimu! Paling tidak penthouse! Kenapa kau mau saja tinggal di rumah kecil ini bertahun-tahun? Suamimu itu kaya raya! Kenapa kau tidak memanfaatkan dia dengan baik? Bahkan kandang ba bi saja jauh lebih baik dari ini.”

Ibuku melengos, melipat tangannya di dada.

“Aku akan mencoba bicara padanya secepatnya.”

“Halah! Terus saja itu yang bisa kau katakan. Sudahlah, aku muak denganmu! Jika kau tidak bisa bicara dengannya, aku sendiri yang akan bicara pada suamimu. Siapa pun dia, dia tetap menantu keluarga Ginanjar, dan dia bertanggung jawab untuk membantu keluarga kita.”

Terserah apa yang mau Ibuku katakan. Kepalaku kembali terasa berat, dan terus memberat. Seperti ada beban berton-ton yang mengalung di kepalaku.

Sepanjang hari aku menghabiskan waktu lebih banyak di atas ran jang. Tidur. Rasanya lelah sekali.

Aku baru melanjutkan jahitan kemarin setelah merasa lebih baik. Namun saat aku baru memulai, ada suara deru mobil terdengar dari luar.

Kubuka sedikit tirai jendelaku, dan melihat bahwa itu mobil Aditya.

Aditya pulang?

Buru-buru aku melompat turun dari kursi, keluar untuk menyambutnya. Senyumku mengembang. Aku benar-benar bahagia melihatnya di depan mataku saat ini. Tidak peduli sedingin apa reaksi wajahnya untukku.

“Aditya, kau pulang?”

Pria tinggi dengan postur tegap itu terlihat perka sa di mataku. Dia berdiri tepat di depanku, menjulang seperti menutupi langit.

“Aku sudah bilang aku akan pulang. Kenapa begitu terkejut?”

Sungguh?

Kapan?

“Masuklah, aku akan menyiapkan sesuatu untukmu.”

Jarang-jarang Aditya pulang. Tentu saja aku sangat senang.

Sialnya, itu benar jika dia sudah membalas pesanku bahwa dia akan pulang malam ini. Padahal aku sudah membuka pesan tersebut, tapi sekali lagi, aku melupakannya.

Dokter Herlambang memang pernah mengatakan padaku jika aku mungkin akan kehilangan ingatanku bertahap. Namun anehnya, aku tidak pernah lupa untuk mengirim pesan pada Aditya setiap sore, menanyakan apa dia pulang atau tidak nanti malam.

Sebelum ini aku selalu menyiapkan makanan, tapi karena aku melupakan pesan balasan tadi, aku tidak tahu apa yang harus aku masak. Apa yang bisa aku hidangkan dengan cepat?

Ada mie instant dan telur. Apa dia mau makan makanan seperti ini?

Aditya sudah duduk di kursi meja makan, melepas long coat-nya. Dengan ragu aku mendekat, meletakkan sepiring mie instan dan telur mata sapi yang baru aku masak.

“Makanlah! Maaf jika aku hanya bisa menyajikan ini untukmu. Aku tidak melihat pesan balasanmu.”

Aku duduk di sisinya, memandanginya saat dia menggenggam garpu dan sendok. Alat makan itu terlihat kecil dan tidak berharga dalam genggaman telapak tangannya yang kuat dan lebar.

Tidak tahu apa yang salah, Aditya tiba-tiba mendorong piring itu menjauh darinya. Ekspresinya juga berubah masam sebelum dia meneguk air minum dengan buru-buru.

“Aku kemari karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu.”

Kata selanjutnya … aku bisa menebak.

“Aku ingin kita bercerai.”

Nadanya tenang, tatapannya datar, seperti kata perceraian itu begitu mudah lolos dari mulutnya. Seperti tidak lagi berarti. Atau aku yang tidak berarti?

“Sejak awal pernikahan ini bukan aku yang menginginkan. Kalian menjebakku, dan sudah saatnya mengakhiri permainan ini. Dalam tiga hari, aku akan mengirim gugatan cerai padamu. Aku juga akan memberimu kompensasi, dan aku harap kau serta keluargamu tidak menggangguku lagi.”

Setelah mengatakan itu, Aditya menyeka mulutnya dengan tisu, lalu berdiri dan berbalik pergi. Tanpa mau mendengar apa aku bersedia atau tidak.

Aku tahu dia pasti akan menceraikan aku. Cepat, atau lambat. Tapi … dada ini tetap berdenyut nyeri. Rasa sakitnya tetap sama.

Tanganku menarik piringnya, menyendok potongan telur.

Asin. Asin sekali. Lidahku berdesir, tapi air mataku meleleh.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 5 Sampai Sah

    Lima hari setelah aku menandatangani surat perceraian, suara Tiana menerobos masuk ke dalam telingaku dengan kemarahan yang tak tertahankan."Apa maksudmu menceraikan Aditya diam-diam?! Kau pikir bisa lari dari tanggung jawabmu, hah?"Aku menekan ponsel lebih erat ke telinga, berusaha menahan napas yang mulai berat. Tubuhku masih terasa nyeri setelah bekerja sejak pagi, menjadi buruh cuci di pusat pencucian di desa kecil ini demi membayar uang sewa kos kamar dan makan sehari-hari. Tapi tentu saja, itu bukan sesuatu yang penting bagi Tiana."Aku tidak lari," jawabku lirih, suara yang hampir tak terdengar dibandingkan nada tinggi yang Ibu gunakan. "Aku hanya—""Diam!" bentaknya, memotong kalimatku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. "Aku sudah mencari ke rumah Aditya, tapi kau tidak ada! Kau pikir bisa bersembunyi dariku? Kau sengaja, ya? Kau tidak mau aku tahu soal perceraian ini, hah?!"Tanganku bergetar, tidak hanya karena kelelahan, tetapi juga karena kata-kata Ibu yang sela

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 4 Jangan Coba-coba! (POV Aditya)

    Aku duduk di pojok bar, menyesap wh!skey dengan satu tangan sambil mendengarkan suara gelak tawa di sekelilingku. Davis dan dua temanku yang lain sibuk berceloteh, sesekali menyinggung tentang perceraianku seolah itu hanyalah urusan remeh. Aku tidak menyanggah, tidak membenarkan, hanya mengangkat gelasku tanpa ekspresi."Jadi, kapan kau akan menyelesaikan semuanya?" Davis bertanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, nada suaranya terdengar malas, seakan jengah karena aku belum juga menyelesaikan urusan dengan Aria. "Yessy akan segera kembali ke tanah air, bukan? Apa kau ingin menyia-nyiakan dia begitu saja?"Yessy.Aku menggerakkan gelas di tanganku, memperhatikan pantulan lampu neon yang membias di permukaannya. Yessy adalah sesuatu yang nyata—sesuatu yang selalu bisa kupercayai. Tidak seperti Aria."Jangan bilang kau masih mempertimbangkan untuk membatalkan perceraian." Salah satu temanku menimpali, suaranya setengah mengejek.Aku mendengus pelan. "Aku tidak akan menj!lat luda

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 3 Gugatan Cerai

    Jarum kecil di tanganku bergetar, benangnya hampir terlepas dari ujungnya saat aku menariknya perlahan di atas kain. Mataku terasa panas dan perih, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena aku mulai kesulitan untuk fokus. Sesekali, bayangan di depanku berputar seperti ombak yang menggulung, memaksaku untuk menutup mata sebentar sebelum kembali melanjutkan.Jahitanku masih belum rapi. Aku tahu. Tapi aku tak punya waktu untuk mengulangnya dari awal.Cahaya lampu kamar yang redup menerangi sepotong kemeja yang hampir selesai. Bukan kemeja terbaik yang bisa dibeli seseorang, tapi ini yang terbaik yang bisa aku buat. Jahitannya mungkin tidak sempurna, tapi aku merapikan setiap helai benang dengan tanganku sendiri. Aku ingin memberikannya pada Aditya, sebelum semuanya berakhir.Tanganku terhenti. "Sebelum semuanya berakhir."Kata-kata itu berputar di kepalaku.Aku menatap setumpuk kain di pangkuanku, lalu ke jam kecil di meja samping tempat tidur. Sudah lewat jam dua pagi. Aku har

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 2 Tidak Ingin Melihatnya

    Rumah orangtuaku selalu terasa lebih besar dari yang seharusnya. Bangunan dua lantai dengan pilar-pilar tinggi itu berdiri megah di tengah halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga mahal. Tapi bagiku, rumah ini tak pernah terasa seperti rumah.Aku melangkah masuk, melewati ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit. Seorang pelayan mengantarku ke ruang keluarga, tempat Ibuku, Tiana, duduk dengan elegan di sofa panjang berlapis beludru. Tangannya memegang secangkir teh porselen, sementara matanya yang tajam langsung menatapku begitu aku masuk."Akhirnya kau datang juga," katanya tanpa basa-basi.Aku mengeratkan genggaman tanganku. Sebenarnya, aku ingin langsung mengatakan alasanku datang—aku ingin meminjam uang. Tapi sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Ibu sudah mendahuluiku."Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," katanya, meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja. "Perusahaan keluarga kita sedang

  • Suamiku Selalu Ingin Bercerai    Bab 1 Negatif

    Aku duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan tangan mengepal di atas pangkuanku. Udara di ruangan ini terasa dingin, mungkin karena pendingin ruangan atau mungkin karena hatiku sendiri yang semakin membeku.Di depanku, seorang perawat berjalan melewati lorong, menyerahkan amplop hasil tes kepada pasien lain. Aku menelan ludah, menunggu namaku dipanggil. Jantungku berdegup kencang, meskipun di dalam hati aku tahu jawabannya mungkin masih sama.“Aria?”Suara perawat itu terdengar lembut, tapi tetap saja membuatku tersentak. Aku bangkit, mengambil amplop itu dengan tangan sedikit gemetar.“Terima kasih,” ucapku, sebelum kembali duduk. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka kertas di dalamnya. Aku sudah melalui ini berkali-kali, tapi entah kenapa kali ini rasanya lebih menyesakkan.Perlahan, aku membuka lembaran hasilnya. Mataku langsung tertuju pada bagian yang paling penting.Negatif.Lagi.Dunia di sekitarku seakan memudar. Suara-suara samar dari pasie

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status