Aku duduk di pojok bar, menyesap wh!skey dengan satu tangan sambil mendengarkan suara gelak tawa di sekelilingku. Davis dan dua temanku yang lain sibuk berceloteh, sesekali menyinggung tentang perceraianku seolah itu hanyalah urusan remeh. Aku tidak menyanggah, tidak membenarkan, hanya mengangkat gelasku tanpa ekspresi.
"Jadi, kapan kau akan menyelesaikan semuanya?" Davis bertanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, nada suaranya terdengar malas, seakan jengah karena aku belum juga menyelesaikan urusan dengan Aria. "Yessy akan segera kembali ke tanah air, bukan? Apa kau ingin menyia-nyiakan dia begitu saja?" Yessy. Aku menggerakkan gelas di tanganku, memperhatikan pantulan lampu neon yang membias di permukaannya. Yessy adalah sesuatu yang nyata—sesuatu yang selalu bisa kupercayai. Tidak seperti Aria. "Jangan bilang kau masih mempertimbangkan untuk membatalkan perceraian." Salah satu temanku menimpali, suaranya setengah mengejek. Aku mendengus pelan. "Aku tidak akan menj!lat ludahku sendiri. Dia sudah menyetujui perceraian ini.” "Tapi belum sah." Davis mengingatkanku, ekspresinya berubah lebih serius. "Aku tidak percaya pada Aria atau keluarganya. Mereka itu licik. Selama mereka belum benar-benar kehilanganmu, mereka pasti akan mencari cara untuk mempertahankan pernikahan ini." Aku diam. Davis tidak salah. Aria dan keluarganya memang seperti lintah yang terus melekat pada sesuatu yang bisa mereka manfaatkan. Aku melihat itu selama tiga tahun terakhir. Aria tidak lebih dari alat bagi keluarganya untuk memperpanjang eksistensi mereka. Dia berpura-pura patuh, berpura-pura diam, berpura-pura tidak menginginkan apa pun, tapi aku tahu—pada akhirnya, dia akan melakukan sesuatu untuk mempertahankan statusnya sebagai istriku. Sebuah getaran di sakuku menarik perhatianku. Aku mengeluarkan ponsel dan membuka pesan singkat yang masuk. [Aku sudah pergi dari rumahmu. Tapi aku berjanji akan menemuimu di balai catatan sipil tiga hari lagi. Aku tidak akan melarikan diri. Kau tidak perlu khawatir tentang itu] Tanganku mencengkeram ponsel lebih erat. Khawatir? Aku tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di dalamnya. Pesan ini … persis seperti yang kuduga. Ini caranya untuk membuatku lengah, memberi ilusi seolah dia tidak berusaha mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak bodoh. Aria pasti sedang menyusun sesuatu. Aku bangkit dari kursi. "Aku pulang." "Serius? Kita baru saja mulai." Aku mengabaikan protes mereka, melempar beberapa lembar uang ke atas meja sebelum berjalan keluar. Hujan baru saja turun, aroma tanah basah bercampur dengan bau aspal memenuhi udara saat aku masuk ke dalam mobil. Aku menyusuri jalanan dengan kecepatan lebih dari batas normal, jemariku mengetuk-ngetuk setir dengan tidak sabar. Aku tahu Aria. Dia selalu bertahan, selalu mencoba menenangkan situasi, selalu berusaha terlihat tenang di depanku. Ini pasti hanya permainan lain. Namun begitu aku tiba di rumah, sesuatu yang tidak biasa menyambutku. Rumah itu … sunyi. Aku melangkah masuk, menyapu pandangan ke sekeliling. Sofa yang biasa ia duduki saat membaca tidak lagi memiliki bantalnya. Vas bunga di meja ruang tamu kosong. Aku berjalan lebih jauh, ke dapur, ke ruang makan, lalu ke kamarnya. Kosong. Lemari terbuka. Tidak ada satu pun pakaiannya tersisa. Tidak ada sepatu, tidak ada tas, tidak ada tanda bahwa seseorang pernah tinggal di sana. Seolah … dia benar-benar telah pergi. Aku berdiri di tengah ruangan yang terasa terlalu luas, terlalu sepi. Jemariku mengepal. Aria. Apa yang sebenarnya kau rencanakan? Waktu berlalu …. Dua hari sudah aku mencarinya ke mana-mana, tapi orang-orang suruhanku tidak juga menemukan keberadaan wanita s!alan itu. Breng sek! Berani sekali dia kabur dari perceraian ini! Jika aku sampai menemukannya, aku pasti akan mengikatnya hingga perceraian ini sah. Tanganku mengepal, memukul kaca jendela ruanganku dengan keras. Seseorang membuka pintu, suara Davis terdengar dari belakang punggungku. “Lihat? Sudah kubilang, kan … dia itu tidak sepolos wajahnya! Kau seperti tidak mendengar pepatah saja. Buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya. Suluruh keluarganya itu licik! Susah payah mereka mengatur untuk menjebakmu bersama anak mereka, mana mungkin mereka membiarkan kau mengakhirinya?” Aku meremat telapak tanganku lebih kuat, hingga rasanya aku ingin mematahkan kukuku sendiri. “Seharusnya kau dengarkan aku sejak awal, Aditya. Mereka itu hama! Semakin dipelihara, semakin menjadi-jadi. Sekarang tunggu saja! Pasti setelah ini akan ada kabar dari Aria yang mengatakan bahwa dia ingin pembagian aset secara adil.” “Mereka itu sudah tidak punya malu!” cibirnya lagi. “Jika cara licik agar kau menikahi anak mereka saja sudah mereka lakukan, apa ada batasan untuk mempertahankan pernikahan kalian? Tidak ada! Yang ada, mereka hanya akan mencari cara bagaimana terus bertahan di posisi nyaman mereka saat ini.” Awas saja jika sampai besok dia tidak muncul! ….. Hujan turun deras siang itu. Butiran air menghantam kap mobil dengan suara monoton yang mengisi keheningan di dalamnya. Aku menatap lurus ke arah gedung biro catatan sipil yang tampak kusam di balik jendela yang basah oleh rintikan hujan. Sudah dua hari penuh aku mencari keberadaan Aria. Dua hari penuh aku membayangkan berbagai kemungkinan, mempersiapkan segala cara untuk menghadapi usahanya mempertahankan pernikahan ini. Namun, kenyataannya justru jauh dari apa yang kubayangkan. Aria telah tiba lebih dulu. Aku melihatnya dari balik kaca jendela mobil. Dia berdiri di dekat pintu masuk, tubuhnya dibalut mantel tipis yang terlihat terlalu besar untuk badannya yang kurus. Bahkan dari kejauhan, aku bisa melihat wajahnya yang pucat, lingkaran hitam di bawah matanya, serta pundaknya yang ringkih, seolah sedikit saja angin bertiup, dia akan roboh. Aku mengepalkan jemariku di atas paha, merasakan ketidaknyamanan yang samar di dadaku. Lambat laun, aku keluar dari mobil, membiarkan hujan yang masih gerimis membasahi ujung jasku. Langkahku mantap menuju ke arahnya, tapi Aria hanya menoleh sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya. Tidak ada harapan di matanya. Tidak ada air mata. Tidak ada ketakutan. Dia hanya diam. Aku tidak tahu kenapa, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa ada sesuatu yang tidak benar. Tanpa sepatah kata, kami melangkah masuk ke dalam gedung. Petugas menyambut kami dengan pandangan biasa, menyerahkan dokumen yang harus kami tanda tangani. Aku menunggu. Aku menunggu dia mengatakan sesuatu. Aku menunggu dia menatapku, memohon padaku, bertanya apakah aku benar-benar ingin ini. Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Tanpa ragu, tanpa jeda, tanpa pertanyaan, Aria meraih pena dan menandatangani surat perceraian kami. Tanganku yang menggenggam pena seketika terasa kaku. Aku menatap tanda tangannya yang terukir rapi di atas kertas, lalu menoleh ke arahnya. Aria menundukkan kepala, jemarinya yang kurus mengepal di atas pangkuannya, seolah menahan sesuatu—rasa sakit, mungkin? Tapi dia tetap tidak mengatakan apa pun. Bukankah dia mencintaiku? Bukankah selama ini dia bertahan karena dia tidak ingin kehilangan aku? Lalu kenapa? Kenapa dia membiarkannya terjadi begitu mudah? Aku tidak bisa memahami ini. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigi, lalu menorehkan tanda tanganku di sebelah namanya. Aria benar-benar membiarkanku pergi. Dia baru saja berdiri dari kursinya ketika tanganku terulur, menahan pergelangan tangannya sebelum dia bisa melangkah pergi. Aria menoleh perlahan, matanya yang sendu menatapku dengan sorot datar, seolah yang baru saja kami lakukan hanyalah sebuah transaksi biasa. Seolah pernikahan kami yang bertahun-tahun ini tidak memiliki arti apa pun baginya. Aku menatapnya dengan dingin. "Jangan berpikir kau bisa menghilang begitu saja, Aria." Dia tidak bereaksi, tidak berusaha menarik tangannya. Aku melanjutkan, "Masih ada masa tunggu satu bulan sebelum perceraian ini benar-benar sah. Aku ingin memastikan kau datang kembali ke sini sesuai tanggal yang ditentukan." Aku mengamati wajahnya, mencoba mencari celah di balik ketenangan itu. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun nanti." Aria masih diam, hanya mengedipkan matanya sekali sebelum menarik napas pelan. "Aku akan datang," katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan di luar. "Kau tidak perlu khawatir akan kehadiranku di sini satu bulan lagi." Aku menyipitkan mata, mencoba membaca maksud tersembunyi dari perkataannya. "Tidak ada yang bisa kau rencanakan, Aria," ucapku, kali ini lebih rendah, lebih menekan. "Kalau kau berpikir bisa melakukan sesuatu selama satu bulan ini, aku peringatkan, jangan coba-coba." Aria hanya tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah kulihat darinya sebelumnya. "Aku tidak berencana melakukan apa pun, Aditya." Dia menghela napas kecil, lalu menatap tanganku yang masih mencengkeram pergelangan tangannya. "Bisakah kau melepaskan?" Aku menahan diri sesaat, sebelum akhirnya melepas genggamanku. Aria tidak langsung pergi. Dia menatapku untuk beberapa detik yang terasa begitu panjang. Seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan—sesuatu yang menggantung di ujung bibirnya—tapi akhirnya dia hanya mengangguk kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan. Aku tetap berdiri di tempatku, mendengar suara langkah kakinya yang ringan perlahan menjauh. Dan entah kenapa, perasaan tidak nyaman kembali menyusup ke dalam dadaku. ***Lima hari setelah aku menandatangani surat perceraian, suara Tiana menerobos masuk ke dalam telingaku dengan kemarahan yang tak tertahankan."Apa maksudmu menceraikan Aditya diam-diam?! Kau pikir bisa lari dari tanggung jawabmu, hah?"Aku menekan ponsel lebih erat ke telinga, berusaha menahan napas yang mulai berat. Tubuhku masih terasa nyeri setelah bekerja sejak pagi, menjadi buruh cuci di pusat pencucian di desa kecil ini demi membayar uang sewa kos kamar dan makan sehari-hari. Tapi tentu saja, itu bukan sesuatu yang penting bagi Tiana."Aku tidak lari," jawabku lirih, suara yang hampir tak terdengar dibandingkan nada tinggi yang Ibu gunakan. "Aku hanya—""Diam!" bentaknya, memotong kalimatku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. "Aku sudah mencari ke rumah Aditya, tapi kau tidak ada! Kau pikir bisa bersembunyi dariku? Kau sengaja, ya? Kau tidak mau aku tahu soal perceraian ini, hah?!"Tanganku bergetar, tidak hanya karena kelelahan, tetapi juga karena kata-kata Ibu yang sela
Aku duduk di pojok bar, menyesap wh!skey dengan satu tangan sambil mendengarkan suara gelak tawa di sekelilingku. Davis dan dua temanku yang lain sibuk berceloteh, sesekali menyinggung tentang perceraianku seolah itu hanyalah urusan remeh. Aku tidak menyanggah, tidak membenarkan, hanya mengangkat gelasku tanpa ekspresi."Jadi, kapan kau akan menyelesaikan semuanya?" Davis bertanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, nada suaranya terdengar malas, seakan jengah karena aku belum juga menyelesaikan urusan dengan Aria. "Yessy akan segera kembali ke tanah air, bukan? Apa kau ingin menyia-nyiakan dia begitu saja?"Yessy.Aku menggerakkan gelas di tanganku, memperhatikan pantulan lampu neon yang membias di permukaannya. Yessy adalah sesuatu yang nyata—sesuatu yang selalu bisa kupercayai. Tidak seperti Aria."Jangan bilang kau masih mempertimbangkan untuk membatalkan perceraian." Salah satu temanku menimpali, suaranya setengah mengejek.Aku mendengus pelan. "Aku tidak akan menj!lat luda
Jarum kecil di tanganku bergetar, benangnya hampir terlepas dari ujungnya saat aku menariknya perlahan di atas kain. Mataku terasa panas dan perih, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena aku mulai kesulitan untuk fokus. Sesekali, bayangan di depanku berputar seperti ombak yang menggulung, memaksaku untuk menutup mata sebentar sebelum kembali melanjutkan.Jahitanku masih belum rapi. Aku tahu. Tapi aku tak punya waktu untuk mengulangnya dari awal.Cahaya lampu kamar yang redup menerangi sepotong kemeja yang hampir selesai. Bukan kemeja terbaik yang bisa dibeli seseorang, tapi ini yang terbaik yang bisa aku buat. Jahitannya mungkin tidak sempurna, tapi aku merapikan setiap helai benang dengan tanganku sendiri. Aku ingin memberikannya pada Aditya, sebelum semuanya berakhir.Tanganku terhenti. "Sebelum semuanya berakhir."Kata-kata itu berputar di kepalaku.Aku menatap setumpuk kain di pangkuanku, lalu ke jam kecil di meja samping tempat tidur. Sudah lewat jam dua pagi. Aku har
Rumah orangtuaku selalu terasa lebih besar dari yang seharusnya. Bangunan dua lantai dengan pilar-pilar tinggi itu berdiri megah di tengah halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga mahal. Tapi bagiku, rumah ini tak pernah terasa seperti rumah.Aku melangkah masuk, melewati ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit. Seorang pelayan mengantarku ke ruang keluarga, tempat Ibuku, Tiana, duduk dengan elegan di sofa panjang berlapis beludru. Tangannya memegang secangkir teh porselen, sementara matanya yang tajam langsung menatapku begitu aku masuk."Akhirnya kau datang juga," katanya tanpa basa-basi.Aku mengeratkan genggaman tanganku. Sebenarnya, aku ingin langsung mengatakan alasanku datang—aku ingin meminjam uang. Tapi sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Ibu sudah mendahuluiku."Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," katanya, meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja. "Perusahaan keluarga kita sedang
Aku duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan tangan mengepal di atas pangkuanku. Udara di ruangan ini terasa dingin, mungkin karena pendingin ruangan atau mungkin karena hatiku sendiri yang semakin membeku.Di depanku, seorang perawat berjalan melewati lorong, menyerahkan amplop hasil tes kepada pasien lain. Aku menelan ludah, menunggu namaku dipanggil. Jantungku berdegup kencang, meskipun di dalam hati aku tahu jawabannya mungkin masih sama.“Aria?”Suara perawat itu terdengar lembut, tapi tetap saja membuatku tersentak. Aku bangkit, mengambil amplop itu dengan tangan sedikit gemetar.“Terima kasih,” ucapku, sebelum kembali duduk. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka kertas di dalamnya. Aku sudah melalui ini berkali-kali, tapi entah kenapa kali ini rasanya lebih menyesakkan.Perlahan, aku membuka lembaran hasilnya. Mataku langsung tertuju pada bagian yang paling penting.Negatif.Lagi.Dunia di sekitarku seakan memudar. Suara-suara samar dari pasie