LOGINLima hari setelah aku menandatangani surat perceraian, suara Tiana menerobos masuk ke dalam telingaku dengan kemarahan yang tak tertahankan.
"Apa maksudmu menceraikan Aditya diam-diam?! Kau pikir bisa lari dari tanggung jawabmu, hah?" Aku menekan ponsel lebih erat ke telinga, berusaha menahan napas yang mulai berat. Tubuhku masih terasa nyeri setelah bekerja sejak pagi, menjadi buruh cuci di pusat pencucian di desa kecil ini demi membayar uang sewa kos kamar dan makan sehari-hari. Tapi tentu saja, itu bukan sesuatu yang penting bagi Tiana. "Aku tidak lari," jawabku lirih, suara yang hampir tak terdengar dibandingkan nada tinggi yang Ibu gunakan. "Aku hanya—" "Diam!" bentaknya, memotong kalimatku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. "Aku sudah mencari ke rumah Aditya, tapi kau tidak ada! Kau pikir bisa bersembunyi dariku? Kau sengaja, ya? Kau tidak mau aku tahu soal perceraian ini, hah?!" Tanganku bergetar, tidak hanya karena kelelahan, tetapi juga karena kata-kata Ibu yang selalu seperti pisau tajam, menguliti perasaan dan meninggalkan luka yang tidak akan pernah sembuh. Aku menatap lantai tempat tempat pencucian ini, mengabaikan pakaian yang seharusnya aku angkat dari mesin cuci. "Ibu ...." Aku mencoba bicara lagi, tapi Tiana tidak memberiku kesempatan. "Kau pikir setelah diceraikan Aditya, kau bisa bebas begitu saja?!" lanjutnya, suaranya penuh kebencian. "Kau dengarkan aku baik-baik, Aria! Aku sudah mengatur pernikahanmu dengan Tuan Sunandar." Jantungku berhenti berdetak sejenak. "Apa?" Suaraku bergetar. "Kau dengar aku! Tuan Sunandar sudah setuju untuk menikahimu. Mahar sudah diberikan, jadi kau tidak bisa menolak! Kau pikir kau siapa? Kau bukan siapa-siapa, Aria! Kau hanya beban yang seharusnya sudah kuhapus sejak dulu kalau saja kau tidak berguna untukku!" Aku merasa seolah ada sesuatu yang menghantam dadaku. Bukan karena kata-kata itu asing—tidak, aku sudah mendengarnya sejak kecil. Aku tahu aku tidak pernah dianggap lebih dari sekadar aset bagi Tiana. Tapi tetap saja, hatiku selalu berharap ... walaupun aku tahu itu sia-sia. "Ibu ...." Napasku terputus, suaraku lirih seperti bisikan. "Aku tidak mau lakukan ini." Demi apa pun, aku tidak akan sudi menikahi pria tua yang bahkan pantas kusebut Kakek daripada suami. Istri dan cucunya sudah di mana-mana, berserakan entah berapa jumlahnya. Hanya karena dia pria kaya, lantas Tiana memberikanku pada pria tua itu dengan suka rela? Tiana mendecakkan lidahnya dengan kesal. "Aku tidak peduli apa yang kau mau! Pulang sekarang juga! Aku tidak mau mendengar alasanmu!" Air mataku menetes, jatuh ke punggung tanganku yang pucat. Aku tahu aku tidak punya tempat untuk meminta pertolongan. Tidak ada siapa pun yang bisa membantuku. Aku lelah. Aku sangat lelah. Tubuhku sudah tidak kuat bekerja, kesehatanku semakin buruk. Aku sering melupakan sesuatu, bahkan pagi tadi, aku tidak ingat apakah sudah makan atau belum. Tapi sekarang, bukan hanya tubuhku yang kelelahan. Hatiku pun begitu. "Ibu ...." Aku menarik napas gemetar. "Aku tidak mau." "Kau berani melawan aku?" suara Tiana terdengar semakin mengancam. “Dengar Aria! Aku adalah orang yang melahirkanmu! Kau berhutang nyawa padaku! Apa yang kau lakukan, tidak akan pernah sebanding dengan itu.” “Jika aku mengembalikan nyawa ini, apa hutangku padamu akan lunas?” “Apa yang kau bicarakan? Jangan mengatakan hal bodoh, Aria!” Aku menarik napas panjang, memejamkan mataku sesaat. Sebelum akhirnya … aku mengangguk. “Baiklah, aku akan setuju dengan pernikahan itu. Akhir bulan nanti adalah batas selesainya masa tunggu, setelah itu perceraianku dengan Aditya akan sah. Di hari itu, jemputlah aku di makam Ayah. Kau bisa membawaku pulang saat itu.” “Kau tidak membohongiku, kan?” Suaranya keras, meragukan ucapanku. “Untuk apa aku membohongimu? Aku sudah lelah lari dari orang-orang di sekitarku. Kau bisa memegang ucapanku, kau pasti mendapatkanku di sana nanti.” Aku menutup sambungan itu, menghela napas panjang dan berat. Hujan masih enggan berhenti sampai jam kerjaku usai. Aku menggunakan mantel untuk mendekap tubuhku, menerobos hujan demi tiba di kamar kos lebih cepat. Sebelum aku melupakan percakapan tadi, aku menulis semuanya di buku catatan, mencatat tanggalnya juga. Setelah aku melupakan banyak hal, aku mulai terbiasa mencatat apa yang harus aku lakukan setiap hari, dan janji apa yang harus aku tepati. Hanya ini satu-satunya cara untuk membantuku mengingat. Bahkan aku juga menulis alamat kos ini, jika sewaktu-waktu aku lupa jalan pulang dan membawanya ke mana-mana. Hujan sudah cukup reda setelahnya. Aku kembali melangkah keluar, mencari makanan yang sekiranya bisa mengganjal perutku malam ini. Tidak tahu dari mana, tiba-tiba sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi dari arah belakangku, membuat genangan air menyembur dan mengguyur seluruh badanku. Mobil itu berhenti, kupikir akan meminta maaf. Tapi yang keluar malah pria yang aku kenali. Davis. Dia mendekat, seringai di wajahnya seperti sedang mengolok-olok diriku. “Jadi rupanya di sini kau bersembunyi?” Aku tidak bersembunyi, aku memang tidak memiliki tempat tinggal. “Aria … Aria. Tidak kusangka kau menyusun skema yang luar biasa seperti ini. Kau berlari seolah kau menerima semuanya begitu saja, tapi yang sebenarnya kau inginkan adalah agar Aditya mencarimu, kan? Kau berpikir Aditya akan merasa simpati padamu dan mencabut gugatannya?” Sungguh, aku tidak ingin berdebat lagi. Terserah apa yang ingin mereka katakan. “Davis, jika tidak ada hal penting yang kau sampaikan, aku pergi dulu.” Aku berbalik untuk meninggalkannya, tapi dia tiba-tiba mencekal lenganku. Tubuhku goyah, keseimbanganku hilang, dan aku jatuh ke atas aspal basah. Davis tertawa melihatku. “Aria, jika kau ingin pura-pura lemah, percayalah, kau hanya membuat dirimu semakin menji jikkan! Aku hanya memegang lenganmu, tapi kau sudah menjatuhkan dirimu sampai seperti itu. Kenapa? Ingin menarik perhatian dari orang-orang di sini?” Aku berdiri dengan susah payah, menahan rasa sakit di kepalaku yang mulai berdenyut. “Davis, aku tidak tahu kenapa kau begitu membenciku. Tapi apa pun itu, aku tidak akan pernah menyesal atas apa yang sudah kulakukan padamu di masa lalu.” “Kau ingin tahu kenapa aku membencimu? Itu karena keluargamu telah menipu keluargaku habis-habisan. Kau benar-benar keturunan penipu sejati! Jika bukan karena Aditya, aku pun akan menjadi melarat sepertimu. Cukup keluargaku yang menjadi korban, aku tidak akan membiarkan temanku atau pun Yessy menjadi korbanmu selanjutnya.” Dia mendekat, matanya menusuk langsung padaku. “Dengar ini, Aria! Ke mana pun kau pergi, kau tidak akan pernah lepas dariku. Keluargamu akan bangkrut, kan? Aku pastikan kalian akan menderita tanpa ada satu pun yang mau membantu kalian.” Aku mengulas senyum tipis dan mengangguk. “Jika itu bisa memuaskan rasa dendammu, maka lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jangan khawatir, aku tidak akan ke mana-mana. Aku tidak memiliki banyak uang untuk kabur, jadi kau tidak akan susah mencariku. Aku pasti datang untuk membuat perceraianku dengan Aditya menjadi sah.” Setelah mengatakan itu, aku berbalik untuk menghindarinya lagi. Tapi … bumi terasa berputar. Kakiku seperti sedang berpijak di atas lantai berlumut. Pandanganku buram. Aku berusaha menggapai dinding pertokoan, menyandar di sana. Sebuah cairan ken tal menetes dari hidungku. Da rah. Tidak, kenapa sangat banyak? Pandanganku semakin buram, semakin lama semakin tidak jelas, sampai akhirnya … hanya kegelapan yang bisa aku tangkap. ***Koridor depan ruangan Gustav tiba-tiba berubah seperti ruang tunggu UGD.Beberapa karyawan berdiri saling berbisik, sebagian memeluk map seperti pelindung dada, sebagian lain hanya menatap pintu direktur dengan wajah penuh tanda tanya. Tak sedikit yang memilih menguping halus—sekedar menunggu momen pintu itu terbuka.Dari dalam ruangan, terdengar suara kursi bergeser, langkah tergesa, dan potongan kalimat pendek yang terdengar penting namun samar. Cukup untuk membuat orang yang santai jadi gelisah.Alan berdiri paling depan, map laporan menempel di dadanya. Aria berada di sisinya, memegang dokumen yang seharusnya ia berikan pada pamannya.Beberapa staf dari berbagai departemen ikut berkumpul di belakang mereka.“Ada apa ini sebenarnya?” gumam seseorang.“Sejak tadi semua orang IT dipanggil,” bisik staf lain. “Aku lihat Kepala Gudang lari ke sini. Lari. Bukan jalan cepat.”“Setelah kurir tadi diseret masuk, suasana jadi kacau,” seseorang menambahkan sambil melirik Aria. “Aria, kau tahu
Pintu ruang direktur ditutup dengan suara keras, nyaris menampar udara.Aditya bahkan belum sempat menarik napas ketika Gustav melepaskan genggamannya, seolah baru saja menyeret seekor singa yang bisa menggigit balik kapan saja.Di ruangan itu, Tuan Abram duduk dengan bahu tegang, wajahnya pucat.Tidak ada teriakan.Tidak ada makian.Tapi justru itu yang membuat suasananya mengerikan.Meja besar penuh kertas berserakan.Laptop terbuka dengan puluhan email masuk—semuanya ditandai merah.Satu notifikasi berbunyi pling, membuat Gustav dan Tuan Abram sama-sama menegang seperti baru mendengar tembakan.“Duduk.” Suara Tuan Abram rendah … dan itu jauh lebih buruk daripada marah.Aditya duduk tanpa suara.Matanya menangkap sekilas wajah Tuan Abram yang tampak seperti orang yang telah begadang semalaman. Ada bayangan gelap di bawah mata, dan garis rahang yang mengeras seperti menahan amarah yang sudah berada di batasnya.Gustav mengusap wajahnya sekali, napasnya pendek. “Biar aku jelaskan.”Ia
Alan belum sempat membalas ketika suara Aria terdengar pelan namun jelas.“Alan,” panggilnya, tanpa menoleh dari layar. “Kau boleh kembali ke mejamu. Aku akan mengirim dokumennya nanti setelah selesai.”Alan menoleh cepat, terkejut. “Aria, tapi—”“Tolong,” lanjut Aria, suaranya tetap tenang namun tegas. “Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Kau kembali saja.”Alan memandang Aria, lalu Aditya, lalu Aria lagi.Ia ingin menolak, tapi tatapan Aria jelas-jelas tidak ingin ada diskusi.Dengan rahang mengeras, ia mengambil tablet kerjanya dan melangkah pergi. Tapi sebelum pintu tertutup, Alan masih sempat memberikan tatapan tajam ke arah Aditya, seolah ingin mengatakan: ‘Aku akan kembali dan kita belum selesai.’Aditya tidak peduli.Begitu pintu tertutup, Aditya berjalan dan berdiri tepat di sisinya, meletakkan itu di hadapan istrinya. “Makan.”Aria menoleh, menatapnya dari ujung ke ujung.Bukankah dia baru saja bersenang-senang dengan Ava?Bukankah Ava akan membantunya berbelanja dan menunjuk
Lorong depan perusahaan Tuan Abram tampak begitu mewah hingga membuat pakaian yang Aditya kenakan terasa semakin memalukan.Sweater longgar milik Gustav, celana santai, dan sneakers yang bahkan bukan miliknya—semuanya kontras dengan karyawan yang lalu-lalang memakai setelan rapi dan kartu ID yang menggantung di dada.Cahaya lampu marmer di resepsionis memantul di lantai, membuat penampilannya semakin … tidak pantas.Aditya menarik napas.Ya sudah. Sudah terlanjur.Ia melangkah mendekati meja resepsionis.“Selamat pagi, saya ingin bertemu dengan—”“Maaf, Pak.” Resepsionis wanita itu bahkan tidak membiarkan kalimatnya selesai. Matanya menatap Aditya dari atas ke bawah, lalu tersenyum sopan … tapi jelas meremehkan. “Untuk tamu, ada daftar janji yang perlu dicek dulu.”“Saya tidak membuat janji,” jawab Aditya.Kontan saja ekspresi gadis itu berubah kaku. “Kami tidak bisa menerima tamu tanpa janji. Apalagi …” ia menahan lidahnya, tapi tatapannya tidak. “Kurir makanan dilarang masuk. Anda b
Aroma wafel, telur orak-arik, dan kopi hitam memenuhi ruang makan besar keluarga Nugraha. Aria turun lebih dulu. Penampilannya sudah rapi dan siap berangkat kerja, seolah insiden di pagi buta tadi tidak pernah terjadi.Di meja makan, beberapa orang telah menunggu.Tuan Abram duduk di ujung meja, wajahnya masam seperti biasa—atau mungkin sedikit lebih masam pagi ini.Gustav Nugraha, paman Aria, langsung tersenyum hangat begitu melihat keponakannya masuk.Di sebelahnya ada istrinya, Isla Haidi, wanita berambut pirang, elegan, dan ramah, serta putri mereka, Ava, gadis dua puluh tiga tahun yang terlalu ceria untuk jam makan pagi.“Morning, Aria!” Ava melambai heboh.Aria tersenyum lebar dan duduk di sebelah Kakeknya.“Di mana Aditya? Dia datang tadi malam, kan?” tanya Ava sambil melirik tangga.“Ya, di mana suamimu, Aria?” Isla menambahkan dengan nada penasaran.Mereka memang baru melihat Aditya sekali—saat pesta pertunangan keluarga—bahkan belum sempat berkenalan resmi. Tapi entah bagai
Cahaya pagi merayap perlahan dari balik tirai kamar. Aria menggeliat kecil, tubuhnya masih berat, pikirannya masih setengah tertinggal dalam mimpi. Ia menarik selimut, beringsut sedikit … lalu merasakan sesuatu.Hangat.Keras.Dan … bernapas.Alis Aria berkerut dalam tidur. Tangannya yang biasanya memeluk bantal kini justru menempel pada sesuatu yang jauh lebih besar—dada seseorang. Permukaan hangat itu naik turun perlahan, stabil, seperti ritme napas manusia.Aria bergeser sedikit. Kulitnya bersentuhan dengan kulit lain—hangat, nyata, dan sama sekali bukan miliknya.Tubuhnya langsung tegang.Bukan bantal.Bukan selimut.Bukan anjing keluarga.Detik berikutnya, matanya terbuka lebar.Dan dunia seolah berhenti.Di hadapannya, masih terlelap, dengan rambut sedikit berantakan dan napas teratur, adalah Aditya. Suaminya.Pria yang seharusnya berada ribuan kilometer jauhnya.Pria yang … entah bagaimana, sekarang tertidur di ranjangnya.Aria menganga tanpa suara.Beberapa detik ia hanya mena







