Dia hanya berakting untuk mendapatkan simpati seseorang. Menunjukkan seberapa lemahnya dia, lalu berharap seseorang akan iba padanya.
Tentu saja. Kelicikan keluarganya sudah mendarah daging dalam tubuh wanita itu juga.
Itu yang ada di kepala Davis saat ini, saat dia sedang mengikuti mobil ambulan yang membawa Aria.
Dia juga sengaja memanggil ambulan dari rumah sakit kota agar wanita itu tidak bisa lari dari perceraiannya. Itu akan menjadi urusan Aditya apakah dia akan menahannya atau tidak.
Tiba di pelataran rumah sakit, semua orang sangat buru-buru menurunkannya.
Davis hanya menyandar di body mobilnya, menyeringai, menertawakan akting Aria yang cukup baik.
Sebelum mereka membawa Aria masuk ke ruang gawat darurat, seorang dokter yang baru keluar dari arah dalam tiba-tiba berlari ke brankar Aria.
“Aria?” ucapnya panik.
“Anda kenal pasien ini, Dok?”
Dokter itu langsung mengangguk cepat. “Ya, dia pasienku. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Tolong, cepat bawa masuk!”
Kondisinya sangat mengkhawatirkan?
Kalimat itu terulang sendiri di kepala Davis.
Tidak mungkin. Wanita licik sepertinya, selain hanya bisa menipu orang, apalagi yang bisa ia lakukan?
Lalu, apa maksud perkataan Aria tadi saat ia mengatakan tidak pernah menyesal atas apa yang sudah ia lakukan padanya?
Memang apa yang pernah ia lakukan? Pasti tidak lebih dari bagian untuk menipunya lagi.
Tapi pada akhirnya, sudah satu jam sejak Davis melihat perawat membawa Aria masuk tadi, dia tidak juga pergi dari sana.
Nyatanya, sepenggal kata Aria benar-benar mengusiknya.
Setelah Dokter Herlambang keluar, buru-buru dia menegak, datang padanya. “Bagaimana keadaannya?”
“Apa Anda keluarga pasien?”
“Bukan. Saya temannya.”
Dokter Herlambang menatapnya sesaat, ekspresinya netral. "Maaf, saya tidak bisa memberikan informasi mengenai pasien tanpa izin darinya sendiri."
Davis mendecakkan lidah, menduga jawaban itu akan keluar dari mulut dokter tersebut. "Dengar, saya yang membawanya ke sini. Setidaknya beri saya sedikit informasi. Dia pura-pura atau memang benar-benar sakit?"
Dokter Herlambang tetap tidak menunjukkan reaksi berlebihan. "Saya tidak bisa membocorkan kondisi medis pasien tanpa persetujuannya," ulangnya dengan tenang. "Namun, jika Anda benar-benar peduli, saya menyarankan Anda menunggu sampai pasien sadar."
Davis mendengus, jelas-jelas tidak menyukai jawaban itu.
Namun, sebelum ia bisa membalas, seorang perawat menghampiri dan mengabarkan bahwa Aria sudah sadar. Dokter Herlambang segera melangkah masuk ke ruangan, meninggalkan Davis yang masih berdiri dengan keraguan.
Aria membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur beberapa detik sebelum akhirnya menjadi jelas. Cahaya putih dari lampu di atasnya terasa menyilaukan, membuatnya mengerjap pelan.
"Di mana aku?" gumamnya lemah. Kepalanya terasa berat, seakan ada beban yang menghimpitnya.
"Dengar, Aria." Suara Dokter Herlambang terdengar lembut namun tegas. "Kamu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Kamu ingat apa yang terjadi sebelumnya?"
Aria mengerutkan kening, mencoba mengingat. Ia ingat sedang berjalan, lalu ... kemudian apa? Ada sesuatu yang terasa mengganggu pikirannya, tapi ia tidak bisa menggapainya.
"Aku ...." Ia menelan ludah. "Aku tidak ingat."
Dokter Herlambang menghela napas kecil. Ia sudah menduga hal ini. "Kamu mengalami mimisan hebat sebelum pingsan. Itu bukan pertama kalinya, kan?"
Aria membisu. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan.
Dokter Herlambang mengamati wajahnya dengan saksama sebelum melanjutkan, "Aria, aku harus bicara jujur padamu. Kondisimu memburuk lebih cepat dari yang seharusnya. Aku sudah menyarankan pemeriksaan lebih lanjut sebelumnya, tapi kamu menolak. Sekarang, aku tidak bisa membiarkan kamu mengabaikannya lagi."
Aria menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya. Dalam hati, ia sudah tahu. Sudah lama ia merasakan tubuhnya semakin lemah, pikirannya semakin sering kosong. Ia hanya tidak ingin mengakuinya.
Dokter Herlambang melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "Jika kamu tidak segera mendapat penanganan yang tepat, aku khawatir waktumu tidak akan lama lagi."
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam dadanya. Aria menggenggam selimut di atas tubuhnya, jari-jarinya bergetar halus.
Ia tidak takut mati. Tidak lagi. Yang ia takutkan adalah ... pada akhirnya, ia akan lenyap dari dunia ini tanpa seorang pun yang mengingatnya.
Di luar ruangan, Davis berdiri diam. Ia tidak masuk, hanya mendengar percakapan dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa tidak nyaman.
Ia tidak percaya akan merasa kasihan pada Aria. Tapi melihat wajah pucat itu, mendengar kata-kata dokter tadi ....
Davis mulai bertanya-tanya.
Benarkah perempuan itu hanya pura-pura?
Atau selama ini, ia dan Aditya telah membenci seseorang yang sebenarnya sedang sek4rat perlahan?
…..
Seharusnya sudah tidak ada lagi yang ia kerjakan sekarang. Seharusnya dia bisa kembali ke penthouse-nya, melepas lelah, dan berendam di dalam Jacuzzi.
Namun, Aditya merasa tubuhnya tidak ingin melakukan apa-apa. Sudah satu jam ini dia hanya memandangi layar ponselnya.
Jika mati, ia akan menyalakannya lagi, lalu mematikannya lagi, dan menyalakannya lagi. Begitu terus sampai sekarang.
Seperti ada sesuatu yang hilang.
Tidak ada lagi pesan yang muncul setiap sore, menanyakan apa dia pulang atau tidak. Sudah lama juga tidak ada bekal makan siang yang sampai ke mejanya.
Rindu? Tidak, tidak mungkin dia rindu. Ini hanya masalah kebiasaan saja yang tiba-tiba lenyap. Hanya masalah waktu sampai dia terbiasa.
Seseorang mengetuk pintunya. Daun pintu itu didorong dengan malas. Sepasang kaki panjang muncul dari sana.
Melihat wajah Davis, Aditya hanya mendengkus tipis.
“Aku pikir kau sudah pulang tadi,” ucapnya basa-basi. Dia menarik kursi di depan meja Aditya, duduk di sana, menghela napas berat. “Kau bisa membantuku? Aku memerlukan sedikit otoritasmu.”
“Untuk apa?” Aditya bertanya dengan malas, meletakkan ponselnya ke atas meja dan menyandar.
“Mendapatkan informasi data pasien di rumah sakit kota.” Dia tahu, meskipun dia sendiri tidak bisa mendapatkan informasi tadi, tapi Aditya bisa mendapatkannya.
“Data siapa yang ingin kau dapatkan?”
“Aria.”
Aditya tertawa samar. “Waktu itu kau yang selalu bertanya mengenai perceraian kami, sekarang kau yang sibuk mencari informasinya.”
“Aku tidak sengaja melihatnya di perbatasan. Aku keluar menemuinya, tapi dia pingsan. Aku membawa dia ke rumah sakit kota, dan dokter merahasiakan informasinya. Aku sangat yakin, kali ini pun, dia juga sedang menyusun skema untuk menipumu dan berharap kau akan bersimpati padanya.”
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Aditya. Tatapannya serius, tapi tidak ada ekspresi yang terbaca.
“Keluarlah! Aku yang akan mencaritahunya sendiri.”
Aditya mengemudi pelan. Jalan yang ia tuju bukan ke rumahnya, melainkan rumah yang ia beli untuk ditinggali Aria. Rumah sederhana yang berada lebih jauh dari perusahaannya.
Dari halaman, dia bisa melihat gelapnya rumah itu. Debu di teras dan permukaan kaca jendela juga kian menebal. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tapi Aditya masih merasa ada sesuatu yang hidup di dalam sana.
Matahari hampir tenggelam ketika Aditya membuka pintu rumahnya. Langit di luar berpendar jingga keemasan, menciptakan bayangan panjang di lantai saat ia melangkah masuk.
Suasana di dalam terasa hampa.
Ia melepas jasnya, melemparkannya asal ke sandaran sofa, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air.
Sepanjang perjalanan, hanya ada suara langkah kakinya yang menggema di lantai dingin. Tak ada suara lain—tak ada bunyi langkah ringan, tak ada suara seseorang yang biasanya menyapanya dengan ragu.
Aditya meneguk air dalam diam, kemudian bersandar di meja dapur. Matanya melirik ke ruang tengah. Tirai masih terbuka, membiarkan sisa cahaya senja masuk ke dalam, mewarnai ruangan dengan semburat keemasan yang suram.
Sofa di sudut sana tampak rapi, bantal-bantal tersusun sempurna. Tak ada selimut tipis yang biasanya dibiarkan berantakan di sana. Di meja, tak ada secangkir teh hangat yang kadang-kadang lupa dihabiskan.
Bahkan aroma samar yang biasanya memenuhi rumah ini—wangi teh chamomile dan sesuatu yang lembut—sudah menghilang sepenuhnya.
Ia menoleh ke arah kamar Aria. Sunyi. Tak ada lampu yang menyala, tak ada suara pintu kamar terbuka.
Rumah ini selalu kosong, tapi tidak pernah terasa sekosong ini.
Aditya mendengus pelan, menggelengkan kepala. Ia tidak mengerti mengapa hal-hal kecil itu tiba-tiba terasa begitu mencolok.
Bukankah ini yang seharusnya ia inginkan?
Seharusnya ia lega, bukan?
Namun, saat ia berjalan melewati ruang tamu, bayangan samar melintas dalam pikirannya—sekelebat sosok yang pernah berdiri di sana, dengan mata yang selalu penuh sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Aditya mengalihkan pandangannya, lalu menyalakan lampu. Seketika, kegelapan itu buyar.
Ia tidak ingin memikirkannya lagi.
Bukankah Aria selalu membawa bekal makan siang untuknya? Seharusnya ada bahan makanan yang masih bisa ia gunakan.
Aditya kembali ke dapur, membuka lemari es. Masih ada telur, ayam, dan beberapa bahan lain yang tidak banyak. Tapi dia tidak tahu harus memasak apa. Sedangkan sudah sejak pagi dia tidak makan.
Di laci lemari, ada banyak mie instant. Rasanya hanya itu yang paling mudah ia buat.
Semua bumbu sudah ia tuang ke piring. Air pun akan mendidih.
Aditya memungut semua sampahnya, memasukkan ke tong sampah. Namun sebelum semua sampahnya jatuh, gerakannya tertahan di tengah-tengah.
Sampah itu penuh. Bukan dengan sesuatu yang lain, melainkan hanya sampah dari bungkus mie instant.
Ekspresi Aditya kembali suram. Dia dengan gerakan kesal nekat membongkar sampah tersebut, tapi memang tidak ada yang ia temukan selain hanya bungkus mie. Sisanya, hanya kantong teh.
Aditya menendang tong sampah itu dengan kesal, membuat semua isinya berserakan di lantai.
Si4lan!
Apa yang dilakukan wanita itu? Apa dia hanya makan mie instant? Kenapa dia tidak mengambil bahan makanan yang ia simpan?
“Tuan.” Seorang pria datang dari luar. Melihat kekacauan di bawah kaki Aditya, dia hanya melirik tanpa berani berkomentar.
“Bicara!” perintahnya keras. Emosinya pada setumpuk bungkus mie instant tadi masih belum mereda.
“Maaf, saya tidak bisa mendapat informasi yang Anda inginkan. Pihak rumah sakit berkata jika semua data mengenai istri Anda disimpan oleh Dokter Herlambang sendiri. Saya sudah menemui dokter itu, dan dia bersikeras menahan sesuai permintaan pasien.”
“Dan ….” Orang itu menahan ucapannya sebentar. “Istri Anda sudah tidak ada di rumah sakit itu. Dia sudah pergi.”
“Jadi dia sungguh ingin bermain-main denganku?” Aditya menyeringai, melonggarkan dasinya. Sorot matanya berubah tajam dan licik.
Lihat saja. Aku pasti akan menemukan dan mengikat dia di sisiku sampai perceraian ini selesai.
***
Sarapan kali ini begitu sunyi. Tiga orang itu duduk mengelilingi meja bundar kecil yang hanya memiliki tiga kursi. Bukan karena tidak ada suara, melainkan karena masing-masing dari mereka terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.Aria, yang duduk di antara Aditya dan Davis, perlahan menyendok makanannya tanpa banyak bicara. Sudah cukup jelas dari caranya menatap piring kalau dia tidak benar-benar menikmati sarapan ini. Beberapa kali dia melirik Davis dan Aditya, seolah masih belum terbiasa dengan kebisuan di antara mereka.Davis sendiri lebih banyak menatap meja, tangannya menggenggam sendok tanpa benar-benar menggunakannya. Setelah percakapan tadi, ada beban yang menggantung di dadanya setiap kali dia menatap Aria. Dia masih belum bisa menghilangkan rasa bersalahnya, tapi juga tidak tahu bagaimana harus bersikap lebih baik tanpa terlihat memaksa.Aditya, di sisi lain, terlihat lebih tenang. Dia tetap seperti biasanya—dingin dan sulit ditebak. Hanya saja, sejak tadi, dia beberapa kali
Aria duduk bersandar di sofa, menarik selimut tipis hingga ke bahunya. Televisi di depannya menampilkan sebuah drama, dengan latar lampu kota yang berpendar indah di layar.Di sampingnya, Aditya duduk dalam posisi santai, satu tangan bertumpu di sandaran sofa, sementara tangan lainnya menggenggam remote. Dia tidak terlalu peduli dengan apa yang sedang diputar, tapi dia tetap ada di sana. Untuk menemani Aria.Suasana awalnya canggung. Tak ada yang bicara, hanya suara dari layar yang mengisi ruangan. Aditya melirik Aria sesekali, memperhatikan wajahnya yang serius menonton. Namun, beberapa menit kemudian, Aria mengernyitkan dahi."Siapa dia?" tanyanya, menunjuk seorang pria yang baru saja muncul di layar.Aditya menoleh ke layar, lalu kembali menatap Aria. “Dia karakter yang muncul di episode sebelumnya. Dia tunangan pemeran utama.”Aria mengangguk pelan, lalu kembali menonton. Tapi tak sampai lima menit, dia kembali bertanya."Kenapa dia terlihat marah?"Aditya menekan sudut bibirnya.
Begitu pintu rumah terbuka, udara yang lebih sejuk dan tenang menyambut Aria. Tidak ada kehadiran Aditya di sini. Tidak ada bayang-bayangnya, tidak ada tatapan tajamnya yang selalu membuatnya merasa kecil. Hanya ada dia dan keheningan rumah ini.Langkahnya pelan, memasuki ruang tamu yang sederhana. Rumah ini satu lantai, tidak megah seperti penthouse yang Aditya sediakan untuknya. Tapi di sinilah tempat yang dulu ia bangun dengan harapan—harapan untuk hidup bersama Aditya, untuk memiliki kehidupan pernikahan yang hangat dan penuh kebahagiaan.Dulu, setiap kali dia duduk di sofa ini, dia selalu menunggu suara mobil Aditya di depan rumah. Setiap kali dia berdiri di dapur, dia selalu membayangkan memasak sesuatu untuk pria itu. Namun, bertahun-tahun berlalu, Aditya tidak pernah benar-benar pulang. Dia hanya meninggalkan bayangannya—sebuah kehadiran kosong yang selalu membuat Aria merasa sendirian, bahkan ketika mereka masih berstatus suami istri.Dan sekarang … sekarang dia ada di sini l
Langit siang terasa begitu menyilaukan.Aria berjalan tanpa arah. Dia tidak tahu harus ke mana—dia bahkan tidak yakin kenapa dia pergi. Tapi setiap sudut penthouse itu, setiap tatapan Aditya, setiap perhatian yang diberikan pria itu … semuanya terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.Bukan cinta. Bukan keinginan. Hanya kasihan.Aria menyeberang jalan tanpa memperhatikan lampu lalu lintas. Tiba-tiba, klakson mobil terdengar nyaring di telinganya.Tiinn …!Langkahnya terhenti. Dia berdiri di tengah jalan, dikelilingi mobil-mobil yang berhenti mendadak. Suara orang-orang meneriakinya terdengar samar. Pandangannya berputar. Dunia terasa bergoyang di bawah kakinya.Lalu, hangat.Cairan panas mengalir dari hidungnya. Aria menurunkan pandangannya, melihat tetes-tetes merah jatuh ke aspal.Da rah.Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya semakin pendek. Tubuhnya terasa semakin lemas.Dia sekarat. Dia benar-benar akan mati di sini.Tapi sebelum pikirannya bisa meresapi kepanikan itu, suara deru
Aditya masih menatap kemeja itu, diam. Tidak ada ekspresi yang bisa dibaca dari wajahnya.Aria mulai merasa tidak enak. Mungkin ini ide buruk. Mungkin dia seharusnya tidak memberikan sesuatu yang begitu berantakan seperti ini.Dia hendak menarik kembali kemeja itu, tetapi sebelum ia sempat melakukannya, Aditya membuka mulutnya."Kau menjahit ini untukku?"Aria mengangguk pelan. "Ya."Aditya menatapnya lama. Ada sesuatu dalam tatapannya, sesuatu yang sulit dijelaskan.Lalu, tiba-tiba dia menurunkan kemeja itu ke pangkuannya. Dengan satu tangan, dia mulai meraba permukaannya, merasakan tekstur kainnya di antara jemarinya.Dan kemudian, dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, dia berkata:"Kau melakukannya dengan baik. Terima kasih. Aku menyukainya.” Hanya itu.Namun, bagi Aria, kata-kata sederhana itu terasa lebih hangat daripada apa pun yang pernah ia terima selama tiga tahun terakhir."Norton, tolong ambilkan obat untuknya yang harus ia minum sekarang."Nada suara Aditya tenang,
Aditya sesekali meliriknya, memastikan bahwa dia benar-benar makan, bukan sekadar menyentuh makanan tanpa selera.Hening menyelimuti meja makan, hanya terdengar suara peralatan makan yang saling beradu pelan. Namun, di tengah suapan, gerakan tangan Aria tiba-tiba melambat.Sendok yang dipegangnya mulai terasa berat, dan jari-jarinya yang ramping kehilangan koordinasi. Saat dia mencoba menggenggamnya lebih erat, jemarinya justru melemah.Sendok itu terlepas, jatuh ke piring dengan bunyi pelan.Aditya langsung menoleh. Dahinya mengernyit melihat Aria yang menatap tangannya sendiri dengan kebingungan. Jemari tangan kanannya sedikit menegang, seolah kehilangan kemampuan untuk menggenggam dengan benar.Aria mencoba mengambil sendoknya kembali, tapi tangannya masih terasa kaku. Wajahnya terlihat frustrasi, tapi dia berusaha menyembunyikannya.Aditya mengulurkan tangan, mengambil sendok itu lebih dulu sebelum Aria sempat mencoba lagi. Dia menggenggam pergelangan tangan Aria dengan hati-hati,