Masuk“Kau sudah baikan sama Davis?”Aria menoleh, mengerutkan alis. “Sejak kapan kami bertengkar?”Milan menyipitkan mata, menatapnya curiga. “Jangan pura-pura. Kau sempat kesal sama dia waktu itu, kan?”Ingatan Aria sedikit mundur, lalu senyum tipis menggantung di bibirnya saat dia ingat mengulang-ulang kembali rekaman videonya dan Aditya saat di kamar rumah sakit. Juga, bagaimana Aditya berjanji kalau dia akan mengingatkannya bahwa dia adalah suaminya.Meski saat dia melihat rekaman itu pertama kali dia merasa marah, tapi setelah hubungannya mulai membaik dengan Aditya, rekaman itu justru menjadi penghangat hatinya. Dia bahkan menyimpan di ponselnya yang saat ini ia pakai.Dan sekarang, hanya dengan mengingat video Aditya, perasaannya mulai membaik.“Memang kalau kesal harus dibawa sampai mati?” Milan berdecak, bola matanya bergulir dengan kesal.Mobil melambat pelan saat memasuki halaman toko. Tidak lama, beberapa pekerja renovasi mulai berdatangan—menyelesaikan pekerjaan mereka yang
Keesokan harinya, Aria kembali ke rumah keluarganya. Sengaja dia datang pagi-pagi, sekalin untuk sarapan bersama dengan mereka. Seperti kata Milan, sudah lama mereka tidak duduk bersama di meja makan.Pagi itu, tukang kebun dan beberapa pelayan sudah sibuk dengan pekerjaan mereka. Sopir keluarga juga sudah bersiap mengeluarkan mobil dan membersihkan kendaraan masing-masing.Ketika Aria tiba, semua orang menyambutnya dengan ramah.Jika dilihat dari mobil-mobil yang masih berjejer, seharusnya semua orang masih lengkap di dalam.Aria masuk dengan langkah lebih cepat, langsung menuju ruang makan.Milan, kedua orangtuanya, sudah duduk di kursi masing-masing.Melihat Aria muncul, mereka menyapa dengan riang, “Aria? Kau datang di saat yang tepat. Kemari dan duduklah! Ayo sarapan dengan kami.”Aria tersenyum lebar, menarik salah satu kursi yang kosong di depan Milan. Melihat sekeliling, dia tidak menemukan Ava ataupun Isla.Kursi di sisi meja itu kosong.Aria terdiam sejenak, lalu menoleh pad
Karena mereka menolak, Aria juga tidak bisa memaksa.Aria pergi ke dapur, mengambil air sambil memikirkannya.Dari belakang, suara Milan terdengar rendah, “Apa … kau dan Ava bertengkar?”Kening Aria terlipat.Lihat? Bahkan Milan bisa melihat keganjalan mereka dengannya. Meski dia tidak tahu apa, tapi dia bisa merasakannya. Dan itu bukan hanya perasangkanya saja.“Tidak. Kenapa kau berpikir seperti itu?”Milan menghela napas, menyandar di meja. “Kalian sudah tinggal bersama selama tiga tahun. Tapi aku melihat Ava memandangmu seperti … seperti ada kecewa dan kemarahan.”Aria meletakkan gelasnya, menghembuskan napas. “Aku juga tidak mengerti. Sebenarnya aku juga merasakan itu, tapi … aku juga tidak tahu kenapa. Padahal baru beberapa jam yang lalu kita mengobrol.”“Kalau begitu kau harus membicarakannya dengan Ava.”“En. Aku akan melihatnya kalau dia sudah baik nanti.”“Jadi kau akan makan malam di sini?” Milan menatapnya antusias. “Ayolah … kau baru kembali, tapi kau bahkan tidak mampir
Sore itu, barang-barang yang dipesan Aria mulai berdatangan. Dari kebutuhan butik, sampai hiasan untuk mempercantik tokonya.Aria dengan semangat mengatur semuanya, sampai akhirnya suara Milan yang tiba-tiba muncul menyebar ke seluruh ruangan.“Luar biasa ….” Milan bahkan bertepuk tangan. “Nyonya Muda Wiguna, kau baru kembali dari luar negeri dalam beberapa hari, dan statusmu langsung berubah menjadi bos?”Milan menggeleng, berdecak dengan ekspresi kagum. “Kau benar-benar tahu cara memanfaatkan suami baik dan kaya raya.”“Kalau begitu, kau perlu belajar padaku bagaimana cara memanfaatkan uang suamimu dengan baik di masa depan.” Aria terkekeh bangga, lalu mendekat dan menarik Milan masuk. “Bagaimana menurutmu?”“Sempurna!” Milan melipat tangannya di dada, mengamati seluruh ruangan seperti juri kontes. “Sepertinya kau perlu membuka ini lebih cepat. Semakin cepat, semakin baik, karena aku tidak sabar mengoleksi baju diskon.”“Kau tahu, selain aku tahu cara memanfaatkan uang suamiku, aku
Kantor Aditya masih lengang ketika pintu itu terbuka.Aditya yang baru saja menandatangani beberapa berkas mengangkat kepala. Alisnya berkerut tipis saat melihat tiga sosok berdiri di ambang pintu—Gustav, Isla, dan Ava.“Kalian?” katanya pelan sambil bangkit dari kursinya. Tatapannya berhenti sedikit lebih lama pada Ava. “Ada apa datang bersama-sama ke sini?”Gustav melangkah lebih dulu. Wajah pria paruh baya itu tenang, terlalu tenang untuk sebuah kunjungan mendadak.“Hanya ingin mengobrol. Kau punya waktu sebentar?”Aditya mengangguk. Ia berjalan ke arah sofa, duduk di kursi tunggal, lalu mempersilakan mereka dengan satu gerakan tangan.“Tentu. Ada apa?”Gustav menarik napas dalam. Suaranya rendah saat ia berkata, “Mengenai malam itu.”Alis Aditya semakin mengernyit. “Malam apa?”Untuk sesaat, Gustav, Isla, dan Ava saling memandang. Tidak satu pun dari mereka menyangka bahwa setelah semua ini, Aditya masih tampak … benar-benar tidak tahu.Seluruh ekspresinya menyatakan kebingungan y
“Terlalu banyak mata,” kata Aditya sambil bangkit, menarik tangan Aria juga bersamanya.Tanpa aba-aba, Aditya mengangkat tubuh istrinya, menggendongnya dengan sekali gerakan.Aria tertawa renyah, menikmati perlakukan dimanja seperti ini.Pintu kamar ditutup dengan kaki oleh Aditya sebelum bergerak ke ranjang, meletakkan Aria hati-hati di atas sana.Aria masih menahan tawa di bibirnya saat dia bertanya dengan menggoda, “Apa kau sudah tidak tahan?”“Ya, sangat tidak tahan. Bersiaplah, aku mungkin akan menghabisi tubuhmu mala mini.”Aditya tidak memberi jeda lagi saat dia melepas pakaian Aria satu persatu. Bahkan saking tidak sabarnya, gerakan yang menurut dia biasa saja hampir mengoyak celana dalam Aria.Satu persatu pakaian dari keduanya berjatuhan di lantai.Sprei yang tadinya tertata rapi kini mulai kusut, seperti tertarik di satu pusaran.Desahan yang tadinya pelan, semakin lama semakin meningkat ketika Aditya yang mulai menggila dengan semua kelakuannya.Malam kembali menjadi menye







