Share

Bertahan demi anak-anak

Shelomitha dibantu Dewi memasuki kamar baru, tepat di samping kamar mereka dulu. Shelomitha duduk di sisi ranjang berusaha merebahkan tubuhnya. Putri membantu menumpuk bantal biar agak tinggi, ia lalu membaringkan tubuh Shelomitha degan pelan. Shelomitha memandangi langit-langit yang bercat putih di atas, sesaat ia berusaha memejamkan mata, namun rasanya mata ia enggan terpejam.

"Istirahatlah, Tha. Kau butuh menenangakan diri." Dewi seraya menarik selimut menutupi tubuh Shelomitha.

Shelomitha mengangguk pelan. "Iya kau benar. Terima kasih buat semuanya, Dew."

Dewi tersenyum lembut. "Apa sih yang enggak buat kamu." Dewi membetulkan selimut karena masih terlihat kaki Dewi.

Shelomitha menoleh ke arah jendela terlihat pepohonan meliuk-liuk. Alunan suara itu masih terdengar indah tatkala angin meniupnya dengan kencang dari balik jendela. Ada buih gelombang rindu menyeruak dalam kabut tipis, air mata tak terasa menggenang lagi di pelupuk mata Shelomitha.

"Dew ...."

Dewi menarik napas berat, mendekat lalu memeluk tubuh sahabatnya dengan erat. "Sabar, Tha. Aku yakin kau bisa lewatin semua ini."

Shelomitha semakin mengencangkan pelukannya, Dewi tahu jika sahabatnya itu sedang menangis. "Menangis lah jika itu bisa membuatmu lega." Dewi mengelus rambut Shelomitha dengan lembut.

"Apa salahku, sehingga dihianati seperti ini?"

"Tidak, kau tak salah, Tha. Mereka saja yang tak tahu diri. Aku mendukung apapun keputusanmu."

Shelomitha merenggangkan pelukan, lalu mengusap air mata dan tersenyum. "Iya."

Dewi pamit pulang karena sudah malam, Dewi menggantuk karena efek dari obat yang ia minum.

-

Hingga sore hari Bramantyo belom bisa pulang, karena pekerjaan yang tak bisa ditinggal membuatnya rindu pada istrinya Shelomitha. Mungkin Bramantyo lupa mungkin saja Shelomitha tidak akan bisa memaafkannya. Bramantyo berdiri mengambil ponsel, lalu memencet nomor istrinya. Beberapa kali ditelepon juga tidak diangkat, Bramantyo mendengus kesal lupa jika ponsel istrinya kemarin sudah ia hancurkan.

Bramantyo segera membereskan pekerjaan, lalu beranjak pulang. Mobil telah terparkir di tepat di depan sebelah kiri rumahnya. Bramantyo berjalan masuk terlihat rumah sudah sepi jam menunjukkan pukul sembilan malam. Bramantyo berjalan. Mendekati dapur meminun air mineral, lalu berjalan menuju kamar Raka juga Rania putrinya sudah tertidur. Kembali ia berjalan menaiki tangga memasuki kamar namun terlihat sangat sepi, kemana istrinya berada?

Bramantyo berjalan mendekati kamar mandi namun tak juga ia temukan, keberadaan Shelomitha. Ia kembali mencari ke dapur, melihat Mbok yang masih membersihkan piring sisa makanan.

"Mbok, Non Mitha kemana?" tanyanya begitu khawatir.

"Emm. Non Mitha, tidur di samping kamarnya Aden Bram," jawab Simbok membuat Bramantyo seketika tersentak dadanya terasa sesak.

Deg

"Apa ...?" badan Bramantyo seketika lemas, apa artinya Shelomitha menjauhinya.

Mbok Darmi menggeleng beberapa kali. "Mbok enggak tahu, Den. Itu, Non Mitha yang minta!"

"Oh, baiklah."

Bramantyo berjalan menaiki tangga, hatinya begitu sakit, ia sudah berada di depan kamar yang tertutup rapat, gemetar tangannya namun ia berusaha membuka pintu dengan hati-hati, perlahan ia masuk. Ia melihat istrinya sedang tertidur pulas, kesederhanaan istrinya begitu terlihat. Sangat cantik dan begitu sederhana, ia memandangi wajah sang istri yang sudah tertidur lelap. Bramantyo tak tega melihat kondisi istrinya yang tertidur lemah, bahkan ia tak berani menyentuh istrinya.

Bramantyo bangkit memberanikan diri untuk mencium kening istrinya lalu berjalan kembali ke kamarnya, ia tahu kesalahannya tak bisa di maafkan. Bahkan Bramantyo masih menginggat hari-harinya bersama istrinya selalu ada cinta bahkan ia tak pernah sekalipun menolak ajakannya untuk bercinta. Semua itu membuat Bramantyo begitu menyesal, ia duduk disisi ranjang dengan memeggang kepala yang terasa begitu berat.

"Tha, tolong ambilkan handuk? Aku lupa enggak bawa."

"Di mana handuknya, Mas?" tanyanya waktu itu.

"Tadi, aku taruh atas nakas, sayang."

"Oh, iya ini, Mas."

Bramantyo langsung menarik tangan Shelomitha, lalu menggendonya ke atas ranjang.

Aghhh....

Bramantyo memukul dadanya sendiri, kamar yang ia tempati saat ini begitu banyak kenangan yang tak bisa ia lupakan, Bramantyo membuang semua barang yang ada di atas meja berhamburan jatuh di lantai.

-

Pagi hari, tepat jam setengah tujuh pagi, Shelomitha dan Raka sudah berada di meja makan. Shelomitha hanya ingin berjuang untuk anak-anaknya. Ia harus bersemangat di depan anaknya.

"Pagi, Bunda ku yang cantik? Bunda sudah sembuh?" tanya Rania senang.

"Pagi, Rania. Iya Bunda sudah sembuh, Nak."

"Alhamdulillah, Bunda. Asyik." Rania berdiri dan mencium pipi sang Bunda.

Bramantyo yang melihat dari atas, dadanya terasa sesak. Istrinya adalah wanita yang begitu baik, Bramantyo harus berjuang lagi mendapatkan cinta Shelomitha kembali.

"Mbok, tolong panggilkan, Den Bram untuk sarapan." Pinta Shelomitha.

Simbok bingung bahkan bertahun-tahun baru kali ini, Nonanya meminta memanggil kan Bramantyo. "Injih, Non."

Biasanya rutinitas setiap hari pasti Shelomitha yang selalu memanggilnya. Bramantyo kembali ke kamar, ia harus memilih baju sendiri, dasi sendiri. Setelah Mbok Darmi memanggilnya ia turun untuk sarapan. Sesaat Shelomitha memperhatikan tangan Bramantyo yang terluka dan di perban. Ia hampir menegurnya tapi diurungkannya. Ia ingat jika luka tangan itu masih sakit luka hatinya, sepanjang sarapan pagi Shelomitha hanya diam sesekali hanya mengajak bicara Raka juga Rania. Selesai makan ia langsung mengambil piring sisa makanan menuju ke wastafel.

Selesai mengambil sling bag dan mengajak Raka dan Rania untuk berangkat sekolah.

"Tha, Mas ingin bicara?" Bramantyo bertanya ragu.

Shelomitha menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah suara. "Silahkan." Shelomitha mengambil sling bag dan menuntun Raka juga Rania ke depan.

"Mbok, tolong bawa anak-anak di depan ya."

"Njih, Non."

"Maaf, aku tahu aku salah. Aku mohon maafkan aku, Tha."

Shelomitha terdiam

"Tha, tolonglah, Mas. Janji tidak akan mengulanginya."

"Maaf untuk kesetiaan di balas dengan penghianatan?" tanyanya tegas.

"Iya, aku salah maaf, please."

"Apa dengan penghianatan, pernikahan kita bisa terselamatkan?"

"Iya aku salah, aku mohon, Tha."

"Apa tidak ada perempuan lain, selain adikku, hah?"

Bramantyo terdiam. Tubuhnya mendadak dingin, mulutnya serasa terkunci mendengar pertanyaan dari Shelomitha.

"Maaf."

"Apa dengan kata maaf, masalah bisa selesai?"

Bramantyo terdiam.

"Berapa lama kalian berhubungan?" tanya Shelomitha dengan nada bergetar.

Bramantyo terdiam lagi.

Shelomitha melangkah pergi. Tak ada gunanya bicara dengan lelaki itu.

"Sejak ... sejak Empat tahun terakhir."

Shelomitha menelan saliva yang terasa begitu pahit. "A---apa? Apa kau gila, hah."

"Ampun, Tha. Maafkan aku."

Tanpa kata-kata lagi Shelomitha berlalu meninggalkan Bramantyo dengan berderai air mata, ia harus kuat, kuat bertahan untuk anaknya.

"Tha ... kumohon."

Tanpa menghiraukan ucapan Bramantyo, Shelomitha menstarter motor matic kesukaannya, ia dan Raka juga Rania memakai helmet. Dan motor meninggalkan rumah yang dulu bagikan surga sekarang berubah seperti di neraka. Angin pagi ini membuai Shelomitha merasakan syahdu.

-

"Sayang apa kabar?"

Mitha berbalik ke arah suara.

"Mama." Shelomitha memeluk mertuanya, wanita paruh baya yang terlihat begitu cantik di usianya yang tidak lagi muda.

"Sayang, kata, Arya kamu sakit?"

"Biasa, Ma. Mitha hanya kecapekan," bohongnya.

"Lain kali, mbok ya jangan capek-capek, jaga kondisi badanmu, Mitha."

"Injih, Ma. Gimana kabarnya, pernikahan saudara Mama?"

"Alhamdulillah, sudah membaik, makanya, Mama pulang."

"Makasih ya, Ma. Mama begitu perhatian sama Mitha."

"Iya, sayang sama-sama."

Sang Mama membawakan oleh-oleh untuk Raka, Rania juga juga Shelomitha. Saat berbincang dengan Shelomitha, Raka dan Rania datang mereka sudah pulang dari mengaji.

"Assalamu'alaikum, Eyang .... "

Bu Wulan tersenyum dan berbalik ke arah suara."W*'alaikumsalam, Sayang ... gimana kabarnya sehat. Eyang sampai rindu."

"Alhamdulillah sehat, Raka dan Rania juga rindu, Eyang."

"Sini peluk."

Rania mendekat dan memeluk wanita paruh baya itu.

Shelomitha melihat itu menjadi terharu, bagai mana jika mereka terpisahkan. Shelomitha hanya tak mau melihat kebahagian anaknya menjadi korban kesalahan orang tuanya. Saat mereka asyik bercerengkama ada pangilan dari Simbok.

"Non, ini ada paket."

Shelomitha menatap terkejut, "paket ...?"

"Iya, Non."

"Oh, iya."

"Buka saja sayang, siapa tahu penting kan?"

"Malas ah, Ma."

Mbok Darmi mendekat dan Shelomitha menerima paketan yang baru saja ia lihat. Shelomitha menaruhnya di atas meja, malas untuk sekedar membuka isi paket.

"Biar, Mama yang buka, boleh?"

Shelomitha mengangguk mengiyakan.

Sang Mama membuka isi paket dan ternyata sebuah ponsel dari Bramantyo.

"Ponsel, Tha."

"Oh." Shelomitha menjawab datar.

Ia tak membutuhkan barang itu, Shelomitha menarik napas dalam. Ia tinggal bersama suami tapi terasa begitu asing, manusia memiliki tabiat kadang taat kadang maksiat. Semua tergantung dari keimanan dan jiwa masing-masing, ada yang tertipu dan terlena oleh pesona dunia. Tapi, tidak dengan Bramantyo ia berbeda ia mengambil jalan yang terlena oleh dunia.

Next....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status