Share

Bab 4

Author: C_heline
last update Last Updated: 2024-09-23 22:09:49

"Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara. 

"Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya! 

"Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya. 

"Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal. 

"Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh." 

"Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas. 

Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...." 

"Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Jadi perempuan kok gatel banget," lanjutnya mencibirku. 

Alih-alih tersinggung, aku malah kegirangan. "Biarkan! Gatel sama suami sendiri mah nggak apa-apa. Asal jangan gatel sama suami orang aja." 

Mas Abri terdiam sejenak sambil menatapku penuh arti. Jangan-jangan dia mulai tergoda.  Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Gegas aku lepas jedai yang menahan rambutku hingga terurai. Kukibas-kibas sebentar, upaya memberikan aura lebih menggoda. 

Terakhir, mulai kudekati dia dengan tatapan yang kubuat sebisa mungkin terlihat meminta. "Mas, kamu nggak–aw, Mas Abri!" 

Astaga naga! 

Bukannya menyambutku, dia malah menyemprotku dengan shower tanpa rasa bersalah. "Mas, udah ... Mas!" Aku nyaris gelagapan karenanya. 

"Keluar nggak?" ancamnya. 

"Ihh, apaan sih?" Aku terus menahan air dengan kedua tanganku. 

"Keluar, Airin! Kamu mau basah kuyup? Mau mandi lagi emang?" 

Ck!

Tak tahan lagi, aku terpaksa keluar dan menjauh darinya. Keadaanku sudah hampir basah kuyup. Belum juga keluar dengan sempurna, Mas Abri sudah menutup pintu hingga aku terdorong kecil keluar dari sana. 

"Mas Abri! Awas ya! Liat aja nanti!" pekikku, emosi. 

Laki-laki itu memang keterlaluan. Lihatlah aku? Tadi aku sudah cantik, sudah wangi, sudah memakai skincare pula, tapi malah disemprot habis-habisan. 

Awas saja! Aku tidak akan tinggal diam. Kalau Mas Abri bisa melakukan ini padaku, aku bisa bisa melakukan lebih. Mari kita lihat, siapa yang lebih tahan? 

***

Sekitar setengah jam aku sudah menunggu di meja makan, siap menyambut dua orang terkasih dalam hidupku. Siapa lagi kalau bukan Mas Abri dan putriku, Aila. 

Anakku baru saja masuk TK. Sebelum Mas Abri pulang, tadinya Aila sekolah di sekolah negeri. Tapi berbeda setelah suamiku kembali. Anaknya segera dipindahkan ke sekolah elite yang fasilitas serta gaya pembelajaran berbeda. 

Tak lama, suara mesin mobil pun terdengar. Itu pasti Mas Abri dan Aila. Buru-buru aku berlari ke luar, siap menyambut kepulangan keduanya. 

Dari ambang pintu, aku bisa melihat dengan jelas interaksi antara ayah dan anak itu. Benar-benar hangat. Terlihat bahagia sekali putriku yang terus mendapatkan kecupan dari ayahnya. 

Lama-lama aku jadi cemburu. Putriku dapat begitu banyak cinta, tapi aku malah seperti pengemis cinta pada suami sendiri. Ck! 

"Assalamualaikum, Mama," ucap Aila tak lupa menyalim tanganku. 

"Wa'alaikumsalam," sahutku sembari mengecup puncak kepalanya. "Gimana sekolahnya? Lancar? Enak nggak?" 

"Enak, Ma. Teman-temannya baik-baik semua," jawab putriku lantas gegas masuk ke dalam rumah. 

Sementara itu, kulihat Mas Abri masih ada di dalam mobilnya. Dari kaca yang terbuka, aku bisa melihat kalau dia sedang menghubungi seseorang. Kalau aku tidak salah juga, mungkin dia sedang gusar. Berulang kali dia memukul setir mobilnya, benar-benar persis orang yang murka. 

Tapi kenapa? Apa dia ada masalah? 

Mungkin dia sadar aku yang terus menatapnya setelah dia menoleh tiba-tiba ke arahku. Kenapa aku jadinya gugup? Seolah mendapati diri akan dihakimi? 

Memilih tak ingin ikut campur, aku lantas berjalan lebih dulu setelah terlihat dia turun dari mobil. Kala jarak kami sudah tak terlalu jauh, aku lantas memberanikan diri bertanya padanya, "Ada apa, Mas? Apa ada masalah?" 

Dia langsung menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Makan yuk? Aku laper." 

Dia melengos begitu saja padahal tanganku sudah siap untuk menyambut tangannya agar disalim. 

Aku jadi terdiam sejenak, merasa bingung dengan sikap Mas Abri ini.  Entah kenapa instingku mengatakan kalau dia sedang punya banyak masalah. Aku jadi mendadak khawatir. Aku takut terjadi apa-apa padanya setelah pulang dari tanah rantau. Mendadak perasaanku jadi kalut sendiri. 

Sebenarnya, aku masih belum tahu persis, apa yang dikerjakannya di tanah orang sana? Seberapa berat itu? Dan berkecimpung di dunia yang seperti apa? Sedikit pun aku tidak pernah diberitahu tentang pekerjaannya. 

Apa jangan-jangan selama ini Mas Abri sudah melakukan pekerjaan yang tidak baik? Atau mungkin juga dia jadi bos mafia? 

Astaga! Sudah sejauh apa aku berpikir? 

Dari pada mati penasaran, lebih baik aku bertanya saja. "Mas, sebenarnya di mana Mas kerja? Dan bagian apa?" tanyaku setelah aku duduk di kursi meja makan seperti mereka. 

"E ... itu. Aku kerja di luar negeri," jawabnya, seketika saja membuatku tercengang. 

"Hah? Di luar negeri? Bukannya kemarin Mas bilang mau ke luar kota aja ya? Kok malah keluar negeri? Terus, kok bisa? Bukannya Mas nggak jago ya bahasa asing?" Jelas aku kaget mendengar jawabannya. 

Tiba-tiba dia tersedak yang langsung menenggak air putih. Setelah itu, dia langsung menjelaskan, "Iya emang. Tapi rencananya berubah setelah aku datang ke kota itu. Makanya aku jarang kasih kamu kabar, selain karna sibuk, itu juga karena kita cukup jauh. Belum lagi aku nggak hapal nomor hp kamu waktu aku kena musibah. Aku kecopetan waktu itu." 

"Astaghfirullah, Mas. Kok bisa sampai kecopetan? Tapi Mas nggak apa-apa, kan?" Aku mendadak risau. 

Lagi-lagi dia diam sejenak hanya untuk menatapku. Lantas dia menggeleng pelan, mungkin mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. 

Refleks aku langsung berdiri dari kursi, lantas berjalan ke arahnya yang duduk di depanku. Sudah tidak asing bagiku wajah takut-takutnya itu. Sekarang sudah tidak ada alasan dia tidak mau memelukku. Dia sudah bersih, bahkan sudah sangat rapi. 

"Pelukkk," ucapku, manja. Tak lupa aku melebarkan kedua tangan siap menyambut tubuh gagahnya.

"Hei, ada Aila. Nggak baik," ucapnya, pintar sekali cari alasan. 

Tak tahan lagi, dengan cepat aku lantas melayangkan kecupan pada pipinya, tak peduli jika dia kesurupan sekali pun! "Sehat-sehat ya, Suamiku. Sekarang kamu udah pulang kok." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Sudah Wafat    END

    Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 52

    POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 51

    "Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 50

    Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 49

    Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 48

    "Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status