Tidak lama kemudian, lampu indikator padam, pertanda tindakan di ruang bedah sudah selesai, dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Aku masih belum bisa tenang sebelum melihat keadaan Raihan.Seorang dokter berusia lebih dari setengah abad keluar sambil mengulas senyum kepada kami. Aku menghampiri sang dokter dan menanyakan keadaan anakku.“Alhamdulillah, ananda Raihan sudah bisa melewati masa kritisnya. Insya Allah secepatnya dia akan siuman. Hanya saja, mungkin dia tidak mengingat separuh memorinya. Jadi, dimohon dari pihak keluarga untuk tidak memaksa dia untuk mengingat memori yang terhapus sementara di dalam ingatannya. Karena itu akan mengganggu kesehatannya,” ucap dokter panjang lebar.Aku menghela nafas panjang, berusaha ikhlas dengan semua yang akan terjadi. Aku sangat yakin kalau putraku masuk akan tetap mengingat ibunya.“Kita makan dulu, May. Kamu belum makan loh.” Ajak Abraham sembari mendekatiku yang masih berdiri di depan pintu ruang operasi.“Nanti saja, Bram.
Selang beberapa menit Gus Azmi dan Abraham datang ke rumah sakit dan langsung menemuiku di kamar Raihan. Binar bahagia terpancar jelas di wajah guru mengaji anakku, karena ternyata Raihan justru mencari-cari dia saat membuka mata.“Raihan masih kenal sama Om?” tanya Abraham sambil menunjuk dirinya.Lagi. Jagoan kecilku menganggukkan kepala.“Om Gondrong!” jawabnya dan langsung disambut gelak tawa Abraham juga Gus Azmi.Aku merasa sangat bersyukur karena ternyata keadaan Raihan masih seperti biasanya. Bahkan dia mengingat semua orang yang ada di sekitar. Raihan juga masih ingat dengan hafalannya, yang sudah sampai surah Al-Mumtahanah di jus 28 dalam Al-Qur’an. Dia masih sangat fasih bertilawah membuat air mataku tidak sanggup kubendung mendengarnya.‘Ya Allah, Mas Ibnu. Tidakkah sedikit saja hati kamu tergerak untuk membesuk anakmu ini. Biar bagaimanapun Raihan ini darah daging kamu, Mas. Buah cinta kita berdua. Kamu boleh membenciku, atau merasa bosan terhadapku. Tapi, Raihan masih sa
“Bram, aku balik ke rumah sakit ya. Mas Ibnu datang dan mengamuk di rumah sakit kata Gus Azmi!” kataku sembari menyerahkan semua berkas yang ada di tangan kepada Abraham.“Kamu pulang sama siapa, May?” Dia menatapku khawatir.“Naik ojek saja, Bram. Aku takut terjadi sesuatu sama Raihan. Mas Ibnu itu kan orangnya nekat!”“Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku aja, May!”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala dan lekas turun mencari tukang ojek.Sepanjang perjalanan aku terus saja memikirkan keadaan Raihan, takut Mas Ibnu memaksa dia untuk mengingat dirinya, sebab itu akan membahayakan kesehatan anakku.“Agak cepetan, Pak!” ucapku seraya menepuk pundak tukang ojek.Sang driver menjawab dengan anggukan kepala.Setelah lebih dari sepuluh menit membelah kemacetan kota, akhirnya tukang ojek menepikan sepeda motornya di depan rumah sakit tempat di mana Raihan sedang dirawat. Gegas aku turun dan segera masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut.“Mayla, ap
“Memangnya nggak boleh, Nak?” Menatap manik legam bocah berwajah tampan itu.“Ya ndak boleh to, Mam. Mana ada istri yang memanggil suaminya Gus. Terlalu formal. Ummi Mahfia saja panggil suaminya sayang, Ummi Khasanah panggil suaminya Abi. Masa Mama panggil Abi dengan sebutan Gus. Abi saja panggil Mama Dek, ya Bi?” Raihan menatap Gus Azmi yang sedang tersenyum ke arahnya.‘Duh, Raihan. Mama harus bilang apa sama kamu. Masa iya, Mama harus panggil Gus Azmi dengan sebutan Abi atau sayang’ Gumamku dalam hati.“Raihan sudah mau pulang loh, Nak. Nanti kalau sudah di rumah, Raihan mau Mama masakin apa?” Mengalihkan pembicaraan, sebab tidak tahu harus berkata apa kepadanya.“Aku mau nasi goreng buatan Mama. Tapi makannya disuapi ya?” jawab putraku manja.“Dih, udah besar masih minta disuapi.” Mencolek hidung mancungnya.“Tapi Mama jangan bilang ke orang-orang kalau aku masih minta disuapi!”“Ok!” Menautkan telunjuk dan ibu jari membentuk huruf O.“Kok, chat aku nggak dibaca, Bram?!” tanyaku s
“Loh, kok sudah dipeking semua barang-barangnya Raihan, Gus?” tanyaku ketika sampai di rumah sakit, dan melihat semua barang anakku sudah di masukkan ke dalam tas.“Kata dokter, Raihan sudah boleh pulang, Dek.” Jawab Gus Azmi pelan, hampir tidak terdengar.“Oh, ya sudah. Saya ke bagian administrasi dulu, mau melunasi biaya perawatan Raihan selama di rumah sakit,” ucapku lagi.“Sudah saya bayar semua, Dek.”“Habis berapa, Gus? Biar saya ganti.”“Ndak usah, Dek. Sudah kewajiban saya membayar biaya Raihan, sebab dia begini juga karena keteledoran saya!”“Terima kasih, Gus!”Alhamdulillah, ternyata Gus Azmi benar-benar membiayai pengobatan Raihan.Pukul sebelas siang, dokter mengizinkan Raihan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik dan dia sudah mulai bisa menggerakkan kakinya perlahan. Gus Azmi membopong tubuh Raihan ke dalam mobil, mendudukkannya di kursi belakang kemudi lalu memasang sabuk pengaman di pinggang bocah berusia sebelas tahun itu.Dia kemudian ikut masuk ke dalam ta
“Sialan!!” Memukul setir, merasa kesal kepada Mayla beserta antek-anteknya.Enak saja mereka ingin menjauhkanku dengan Raihan, sampai membuat putraku hilang ingatan dan melupakanku.Aku heran dengan si Mayla, ternyata murahan sekali dia. Belum bercerai denganku, sudah dekat dan mau menikah dengan laki-laki lain. Penampilannya saja selalu tertutup dan sok alim. Ternyata aslinya sama saja. Murahan.Melajukan mobil membelah kemacetan kota, sambil terus mengumpat karena terlampau kesal kepada Mayla. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Raihan putraku. Dia tidak mungkin bisa sampai melupakan aku, kalau tidak ada yang sengaja membuatnya amnesia.Lagian, kok bisa, Raihan lupa sama aku, sementara dia masih mengingat Mayla, Gus Azmi, bahkan Abraham yang bukan siapa-siapanya. Pasti ada konspirasi antara rumah sakit dan antek-anteknya si Mayla. Mereka sengaja ingin menjauhkan aku dengan putraku. Dasar kurang ajar.“Loh. Mas. Kok wajahnya dilipet kaya dompet tanggung bulan sih?” tanya Lusi
Lagi, aku hanya bisa mengelus dada menghadapi kelakuannya.“Ya sudah, ini uang bensin Mas aku kasih ke kamu semua.” Mentransfer sejumlah uang yang masih tersisa di rekening.Semua gara-gara Mayla. Coba dia tidak mengambil mobilku. Mungkin uang tabunganku tidak akan habis, sebab aku tidak perlu membeli kendaraan baru untuk transportasi. Lusi juga tidak mau jika ke mana-mana menggunakan sepeda motor, sebab tidak mau kalau sampai kulit mulusnya terpapar sinar matahari.“I love you, mas!” Lusi mendaratkan kecupan di pipi lalu pergi entah ke mana.Aku menguyar rambut frustrasi.Bagaimana kehidupanku ke depannya kalau semua uang sudah aku serahkan kepada Lusi.Pagi-pagi sekali, seperti biasanya aku sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka 06:30, akan tetapi tidak kudapati secuil makanan pun di meja makan. Hanya ada tudung saji yang teronggok di atas sana, beserta mangkuk kosong bekas Lusi menyantap mie instan semalam.“Lus, Lusi!” teriakku memanggil sang
Sudahlah, toh aku mencari uang juga untuk membahagiakan dirinya. Jadi, asalkan dia bahagia, itu sudah sangat cukup buatku. Kalau aku kelaparan tidak masalah. Yang penting Lusi tidak sampai kelaparan.Ponselku kembali berbunyi. Kali ini ada panggilan masuk dari Mayla istriku. Pasti dia akan memintaku supaya mentransfernya sejumlah uang untuk Raihan.Enak saja dia masih minta uang kepadaku, setelah semua yang dia lakukan. Raihan sudah tidak menganggapku sebagai ayahnya, jadi sekarang aku sudah tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap bocah itu. Tanggung jawabku sekarang ini hanyalah Lusi. Sebab dia adalah masa depanku.Apalagi, sekarang enam puluh persen dari gajiku sudah dipotong secara langsung dari perusahaan dan ditransfer langsung ke rekening Mayla. Tapi dasarnya dia boros, dia tidak bisa memanage keuangan secara baik. Baru beberapa hari saja uangnya sudah ia habiskan.Ojek online yang aku tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumah. Gegas aku turun, memanggil Lusi dan meminta