“Memangnya nggak boleh, Nak?” Menatap manik legam bocah berwajah tampan itu.“Ya ndak boleh to, Mam. Mana ada istri yang memanggil suaminya Gus. Terlalu formal. Ummi Mahfia saja panggil suaminya sayang, Ummi Khasanah panggil suaminya Abi. Masa Mama panggil Abi dengan sebutan Gus. Abi saja panggil Mama Dek, ya Bi?” Raihan menatap Gus Azmi yang sedang tersenyum ke arahnya.‘Duh, Raihan. Mama harus bilang apa sama kamu. Masa iya, Mama harus panggil Gus Azmi dengan sebutan Abi atau sayang’ Gumamku dalam hati.“Raihan sudah mau pulang loh, Nak. Nanti kalau sudah di rumah, Raihan mau Mama masakin apa?” Mengalihkan pembicaraan, sebab tidak tahu harus berkata apa kepadanya.“Aku mau nasi goreng buatan Mama. Tapi makannya disuapi ya?” jawab putraku manja.“Dih, udah besar masih minta disuapi.” Mencolek hidung mancungnya.“Tapi Mama jangan bilang ke orang-orang kalau aku masih minta disuapi!”“Ok!” Menautkan telunjuk dan ibu jari membentuk huruf O.“Kok, chat aku nggak dibaca, Bram?!” tanyaku s
“Loh, kok sudah dipeking semua barang-barangnya Raihan, Gus?” tanyaku ketika sampai di rumah sakit, dan melihat semua barang anakku sudah di masukkan ke dalam tas.“Kata dokter, Raihan sudah boleh pulang, Dek.” Jawab Gus Azmi pelan, hampir tidak terdengar.“Oh, ya sudah. Saya ke bagian administrasi dulu, mau melunasi biaya perawatan Raihan selama di rumah sakit,” ucapku lagi.“Sudah saya bayar semua, Dek.”“Habis berapa, Gus? Biar saya ganti.”“Ndak usah, Dek. Sudah kewajiban saya membayar biaya Raihan, sebab dia begini juga karena keteledoran saya!”“Terima kasih, Gus!”Alhamdulillah, ternyata Gus Azmi benar-benar membiayai pengobatan Raihan.Pukul sebelas siang, dokter mengizinkan Raihan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik dan dia sudah mulai bisa menggerakkan kakinya perlahan. Gus Azmi membopong tubuh Raihan ke dalam mobil, mendudukkannya di kursi belakang kemudi lalu memasang sabuk pengaman di pinggang bocah berusia sebelas tahun itu.Dia kemudian ikut masuk ke dalam ta
“Sialan!!” Memukul setir, merasa kesal kepada Mayla beserta antek-anteknya.Enak saja mereka ingin menjauhkanku dengan Raihan, sampai membuat putraku hilang ingatan dan melupakanku.Aku heran dengan si Mayla, ternyata murahan sekali dia. Belum bercerai denganku, sudah dekat dan mau menikah dengan laki-laki lain. Penampilannya saja selalu tertutup dan sok alim. Ternyata aslinya sama saja. Murahan.Melajukan mobil membelah kemacetan kota, sambil terus mengumpat karena terlampau kesal kepada Mayla. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Raihan putraku. Dia tidak mungkin bisa sampai melupakan aku, kalau tidak ada yang sengaja membuatnya amnesia.Lagian, kok bisa, Raihan lupa sama aku, sementara dia masih mengingat Mayla, Gus Azmi, bahkan Abraham yang bukan siapa-siapanya. Pasti ada konspirasi antara rumah sakit dan antek-anteknya si Mayla. Mereka sengaja ingin menjauhkan aku dengan putraku. Dasar kurang ajar.“Loh. Mas. Kok wajahnya dilipet kaya dompet tanggung bulan sih?” tanya Lusi
Lagi, aku hanya bisa mengelus dada menghadapi kelakuannya.“Ya sudah, ini uang bensin Mas aku kasih ke kamu semua.” Mentransfer sejumlah uang yang masih tersisa di rekening.Semua gara-gara Mayla. Coba dia tidak mengambil mobilku. Mungkin uang tabunganku tidak akan habis, sebab aku tidak perlu membeli kendaraan baru untuk transportasi. Lusi juga tidak mau jika ke mana-mana menggunakan sepeda motor, sebab tidak mau kalau sampai kulit mulusnya terpapar sinar matahari.“I love you, mas!” Lusi mendaratkan kecupan di pipi lalu pergi entah ke mana.Aku menguyar rambut frustrasi.Bagaimana kehidupanku ke depannya kalau semua uang sudah aku serahkan kepada Lusi.Pagi-pagi sekali, seperti biasanya aku sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka 06:30, akan tetapi tidak kudapati secuil makanan pun di meja makan. Hanya ada tudung saji yang teronggok di atas sana, beserta mangkuk kosong bekas Lusi menyantap mie instan semalam.“Lus, Lusi!” teriakku memanggil sang
Sudahlah, toh aku mencari uang juga untuk membahagiakan dirinya. Jadi, asalkan dia bahagia, itu sudah sangat cukup buatku. Kalau aku kelaparan tidak masalah. Yang penting Lusi tidak sampai kelaparan.Ponselku kembali berbunyi. Kali ini ada panggilan masuk dari Mayla istriku. Pasti dia akan memintaku supaya mentransfernya sejumlah uang untuk Raihan.Enak saja dia masih minta uang kepadaku, setelah semua yang dia lakukan. Raihan sudah tidak menganggapku sebagai ayahnya, jadi sekarang aku sudah tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap bocah itu. Tanggung jawabku sekarang ini hanyalah Lusi. Sebab dia adalah masa depanku.Apalagi, sekarang enam puluh persen dari gajiku sudah dipotong secara langsung dari perusahaan dan ditransfer langsung ke rekening Mayla. Tapi dasarnya dia boros, dia tidak bisa memanage keuangan secara baik. Baru beberapa hari saja uangnya sudah ia habiskan.Ojek online yang aku tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumah. Gegas aku turun, memanggil Lusi dan meminta
Hampir dua puluh menit aku menunggu, dokter juga sudah selesai melakukan tindakan kuretase kepada Lusi, dengan jam tangan bermerek milikku sebagai jaminannya. Untung saja pihak rumah sakit masih memberi sedikit toleransi dan mau menangani Lusi walaupun aku belum bisa membayar down payment biaya rumah sakit, karena itu menyangkut nyawa seseorang.“Pak Ibnu!” panggil Rudi sambil tersenyum ke arahku.Dih, sok akrab. Kalau sedang tidak membutuhkan tenaganya juga tidak mau dekat-dekat dengan para bawahan. Malas. Nanti ujung-ujungnya ngelunjak, cari muka, memintaku supaya mempromosikan mereka untuk naik jabatan.“Totalnya jadi lima ratus ribu ya, Pak. Soalnya tadi tukang ojek yang menjaga mobil Bapak minta tambahan uang. Katanya Bapak Cuma ngasih mereka delapan puluh ribu. Mereka semua mengancam jika aku tidak memberi mereka uang, maka mereka akan menahan mobil Bapak,” ucap Rudi panjang lebar.Bikin pusing saja. Apa dia tidak tahu perasaanku sedang tidak karuan?Membuka pintu mobil, duduk d
Tapi, kenapa suara perempuan itu sepertinya bukan suara Mayla istriku. Apa Abraham diam-diam memiliki kekasih lain selain Mayla?Sambil meringis menahan sakit aku berjalan menuju mobil. Kuseret langkahku sambil menahan nyeri karena kaki ini terus saja mengeluarkan darah. Aku tidak mau Abraham sampai tahu kalau aku membuntutinya.Masuk ke dalam mobil dan kembali melajukan kendaraanku menuju rumah sakit menemui Lusi.“Kamu dari mana saja, Mas?” Lusi menatap curiga ketika aku sampai di rumah sakit dengan keadaan yang teramat kacau.“Nyari Mayla!” jawabku jujur.Mata indah Lusi membulat sempurna mendengarku menyebut nama Mayla.“”Tenang saja, Lus. Aku nyariin dia Cuma mau minta uang gajiku, buat biaya perawatan kamu di rumah sakit!” ungkapku, tidak mau dia curiga dan mengira aku masih berhubungan dengan Mayla.“Tapi kok lama banget?”“Maylanya nggak ketemu. Sudah pindah. Ngikutin Bram sampai ke rumahnya juga dia malah lagi ena-ena sama perempuan lain. Sial banget aku hari ini tahu, nggak?
Bibir Lusi terkatup rapat. Mata perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu menatap nanar ke arahku, menunjukkan rasa terkejut sebab aku menemukan benda tersebut di dalam tasnya.“Untuk apa kamu menyimpan benda seperti itu, Lusi?!” Sentakku kalap, tidak peduli kalau saat ini keadaan Lusi sedang tidak berdaya. Hati ini sudah terlanjur sakit serta terbakar cemburu.“Itu punya temen!” Jawabnya pelan.Bulsyit!Mana ada seorang teman yang menitipkan kontrasepsi kepada seorang wanita. Memangnya aku kaki-laki bodoh.“Katakan, Lusi. Siapa laki-laki yang tadi bersama kamu, juga beberapa pria yang berkirim pesan dengan kamu. Apa jangan-jangan, selama ini kamu menjual tubuh kepada mereka?!” Mencondongkan badan menatap dalam-dalam netra beningnya.Plak!Panas perih menjalar di pipi kanan serta kiriku, saat tangan Lusi mendarat. Dia terlihat kalap. Mungkin tersinggung dengan ucapanku.“Kenapa mesti tersinggung? Nyatanya banyak chat di ponsel kamu dengan para lelaki hidung belang, bahkan kamu meng