Sesampainya di ruko Aina, dan melihat- lihat ruko kosong itu, Aina masi harus ngecat ulang dan membersikan ruko itu dulu baru aku tempati katanya tadi.
"Makasih ya Na, udah mau bantu aku dan maksih banyak loh ruko nya, " Kata ku."Santai aja Nel, jugaan ruko ini kan kamu sewa di aku," kata nya sambil tertawa."Hahaha kaya dong kamu, ehh lupa kamu kan emang udah kaya," Kelakar ku."Hahaha apaan sih Nel, besok sepertinya kamu udah bisa masuk." Kata Aina."Kamu mau beli perlengkapan, buat toko kamu ini gak?" lanjut nya lagi."Duh, besok aja ya aku hari ini ada janji sama mbak Fika, biasalah cuan," Kata ku."Widihhh, mau kaya dong," tukas Alina terbahak.Sahabat ku ini, memang tahu kalo sudah berurusan sama mbak Fika, brarti itu tentang cuan dan bukan sedikit tentunya."Yaudah deh, aku pergi dulu ya," pamit ku pada Aina."Hati- hati Nel,"Aku pun pergi dari toko Aina, dan lanjut ke butik Mbak Fika.******"Hayy Nel, lama ya nunggunya?" Tanya mbak Fika padaku."Lumaya mbak," jawabku."Sorry, tadi ada meeting penting." Ujarnya."Oh iya Nel, tahu ngak, mbak manggil kamu kesini karena ada job besar banget. Gaun yang kamu Desain itu mau di rancang. Kamu tahu, tadi di meeting semua membahas gaun yang sudah kamu desain. Kata mereka itu sangat bagus dan mewah. Mereka setuju untuk kerja samanya jadi, mbak hubungi kamu tadi pagi. Tapi Nel, yang harus mendampingi para penjahit itu harus kamu. Dan kamu tahu sendiri kan yang ngerti soal desain yang kualitas terbaik itu cuma kamu aja.," jelas mbak Fika panjang lebar."Ooh begitu ya mbak, yaudah kapan mau merancang?" ujarku santay yang membuat mbak Fika melongo.Biasanya kalo disuruh aku yang dampingi, selalu saja aku tolak karena alasan Mas Dimas tidak mengizini, jadinya aku tolak."Beneran kamu bersedia?" tanya mbak Fika memastikan."Iya, benaran mbak," jawabku pasti."Gimana dengan suami mu?" tanya mbak Fika lagi."Jangan pikirkan dia, nanti aku cari cara, mbak tenang saja." Jawabku."Baiklah." Ujar mbak Fika berbinar.Aku dan mbak Fika bercerita mengenai dunia fashion.Tig,Tiba- tiba ada pesan dari aplikasi hijau ku.Segera ku buka, dan ternyata yang mengirim pesan adalah Aina. Aina mengiri foto dengan pesan dibawahnya,[Ini benar Suamimu Dimas? atau cuma mirip aja ya?] pesan dari Aina.Mata ku melotot saat melihat isi pesan dari Aina.Foto pertama Mas Dimas dan wanita lagi bermesrahan gandengan tangan.Foto ke dua, mas Dimas mencium kening wanita itu.Dada ku langsung bergemuruh. Rasa campur aduk antara, Sakit, benci, marah dan emosi. Tak terasah air mata ini jatuh begitu saja. Segera ku hapus karena ada mbak Fika disini. Memang aku sudah tahu dia berselingkuh, tapi kali ini rasanya sakit sekali lihatnya. Walaupun mas Dimas pelit dan biasa acuh tak acuh terhadapku, tapi rasa cinta ini masi ada untuknya. toh aku menikahi dia atas dasar cinta.[kamu dimana sekarng Na? aku kesana.] aku membalas pesan Aina.Pesan ku langsung tanda biru, artinya dia sudah membaca. Aina mengirim alamat dan aku pun segera kesana."Mbak, aku pamit dulu ya," Kata ku pada mbak Fika."Loh, kok cepat banget pulangnya Nel, main dulu lah disini." Tahan mbak Fika."Nela ada urusan lagi mbak, oh iya kapan mulai merancang gaun nya?" tanya ku yang sudah berdiri hendak pulang."Lusa udah mulai rancang, soalnya besok udah ada jadwal lain," jawab mbak Fika."Yaudah, kalo ada apa- apa kabarin ya mbak, aku pamit dlu." Kata ku berlalu pergi dan di antar mbak fika sampai didepan."Hati- hati ya Nel," kata mbak Fika melambaikan tangan.Aku pun melajukan motor dengan kecepatan tinggi, ingin rasanya cepat sampai ke tempat mas Dimas.******"Nel, sini!" pangil Aina ketika aku masuk ke dalam cafe."Tau gak, aku tadi dengar katanya si cewek itu bilang gini 'makasi ya mas sayang belanjaanya, aku puas banget' gitu dengan suara manja. Jijik banget aku dengar," cerocos Aina."Sekarng, apa yang mau kamu lakukan Nel? mau labrak wanita j a l a n g itu?" lanjut Aina lagi.Aku tak menjawab pertanyaan Aina. Aku mengambil ponsel dan menelpon mas DimasDrittt...Drittt....Itu ponsel mas Dimas yang bunyi, Terdengarnya sampai ke tempat persembunyiaan aku dan Aina"Hallo dek," suara mas Dimas."Mas dimana?" tanyaku.aku pake pengeras suara biar Aina juga dengar"Di kantor, kenapa?" tanya nya."Di kantor? kok suara musik nya kayak di cafe sih?" celutuk ku."Kamu apaan sih dek, kok jadi curiga gini sama aku, aku di kan__, sayang telpon dari siapa?" tiba- tiba suara wanita diujung sana terdengartut tut tut...Mas Dimas mematikan telepon."Tuh kan, dia bohong, katanya di kantor padahal jelas- jelas dia ada di cafe dengan gundiknya," geram Aina"Kita labarak Na, aku udah gak kuat dengan ini semua." Kata ku sambil berjalan menuju arah mas Dimas dan Wanita itu."Jangan gegabah dulu, main cantik beb, kamu sekarng udh mulai banyak duit, dia gak tahu kalau kamu banyak harta. Gunakan itu untuk balas dendam aku akan bantu kamu." Tukas AinaAku pun nurut."Sekarng kita pulang dulu, tenangin diri kamu. Kita susun rencana balas dendam buat suami mu itu," Lanjut Aina.Aku dan Aina pun pulang, bukan pulang rumah tapi ke Tokoh Aina. Sekalian aku juga mau menenangkan diri dengan cek gedung tokoh yang tadi dicat dan di bersikan oleh orang suruhan Aina.********"Apa rencana mu?" tanyaku pada Aina karena dia yang mengusulkan ini."Aku mau kamu bals dendam ke suami D a j a l mu itu." Jawab Aina."Caranya?"Aina berbisik sesuatu ditelinga ku."Gimana setuju?" tanyanya.Aku pun tersenyum setuju. Senyum jahat menghiasi wajah ku, sebentar lagi kamu akan h a c u r mas!"Kamu sih, ngapain mau nikah sama laki- laki seperti itu, coba dulu kamu dengar apa yang aku dan orangtuamu bilang," celutuk Aina.Tiba- tiba, aku teringat dulu waktu orang tuaku tidak mengizinkan aku menikah dengan Mas Dimas. Tapi, karena cinta yang kuat akhirnya mereka menyetujui pernikahan ini."Kamu itu kaya, orang tuamu kaya, tapi mertua dan suami mu tahu nya mereka miskin, dan kamu selalu dapat hinaan dari merek heranya aku, kamu tetap bertahan." Lanjut Aina.Aina ini tahu semua, seluk beluk keluarga ku."Kalau aku bilang aku kaya, mungkin sekarng semua harta bendaku jatuh ke tangan Mas Dimas dan ibu mertuaku. Mungkin juga aku tidak tahu sifat asli mereka," jelasku pada Aina.Aku dan Aina menyusun rencana sedemikian rupa hingga tak sadar sudah sore. Akhirnya aku pamit pulang walaupun, sebenarnya malas sekali untuk pulang.******B E R S A M B U N G........Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m