Share

Bab 4 :Penguntit

Sesampainya di rumah, aku bergegas mengambil kotak P3K dan mengobati lebam di mata dan sudut bibirnya Mas Haris yang belum berani kutanyakan apa sebabnya.

“Pelan-pelan, Dik!“ ucapnya bersuara lagi setelah beberapa saat kami saling diam. Gerakan tanganku terhenti, aku menatapnya dengan rasa penasaran yang amat sangat.

“Mas sebenarnya tadi darimana saja? Kenapa lama sekali baru kembali. Keadaannya begini pula, ponsel Mas juga gak aktif berulangkali Mira hubungi.“

“Mas dari masjid, Dik, adik, kan tahu sendiri“

“Kok bisa babak belur.“

Mas Haris menghela nafas sembari menatapku lekat.

“Mas bohong?“ Selidikku menatapnya.

“Sebenarnya setelah shalat maghrib dan dalam perjalanan menuju rumah Bapak, Mas dicegat beberapa orang dan dipukuli oleh mereka. Ponsel Mas diinjak hingga rusak seperti ini.“ Mas Haris menunjukkan ponselnya padaku. Layar retak-retak dan sepertinya sudah tak bisa digunakan lagi. 

“Astagfirullah? Kenapa mereka memukuli Mas? Siapa mereka sebenarnya? Perampok? Apa yang mereka ambil?“

Mas Haris menggeleng. “Kamu pasti gak akan percaya kalau Mas bilang mereka suruhannya David?“

“Hah? David? Maksud Mas, orang-orang yang memukuli Mas, itu ….“

“Ya, seperti yang kamu pikirkan.“

“Mas tahu darimana?“

“Mas mencoba melawan, salah satu dari tiga orang itu berhasil Mas tangkap mengaku sebagai anak buah David.“

“Astagfirullahal'adzim, Mas, kenapa dia tega sekali berbuat begitu?“

“Itu karena kamu.“

“Karena Mira? Mira kenapa Mas?“

“David menyukai kamu walau dia tahu kamu sudah menikah dengan Mas. Mas dianggap sebagai penghalang dan dia berniat menyingkirkan. Sepertinya tadi mereka berniat membunuh, Mas.“

“Mas, jangan su'udzon, gak baik.“

“Mereka ada lima orang, Dik. Badannya besar-besar melebih Mas dan bawa pisau. Mas juga diberhentikan di tempat sepi. Apa tujuannya selain menghabisi, Mas.“

Aku termenung, tak menyangka. Kenapa David begitu kejam.

“Lalu bagaimana Mas bisa lolos.“

“Untungnya walau sepi, ada satu warga yang lewat dan menolong, Mas. Kalau tidak, Mas gak tahu apa yang akan terjadi.“

“David gila, kita harus melaporkan kejadian ini pada polisi, Mas. Supaya dia gak bakalan macam-macam lagi.“

“Orang seperti dia, gak akan mempan jika dilaporkan ke polisi. Mas, harus memberikan pelajaran yang menimbulkan efek jera berkepanjangan padanya. Mas akan buat dia menyesal karena berani mengusik kamu dan keluarga kita. David belum tahu dia berhadapan dengan siapa.“

Aku menatap Mas Haris tak mengerti. Apalagi kata-kata terakhirnya, memangnya Mas Haris siapa? Dia cuma tukang tahu. Hal apa yang akan diperbuat Mas Haris agar David jera? Atau jangan-jangan ….

“Mas gak berencana ngumpulin orang buat mukulin David, kan?“

“Kalau Mas melakukan itu, apa bedanya Mas dengan dia, Dik?“

“Lalu, Mas mau melakukan apa? Sudah biarkan saja kalau begitu, Mira takut Mas malah kenapa-kenapa.“

“Tenang saja, Mas tahu apa yang Mas lakukan. Mas juga gak akan melakukan hal yang merugikan diri sendiri apalagi kamu. Mas hanya perlu mengusik sedikit kelebihannya.“

Aku tak mengerti, omongan Mas Haris lama-lama semakin ngawur. Apakah ini efek karena dipukuli?

“Sekarang, kamu yang perlu hati-hati kalau keluar rumah. Jika bertemu David, jangan hiraukan dia dan pergi sejauh mungkin. Mas sebenarnya lebih mengkhawatirkan kamu daripada keadaan Mas sendiri. Apalagi saat Mas lihat David memaksa untuk memelukmu tadi.“ 

“Iya, Mas, setiap bertemu dia aku selalu pergi menjauh. Aku juga tidak tahan dengan sikapnya yang kelewatan.“

Mas Haris menarik tubuhku dan memelukku. Ia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Kudengar sedikit helaan nafasnya yang terasa berat.

“Mas pastikan akan buat dia jera,” bisiknya, namun terdengar jelas ditelingaku.

***

Aku menyibakkan tirai jendela kembali, rencana untuk ke luar dari ruma kuurungkan begitu saja saat kulihat sebuah mobil dengan plat yang kukenali berhenti tidak jauh dari rumah.

Mobil David, tapi tak kuketahui siapa yang ada di dalamnya. Entah David atau bukan, yang jelas ini agak menyeramkan, karena lelaki itu bertingkah serupa penguntit.

Sejak Mas Haris pergi untuk jualan tadi pagi, mobil itu sudah berada di sana sampai sore hari ini. Membuatku tak berani untuk ke luar dari rumah padahal berencana untuk pergi ke pasar.

Kemarin saja, saat di rumah Bapak yang ramai David berani memelukku. Apalagi jika aku nekat ke luar tanpa Mas Haris. Aku bergidik membayangkannya. Dewi apa tidak curiga suaminya tak pulang satu harian.

Kuputuskan menuju dapur dan memasak apa saja yang ada di kulkas. Untungnya setiap bulan Mas Haris selalu membetikanku uang untuk belanja bulanan walau sekarang isi kulkas sudah hampir menipis karena memasuki akhir bulan.

Terkadang, aku merasa heran dengan jumlah uang yang Mas Haris berikan padaku. Dia membaginya, namun drngan jumlah yang lumayan. Uang bulanan untuk belanja kenutuhan dapur berbeda dengan uang jajan yang ia berikan padaku setiap hari.

Dipikir-pikir, memangnya berapa penghasilan dari jualan tahu? Apa sebanyak itu sampai setiap bulan aku bisa mengisi kulkas dengan penuh lengkap dengan daging dan ayam di dalamnya.

Entahlah, aku kadang bertanya-tanya tapi juga tak ingin tahu. 

Ting!

Notifikasi dari ponselku berbunyi saat aku masih sibuk mengambil daging yang agak beku di kulkas. Potongan daging yang hanya tinggal sedikit, kupikir akan mask sop hari ini sebagai menu berbuka.

Aku merogoh ponsel dalam saku. Sejenak meletakkan daging yang telah kuambil di atas meja. Kulihat pesan yang tertera di sana. Dari Fitri, sahabatku.

[Mir, lusa alumni sekolah ngadain bukber, mau ikut gak?]

Alumni? Aku merenung sejenak. Itu berarti aku akan bertemu dengan Dewi kembali. Rasa-rasanya membayangkan hal itu membuatku malas. Aku takut kejadian saat di rumah Bapak akan terulang. Apalagi mulut Dewi itu seperti tak bisa di rem.

[Kamu ikut Fit?]

[Ikut Mir, udah lama gak jumpa kawan-kawan. Sekalian silahturahmi juga. Kamu ikut, kan? Pengen banget ketemu sama kamu]

[Aku sepertinya agak malas]

[Karena ada Dewi?]

Fitri memang sahabat sejati. Dia tahu aku dan Dewi selalu tak akrab sejak SMA. Lebih tepatnya wanita itu yang sering cari gara-gara. Entah sejak kapan, lebih tepatnya karena beberapa kali laki-laki yang wanita itu sukai ternyata menyukaiku dan kami bersaing dalam ranking.

[Nanti gak usah dekat-dekat dialah. Kamu sama aku aja]

[Tetap aja, kan]

[Gak usah diladenin, Mir. Please ikut ya! Biar aku ada temannya]

[Ya sudah aku usahain]

[Sip, kabarin biar aku jemput besok]

Aku mengirim stiker jempol padanya. Lantas menaruh ponselku kembali. Sudah jam lima sore dan sebentar lagi buka puasa tapi Mas Haris belum juga pulang ke rumah. 

Satu hal lain yang membuatku hetan selama satu tahun menikah dengannya selain uang belanja. Kupikir Mas Haris satu-satunya penjual tahu yang selalu pulang sore sekali. Terkadang malah malam hari. 

Padahal biasanya aku menemukan tukang tahu yang jualan di pasar selalu pulang siang hari dan berangkat pagi sekali. Namun, setiap aku menanyakannya, Mas Haris selalu punya alasan untuk itu.

“Assalammu'alaikum, Dik.“

“Wa'alaikumussalam,” jawabku sembari berjalan ke depan. Kulihat Mas Haris sudah pulang, padahal aku baru memikirkannya yang selalu pulang malam.

“Sudah pulang, Mas?“ tanyaku sembari mengulurkan tangan untuk menyalimnya.

“Mobil David, sejak kapan ada di depan rumah?“

Aku menoleh, mobil David sudah tak ada di sana. 

“Mas lihat?“

Mas Haris mengangguk. “Dia datang ke sini? Nemuin kamu?"

“Enggak, di situ saja dari tadi pagi.

“Pagi?“

“Ya, sejak Mas pergi jualan? Aku gak berani ke luar jadinya. Gak jadi ke pasar juga, berbuka hari ini masak apa aja yang ada di kulkas.“

“Gak apa-apa, bagus malahan,” ucap Mas Haris tanpa menoleh ke arahku. Matanya tetap fokus menatap ke depan dengan tangan terkepal erat. 

Kupikir, saat ini dia sedang menahan amarahnya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Abimanu Abimanu
bagus dan menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status