POV HamzahAku memegangi perutku, rasa lapar amat sangat yang kurasakan membawaku pulang. Ya, walau sebenarnya aku begitu malas untuk pulang ke rumah orang tuaku sendiri, sangat berbeda ketika masih ada Umi. Ah, aku jadi merindukan Umi.Setelah pulang tadi malam, aku langsung memakai barang yang dikasih Angga, aku tertidur sampai bangun juga kesiangan.Begitu sampai rumah ternyata rumahnya dalam keadaan kosong, tanpa satu orang pun di dalamnya, ini jauh lebih membuatku nyamanHal pertama yang kulakukan yaitu mendatangi meja makan, melihat menu yang sudah tersedia, segera kutuntaskan rasa lapar ini.Setelah selesai, aku masuk kamar, rebahan sambil lanjut scrol media sosial.Tiba-tiba ada suara seperti suara gesekan tudung saji dari arah meja makan, segera aku keluar kamar, mana tahu ada kucing yang hendak mengambil ikan, karena kan sering terjadi, kucing yang berusaha mencuri ikan dari meja makan orang.Rupanya dugaanku salah, bukanlah kucing melainkan Amira. Gadis yang sudah lama mond
Pov Author.Hamzah segera melangkah ke arah bangkar tempat istrinya sedang berbaring, saat dia melihat keadaan Amira ia terheran karena tidak menemukan ada sedikit pun perban atau anggota badan yang berdarah.“Kamu kenapa, Dek, apanya yang sakit?”Kedua teman Amira bergeser memberi ruang kepada Hamzah, tiba-tiba seorang pria muda dengan gaya anak kuliahan datang menghampiri mereka, pria itu adalah Rido yang masuk dengan membawa empat botol minuman kalengan serta camilan. Beruntung ruang instalasi gawat darurat sedang tidak terlalu ramai.Hamzah yang bertemu kembali dengan lelaki yang kemarin tampak akrab dengan istrinya, seketika darahnya memanas.Rido juga tak kalah canggung, dia belum mengetahui bahwa pria yang sedang di depannya itu adalah suami dari gadis yang dia sukai, siapa yang menyangka Amira menikah muda, saat kuliahnya baru semester dua.“Gak apa-apa kok, hanya kaki yang terkilir, jadi gak bisa dibawa jalan, kata Dokternya harus dikusuk.” Amira menjawab pertanyaan suaminya.
Hamzah yang sedang duduk di kursi kamarnya hanya melirik sekilas, tidak berusaha menahan istrinya walau hatinya masih ingin bersama, menikmati hangatnya pengantin baru, bahkan ia baru saja ingin mendiskusikan tentang bulan madu di akhir pekan ini.Di asrama, Wati yang melihat Amira masuk dengan berjalan sedikit pincang mengerutkan keningnya.“Amira, kakinya kenapa?” tanya sahabat yang selalu peduli pada Amira tersebut.“Ada orang stres tadi bawa motor sembarangan, udah nyerempet, gak bertanggung jawab pula.” Jawab Amira seraya terus merengut.“Makanya tadi siang dengar-dengar ada adegan gendong-gendongan, ya?” celutuk Wati dengan diiringi senyuman menggoda.“Ih, apaan sih. Bang Hamzah tu, bikin malu aja!” gerutu Amira.“Lah, kan udah halal, ngapain mesti malu, lagian kan kakimu lagi sakit juga.” Ucap Wati membuat Amira semakin jengkel, karena terkesan membela Hamzah.“udah, ah. Aku mau tidur sini!”“Lo, kok, tidur sini, suamimu gimana?”“Biarin aja, jangan berisik, pokoknya aku tidur
Amira dan Hamzah menoleh bersamaan ke arah suara, keduanya kaget begitu melihat siapa yang sudah berdiri di depan mereka.Gadis bergaun biru yang membentuk lekuk tubuh dan hijab pendek itu menatap Amira dan Hamzah bergantian.“Kebetulan aku belum makan juga, boleh ikut makan sama kalian?” pinta Miska dengan wajah polosnya, lalu langsung menarik kursi di sebelah Amira dan mendudukinya walau belum ada yang mempersilakan.“Iya, silakan.” Jawab Amira begitu melihat Miska sudah duduk di kursi sebelah kirinya, sedangkan Hamzah duduk berhadapan dengan kedua wanita tersebut.“Kak, saya samain aja sama Amira ya, makanan dan minumnya.”“Baik, Kak. Mohon tunggu sebentar ya, nanti makanannya kami antar.” Waitress itu undur diri seraya membawa kembali daftar menunya.“Kamu kenapa bisa ada di sini, Mis?” tanya Hamzah setelah waitress itu beranjak dari hadapan mereka.“Oh, aku bosan banget, aku ingin liburan, tapi karena belum ada suami, pacar juga gak punya, jadinya aku pergi sendiri. Kebetulan ban
"Semoga aja gak ada yang lihat." Batin Amira. Ini pertama kali Amira melakukan hal tidak terpuji.Gadis berpostur semampai itu membuka pintu belakang, lalu masuk dengan mengendap-endap, seraya matanya terus mengawasi setiap sudut rumah, berharap tidak ada yang melihat aksinya.Lututnya mulai gemetar, walau separuh hatinya masih menolak, dan jantungnya berdebar, dia terus saja melangkah, hingga tiba dititik fokusnya, yaitu meja makan, yang letaknya berhadapan dengan salah satu kamar.Rasa lapar memaksanya masuk ke rumah yang ia tahu sedang tidak ada pemiliknya itu.Tanpa menunggu lagi, segera ia raih sepotong ikan goreng dan sepotong tahu goreng, yang tersimpan di bawah tudung saji, setelah dirasa cukup untuk lauk makan siangnya, ia menutup kembali tudung saji dan ingin segera keluar.Ketika berbalik badan, hendak segera pergi."Eh, Amira, ngapain?" tanya seseorang yang suaranya tak asing bagi Amira."Oh, ini ... Buat makan siang .... " jawab gadis berkulit putih itu, menunjukkan yang
Ustaz Harun yang sedari tadi mendengarkan obrolan Amira dengan istrinya kini tiba-tiba berdiri dengan wajah murka lalu berkata kepada istrinya, “panggilkan Hamzah sekarang juga, anak kurang aj4r!”Amira yang masih berdiri terkaget, lututnya tiba-tiba melemah, “ada apa ini. Ya Allah?” batin Amira.Umi Rubiah masih bergeming, entah apa yang sedang beliau pikirkan.“Cepat, hubungi anak itu, suruh segera kemari!” titah Ustaz Harun lagi.Tanpa berpikir dua kali, wanita di sampingnya itu meraih tas yang terletak di atas meja di depannya, mencari nomor kontak, segera menghubungi anak tirinya itu.“Lagi di mana, Ham. Pulang sebentar ya!” Tutur sang ibu, setelah yakin panggilannya sudah terhubung dengan anak tirinya itu.Ya, Umi Rubiah merupakan istri kedua Ustaz Harun.Mereka menikah sekitar sepuluh tahun lalu, setelah Umi Murni-istri pertama- sang Ustaz meninggal karena k4nker payud4r4.Umi Rubiah merupakan sepupu Umi Murni, beliau juga alumni pondok pesantren tersebut.Setelah beberapa bul
“Kamu gantikan Abi, mengajar di kelas enam putra besok.” Pinta sang ayah sebelum meninggalkan ruang tamu.Sementara Hamzah masih dengan kebingungannya, Umi Rubiah ikut bangun dan menyusul sang suami ke kamar.“Abi mau bertemu orang tua siapa?” tanya Umi Rubiah seraya ikut duduk bersama suaminya dipinggir ranjang.“Saya rasa lebih baik Hamzah kita nikahkan saja, sudah beberapa kali ada yang menyampaikan jika Hamzah sering ke rumah seorang gadis, menurut kabar gadis itu bukanlah gadis baik-baik.” Tutur Ustaz Harun.“Gadis itu kehidupannya terlalu bebas, juga jarang menutup aurat, saya rasa gadis itu bukanlah gadis yang tepat untuk istri dan juga ibu untuk anak-anak Hamzah kelak.”Ustaz Harun menarik nafas, lalu melanjutkan.“Jika tidak segera kita nikahkan, saya takut terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, kucing mana yang tahan jika disodorkan ikan asin.”“Tapi anak siapa yang mau Abi jodohkan sama Hamzah?” tanya Umi Rubiah penasaran.“Saya rasa Amira gadis yang cocok kita jadikan
Amira tidak menyangka, bahwa hal penting yang akan disampaikan ayahnya ternyata tentang lamaran Hamzah, orang yang tidak pernah ia cintai, apakah yang harus ia jawab? “Jadi, maksud Ayah suruh Kakak pulang, mau memberi tau kalau Kakak udah ada yang lamar, tapi Ayah belum kasih jawaban, apa Kakak terima?” Tanya sang ayah akhirnya.Amira gugup, jantungnya berdetak cepat, ia tidak menyangka begitu cepat ada yang melamarnya.Gadis berusia sembilan belas tahun itu bimbang, terima atau tidak.Satu sisi Amira tidak yakin bisa mencintai Hamzah, satu sisi ia merasa tidak enak jika menolak lamaran Ustaz Harun, yaitu guru besarnya sekaligus pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu selama empat tahun ini.“Kakak bimbang ya?” tanya sang ayah seakan paham isi hati Amira.Amira yang merasa wajahnya sudah sangat panas karena malu, hanya mengangguk saja.“Semua terserah Kakak. Kalau menurut Ayah, ya bagusnya terima aja, tidak sembarangan orang bisa menjadi menantunya Ustaz Harun.” Pak Hasan me