Mag-log in"Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa dia benar-benar hilang ingatan?"tanya Shera berpikir sejenak. Dua bola matanya beralih menatap ke arah foto Bara yang terpampang jelas di dinding kamar. Terlihat tampan dan wibawa. Apalagi ada senyum yang merekah membuat Bara semakin mempesona.
Glek Shera menegak salivanya dengan paksa. Seketika, ia menunduk saat rasa kagum datang menghampiri."Ah, sudahlah! Aku tak mau tau apa yang terjadi padanya," gumamnya duduk di ranjang seraya menghela nafas panjang. "Tapi, jika dia benar-benar hilang ingatan, bukankah itu berita baik untukku?" Shera mengerutkan kening. Senyumnya melebar dengan sempurna."Yah, seenggaknya aku tak akan mengalami derita batin seperti dulu lagi." Satu jam kemudian, Shera keluar dari kamar. Bibirnya merapat seraya mengamati rumah minimalis Bara yang tertata rapi dan cantik. "Mumpung masih sore, tak ada salahnya jika aku pulang ke rumah untuk mengambil jam tanganku yang tertinggal. Lagian, jarak antar rumah ini ke rumahku tidak terlalu jauh.Jadi, dia tidak akan tau jika aku keluar rumah," kata Shera tersenyum seorang diri. Perlahan, ia mulai melangkah menuruni anak tangga yang menjulang tinggi di rumah tersebut. Dua bola matanya terus menatap ke arah desain rumah yang memang sangat persis dengan keinginannya sewaktu dulu. "Ya Tuhan, bagaimana bisa dia mempunyai rumah seperti ini? Dan, kenapa juga warna dan tata letak barangnya sesuai dengan impianku waktu itu?" Shera meremang melihatnya. Namun, langkah kakinya terhenti ketika ada seseorang yang memanggil namanya. Sosok wanita paruh baya yang terlihat cantik nan awet muda berjalan tersenyum menghampirinya. "Kamu sudah bangun?" Shera mengangguk pelan seraya membalas senyum manis yang tercipta untuknya. "Syukurlah!" kata mama Dewi. "Apa dia mertuaku?" tanya batin Shera mengingat kembali foto keluarga besar Abisatya. "Kamu tau kan, kalo aku ini mamanya Bara?" tanya mama Dewi memastikan."Yah, lebih tepatnya sekarang telah menjadi ibu mertua kamu." "Iya, Bu!" jawab Shera tersenyum. Seakan tak percaya memiliki mertua yang begitu welcome kepadanya. "Bolehkah kita bicara sebentar?" Pertanyaan mama Dewi membuat Shera harus mengulur waktunya. Shera menganggukkan kepala. Senyumnya terus mengembang meski berselimutkan kegelisahan yang besar untuk berhadapan dengan keluarga barunya. "Semoga tak ada pernyataan yang menyulitkanku!" harap Shera dalam hati. "Ehm, kita ngobrol di sini saja, ya?" ajak mama Dewi untuk duduk di ruang santai yang tersedia dalam rumah milik Bara. Shera merapatkan bibir mungilnya. Jantungnya kian berdetak kencang saat mama Dewi mulai memandangi dirinya secara intens. "Ya Tuhan, kenapa mama mertua menatapku seperti itu? Apa yang akan beliau bicarakan padaku?" ucap Shera dalam hati. "Shera, terimakasih atas keputusanmu yang mau menikah dengan Bara. Terimakasih banyak ya!" jelas mama Dewi tersenyum seraya memegang jemari tangan Shera. "Ehm. Seharusnya, saya yang mengucapkan terima kasih, Bu. Karena pernikahan ini, pak David tidak menjebloskan saya ke dalam penjara," ujar Shera dengan hati-hati. "Penjara? Oh my God! Ternyata papa benar-benar mengancamnya seperti itu?" tanya mama Dewi seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik indah bulu matanya yang tebal terus menatap wajah cantik n polos yang di miliki Shera. "Apa kamu bisa menceritakan sedikit hal tentang dirimu? Dan, apa yang membuat kamu yang pada akhirnya memilih untuk menikah? Bukankah kamu sempat kekeh memilih di penjara daripada menerima pernikahan ini?" cecar mama Dewi yang begitu penasaran. Shera tercekat. Bibirnya merapat mengimbangi kebimbangan yang datang tiba-tiba saat pertanyaan itu terlontar. "Saya tak mau menjadi istri kedua, Bu. Itulah alasan utama saya memilih mendekam di penjara daripada harus menikah." "Istri kedua?" tanya mama Dewi seakan tak percaya mendengar penuturan menantunya itu. "Ya, Bu. Saya mengira kalau saya akan menikah dengan pak David," jawab Shera yang membuat mama Dewi mengerutkan kening. Dan, seketika tawa itu pecah mendengar pernyataan Shera yang terucap. "Ya Ampun, Shera! Bagaimana mungkin kamu berpikir seperti itu, sih? Mana mungkin suami saya menikah lagi. Bisa-bisa, mama akan potong kakinya jika berani poligami." Shera tersenyum tipis. Sungguh, ia tak menyangka memiliki mertua yang kocak. "Lalu, selain itu. Apa alasan lainnya?" "Sebelum saya tau untuk apa uang yang di hutang oleh almarhum ayah dan kakak saya, saya bersikeras memilih untuk mendekam di penjara. Tapi, setelah saya tau kalau uang itu paling besar hanya untuk biaya hidup dan sekolah saya, saya tersadar untuk mau menerima pernikahan ini,"tutur Shera menjelaskan. "Apa kamu terkejut kalau ternyata kamu menikah dengan putra saya?" tanya mama Dewi tersenyum saat melihat shera menganggukkan kepala. "Iya, Bu." "Sopan dan jujur! Terlihat begitu jelas di raut wajahnya," gumam batin Mama Dewi menopangkan dagu di tangannya."Lucu sekali menantuku ini. Baru pertama kali melihatnya, aku sudah sangat menyukainya." Senyum mama Dewi mengembang ke arah Shera yang menceritakan sedikit kehidupan pribadinya. "Mama tau, tak ada rasa cinta yang terjadi pada kalian berdua. Dan, pernikahan ini merupakan pernikahan terpaksa bagimu. Sebagai wanita, mama mengerti apa yang kamu rasakan, Shera." Shera mencoba tersenyum meski hatinya merasa teriris perih. Mendengar seseorang yang bersimpati padanya. Sejenak, Dua bola matanya beralih ke arah jemari tangan yang menggenggam erat tangannya. "Tapi, mama harap kamu menjalaninya dengan ikhlas, ya. Bara itu anaknya sangat perhatian dan penyanyang, mama yakin dia bisa membahagiakanmu!" Perkataan mama Dewi membuat Shera tercekat tak percaya. "Banyak yang bilang dia seperti itu, Bu. Tapi, itu semua tidak berlaku padaku. Entah, dendam apa yang ia pendam sampai-sampai dia membully diriku habis-habisan waktu itu," gerutu Shera dalam hati. "Ya sudah, mama pulang dulu ya! Jaga kesehatan kamu, Ok!" ucap mama Dewi mengusap rambut milik Shera yang terurai panjang."Dan satu lagi, panggil saya mama karena sekarang itu saya adalah mama mertua kamu." "Iya, M-a!" jawab Shera yang membuat senyum mama Dewi tertoreh. "Bye-bye!" Shera berdiri seraya melambaikan tangan mengiringi senyum yang merekah manis. Rasa kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan dari sosok seorang ibu. "Jangan menangis, ya! Ayah bisa juga menjadi seorang ibu untuk kamu. Memang, mereka memiliki seorang ibu, tapi mereka tak mendapatkan kasih sayang seperti apa yang ayah berikan pada kamu." Perkataan sang almarhum ayah yang melintas kembali dalam benaknya. "Beginikah rasanya mendapatkan kasih sayang seorang ibu?" tanya Shera yang tanpa sengaja meneteskan air mata. *** Bara menghampiri sang ayah yang duduk di tempat kerjanya. Terlihat begitu jelas, raut wajah pak David begitu bahagia. "Ada apa, Pa? Kenapa papa ke sini?" tanya Bara yang duduk di depan sang ayah. "Iya. Ada hal penting yang ingin papa sampaikan sama kamu!" tutur pak David yang membuat Bara mengerutkan kening. "Penting? Kenapa tidak di bicarakan di rumah saja? Jarak rumah ke kantornya Bara jauh lho, Pa! Apa papa lupa dengan konsekuensi yang ada jika papa berpergian lebih dari satu jam?" tutur Bara mengingatkan kesehatan sang ayah. "Iya. Papa tau itu! Tapi kan papa harus memberitahukan hal ini padamu. Kamu juga tak ada waktu di rumah. Di hubungi juga tak pernah di jawab," gerutu pak David yang tak mau di salahkan. Bara menghela nafas panjang. Mencoba menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya pada sang ayah. Sejenak, pandangan bola mata Bara beralih ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tepat pukul 18.00 WIB, waktu yang menandakan dirinya untuk mengakhiri pekerjaan. "Hal penting apa yang ingin papa sampaikan?" tanya Bara penasaran. "Papa pernah mengatakan pada istrimu. Kalo seandainya dalam lima tahun tidak ada kecocokan, dia bisa mengajukan gugatan perceraian." Pernyataan sang ayah seketika membuat Bara tercekat mendengarnya. "Lima tahun? Bagaimana bisa ayah mengatakan hal itu padanya?" tanya Bara. "Tapi, jika kamu berniat menceraikannya sebelum lima tahun. It's Ok! Papa tak mempermasalahkan hal itu. Asalkan, hutang keluarganya kamu transfer ke rekening papa!" ucap pak David seraya menaikkan kedua alis tebalnya. Bara tersenyum tipis. Ia benar-benar tidak menyangka jika sang ayah tak mau rugi dalam urusan keuangan. Padahal, ia mengira kalau dengan adanya pernikahan ini semua masalah Shera terselesaikan. Tapi, ternyata tidak! Ancaman bertubi-tubi di lakukan oleh sang ayah pada wanita yang ingin ia lindungi saat ini. Bara meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja. Jemari tangannya dengan cepat membuka ponsel yang terkunci itu. "Berapa hutangnya, Pa? Bara akan melunasinya?" tanya Bara yang seketika mengejutkan sang ayah. "Apa dia benar-benar akan menceraikan wanita itu secepatnya?" tanya batin pak David seraya mengerutkan kening. ""Memang dia istrinya bara, Lea! Karena itulah, aku memakaimu untuk membalas rasa sakit hatiku ini!" gumam batin Luna seraya mengepalkan tangan kanannya. Seakan mengimbangi rasa sakit di hati yang sangat sulit untuk hilang.Flashback "Bara, apa shera itu istri kamu?" tanya luna sangat hati-hati dalam berucap."Kenapa kamu tanya seperti itu? Apa kamu lupa kalo aku dan dia adalah musuh bebuyutan?" ujar bara memutar balik pertanyaan.Luna terdiam sejenak. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat tuduhan yang terlontar dari mulutnya tak ada jawaban."Tapi, perlakuanmu ke shera itu sangat berbeda, Bar. Kalian nggak terlihat bermusuhan kok! Tak hanya aku saja, teman-teman kita yang lain jika melihat kebersamaanmu dengan shera. Sudah pasti akan mengira seperti apa yang aku katakan," tutur Luna mencoba menekan suatu kenyataan pada bara."Kamu berpikir kalo aku ini bohong?" Bara dengan santai duduk pada kursi putar miliknya."Bukan begitu. Hanya saja ....""Beberapa bulan lalu, shera tel
"Mulai sekarang, nama kamu adalah Rony Santoso. Tak ada lagi nama Abisatya di dalam nama kamu. Tapi, kalo kamu ingin rasa sakit hatimu kembali lagi, kamu bisa memakainya kembali," tutur kata ibu angkat rony yang melintas kembali dalam benaknya.Rony menghela nafas panjang. Jemari tangannya perlahan menyerahkan benda layar pipih itu pada pemiliknya."Kenapa kebetulan sekali?" ucap rony tersenyum getir."Apanya yang kebetulan, Pak?" tanya Ega penasaran. Dahinya mengernyit menatap rony yang terlihat memikirkan sesuatu.Rony mendongak. Senyumnya mengembang sempurna tatkala menutupi kesedihan yang datang secara tiba-tiba."Sore nanti, kita datang ke rumahnya. Bawakan hadiah berharga dan kembalikan uang miliknya yang pernah ku serahkan padamu itu!" perintah Rony begitu tegas."Baik, Pak!" jawab Ega seraya mengangguk."Dan satu lagi! Cari tau keluarga Abisatya yang berhubungan dengan Shera," kata rony seraya meremas jemari tangannya. Sesuatu hal yang membuatnya bisa mengendalikan rasa amarah
Flashback Rony mengerutkan kening. Tatapan matanya tertuju ke arah wanita yang babak belur akibat serangan dari asisten pribadinya itu."Siapa yang menyuruh kamu? Katakan! Atau kamu ingin kedua kakimu patah?" Ancam ega dengan tongkat yang bersiap menghantam kedua kaki wanita tersebut.Rony menegak salivanya dengan paksa. Sungguh, dalam hati kecilnya sangat tak percaya dengan kekerasan yang keluar dari diri asistennya itu. Sama sekali tak peduli, orang yang dihadapi adalah seorang wanita."Katakan!" teriak ega terdengar memekak telinga.Lamunan rony buyar. Bibirnya merapat mengimbangi rasa khawatir yang datang tiba-tiba."Jangan-jangan dia mau mengejar mereka gara-gara ini?" tebak Rony menghela nafas panjang. Tatapan bola matanya mengernyit ke arah ega yang sudah menjauh darinya."Aku tak bisa membiarkan dia salah langkah lagi!" gumam rony mengambil ponsel yang bersembunyi di balik saku jas hitamnya.Manda menoleh ke belakang. Terlihat begitu jelas ada lelaki yang mengejar mereka ber
Shera menegak salivanya dengan paksa. Memandang lelaki yang pernah di tolongnya kini duduk pada satu kursi yang memanjang."Jika uang gantinya kurang, kakak bisa menghubungi saya ke nomor ini," perkataannya kemarin terlintas kembali dalam benaknya."Apa mungkin uang yang aku berikan kurang ya? Padahal, aku sudah memberinya sepuluh juta! Masa' kurang?" gumam batin Shera memicing."Tapi, kalo kurang bagaimana? Meskipun, bara memberiku kartu unlimited, Aku tak mungkin mengambil uangnya. Bara sudah banyak mengeluarkan uang untukku. Mulai dari hutangnya ayah, hutangku pada rentenir, renovasi rumah dan ...," kata shera terhenti saat ada cubitan kecil mengarah pada tangan kirinya."Apa sih, Kak?" lirih Shera sembari mengusap tangannya yang terasa sakit bekas cubitan sang kakak."Kamu nggak dengar? Orang itu memanggilmu?" bisik manda yang seketika mengejutkan Shera.Shera menoleh. Senyumnya mengembang sempurna menghadapi orang yang akan membuat keuangannya akan terkuras."Maaf, kak Rony. Say
"Shera Anjani," ucap bara yang membuat shera tak mampu berucap. Sebuah panggilan yang memperlihatkan kesabaran bara sudah habis.Tatapan matanya yang tajam tanpa ada senyum yang khas tersirat jelas pada wajah tampan yang di miliki bara Abisatya."Kita baru saja baikan. Kamu malah mulai lagi!" gerutu bara mendesah sebal. Dan melepas pelukannya begitu saja sembari memejamkan kedua mata. Shera tak berhenti mengerjapkan kedua mata. Bibirnya merapat mengimbangi rasa bersalah yang datang menguasai. Dan untuk pertama kalinya dalam berumah tangga, ia melihat bara ngambek padanya."Ehmmmm, apa aku salah ya? Bertanya seperti itu?" batinnya bertanya. Berpikir sejenak sembari mencerna perkataan yang telah terucap."Tapi kan, aku hanya bertanya saja! Kenapa dia marah?" hatinya bergumam seraya melirik ke arah bara yang kini berbaring di sampingnya."Tapi, aku juga tak boleh egois. Bagaimanapun juga kami sudah menjadi keluarga. Jika salah satu tak ada yang mengalah. Bisa-bisa, rumah tangga akan kan
"Kamu bilang sama bara, Sher. Tak usah lagi merenovasi rumah kita ini. Yang ada, banyak orang jahat yang mengincar isi rumah kita ini!" Perkataan kak manda mengingatkannya kembali.Dengan cepat, jemari tangannya meraih stik golf milik sang ayah yang selalu ia simpan dalam kamar.Melangkah mengendap-endap menghampiri seseorang yang mencoba membobol rumahnya."Aku tak akan membiarkanmu masuk ke sini! Dan aku akan pastikan tanganmu tak bisa ...," kata shera terhenti. Dua bola matanya terbelalak kaget. Jemari tangannya dengan spontan menurunkan stik golf tersebut. Semangat empat lima yang bersiap menjatuhkan pencuri mendadak pupus melihat orang yang ia tuduh sebagai pencuri itu adalah bara, suaminya sendiri."Apa kamu berniat membunuh suamimu sendiri?" tanya bara menutup jendela itu kembali.Shera menghela nafas panjang. Ia meletakkan kembali stik golf tersebut tepat di atas meja rias miliknya. "Ngapain kamu ke sini?" Shera duduk tanpa menatap ke arah bara.Bara meneguk salivanya dengan p







