LOGIN"Jika itu terjadi. Bagaimana dengan keinginan mama? Bisa-bisa keinginan mama gagal dong!" gumam batin pak David menghela nafas panjang."Tidak -tidak! Itu tidak boleh terjadi! Jika mama tau, tamat sudah riwayatku!"
"Pa!" kata Bara membuyarkan lamunannya. "Ya," jawab pak David mendongak. "Berapa hutangnya?" tanya Bara mengulang. "Apa kamu berniat menceraikannya dalam waktu dekat ini? Kamu baru beberapa jam lho menikah dengannya. Dan, bagaimana dengan mama kamu? Terlihat jelas, mama sangat menyukainya. Apa kamu tega merusak kebahagiaan mama?" cecar papa. "Itu urusan Bara! Dan, apa ini cukup membayar hutangnya?" tanya Bara memperlihatkan nominal uang satu miliar yang siap di kirim ke rekening sang ayah. "Kamu tak perlu mengirimkannya. Papa hanya bercanda, lho!" gumam pak David tersenyum tipis. Namun, senyumnya memudar ketika Bara tetap mengirim uang tersebut. "Jika itu kurang, papa bisa minta sewaktu -waktu sama Bara!" ujar Bara tersenyum tipis. Pak David hanya terdiam. Sungguh, ia sangat menyesal bertanya seperti itu pada anaknya. "Hah, tak seharusnya aku bertanya yang seharusnya tidak untuk di pertanyakan. Yah, begini nih akhirnya bila berbicara dengan orang yang IQ nya lebih tinggi dari papanya. Heh, tamat sudah riwayatku!" gumam batin pak David menghela nafas panjang seraya melihat Bara mengotak-atik ponsel yang berada di tangan. *** Ceklek Shera membuka pintu rumahnya yang tak terkunci itu. Bola matanya berputar melihat keadaan rumah yang biasa tertata rapi, bersih kini terlihat kotor dan berantakan. "Ya ampun, Kak Manda! Baru saja aku tinggal satu hari, rumah ini seperti kapal pecah saja!" umpat Shera menggeleng kepala seraya mengambil piring dan gelas kotor yang berserakan di atas meja. Shera melangkah menuju ke arah kamar milik sang kakak. Ceklek Pintu terbuka. Dahinya mengernyit saat melihat sang kakak berbaring seraya tersenyum menatap ponsel yang berada dalam genggaman. Buk Manda terkejut saat bantal mengarah padanya. Ia terbangun dan tersenyum ketika melihat kedatangan Shera. "Ahhhhhhh, Shera! Akhirnya kamu datang juga!" ucap manda beranjak dari tempatnya dan berlari memeluk shera begitu erat. Sudut kedua mata Shera menyipit melihat keanehan yang terjadi pada kakaknya. "Kakak sangat merindukanmu, Sher!" ucap manda melepas pelukannya. Senyumnya mengembang sembari memegang kedua tangan milik adiknya yang mulus itu. "Heh, rindu? Haruskah aku percaya pada orang yang telah mengorbankan diriku?" tanya Shera tersenyum sinis seraya melepas tangan milik kakaknya. "Iya, maaf! Kakak kan juga terpaksa melakukannya. Seandainya status kakak tidak miliknya mas Adit, sudah pasti kakak sendiri yang akan menikah dengan om David," tutur Manda duduk di samping Shera. "Boong banget dengernya!" acap Shera menghela nafas panjang. "Ehmmm, status kamu kan sekarang sudah menjadi orang kaya nih. Jadi, kakak minta tolong banget untuk menerima permintaan kakak ini!" tutur Manda memohon. "Permintaan?" "Yah, satu saja, kok! Dan om David nggak bakalan marah jika mengeluarkan uangnya lagi." "Uang?" "Kamu tau sendiri kan, kakak itu sangat males jika berurusan soal bersih-bersih rumah? Waktu kakak nggak cukup jika di bagi untuk mengurus pekerjaan rumah. Jadi, tolong ya, Sher! Tolong, carikan kakak seorang asisten rumah tangga." "Tidak! Aku tak mau menuruti keinginan kamu itu. Dan jika kakak ingin mempunyai asisten rumah tangga, gaji dengan uang kakak sendiri," tegas Shera. "Pelit banget sih! Mentang-mentang jadi istrinya om David!" gerutu Manda cemberut. "Lebih tepatnya menjadi menantunya pak David, Kak!" jelas Shera yang membuat manda tercekat seketika. "What? Serius?" Manda memastikan. "Yah, itu kenyataannya!" jawab Shera datar. Manda terdiam. Bibirnya komat-kamit sembari mencerna pernyataan yang keluar dari mulut Shera. "Aku juga tau saat dia mengucapkan ijab Qabul, Kak!" "Bagus dong! Dengan begitu, kamu terhindar dari status istri keduanya om David! Ya, kan?" gumam Manda senang mendengarnya. Rasa bersalah yang telah ia lakukan kepada adiknya seakan terobati dengan kabar baik itu."Seharusnya, kamu senang, bahagia bukan malah masang muka bete seperti ini. Kakak tau banget, kalo putranya om David itu cakepnya minta ampun." "Ya. Tapi sayangnya, dia itu adalah orang yang membully diriku waktu sekolah dulu, Kak!" tutur Shera membuat Manda terkejut bukan main. Manda terdiam kembali. Mulutnya seakan terkunci rapat saat pernyataan itu terlontar. Karena ia tahu betul bagaimana Shera waktu itu merasakan trauma yang teramat dalam. "Ehmmm. Tapi, Sher. Bagaimana kalo ternyata dia sudah berubah? Dan siapa tau, dia ingin menebus kesalahannya waktu itu sama kamu?" tanya Manda mencoba melegakan rasa kecewa yang tertancap dalam diri Shera. "Lupakanlah! Aku tidak mau membahasnya lagi," gumam Shera merebahkan tubuhnya di kasur. "Ya Tuhan, kasihan banget Shera!" gumam batin Manda merasa bersalah kembali. Manda melirik ke arah cincin berlian yang di pakai Shera. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap mengimbangi mulutnya bergerak kagum hingga berbentuk huruf 'o'. "Wow! Cincin kawin kamu bagus banget, Sher!" Manda meraih tangan kanan Shera. Mengamati dan memegang cincin yang harganya sudah pasti sangat fantastis. "Cincin kawinnya saja bagus seperti ini. Sudah pasti maharnya mobil, rumah atau uang miliaran?" kata Manda asal menebak. "Saudara Bara Abisatya bin David Abisatya, saya nikahkan Engkau dengan Shera Anjani binti Mahendra Barata dengan mas kawin tiga ratus juta delapan ratus dua ribu rupiah di bayar tunai!" Perkataan wali hakim terlintas kembali dalam benak shera. "Tiga ratus juta delapan ratus dua ribu rupiah, Kak. Itu mahar yang di berikan atas pernikahan terpaksa ini. Kalo di dasari dengan perasaan mungkin beda lagi," tutur Shera. "Tiga ratus juta delapan ratus dua ribu rupiah?" tanya manda memastikan. "Heem!" " Apa kamu nggak sadar kalau mahar itu sesuai dengan tanggal lahir kamu?" Pertanyaan Manda membuat Shera menoleh ke arahnya."Tiga puluh bulan delapan tahun dua ribu. Bukankah itu tanggal lahir kamu?" Shera menegak salivanya dengan paksa. Sungguh, ia tak menyadari mahar yang di berikan oleh bara merupakan tanggal lahirnya. "Iya juga ya. Kenapa aku tak menyadari hal itu?" gumam batin Shera tersenyum tipis."Ahhh, kenapa aku jadi GR begini, sih. Mungkin saja itu hanya kebetulan." "Wah, kakak jadi iri deh melihatnya. Di berikan mahar tepat di tanggal lahir.Bikin meleleh banget, Sher! Dan, siapa tau juga, suami kamu benar-benar berubah. Dan, tanpa kamu sadari dia mencintai kamu dari dulu. Ya nggak?" ucap manda. "Sudahlah! Jangan bahas lagi!" kata Shera beranjak dari tempat tidur dan melangkah pergi meninggalkan manda. Namun langkahnya terhenti dan berbalik ke arah sang kakak kembali. "Jika kakak ingin menjadi istrinya mas Adit. Alangkah baiknya, kalo mulai sekarang kakak mulai belajar mengurus pekerjaan rumah. Kalo nggak mau, ya siap-siap saja untuk kehilangannya," ucap Shera tersenyum tipis dan pergi begitu saja. Manda menghela nafas berat. Wajahnya memelas saat syarat itu benar-benar membebani dirinya. "Memang sih, mas Adit pernah berkata kalo dia ingin mempunyai istri yang pandai memasak dan mengurus pekerjaan rumah," gumamnya cemberut."Hah! Benar-benar ujian yang sangat berat untuk wanita sepertiku ini!" ucap manda merebahkan tubuhnya kembali. Menatap ke atap sembari mengatur nafasnya yang tak beraturan."Tapi, aku sangat mencintainya. Kalaupun ujiannya sangat berat, aku harus mampu!" *** Di mobil, Shera tak berhenti menatap ke arah jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebuah benda yang merupakan hadiah ulang tahun dari sang ayah tercinta. "Ayah berharap suatu saat nanti kamu mempunyai suami yang bisa meratukanmu." Perkataan ayah kembali melintas dalam benaknya. "Shera hanya pasrah, Ayah. Pasrah dengan keadaan yang ada. Harapan ayah sangat jauh untuk di capai. Karena ayah telah mendapatkan seorang menantu yang akan mengembalikan putrimu ini ke dalam masa lalunya kembali. Lebih tepatnya masuk ke dalam 'NERAKA'. Dan, semoga saja lima tahun ke depan aku terbebas dari neraka ini dan bisa mendapatkan keinginan ayah itu," gumam batin Shera terkejut saat mobil yang di tumpanginya berhenti mendadak. Glek Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Dua bola matanya mengerling menatap ke arah mobil hitam yang menghadang mobil yang di tumpanginya. Terlihat begitu jelas dua orang berpakaian serba hitam keluar dari mobil tersebut dan berjalan menghampiri. "Siapa mereka? Apa mereka begal di wilayah ini?" gumam batin Shera melihat keadaan sekeliling yang sangat sepi. ""Kamu harusnya sadar diri. Jika perceraian itu tiba, jangan menuntut apa-apa lagi. Setidaknya, kamu dan keluargamu berterimakasih pada kami karena sudah melunasi hutang dan memberikan fasilitas yang layak. Dan apabila kamu melahirkan anak, sudah pasti kamu mendapatkan hadiah lebih dari istriku. Jadi, aku peringatkan sekali lagi. Untuk sadar diri!" Perkataan pak David sebelum pernikahan terjadi terlintas kembali dalam benaknya.Shera tersenyum saat Bara tiba-tiba melihatnya. Sosok lelaki yang dulu sangat ia benci kini telah mengisi relung hatinya. "Saling memiliki dan saling mencintai. Dia bilang seperti itu padaku! Tapi, tetap saja sepuluh tahun ke depan perceraian datang menanti. Gara-gara sebuah perjanjian, aku harus menelan kebahagiaanku bersamanya. Entah apa sebenarnya yang ia sembunyikan padaku, sampai-sampai dia tak mampu melawan perjanjian yang telah ditetapkan oleh pak David. Sebelum merubah isinya kembali, setidaknya dia berbicara dulu denganku. Mengubah salah satu perjanjia
Mama Dewi mendongak. Bibirnya merapat mengimbangi rasa takut yang datang menghampiri."Aduh! Papa bangun lagi," gumam mama dewi memasukkan foto itu kembali ke dalam laci meja.Sesaat, ia menoleh. Bernafas lega saat sang suami tidur kembali."Syukurlah! Papa tak mendengarnya," ucap mama Dewi kembali merebahkan tubuhnya. Perlahan, jemari tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Kedua matanya mengerling menatap ke arah atas seraya mengingat kenangan indah saat bersama Rony, anak angkat Mana Dewi dan pak David sebelum mempunyai Kiara dan Bara."Rony, mama sangat merindukanmu, Nak!" gumam batin mama Dewi memejamkan kedua mata. Meneteskan air mata yang tertahan di pelupuk mata. Rasa rindu yang membuncah terasa begitu sakit hingga menusuk hati."Semoga saja, waktu bisa mempertemukan kita kembali!" harap mama dewi.****Shera menyeringai melihat bara yang begitu sibuk dengan pekerjaannya. Melangkah perlahan sembari membawakan secangkir kopi untuk sang suami tercinta."Apa masih lam
"Kevin, siapkan mobil!" Suara bara terdengar dari balik handphone Kevin.Kevin terbangun. Baru saja ia merebahkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah. Tiba-tiba, ada perintah yang menghampiri."Buat apa, Mas?Bukankah jadwal acaranya besok pagi?" tanya Kevin mencoba mengingatkan."Batalkan semua! Kita pulang ke Malang sekarang juga!" Bara mematikan ponselnya seketika.Kevin mengernyit heran. Sejenak, ia berpikir. Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga besar atasannya itu. Sampai-sampai, menyuruhnya untuk pulang secara tiba-tiba."Digo juga tak ada kabar. Biasanya, kalo ada masalah dengan keluarga besar, digo selalu memberi kabar padaku," ucap Kevin berpikir sejenak."Apa jangan-jangan mbak Shera kenapa-kenapa?"Drt ... Drt ...Kevin beranjak dari tempatnya. Bergegas berlari keluar dari kamar, saat panggilan bara tertuju kembali padanya.Sepanjang perjalanan, Bara mendesah sebal saat Pikirannya selalu tertuju ke arah shera. Kedua matanya memicing ke arah depan yang macet total.
"Dokter salah paham. Dia bukan suami saya," tutur Shera mencoba menjelaskan. Namun percuma saja. Dokter itu melangkah menjauh darinya saat ada panggilan mendesak yang datang."Huft!" Helaan nafas keluar dari mulut dan hidung mancungnya. Duduk kembali sembari menjinjing rok panjang yang ia kenakan. Memastikan keadaan kaki kirinya yang terluka."Pantes saja, masih nyeri. Ternyata, lukanya sepanjang ini," gumam Shera menutup kembali rok panjangnya.Sesaat, pandangan matanya beralih ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Hampir satu jam berlalu, ia duduk seorang diri menunggu orang yang telah ia tolong."Kenapa tak ada satupun keluarganya yang ke sini? Apa mungkin ...," kata shera terhenti saat ada seseorang lelaki yang datang menghampiri."Apa Anda yang menghubungi saya menggunakan handphonenya pak Rony?" tanya lelaki tersebut yang merupakan sopir pribadi."Iya. Ini dompet dan handphone beliau," ucap Shera menyerahkan dompet coklat kecil dan benda layar pipih yang te
"Jika ada waktu, kamu ke sini, ya! Kakak butuh kamu," sebuah chat manda yang mengingatkan Shera kembali."Apa karena ini? Kak Manda memyuruhku ke sana?" batin shera bertanya. Memicing ke arah wanita yang terus saja melingkarkan tangan di lengan sahabatnya itu."Mas Adit, ada banyak hal yang perlu kita bicarakan!"Shera mendesah sebal. Memalingkan muka dan tak ingin melihat sikap manja yang keluar dari kekasih baru sahabatnya itu.Melangkah pergi meninggalkan mereka berdua yang masih saja berdiskusi.Lima menit sudah, Shera duduk seorang diri. Menunggu seseorang yang seharusnya bisa menyelesaikan beberapa pertanyaan yang bergelut dalam pikirannya.Shera mendongak. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa ketika Adit mulai datang dan duduk di sampingnya."Shera!" "Bagaimana dengan kak Manda, Mas?" Shera menoleh. Tersirat jelas, adit menunduk dan tak mampu menatapnya. Seakan rasa bersalah mulai datang menyelimuti diri lelaki berusia dua puluh tujuh tahun tersebut."Mas Adit telah putus d
"Maaf, telah membuatmu menunggu lama!" ucap Devan yang seketika mengejutkan bara.Dahi bara mengernyit heran melihat sikap Devan yang sangat berbeda dengan dulu. Senyum bara mengembang. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan guna menyambut kedatangan klien besarnya itu."Bagaimana kabar kamu?" tanya Bara."Seperti yang kamu lihat! Aku baik-baik saja. Bagaimana kabar kamu? Denger-denger, kamu sudah menikah, ya?" tanya Devan penasaran."Duduklah!" pinta Bara mempersilahkan Devan."Sebelum membahas tentang kehidupan pribadi kita, kita bahas tentang pekerjaan terlebih dahulu," tutur Bara yang bersiap menjelaskan tentang masalah yang terjadi.Kevin menyerahkan laporan yang sudah di siapkan sebelumnya kepada bara."Apa yang perlu kita bahas? Bukankah proyek kita lancar-lancar saja?" Pertanyaan Devan seketika membuat Bara dan kevin mengernyit heran. "Bukankah kamu mengirim email kalo ada kekeliruan dalam masalah keuangan?" Bara memastikan."Hahahahaha. Sorry, Bro. Sekali lagi, sorry







