Share

Bab 5

Author: By. S.A
last update Last Updated: 2025-10-26 09:49:20

Aruna sudah kembali di kantor.

Tepat jam istirahat, ia melangkah ke kantin.

Suara riuh pegawai yang sedang makan siang dan aroma masakan dari dapur menciptakan suasana yang khas. Ia menarik napas panjang sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat.

"Ahhh, capek juga," gumam Aruna sambil memijat pundaknya yang pegal.

Dari sudut kantin, seorang rekan kerja sekaligus tetangganya melambaikan tangan.

"Runa, sini kita makan bareng!" serunya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.

Aruna berjalan mendekat, namun matanya menelusuri seisi ruangan, mencari seseorang.

"Kalian ada yang liat Lita nggak?" tanyanya begitu duduk.

Salah satu teman mereka yang tengah mengaduk sambal dengan sendok plastik menoleh cepat, wajahnya masam.

"Gak tau. Si pemalas itu mending dipecat aja. Malas kerja, cuma makan gaji buta."

Aruna tertegun sejenak, lalu tersenyum kaku. Ia mencoba meredakan suasana.

"Nggak boleh ngomong gitu, kita makan aja yuk," ujarnya, menyodorkan kotak makan yang baru dibuka.

Namun ucapan berikutnya justru lebih tajam.

"Kamu loh, Run... Udah tahu si Lita gatel sama suami kamu, kok malah dibiarin."

Aruna langsung mengangkat sebelah alisnya, ekspresinya berubah penuh tanya.

"Maksudnya gatal gimana, Bu? Aruna nggak ngerti," tanyanya pelan, namun nadanya tegas.

Salah satu dari mereka, sambil menyeruput es teh, menyahut cepat.

"Tadi pagi suami kamu ditempelin sama si janda gatal itu. Kita semua yang lihat kok. Iyakan?" katanya, menatap teman-temannya mencari dukungan.

Yang lain mengangguk setuju, sambil terus mengunyah gorengan.

"Iya, Run. Kita bukannya mau ngurus rumah tangga orang. Tapi kita kan juga harus saling mengingatkan. Menjauhi perbuatan zina itu wajib. Si Lita tuh udah kebangetan."

Aruna menunduk sesaat, matanya menerawang.

Selama ini ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Ia mengenal Lita sebagai teman kerja sekaligus tetangga yang ramah, meski akhir-akhir ini memang agak sulit diajak komunikasi.

Tapi mendengar desas-desus itu, hatinya mulai waspada.

Ia menghela napas, pelan-pelan menutup kotak makannya kembali.

"Semoga aja Lita nggak gitu ya..." batinnya sambil menatap kosong ke arah pintu kantin, berharap Lita muncul dan semua ini hanya salah paham.

°°°

Jarum jam menunjuk pukul 16.00.

Suasana kantor mulai lengang.

Pegawai satu per satu merapikan meja, mematikan komputer, dan bersiap pulang.

Di luar, langit sudah mulai berwarna jingga, menandakan matahari bersiap tenggelam.

Aruna sedang merapikan tasnya di dekat meja saat suara langkah tumit terdengar mendekat dari lorong.

“Mas Revan nggak jemput kamu?” tanya Lita, yang tiba-tiba muncul setelah seharian menghilang. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah polos namun sorot mata yang sulit dibaca.

Aruna menoleh pelan, mencoba tetap tenang meski hatinya berdebar.

“Mungkin lagi sibuk kerja, Mbak,” jawabnya sambil memaksakan senyum tipis.

Namun, nada suara Lita membuat Aruna merasa ini bukan sekadar pertanyaan basa-basi. Ada sesuatu di balik tatapan dan nada Lita—halus, tapi menyengat.

“Oh, gitu ya… Sayang banget ya, Run,” sahut Lita dengan nada menggoda. Ia berjalan pelan mendekat.

“Aku dengar desas-desus loh… Katanya Bu Cintya sering ngajak suami kamu makan bareng. Di resto mahal lagi,” lanjutnya, kali ini dengan nada sinis yang dibungkus senyum manis.

“Astaghfirullah… kenapa semua orang ngomongin kayak gini sih…” batin Aruna. Ia menunduk, jari-jarinya meremas tali tas tanpa sadar.

“Kok diam aja, Run? Kamu nggak curiga suami kamu main serong sama Bu Cintya?” tanya Lita, kali ini berdiri lebih dekat, menatap langsung ke mata Aruna.

Aruna menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya.

“Nggak mungkin, Mbak. Saya kenal baik sama Bu Cintya… Nggak mungkin mereka nikung saya,” katanya pelan tapi yakin, meskipun ada suara kecil dalam hatinya yang mulai retak.

Lita menyipitkan mata, bibirnya menyunggingkan senyum misterius. Ia lalu berpaling, namun sebelum melangkah pergi, dalam hati ia berbisik:

“Aruna… Aruna… siapa yang nggak tertarik sama suami kamu? Wong aku juga tertarik. Sangat tertarik…”

Ia berbalik badan, melangkah menjauh dengan sengaja meninggalkan sepatah kalimat terakhir:

“Yaudah, mending kamu samperin deh Mas Revan. Aku curiga.”

Langkahnya menjauh dengan suara tumit yang menggema di koridor kosong.

Aruna berdiri terpaku.

Dadanya sesak.

Kata-kata Lita tadi menggantung seperti kabut di kepalanya. Ia menatap ponsel di tangannya, membuka aplikasi ojek online dengan tangan gemetar.

“Aku harus tahu. Aku harus lihat sendiri.” pikirnya.

Tanpa banyak pikir, ia memesan ojek dan melangkah cepat keluar kantor, angin sore menyapu wajahnya yang kini dipenuhi keresahan.

Tujuannya satu: rumah Bu Cintya.

°°°

Tak butuh waktu lama, Aruna sudah sampai di rumah Bu Cintya.

Motor ojek berhenti pelan di depan gerbang rumah yang cukup megah, namun tampak sepi dan tertutup.

Aruna turun dengan cepat, menoleh ke arah sang pengemudi.

"Makasih, Yo, Mas," katanya singkat sambil membayar.

"Iya, Mbak," balas si pengojek sambil melaju pergi, meninggalkan Aruna yang berdiri sendiri di depan pagar besi hitam yang tak terkunci.

Ia mendorong pintu pagar perlahan.

Engselnya mengeluarkan bunyi “kriieettt…”, membuat bulu kuduknya meremang.

Langkahnya pelan, seolah kaki enggan melangkah, namun rasa penasaran dan kegelisahan memaksanya terus berjalan.

Motor Revan terlihat terparkir di halaman samping, tak jauh dari pintu belakang rumah.

Aruna menatapnya lama.

"Astagfirullah... Kenapa perasaanku nggak enak begini…" batinnya, sambil meletakkan tangan di dada, berusaha meredakan degup jantung yang semakin tak karuan.

Pintu rumah tidak terkunci. Ia dorong perlahan, dan…

Sunyi.

Tak ada suara TV, tidak ada derap langkah, tidak ada suara percakapan—hanya keheningan yang terasa menekan.

Langit di luar mulai menggelap.

Cahaya sore menyelinap masuk lewat celah jendela, menambah kesan hening dan tegang.

"Mas Revan mana ya?" gumam Aruna nyaris berbisik.

Ia melangkah masuk.

Aroma rumah itu tercium asing—ada wangi parfum yang tak ia kenali.

Tangannya menyentuh dinding saat berjalan, seolah mencari pegangan, karena kakinya mulai gemetar.

Sebelum ke lantai atas, ia menuju dapur, berharap mungkin Revan sedang mencari sesuatu… atau makan.

Tapi harapan itu langsung pupus.

Di meja makan, nasi goreng yang tadi pagi ia siapkan masih utuh di dalam wadah kaca.

Tak tersentuh sama sekali.

"Ya Allah… perasaanku makin nggak tenang," lirihnya sambil menatap piring itu, matanya mulai berkaca-kaca.

Ia kembali menyapu dada, menarik napas panjang.

Pikirannya melayang pada Lita—pada ucapan dan tatapan menusuk itu.

Ia melangkah ke arah tangga, pelan-pelan menaiki anak tangga satu per satu.

Setiap langkah terdengar berat, seperti membawa seluruh beban pikirannya.

Langkahnya terhenti di depan pintu kamar Bu Cintya.

Pintu itu tertutup rapat.

Tidak terkunci.

Jantung Aruna seakan berhenti berdetak.

"Ya Allah... semoga saja apa yang aku pikirkan tidak terjadi..."

Tangannya menggapai kenop pintu. Ia memejamkan mata sejenak, berdoa dalam hati, lalu…

“Klik.”

Kenop pintu diputar perlahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku idaman istri orang dan JANDA   Bab 5

    Aruna sudah kembali di kantor. Tepat jam istirahat, ia melangkah ke kantin. Suara riuh pegawai yang sedang makan siang dan aroma masakan dari dapur menciptakan suasana yang khas. Ia menarik napas panjang sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat."Ahhh, capek juga," gumam Aruna sambil memijat pundaknya yang pegal.Dari sudut kantin, seorang rekan kerja sekaligus tetangganya melambaikan tangan."Runa, sini kita makan bareng!" serunya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Aruna berjalan mendekat, namun matanya menelusuri seisi ruangan, mencari seseorang."Kalian ada yang liat Lita nggak?" tanyanya begitu duduk.Salah satu teman mereka yang tengah mengaduk sambal dengan sendok plastik menoleh cepat, wajahnya masam."Gak tau. Si pemalas itu mending dipecat aja. Malas kerja, cuma makan gaji buta."Aruna tertegun sejenak, lalu tersenyum kaku. Ia mencoba meredakan suasana."Nggak boleh ngomong gitu, kita makan aja yuk," ujarnya, menyodorkan kotak makan yang baru dibuka.Namun

  • Suamiku idaman istri orang dan JANDA   Bab 4

    "Nggak usah tegang gitu mas, mau nggak?" bisik Cintya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Revan. Aroma parfum menyengat dari tubuhnya menusuk hidung. Dengan sengaja ia mengambil tangan Revan, menaruhnya di atas squishy miliknya yang terpantul jelas dari piyama tipis dan ketat yang dipakai. "Suami saya udah tua, nggak bisa puasin saya. Makanya saya nyuruh kamu. Revan..." suaranya bergetar nakal. Sebelum Revan sempat menolak, Cintya makin berani. Ia menggiring tangan Revan masuk ke dalam belahan piyamanya. Kulit hangat terasa di ujung jari Revan, membuat tubuhnya refleks menegang. Detik itu, dada Revan berdegup kencang. Ia ingin menepis, tapi tubuhnya kaku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Namun tepat saat momen itu semakin memanas, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Ctak… ctak… Cintya terperanjat. Dengan wajah panik, ia buru-buru turun dari pangkuan Revan. Napasnya masih terengah, piyamanya sedikit kusut karena ulahnya barusan. Pint

  • Suamiku idaman istri orang dan JANDA   Bab 3

    Keesokan harinya, Revan dan Aruna berangkat kerja bersama menggunakan motor tua kesayangan mereka. Udara pagi masih terasa sejuk, jalanan belum terlalu ramai, hanya beberapa orang terlihat sibuk menuju tempat kerja masing-masing. Sesampainya di dekat gedung tempat Aruna bekerja, Revan melambatkan laju motor. "Mas cuma bisa antar kamu sampai sini ya, soalnya tempat kerja mas udah bukan di arah sini lagi," ujar Revan pelan. Aruna tersenyum, lalu menepuk lembut bahu suaminya. "Hi hi iya mas, hati-hati di jalan ya. Jangan nakal-nakal." Revan menoleh sekilas, ekspresinya serius tapi ada guratan manja di wajahnya. "Nggak akan. Orang mas cinta mati sama kamu." Aruna menunduk malu, kemudian turun dari motor. Ia meraih tangan suaminya, menciumnya penuh hormat. "Kalau gitu, Aruna pergi dulu ya." Namun tangan Revan menahan. "Ada yang kurang," katanya dengan suara genit. Aruna mengernyit bingung. "Apa?" Revan tersenyum penuh arti, lalu mendekatkan wajahnya. "Lihat saja." Cup! Kec

  • Suamiku idaman istri orang dan JANDA   Bab 2

    Tangannya sempat buru-buru ia rapikan wajahnya agar tidak terlihat panik. “Eh, Bu Cynthia,” sambut Aruna dengan senyum ramah setelah membuka pintu. “Mari masuk.”Cynthia melangkah masuk dengan anggun. Wangi parfumnya langsung menyebar, menyisakan kesan elegan. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Revan yang berdiri agak canggung di sisi meja. Ada senyum tipis yang samar, hanya sekejap, tapi cukup menusuk bila ada yang jeli memperhatikan. Aruna sama sekali tidak menyadari tatapan. Ia sibuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menawarkan duduk. “Silakan, Bu.” “Maaf mengganggu,” ucap Cynthia sembari duduk manis di sofa, meletakkan tasnya di pangkuan. “Tapi kedatangan saya ke sini untuk memberi tahu kabar baik. Mas Revan naik jabatan.” Aruna spontan menoleh ke suaminya dengan wajah berbinar. “Ini serius?” suaranya penuh semangat, seolah ada beban yang terangkat. “Iya, Aruna.” Senyum Cynthia meluas. Ia melirik Revan sejenak sebelum kembali menata

  • Suamiku idaman istri orang dan JANDA   Bab 1

    "Bisa kamu melayani saya?" Revan seketika bingung, dadanya terasa sesak. Ia menatap Cyntia yang duduk anggun di depannya, dengan gaun ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Suara tawaran itu seperti petir yang menggelegar di kepalanya. Dalam hatinya, ia tak ingin menyakiti Aruna, istri yang sangat ia cintai. "Jaminannya hutang kamu lunas, dan aku berikan bonus uang 10 juta," lanjut Cyntia sambil menyilangkan kaki. Kaki jenjangnya bergerak pelan, seakan disengaja untuk membuat Revan makin salah tingkah. Tawaran itu membuat pikiran Revan makin kacau. Ia menelan ludah, tangannya mengepal di atas lutut. "Jika aku menerima tawaran ini, Aruna pasti akan kecewa," pikirnya. Cyntia tersenyum nakal, senyum yang berbahaya. Ia lalu berdiri, melangkah perlahan ke arah Revan. Tumit sepatunya berdetak di lantai, menciptakan irama yang membuat jantung Revan berdetak makin kencang. "Tenang saja, dia tidak akan tau. Hanya kita berdua yang tau," ucapnya lirih, sebelum tangannya y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status