LOGIN"Nggak usah tegang gitu mas, mau nggak?" bisik Cintya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Revan.
Aroma parfum menyengat dari tubuhnya menusuk hidung. Dengan sengaja ia mengambil tangan Revan, menaruhnya di atas squishy miliknya yang terpantul jelas dari piyama tipis dan ketat yang dipakai. "Suami saya udah tua, nggak bisa puasin saya. Makanya saya nyuruh kamu. Revan..." suaranya bergetar nakal. Sebelum Revan sempat menolak, Cintya makin berani. Ia menggiring tangan Revan masuk ke dalam belahan piyamanya. Kulit hangat terasa di ujung jari Revan, membuat tubuhnya refleks menegang. Detik itu, dada Revan berdegup kencang. Ia ingin menepis, tapi tubuhnya kaku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Namun tepat saat momen itu semakin memanas, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Ctak… ctak… Cintya terperanjat. Dengan wajah panik, ia buru-buru turun dari pangkuan Revan. Napasnya masih terengah, piyamanya sedikit kusut karena ulahnya barusan. Pintu terbuka. Aruna masuk sambil membawa sebuah kotak di pelukannya. Langkahnya sempat terhenti, bola matanya membesar melihat pemandangan di depan. Revan duduk dengan wajah tegang, sementara Cintya berdiri di samping sofa, dengan pakaian yang jelas terlalu terbuka, jauh dari kata sopan. "Aruna..." suara Revan tercekat. Ia segera bangkit, mendekati istrinya. Jantungnya seakan mau meledak. "Sialan, pengganggu saja," batin Cintya sambil menggertakkan giginya "Kamu... kok bisa ke sini?" tanya Revan gugup, mencoba bersikap biasa padahal keringatnya menetes di pelipis. Aruna masih terdiam sejenak, mencoba menelan rasa curiga yang mulai menyesakkan dadanya. "Tadi ada kurir yang antar paket. Katanya dia kurir baru, nggak tau alamat rumah sini. Alamat paketnya di kantor, harus bayar COD. CS lain nyuruh aku buat antar ke sini." "Oh... ha ha, gitu ya," Revan mencoba tersenyum canggung, padahal tubuhnya masih bergetar. "Iya mas," ucap Aruna sambil menatap sekeliling, "tapi ngomong-ngomong… mas Revan cuma berdua sama Bu Cintya? Belum sempat Revan membuka mulut, Cintya langsung menimpali cepat. "Iya, tadi saya nyuruh suami kamu buat nyari tikus di kamar. Saya takut tikus, jadi saya pinjam sebentar suami kamu ya?" Nada suaranya terdengar manja, seolah tak ada yang janggal. Aruna tersenyum tipis. "Oh gitu ya, bisa banget Bu. Kalau gitu ini paketnya, pak kurirnya udah pergi, katanya TF aja di situ." Ia menyerahkan kotak itu. Cintyia mengambil paket tersebut dengan senyum dibuat-buat. "Makasih ya, Aruna. Eh, ngomong-ngomong… boleh nggak saya minta tolong lagi? Boleh masakin sarapan buat saya? Soalnya saya belum sempat makan dari tadi." Aruna agak ragu. "Bisa Bu, tapi kerja di sana—" "Nggak papa," potong Cintya cepat sambil tersenyum lebar, "itu bisa diatur kok. Aruna akhirnya mengangguk. "Ya sudah, saya bikinin. Saya kan sudah hafal dapurnya." Ia pun melangkah ke arah dapur, masih dengan pikiran positif tanpa curiga lebih jauh. Begitu suara langkah Aruna menjauh, wajah Cintya langsung berubah. Ia menggertakkan giginya pelan, lalu menoleh ke arah Revan yang masih berdiri kaku di ruang tamu. "Pinjam suaminya, rum. Mau suruh tangkep tikus," gumamnya mengejek sambil menyeringai Dengan cepat, Cintya meraih tangan Revan, menggenggamnya erat, lalu menariknya ke arah tangga. Tumitnya berderap cepat di lantai, seolah tak ingin membuang waktu. "Bu… jangan begini…" Revan berbisik panik, matanya melirik ke arah dapur, takut Aruna tiba-tiba kembali. Namun Cintya tak peduli. Di setiap anak tangga, ia makin merapatkan tubuhnya ke Revan. Tubuh mungilnya menempel erat, membuat dada Revan naik turun tak beraturan. Begitu sampai di lantai atas, Cintya menutup pintu kamar dengan cepat. Klik. Suara kunci diputar. Ia menempelkan tubuhnya ke pintu, matanya liar, bibirnya melengkung nakal. "Nggak usah banyak alasan, Revan," bisiknya sambil mendorong dada Revan pelan hingga ia terdorong mundur ke tepi ranjang. "Tadi sempet keganggu, sekarang waktunya kita lanjutin." Tangannya yang masih menggenggam tangan Revan perlahan menuntunnya kembali ke dalam piyama tipis yang longgar. Revan menelan ludah, keringatnya bercucuran. "Tapi kalau Aruna—" "Ssstt…" Cintya mendekat, meletakkan telunjuk di bibir Revan. "Dia sibuk di dapur. Nggak akan curiga." Sesampainya di kamar, Cintya langsung mendorong dada Revan dengan keras. Tubuh pria itu tak berdaya terhuyung hingga jatuh di atas ranjang empuk. "Masss…" desah Cintya sambil menunduk, tubuhnya merayap ke atas ranjang. "Aku suka yang menantang seperti ini." Matanya menyala penuh nafsu. Revan refleks menggeleng. Ia bangkit dari posisi telentang, berusaha menjauh, menolak semua itu. "Bu Cintya… jangan, saya nggak bisa." Cintya terkekeh rendah. Ia merangkak di atas ranjang, tubuhnya mendekat lagi, seperti seekor predator yang sudah mengincar mangsanya. Tangannya bergerak cepat, meraih paha Revan yang kaku. "Ayolah, mas… dari tadi perkutut mas udah tegang, loh." Bibirnya menyeringai nakal, jari-jarinya berani merayap ke arah karet celana Revan. Revan menggenggam pergelangan tangan itu, menahannya. Nafasnya memburu, bukan karena godaan, melainkan karena panik. "Bu Cintya, tolong… istri saya ada di bawah. Dia bisa naik kapan saja!" Wajah Cintya berubah dingin seketika. Ia menempelkan tubuhnya makin dekat ke Revan. Suaranya menurun, seperti bisikan mengancam. "Dia tidak akan tahu, mas. Dan satu lagi…" jemarinya menempelkan telunjuk ke bibir Revan, "jangan pernah panggil aku Bu kalau kita sudah di atas ranjang." "Tapi, Bu—" "Syutttt…" Cintya mendesis, menekan bibir Revan dengan jarinya. Ia lalu menyeringai miring, mengambil ancamannya sebagai senjata pamungkas. "Uang sudah kamu terima, kan? Perjanjian harus segera dilaksanakan. Kalau tidak…" ia mendekatkan bibir ke telinga Revan, berbisik penuh ancaman, "istri kamu akan tahu kalau uang itu bukan pinjaman, tapi uang tanda jadi kita." Revan tercekat. Wajahnya pucat, jantungnya berdentum keras. Ia ingin berteriak, ingin kabur, tapi bayangan Aruna mengetahui semuanya membuat lututnya lemas. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Bertahan berarti dosa. Menolak berarti kehancuran rumah tangga. Ia terjebak. Cintya semakin mendesak, kedua tangannya sudah berusaha membuka kancing baju Revan. Revan menahan, tapi tenaganya goyah oleh ancaman itu. °°° Sementara itu, di bawah sana… Aruna tersenyum lebar. Dengan wajah penuh ketulusan, ia mengaduk nasi goreng di wajan. Aroma harum menyebar ke seluruh dapur. "Masak lebih aja, biar ada buat mas Revan juga," gumamnya penuh kasih. Dengan cekatan ia menambahkan irisan cabai dan telur dadar. Lima menit kemudian, nasi goreng tersaji hangat di atas piring besar. "Ahhh, sudah selesai. Aku harus balik ke kantor. Biarkan saja mas Revan cari tikusnya di atas." Aruna menaruh piring di meja, lalu merapikan barang-barang. Ia sama sekali tak menyadari bahwa di lantai atas, suami yang begitu ia cintai tengah berada di ujung maut perselingkuhan Aruna bahkan masih sempat tersenyum kecil sambil berkata pelan, "Bu Cintya kan sudah menikah, jadi nggak mungkin lah mendekati mas Revan." Betapa polosnya ia—tak tahu jika senyum manisnya sedang dibalas pengkhianatan di balik pintu kamar atas.Aruna sudah kembali di kantor. Tepat jam istirahat, ia melangkah ke kantin. Suara riuh pegawai yang sedang makan siang dan aroma masakan dari dapur menciptakan suasana yang khas. Ia menarik napas panjang sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat."Ahhh, capek juga," gumam Aruna sambil memijat pundaknya yang pegal.Dari sudut kantin, seorang rekan kerja sekaligus tetangganya melambaikan tangan."Runa, sini kita makan bareng!" serunya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Aruna berjalan mendekat, namun matanya menelusuri seisi ruangan, mencari seseorang."Kalian ada yang liat Lita nggak?" tanyanya begitu duduk.Salah satu teman mereka yang tengah mengaduk sambal dengan sendok plastik menoleh cepat, wajahnya masam."Gak tau. Si pemalas itu mending dipecat aja. Malas kerja, cuma makan gaji buta."Aruna tertegun sejenak, lalu tersenyum kaku. Ia mencoba meredakan suasana."Nggak boleh ngomong gitu, kita makan aja yuk," ujarnya, menyodorkan kotak makan yang baru dibuka.Namun
"Nggak usah tegang gitu mas, mau nggak?" bisik Cintya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Revan. Aroma parfum menyengat dari tubuhnya menusuk hidung. Dengan sengaja ia mengambil tangan Revan, menaruhnya di atas squishy miliknya yang terpantul jelas dari piyama tipis dan ketat yang dipakai. "Suami saya udah tua, nggak bisa puasin saya. Makanya saya nyuruh kamu. Revan..." suaranya bergetar nakal. Sebelum Revan sempat menolak, Cintya makin berani. Ia menggiring tangan Revan masuk ke dalam belahan piyamanya. Kulit hangat terasa di ujung jari Revan, membuat tubuhnya refleks menegang. Detik itu, dada Revan berdegup kencang. Ia ingin menepis, tapi tubuhnya kaku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Namun tepat saat momen itu semakin memanas, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Ctak… ctak… Cintya terperanjat. Dengan wajah panik, ia buru-buru turun dari pangkuan Revan. Napasnya masih terengah, piyamanya sedikit kusut karena ulahnya barusan. Pint
Keesokan harinya, Revan dan Aruna berangkat kerja bersama menggunakan motor tua kesayangan mereka. Udara pagi masih terasa sejuk, jalanan belum terlalu ramai, hanya beberapa orang terlihat sibuk menuju tempat kerja masing-masing. Sesampainya di dekat gedung tempat Aruna bekerja, Revan melambatkan laju motor. "Mas cuma bisa antar kamu sampai sini ya, soalnya tempat kerja mas udah bukan di arah sini lagi," ujar Revan pelan. Aruna tersenyum, lalu menepuk lembut bahu suaminya. "Hi hi iya mas, hati-hati di jalan ya. Jangan nakal-nakal." Revan menoleh sekilas, ekspresinya serius tapi ada guratan manja di wajahnya. "Nggak akan. Orang mas cinta mati sama kamu." Aruna menunduk malu, kemudian turun dari motor. Ia meraih tangan suaminya, menciumnya penuh hormat. "Kalau gitu, Aruna pergi dulu ya." Namun tangan Revan menahan. "Ada yang kurang," katanya dengan suara genit. Aruna mengernyit bingung. "Apa?" Revan tersenyum penuh arti, lalu mendekatkan wajahnya. "Lihat saja." Cup! Kec
Tangannya sempat buru-buru ia rapikan wajahnya agar tidak terlihat panik. “Eh, Bu Cynthia,” sambut Aruna dengan senyum ramah setelah membuka pintu. “Mari masuk.”Cynthia melangkah masuk dengan anggun. Wangi parfumnya langsung menyebar, menyisakan kesan elegan. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Revan yang berdiri agak canggung di sisi meja. Ada senyum tipis yang samar, hanya sekejap, tapi cukup menusuk bila ada yang jeli memperhatikan. Aruna sama sekali tidak menyadari tatapan. Ia sibuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menawarkan duduk. “Silakan, Bu.” “Maaf mengganggu,” ucap Cynthia sembari duduk manis di sofa, meletakkan tasnya di pangkuan. “Tapi kedatangan saya ke sini untuk memberi tahu kabar baik. Mas Revan naik jabatan.” Aruna spontan menoleh ke suaminya dengan wajah berbinar. “Ini serius?” suaranya penuh semangat, seolah ada beban yang terangkat. “Iya, Aruna.” Senyum Cynthia meluas. Ia melirik Revan sejenak sebelum kembali menata
"Bisa kamu melayani saya?" Revan seketika bingung, dadanya terasa sesak. Ia menatap Cyntia yang duduk anggun di depannya, dengan gaun ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Suara tawaran itu seperti petir yang menggelegar di kepalanya. Dalam hatinya, ia tak ingin menyakiti Aruna, istri yang sangat ia cintai. "Jaminannya hutang kamu lunas, dan aku berikan bonus uang 10 juta," lanjut Cyntia sambil menyilangkan kaki. Kaki jenjangnya bergerak pelan, seakan disengaja untuk membuat Revan makin salah tingkah. Tawaran itu membuat pikiran Revan makin kacau. Ia menelan ludah, tangannya mengepal di atas lutut. "Jika aku menerima tawaran ini, Aruna pasti akan kecewa," pikirnya. Cyntia tersenyum nakal, senyum yang berbahaya. Ia lalu berdiri, melangkah perlahan ke arah Revan. Tumit sepatunya berdetak di lantai, menciptakan irama yang membuat jantung Revan berdetak makin kencang. "Tenang saja, dia tidak akan tau. Hanya kita berdua yang tau," ucapnya lirih, sebelum tangannya y







