Share

2. Dokter Alex

.

.

Aila ini berasal dari Surabaya, semua keluarga Aila di Surabaya.

Aila bisa menikah dengan Rendy karena keinginan ibunya Rendy dan ibu Aila yang ternyata teman dari SMA. Rendy anak yang manja tapi penurut, jadi dia mau-mau saja menikah dengan Aila, apalagi Aila masih cantik, terawat dan tidak segendut sekarang waktu itu.

Aila sendiri tidak memiliki perasaan pada Rendy, dia juga menikah karena terpaksa, menurut ibunya, dia sudah perawan tua, sudah 26 tahun belum menikah, ibunya merasa diumur segitu dan Aila belum menikah itu memalukan baginya.

Aila memarkirakan motor di parkiran alun-alun kota, dia pun jalan-jalan di sana, kemudian duduk, melihat orang-orang dan anak-anak kecil bermain.

Air mata kembali turun tanpa di perintah.

Meski tidak ada rasa cinta dalam pernikahan itu, namun... rasanya sakit sekali mengetahui suami selingkuh dengan ibu tirinya sendiri.

“Aila? Ini Aila kan?”

Aila buru-buru menghapus airmatanya, kemudian menoleh pada asal suara, melihat siapa yang menyapa, Aila pun tersenyum tipis.

“Pak dokter, halo...” sapa Aila.

Pria yang Aila panggil pak dokter pun duduk di samping Aila, “kebetulan kita ketemu disini, Aila, kok sendirian aja? Gak sama suami?”

DEG!

Mendengar kata ‘suami’ membuat Aila merasa tidak nyaman, kemudian Aila pun menggeleng pelan dan tersenyum tipis.

“Enggak dok, suami saya baru saja pulang kerja, dia lelah” jawab Aila.

“Masih jam tujuh lho, masa udah capek, sampe kamu jalan-jalan sendiri?”

Aila hanya tersenyum tipis, kemudian dia memutar otak untuk mencari bahasan lain, agar pak dokter bernama Alexander itu melupakan tentang suami brengsek Aila.

“Pak dokter sendiri, kenapa ada di alun-alun?” tanya Aila.

“Pekerjaanku udah selesai dan aku ingin melihat-lihat suasana disini, magangku hampir selesai disini, dan aku baru sadar jika aku belum keliling kota sama sekali” ucap Alex.

Aile melongo mendengarnya, “tunggu, pak dokter magang? Bukan dokter di rumah sakit?”

Alex terkekeh mendengarnya, “apa aku terlihat setua itu sampai kamu pikir aku dokter senior?”

Aila menunduk, merasa bersalah, tapi Alex malah terkekeh melihat tingkah lucu Aila.

“Haha, tidak apa, aku emang keturunan bule sih, muka ku boros banget ya? Aku masih 28 tahunan lho, masih magang, bentar lagi lulus kuliah, doain ya?”

“Belum lulus?” tanya Aila lagi, membuat Alex kembali tergelak.

“Kamu pikir kuliah kedokteran itu secepat jurusan lain? Kami butuh bertahun-tahun untuk lulus, malah jika mau lanjut mengambil spesialis tertentu, kami harus menambah kuliah lagi lho. Tapi, aku ini dulu loncat kelas, jadi sekarang aku sudah mengambil spesialis jantung, magang disini adalah permintaan dosenku untuk syarat kelulusan. Dosenku orang sini dulunya, tapi sekarang menetap di Jakarta” ucap Alex.

“Ah, apa baik-baik saja untuk menceritakan masalah dokter pada saya?” tanya Aila.

“Kenapa? Itu bukan hal yang perlu dirahasiakan, jika kamu ada pertanyaan juga, aku akan berusaha menjawabnya.”

“Kalau begitu saya punya pertanyaan, dok!”

Alex tersenyum, “bukankah di sekitar sini ada cafe? Ayo kita bicara di cafe, saya lapar nih.”

Tepat setelah Alex berkata seperti itu, perut Aila sendiri juga berbunyi.

“Haha, kebetulan sekali ya, Aila?”

“Ugh, dokter jangan ngetawain saya!” Sungguh, Aila sangat malu karena ketahuan dirinya sedang kelaparan.

“Oke deh, sebagai permintaan maaf, saya akan traktir kamu, gimana?”

“Setuju, dok!”

“Panggil aja Alex, kamu umur 27 kan? kita umurnya hampir sama, santai aja.”

Aila tersenyum kecil, “kalo gitu... Alex.”

“Gitu dong!”

Merekapun pergi menuju yang ada di dekat sana. Di sekitar alun-alun, banyak sekali yang menjual makanan, mulai dari corndog, kebab, boba, dan lain-lainnya. Jujur saja, Aila jadi ingin membeli semua. Namun, setelah ingat dia ingin diet, dia pun mengurungkan niatnya tersebut. Makan dengan Alex saja sudah pasti akan meningkatkan berat badannya, mengingat saat itu sudah jam tujuh malam lebih sepuluh menit.

Makan diatas jam enam tidak baik jika mau diet.

Padahal, Aila tidak banyak makan, dia juga selalu bergerak. Tapi, tubuhnya tetap saja bengkak dan tidak terawat.

Ngomong-ngomong, apa Alex tidak malu, ya, jalan dengan Aila?

Aila melirik pada Alex yang jalan di sampingnya, dia terlihat tidak terganggu sama sekali. Padahal, Alex menjadi pusat perhatian.

Alex itu sangat mencolok, dia memiliki tinggi badan sekitar 186 cm, tubuhnya gagah dan tegap, kulitnya putih, wajahnya tampan, hidungnya mancung, bibirnya merah alami.

Dia sangat tampan.

Terlihat jelas jika Alex ini bukan berasal dari keluarga biasa, dia kelihatannya juga sangat cerdas.

Aila menyukai Alex, bukan suka yang mengarah pada romansa, tapi suka sebagai – apa ya? Pokoknya suka saja. Alex itu sangat berbeda, dia ramah, tidak suka membedakan pasien. Pernah ada pasien yang harus segera di operasi, namun tidak memiliki uang maupun bpjs, lalu Alex membayarkan uang mukanya demi pasien tersebut.

Aila mengenal Alex karena Alex yang merawat ayah mertuanya. Karena Alex sangat ramah, jadi mudah saja dia berkenalan dengan Aila.

Aila juga tidak terlalu merasa spesial mengenal Alex, karena Alex juga ramah pada keluarga pasien yang lain.

“Aila, soto itu enak gak sih? Aku belum pernah nyoba” tanya Alex, sambil membaca menu untuk menentukan apa yang akan dia pesan.

“Mungkin bagi yang belum pernah mencoba enak, tapi bagiku yang sudah terlalu sering memakannya, itu membosankan...” jawab Aila.

“Ah, aku mengerti... seenak apapun makanan, jika kamu terlalu sering memakannya, kamu akan muak, iya kan?”

Aila hanya tersenyum, kemudian memesan jus alpukat saja, tidak ada menu makanan yang membuatnya tertarik. Tapi, karena Alex memaksanya memesan makanan, akhirnya Aila pun memesan ayam goreng bumbu pedas saja, sedangkan Alex jadi memesan soto.

“Apa yang ingin kamu tanyakan, Aila?” tanya Alex.

“Itu dok, apakah mertua saya masih bisa diselamatkan?” tanya Aila.

Alex terlihat berpikir sejenak, sebelum kemudian menjawab, “itu agak sulit Aila, sebagai dokter, aku bisa saja mengatakan untuk berusaha sebaik mungkin, tapi keadaan mertua Aila cukup parah, apalagi penyakitnya tidak hanya satu... lalu, ada yang aneh juga dengan ayah mertuamu” ucap Alex.

“Oh ya? Apa itu?”

“Mohon jangan marah ya, aku hanya agak curiga dengan apa yang mertuamu makan, karena saya menemukan semacam racun saat mengecek darahnya.”

Ucapan Alex membuat Aila terkejut.

Racun?

“Tapi saya hanya memasakkan sesuatu yang sehat dok, sama perssis seperti yang dokter sarankan, jika ayah sakit, harusnya semua orang dalam rumah ikut sakit kan dok?” tanya Aila.

Alex mengangguk, “itu benar juga, aku sendiri percaya kamu tidak mungkin meracuni mertuamu kan? kamu kelihatannya tulus sekali, tapi – siapa yang memberikan obat pada mertuamu? Apa itu bukan kamu? Jika bukan, tolong, biar kamu saja yang merawatnya” ucap Alex.

Aila hanya menunduk, saat itu makanan berdatangan. Aila mulai makan sambil berpikir.

Dia tidak mungkin mengatakan jika Sari lah yang memberikan obat setiap hari, karena dia kan istrinya. Sari juga yang bertugas menyuapi ayah mertuanya. Jika hal itu Aila juga yang mengurusi, maka dia semakin tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri.

“Oh iya Aila, ini” Alex menyodorkan smart phone mahalnya.

“Maksudnya?” tanya Aila bingung.

“Aku minta nomormu, agar bisa menghubungimu jika ada sesuatu, mungkin lebih baik kamu juga memiliki nomorku kan?”

Aila mengambil ponsel itu, lalu mengetikkan nomornya, “sudah dok, ini ponsel saya... minta nomor dokter.”

Tanpa Aila ketahui, tetangga julidnya, Nina yang sedang jalan-jalan dengan pacar barunya pun melihat Aila.

Dia pun menghentikan pacarnya, lalu memotret Aila yang sedang makan bersama pria tampan.

“Sialan si gendut! Kok bisa dia selingkuh sama cowo bule ganteng?” gumam Nina kesal.

“Kenapa Ay?” tanya pacar Nina.

“Enggak Ay, itu ada tetanggaku selingkuh, aku mau buat dia malu, udah ku foto, jalan yuk!”

Nina pun puas sudah mengirimkan foto Aila pada Sari.

.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status