Nala tampak sibuk mengetik. Ia memperhatikan dengan teliti hasil pemeriksaan yang telah Rizal lakukan, dan telah divalidasi May. Hari ini, jadwal jaganya bersama May dan Rizal. Dan Anya, tentu saja. Namun, karena secara harfiah rumah sakit ini adalah milik ayah putri bling-bling, sampai pukul sembilan lewat, tak ada tanda-tanda kedatangan dari putri bangsawan itu.
“Apa yang harus kita lakukan dengan apusan darah?” tanya Nala. Ia hanya mengetik hasil darah lengkap tanpa evaluasi yang diminta Ferdian. “Apa pemeriksaan itu memang harus dilakukan oleh dokter?”May mencicit. Ia sudah merasakan beban berat yang menyongsongnya di masa depan tatkala dokter yang menangungi unit tempat ia bekerja susah dihubungi.“Aku sudah berusaha semaksimal mungkin menghubungi dokter itu.” semaksimal yang dimaksud adalah menelepon nomor yang tidak aktif. “Aku tidak tahu lagi harus bagaimana.”“Apa tidak bisa kau lakukan saja? Memangnya harus dokter?”“Harus, donHari sudah malam. Rumah sakit tampak masih ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipun terbilang baru, dengan pengaruh Hartono dan keluarga Triadmodjo lain, rumah sakit itu mendapatkan atensi dari banyak pihak. Selain karena kemegahan bangunan dan fasilitas yang lengkap, dokter yang terpilih pun juga punya jam terbang tinggi dan merupakan lulusan terbaik. Citra yang baik sengaja diciptakan dengan menjadikan harga pelayanan dapat dijangkau seluruh kalangan. Bagi yang tidak mampu dan tak punya asuransi, yayasan akan turun tangan membantu.Sungguh mulia. Sky mengakui kehebatan ayahnya dalam menciptakan skema malaikat tak bersayap kaya raya tak berdosa. Kalau ibunya masih ada, mungkin hal itu akan terwujud tanpa dikotori oleh perdagangan narkoba yang berdampak buruk bagi masyarakat. Membayangkan raut muka ibunya kalau melihat pria yang ia cintai sampai mati itu menjadi tak terkendali, membuat perasaan Sky tercabik-cabik. Hati kecilnya sedikit lega mengingat keberadaan ibunya yang sudah
Nala memutuskan mengantarkan Bayu ke sekolah hari ini. Tidak dengan mobil, namun menggunakan vespanya. Blue belum pulang dari semalam, yang tentu tak membuat wanita itu khawatir. Perasaannya masih sama riangnya seperti kemarin.Sedangkan kari yang dimakan Bayu hari ini, sudah bergejolak di dalam perut. Otot perut bocah itu menegang, sejalan dengan kegugupannya menghadapi hari-harinya di sekolah.Nala yang masih bersemangat, melewatkan perubahan yang terjadi pada anaknya.“Bayu besok mau kari lagi?” tanya Nala, setengah berteriak. Tak sama saat bercakap-cakap di dalam mobil, telinga mereka harus bertarung pula menangkap suara di antara desing motor dan angin kencang jalanan.“Aku juga mau sus cokelat!!” teriak Bayu. Meskipun mulutnya terasa pahit.“Bilang pamanmu, kalau itu.”“Sudah, semalam.”Begitu mereka sampai di depan gerbang sekolah, Bayu turun. Nala membantunya melepaskan helm.“Apa sekolahmu lancar?”
Nala tidak tahu kalau hari ini Anya masuk. Bahkan, putri bling-bling itu sudah leha-leha dan petantang petenteng menaikkan kedua kakinya di meja komputer sambil mengagumi kukunya yang dihias cantik dan berkilau. Pakaiannya menyembul di balik jas dokternya yang panjang, sebuah terusan celana berwarna merah muda dan bertabur gliter.Nala bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah sehari tanpa berpenampilan bling-bling membuat Anya sesak nafas?“Oh, hai!” Anya menyapa Nala yang terbengong-bengong di depan pintu. “Masuk aja, jangan sungkan.”“Eh, iya, dok.”Nala bergegas melewati Anya. Ia mencari May dan seseorang yang berjaga pagi ini. Di ruang ganti, ia mendapati Daniar dan May sedang bercakap-cakap.“Sedang apa kalian disini?” tanya Nala, sambil mengganti bajunya.“Mengobrol, kurang lebih.” jawab Daniar, sekenanya. Ia menggelengkan kepala, seolah memberi isyarat kalau sudah muak dengan keberadaan Anya yang menyabotase ruang admin sambi
Bayu mempertanyakan keahliannya dalam merencanakan sesuatu. Deduksi dan analisisnya selalu benar, atau mendekati setidaknya. Blue hanya pernah menambahi dan mengoreksi sedikit apa yang pernah Bayu selesaikan ketika mereka sedang menjalankan sebuah misi.Tentu saja, merusak harpa mahal dalam satu kali tendangan jarak jauh langsung masuk daftar panjang kesuksesan bocah itu. Membuat Bayu misuh-misuh.“Alih-alih mengumpat..” ujar Aldo, yang tiba-tiba menyembul dari belakang Bayu. “.. aku pasti akan menangis sih.”“Kau ingin aku bereaksi apa dengan lelucon itu?”“Aku tidak sedang melucu, Bay. Tapi aku lebih menyukai..” bocah gembul itu mengayunkan tangannya di depan wajahnya. “..ya, sepertinya, ada bagusnya kalau kau operasi wajah saja.”“Oh, waw, bagus. Aku kehabisan kata-kata.”“Kau pasti tidak pernah tahu kekejaman apa yang akan terjadi di dalam ruang kepala sekolah kita.”Bayu terhenyak. Ia memperhatikan raut wajah Aldo yang pucat, seolah ia yang sudah bersalah melakukan hal bodoh tak
Mula-mula, seluruh ruangan berteriak panik. Setelah pelaku tumbang (alasan terbesarnya karena bobot pendingin ruangan), sorak sorai menyelimuti IGD. Ada dua wanita tua yang ikut bertepuk tangan meriah padahal sudah dipasangi penghalimun.Saat Ferdian mendekati Nala, beberapa satpam dengan cekatan meringkus pelaku.“Kau tidak apa-apa?” bisiknya. Ia memperhatikan setiap jengkal tubuh istrinya dengan hati-hati, khawatir setetes darah tiba-tiba mengalir. “Aku bisa membuatnya hidup dalam kesakitan selamanya kalau terjadi hal yang tidak-tidak padamu.”Nala mengangguk, mengisyaratkan kalau keadaannya cukup stabil. Meskipun degup jantungnya tak beraturan karena ini pertama kalinya ia menggunakan senjata api, ekspresinya masih bisa ia kontrol. Wajahnya juga kemerah-merahan melihat Ferdian begitu dekat dengannya.Sambil menarik Nala menepi, Ferdian membersihkan sisa bubuk residu yang menempel di pakaian istrinya itu. Sebuah hal yang sia-sia, namun secara im
Bayu meraih tangan gurunya. Tanpa sengaja, ia meremasnya agak kuat sampai menarik perhatian pemilik jemari.“Kau takut?”Bu Dewi memelankan langkah kakinya. Mereka melewati lorong sekolah yang sepi menuju gedung kepala sekolah.“Apa bu guru pernah dengan penuh kesadaran berjalan mendekati tartarus?”Senyum tipis menghiasi wajah wanita itu. Ia menggigit bibir.“Ibu tidak pernah berniat mati untuk pergi ke tartarus.”“Semua aparat keamanan akan mati di dalam tartarus.” Bayu bersikeras. “Tempat penuh api yang menakutkan, dengan monster yang sanggup menguliti setiap manusia dengan rasa sakit dan penderitaan. Tanahnya bisa membakar setiap jengkal jaringan di dalam tubuh sampai menghitam sebelum menjadi abu. Dan akan terus begitu dalam keabadian.”Bu Dewi menghentikan langkahnya. Bola matanya menyelami kedua mata Bayu yang gemetaran. Wanita itu mencium rasa takut dari tubuh kecil itu.“Kenapa kami harus mati di dalam
Nala berdiam diri agak lama di ruangannya. Seluruh pekerjaannya sudah selesai dikerjakan. Tak ada pemeriksaan yang belum atau sedang dalam pengerjaan. Kalau dalam sepuluh menit tak ada pasien baru yang masuk dan diharuskan menginap, Nala bisa pulang.Tidak. Seharusnya sudah sepuluh menit yang lalu ia bisa meninggalkan rumah sakit. Bahkan, Anya sudah tak diketahui keberadaannya sesaat setelah istirahat makan siang dimulai. May dan Daniar juga sudah tengah bersiap-siap pergi, dan Syahrul juga sudah datang dan sedang bermain game di ruang ganti.Nala, masih mengenakan pakaian ruangan, masih meratapi layar komputer. Perasaannya kalut.“Kau tidak pulang?” May muncul dari pintu pemeriksaan menenteng tas. Daniar mengekor di belakangnya.“Aku.. ya. Setelah ini.” Nala menekan perutnya, berpura-pura menahan sakit. “Aku agak sembelit.”Kedua rekannya mengangguk seolah mengerti, dan berlalu. Kedua bola mata Nala mengikuti bayangan mereka menghilang d
“Apa yang terjadi padanya?” Blue kelabakan. Ia lantas memeluk Bayu yang tengah terbaring lemas sambil sayup-sayup mengerjapkan mata. Bibirnya tampak pucat, dan sesekali menyedot ingus. Bu Dewi berdiri di samping ranjang bocah itu sambil membenarkan posisi infus.“Karena ketahuan merusak harpa, Bayu dipanggil kepala sekolah, Pak. Saat Bu Anggi berteriak, saya sudah mendapati anak bapak tergeletak tak berdaya di atas karpet.”Blue menghela nafas. Ia jengkel dengan kelakuan kakaknya yang dengan sengaja menyeret bocah berusia sepuluh tahun pada misi berbahaya sendirian.“Kau tidak apa-apa, kan, jagoan?” suara Blue membelai telinga Bayu yang lemah. Bocah itu menatap pamannya lekat-lekat.“Aku tidak apa-apa, sih..” gumamnya. “Tapi, jangan beritahu pria itu, oke?”“Terlambat. Aku sudah menghubunginya.”Mata Bayu membulat. “Tapi, kan, Ayah.. maksudku, ya.. itu.. kan sedang sibuk bekerja.”Blue merapikan selimut dan menata bantal Bayu. Bocah itu menurut. Ia tak terlalu kesal atas keputusan sep