Bayu sudah terlelap saat senja datang. Nala menghisap rokoknya di balkon kamar sambil melihat lampu kota bertebaran. Bau lembab mulai memasuki paru-parunya, berlomba dengan asap rokok yang menusuk. Angin menerbangkan rambutnya.
Nala berusaha tak memikirkan apapun. Ia berjuang keras untuk menyuruh otaknya beristirahat. Ada banyak hal yang sudah terjadi belakangan ini, membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam semalam, sepuluh tahun yang lalu.Nala berdiri anggun, memantapkan posisi dan bernafas tanpa suara, menikmati petang di ibukota. Meskipun dalam kondisi tenang, benaknya tetap berteriak mengagungkan sebuah nama.Bram.“Nala..”Nala menoleh. Blue membawa dua cangkir teh panas dan menaruhnya di meja terdekat. Ia menyalakan rokoknya, dan berjalan ke tempat Nala berdiri.“Hari ini makan malamnya apa?”“Sepertinya menu khususnya kepiting. Aku alergi makanan laut, jadi kita pesan layanan kamar saja.”Sebenarnya, Nala tahu kalau hotel pasti sudah menyiapkan menu lain selain kepiting. Tapi Nala juga malas turun dan makan bersama tamu-tamu lain. Jadi, ia setuju dengan ide Blue.“Blue, soal ciuman itu..”“Hei, aku sudah bilang kalau aku tidak apa-apa, kan?”“Tidak.” sahut Nala. “Aku yang ada apa-apa.”Blue terpaku. “Eh? Apa maksudmu?”Nala menoleh, menatap Blue yang sedang kebingungan. Ia menatap Blue lekat-lekat. Bagaimanapun, ia masih seorang wanita yang membutuhkan sosok lelaki, sekalipun ia mencintai Bram. Kehadiran Blue yang mirip dengan Bram, malah membuat Nala goyah.“Aku melihat sosok Bram ada padamu.”“Aku, kan, adiknya. Kau yang benar saja. Tentu saja kami mirip.”“Iya.” kata Nala. “Aku tahu. Karena itu..” Nala menarik Blue. “Aku masih seorang wanita dengan nafsu membara, kau tahu? Sepuluh tahun, tanpa suami yang menyentuhku, dan sekarang aku melihat sosok suami itu pada orang lain, menurutmu..?”Nala mengucapkan kalimat itu nyaris berbisik. Blue merinding. Ia merasakan darahnya berdesir. Ada sebagian otaknya yang mengolok-oloknya agar menolak tawaran tersirat Nala yang membuatnya akan dipukul abangnya.Tapi, sebagian otak lainnya mengakui keseksian Nala yang tak mungkin ditepis.Sebenarnya, kalau saja Nala bukan istri Bram, Blue pasti juga sudah takluk padanya. Siapa yang bisa menolak gadis dengan tubuh semampai, rambut panjang lurus terurai dengan wajah kecil dan bibir mungil yang ranum? Bahkan, meskipun sudah melahirkan, tubuh Nala tetaplah bagus dan bentuk tubuhnya adalah tipe kesukaan Blue.“Kau.. kau mau aku..?”Nala menatap mata dan bibir Blue bergantian. “Daripada kau mencari gadis lain untuk memuaskan nafsumu, kenapa kita tidak saling memuaskan?”“Kau tidak gila kan, Nala?”Nala cekikikan. “Sebenarnya aku sudah meminum setengah botol wiski barusan.”Blue menghela nafas panjang. Tentu saja Nala tidak benar-benar tertarik padanya. Nala sedang mabuk.“Aku tidak tidur dengan wanita mabuk.”“Bohong.” sanggah Nala. “Wanita-wanita yang kau bawa, semuanya bau alkohol.”Blue mendorong Nala agar menjauh. “Tapi aku tak pernah berhubungan lagi dengan mereka. Sedangkan aku harus tetap bersamamu sampai kakakku, Sky, ditemukan.”Nala menarik kaos Blue dan menciumnya. Ia mencium Blue cukup intens sampai Blue kesulitan mengambil nafas dan mengatur detak jantungnya.“Na..” Blue berusaha melepaskan ciuman itu. “Nala..”“Kau kan tahu kalau aku akan melupakan seluruh kejadian yang terjadi selama aku mabuk.”Blue termenung sejenak. Benar juga. Nala memang punya kebiasaan unik. Ia bertingkah tetap waras saat sedang mabuk. Bahkan, orang lain tak akan pernah sadar kalau Nala sedang mabuk saking normalnya ia bertindak. Satu-satunya perbedaan Nala sedang mabuk atau tidak bisa diketahui saat pagi menjelang.Kalau Nala tidak ingat sama sekali kejadian semalam, itu tandanya, Nala benar-benar mabuk.Otak Blue yang masih waras kalah telak. Ia akhirnya menarik wajah Nala dan menciumnya. Mereka berciuman sambil berusaha menutup tirai balkon agar Bayu tak melihatnya. Blue menyandarkan Nala ke satu sudut, tepat di samping pintu dan memojokkannya. Tangannya meraba seluruh tubuh Nala, dan Nala membantunya melepaskan celana.Setelah mereka berdua sudah setengah telanjang, Blue mengecup dada Nala. Nala membiarkan Blue memainkan jari di bagian intimnya. Mereka berusaha sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan suara desahan agar Bayu tak terjaga dari tidurnya.Seperti sengatan listrik, Nala merasakan darahnya mengalir deras. Lonjakan itu membuatnya mendorong Blue dan membuatnya jatuh terlentang di atas lantai. Nala menaiki tubuh Blue, dan memposisikan dirinya. Blue menggigit bibir tatkala Nala menurunkan pinggulnya. Mereka sama-sama berusaha agar tidak mendesah terlalu kencang.Blue memeluk Nala. Mereka beradu kehangatan di tengah semilir angin menjelang malam. Blue merasakan aliran darahnya membuncah. Ia merasakan dada Nala di kulitnya.Nala menciumi leher Blue, membuat Blue semakin kencang menggerakkan pinggul Nala. Blue meremas pantat Nala sambil mempertahankan ciumannya. Lidah mereka beradu. Permainan itu berlangsung sampai keduanya merasakan sensasi panas dan geli yang melebur menjadi satu dalam kenikmatan paripurna. Blue menarik pinggul Nala sesegera mungkin, dan lemaslah mereka berdua. Nala menjatuhkan kepalanya di pundak Blue, tertidur.Blue terengah-engah. Ia tak mengerti apa yang sudah ia lakukan barusan. Ia ini resmi menjadi selingkuhan kakak iparnya. Tapi, Blue tak bisa menepis kalau saat itu, ia baru saja mendapatkan pengalaman seksual fantastis yang tak pernah ia dapatkan bersama wanita lain.“Sialan..” bisik Blue lirih, sambil memperhatikan lantai di bawah tubuhnya terasa licin dan becek.“Hoahmm..”Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”“Kayaknya, sih, begitu.”Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”“Paman sudah pergi daritadi.”“Eh? Kemana?”Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”“Kenapa?”“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang bel
Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan. Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam. Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, ya
Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibar
Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa
Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke
Ini adalah hari pertama Bayu menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Ia, bersama Nala, tidak ada yang jago berakting seperti Blue. Setidaknya, Bayu masih jago menjaga mimik wajahnya agar tidak terdeteksi lawan bicaranya. Kalau sedang dalam keadaan bermain peran, Bayu tidak banyak bicara dan bersikap manja. Ia menggelayutkan badannya ke lengan Nala, seperti yang ia lakukan sekarang.Bayu sudah memakai seragam merah putih yang sudah dicarikan Blue beberapa hari yang lalu. Karena tubuh Bayu agak tinggi dari siswa kebanyakan, Blue memilih menjahitkannya ke seorang kenalan. Saat ini, Bayu tampak seperti bocah SMP yang tinggal kelas dan terpaksa mengulang kelas 4 SD lagi tahun ini.“Apa kurikulum anak SD sekarang?” bisik Nala.“Kalau aku tidak salah ingat, untuk matematika masih membahas KPK dan FPB. Operasi hitung campuran, mengukur sudut sederhana dan pecahan.”Nala terganggu dengan kata ‘sederhana’ yang diucapkan oleh Bayu. “Ibu tahu Bayu sudah meng
Buk!Nala menutup pintu mobil dengan kesal. Ia sudah mencium Bayu secukupnya sebelum memutuskan pergi dari cengkraman Bu Anggi, kepala sekolah narsistik.“Ada apa? Kau habis bertemu siapa?” tanya Blue.Nala merebut botol kecil berisi wiski dari tangan Blue, dan menegaknya sekaligus.“Hei! Itu bekal makan siangku nanti.”“Nanti kuganti.” tukas Nala. “Kau yang benar saja. Masa’ tidak menyelidiki tempat ini terlebih dulu?”Blue menghela nafas panjang. Kali ini, ia tahu permasalahannya. “Kau sudah tahu ya?”“Tentang apa? Tentang sekolah ini milik Elang Grup, atau tentang kepala sekolah yang narsis?”“Eh? Apa?”“Lupakan!” sergah Nala. “Kenapa tidak kau beritahu kami, setidaknya aku, kalau sekolah ini juga antek-antek Elang Grup?”“Maafkan aku. Kupikir lebih nyaman kau tidak tahu.”“Aku jauh dari kata nyaman, kau tahu!” Nala bergidik mengingat kembali sikap penuh penekanan Bu Anggi. “Apalagi
Bayu memasuki ruang kelasnya setelah Bu Anggi dan Nala pergi. Kelas Bayu cukup luas, berada di lantai empat, selisih dua gedung dari gedung guru dan kepala sekolah. Dinding kelas dipenuhi dengan cat putih dan biru muda yang kalem, memantulkan cahaya lampu yang bekerja tidak terlalu keras karena sinar matahari menerobos masuk. Satu sisi dinding yang menghadap lapangan, terbuat dari kaca tebal yang transparan. Bayu bisa melihat kotanya yaang dipenuhi gedung pencakar langit, dan mengintip anak kelas tiga bermain kasti di lapangan sekaligus dari sana.Di tengah ruangan, terdapat meja besar yang terbuat dari kayu jati kokoh dan gelap, diamplas dan dipernis sedemikian rupa sampai halus dan mengkilap. Di atasnya terdapat layar sentuh canggih, memantulkan gambar-gambar ilustratif macam-macam hewan-hewan bersimbiosis. Sebuah kanvas putih elektronik yang menempel di dinding di belakangnya, membuat gambar-gambar itu tampak menonjol dan atraktif. Di sisi l