Share

Bab 7: Apakah kami akhirnya menetap?

“Hoahmm..”

Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.

“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.

Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”

Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”

“Kayaknya, sih, begitu.”

Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”

“Paman sudah pergi daritadi.”

“Eh? Kemana?”

Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”

Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”

Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”

“Kenapa?”

“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang belum pulang sejak kemarin malam.”

Bulu kuduk Nala berdiri, khawatir dengan otak Bayu yang punya pemikiran tajam dan kritis. Dalam hati, ia berdoa agar kepintaran Bayu membawanya ke tempat yang benar kalau sudah besar nanti.

“Ya, sudah. Ayo kita turun. Bayu belum sarapan, kan?”

Bayu menekuk ujung halaman buku yang sedang dibacanya, dan menutupnya. Ia menyingkap selimut dan mengikuti Nala bersiap-siap.

“Kita benar akan pindah?” tanya Bayu, di sela-sela mereka menunggu lift terbuka.

“Karena jarak hotel ini dan rumah sakit lebih dari setengah jam, sepertinya memang harus cari hotel baru.”

“Kenapa tidak sewa rumah saja?”

Nala menimbang-nimbang keputusan itu. “Ibu tidak terlalu suka hidup bertetangga. Akan repot kalau sering ada sosialisasi dan biasanya orang-orang suka ikut campur masalah orang lain. Ibu tidak ingin pamanmu ketahuan.”

“Ya, paman agak konyol.” Bayu tampak sepakat. Matanya tampak waspada memperhatikan sosok pria berpakaian serba hitam yang ikut menunggu lift. Jam tangan pria itu berada di tangan kanan. Samar-samar, Bayu yang berada tepat di sebelahnya, mencium aroma kayu hangat dari pakaian yang pria itu pakai.

“Kalau menetap, nanti akan banyak pertanyaan, kenapa Bayu tidak sekolah? Kenapa sering pindah-pindah? Apa pekerjaan ayah Bayu? Kenapa kelihatannya menganggur saja di rumah? Hal-hal semacam itu yang ibu tidak suka dari kehidupan bertetangga.”

“Ya, akan ribet kalau aku selalu pindah sekolah tiap semester berakhir. Kita tak pernah berada di kota yang sama lebih dari 6 bulan.”

“Kau benar.” Nala menarik tangan Bayu saat pintu lift terbuka. Mereka berdua segera memasukinya, diikuti oleh pria serba hitam itu. “Administrasi saat akan daftar sekolah adalah urusan yang paling ingin ibu hindari.”

“Bagaimana pekerjaan ibu? Bukankah ibu harus bertemu dengan banyak orang yang sama? Berbeda dengan teller, ibu biasanya bertemu orang yang berbeda, kan?”

Nala mengangkat bahunya. “Ibu juga tidak tahu. Mungkin beberapa hal itu bisa kita pikirkan lagi nanti, setelah kita mendapatkan sesuatu.”

Bayu menghela nafas panjang. Bayu yakin ibunya pasti menemukan sesuatu sehingga memutuskan untuk menjadi seorang pegawai di rumah sakit. Sebelumnya, mereka juga menemukan beberapa poin-poin penting keberadaan ayahnya, Bram, yang mengarah ke kota ini.

Bayu belum melihat garis besarnya, tapi, Bayu yakin kalau ayahnya memang sengaja meninggalkan jejak agar bisa ditemukan oleh rekan yang mencarinya.

Tempat makan hotel terlihat cukup lapang. Ada banyak panci panas yang berjejer, menawarkan berbagai macam lauk pauk hangat yang baru saja dimasak. Bau rempah-rempah mengelilingi satu ruangan. Di sebelahnya, terdapat lusinan macam buah dan, tentu saja, juga ada anggur hijau kesukaan bayu. Tempat minum juga menyediakan barisan es dan limun yang sudah membuat mulut Nala kering. Karena alkohol, kerongkongannya terasa terbakar sekarang.

Meja makan tak terlalu ramai karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Namun, tampaknya dapur masih tetap sibuk mengingat beberapa orang yang mengantri di belakang Bayu dan Nala kian lama semakin padat.

Bayu membawa nampan yang berisi penuh dengan anggur hijau. Di mejanya, sudah ada susu cokelat dingin, dan sepiring nasi kari.

“Asyik sekali menunya. Ada kari, ada susu, ada anggur.” Bayu antusias melahap kari. Ia sangat menyukai kari. Sebenarnya, semua itu karena ibunya hanya bisa memasak kari.

“Ibu juga dapat semur daging dan mendapatkan potongan-potongan besar.” Nala mengambil sesuap nasi dan memakannya. Ia tersenyum cerah. “Ini lezat.”

“Karinya juga enak, bu.”

“Wah, kalau begitu, kita makan yang banyak hari ini, ya.”

Tiba-tiba, mereka didekati sesosok pria. “Wah-wah, kalian sarapan tanpaku lagi.” Dan pria itu adalah Blue. Ia mengenakan jaket berselubung dan celana jeans belel.

“Paman, cepat ambil makanan dan makan bersama kami.” seru Bayu.

“Iya. Semur disini enak. Cicipi juga jus markisanya. Ya, ampun, rasanya segar sekali.” sahut Nala.

Blue menatap wanita itu lekat-lekat dan tampak bertanya-tanya. Semalam mereka sudah melakukan sebuah dosa yang.. sebenarnya cukup Blue nikmati. Melihat Nala tak begitu merasa terganggu dan terlihat baik-baik saja, Blue yakin kalau Nala benar-benar mabuk. Ia lega dan merasa galau di saat bersamaan. Sebuah perasaan yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

“Apa? Wajahku cemong, ya?” Nala menyadarkan Blue. Ia mengelap wajahnya, mengira kalau ada sesuatu yang membuat wajahnya aneh.

“Kupikir, makin hari kau tampak jelek saja.” kata Blue, menyembunyikan perasaannya.

“Apa kau bilang?!”

Blue menepuk kepala Bayu. “Ah, melihat orang jelek pagi-pagi membuatku lapar sekali..” Blue berjalan meninggalkan meja, dan membaur dengan orang-orang yang mengantri makanan.

“Kenapa bisa kakak beradik punya sifat yang berbeda seratus delapan puluh derajat.” gerutu Nala.

“Memangnya Ayah bagaimana?”

Nala menyeruput jus markisanya. “Ayahmu adalah sosok yang penyayang. Dia tak pernah sekalipun membiarkan ibu melakukan tugas yang berat seperti mengangkat bak berisi pakaian yang akan dijemur, atau memindahkan pot, bahkan mencuci hotpot sukiyaki. Ibu juga tidak pernah membersihkan kamar mandi lagi sejak menikah. Bukankah ayahmu itu hebat?”

“Kedengarannya seperti Ayah sedang diperbudak.”

Nala meninju kepala Bayu, pelan. “Tentu saja bukan begitu, anak nakal.”

“Aduh.. lalu tugas ibu apa? Kan ibu juga tidak bekerja.”

“Ibu bertugas untuk memastikan ayahmu agar memakai pakaian bersih dan wangi setiap hari, memakan makanan bergizi, dan memberikan pelayanan emosional paripurna.”

“Pelayanan emosional itu apa seperti saat Ibu mencium Paman?”

Nala terhenyak. Ia tak menyangka kalau Bayu menanyakan hal itu secara tiba-tiba dan tidak ada basa-basi sebelumnya. “Itu karena.. Bayu..”

“Aku tahu. Ibu masih mencintai Ayah dari nada bicara ibu saat ini. Ibu pasti cuma kebingungan karena memang Paman terlihat mirip sekali dengan Ayah.”

“Ya, ampun. Kau ini pintar sekali.”

“Siapa yang pintar? Bayu, ya? Itu, kan, karena aku gurunya.” Blue datang membawa nampan berisi kari dan jus markisa. Ia bahkan meletakkan tiga paha ayam besar di piringnya. Dari aroma tubuhnya, bisa dipastikan kalau ia baru datang dari klub. Perpaduan aroma parfum wanita dan alkohol.

Bayu menggeser tubuhnya ke dekat Nala karena ia tak ingin terlalu dekat dengan bau alkohol yang terlalu menusuk hidung.

“Kau datang-datang malah menyombong, ya.” ledek Nala.

“Aku tidak mengatakan hal yang salah, kan?”

Melihat piring Blue, Bayu tampak iri. “Wah, Paman mendapatkan potongan daging terbaik.”

Blue mengunyah makanannya dengan bangga. “Kau mau?” Blue pun membagi dagingnya.

“Sejak kapan kau suka kari?” Nala agak terkejut Blue memilih mengambil kari seperti Bayu, alih-alih semur daging yang direkomendasikaannya.

“Entahlah. Sejak kau yang masak mungkin?”

Bayu tertawa. “Wah, kurasa kita satu pemikiran. Kari ibu adalah yang terbaik di dunia. Tapi masakan lainnya tidak.”

“Benar juga.” Blue ikut meledek. “Apa kau ingat saat dia masak sop ayam?”

Bayu mengernyitkan dahi. “Astaga, aku masih ingat baunya. Kok bisa ada orang yang memasak sop seamis itu, ya?”

“Kalian berdua, hentikan.” Nala sudah nyaris menyirami kedua manusia di depannya dengan jus markisa, namun ia tahan demi marwah keanggunannya sebagai seorang wanita beradab. Nala menoleh ke arah Blue yang akhirnya sibuk memotong ayam. “Darimana kau? Ke klub lagi?”

“Sejak kapan kau peduli kegiatanku?”

Nala mendengus kesal. “Bukan begitu maksudku.”

Blue menghabiskan paha ayamnya. Setelah menyeruput jus markisa, ia menatap Bayu dan Nala bergantian. “Sebenarnya, aku memang dari klub.”

Bayu dan Nala saling berpandangan dan menghela nafas panjang. Sebuah jawaban yang memang sudah diprediksi sebelumnya.

“Tebak, aku bertemu siapa..” kata Blue, yang membuat suasana menjadi berubah.

“Siapa?” desak Bayu.

“Bram?” tebak Nala.

“Apa Paman bertemu ayahku?”

Blue menggeleng. “Kalian salah semua. Maaf, ya. Tidak ada yang dapat hadiah.”

“Blue, kalau kau tidak serius kali ini, aku bersumpah jus markisa ini akan…”

“Woaa woaa..” Blue menghentikan tangan Nala yang sudah akan mengangkat gelasnya. “Sabar, dong, tante pemarah. Aku, kan hanya bercanda.”

“Bagian mana yang menurutmu bercanda, hah?”

Blue menghabiskan nasinya dan meletakkan sendok dan garpunya sejajar. “Aku bertemu seorang wanita.”

“Apa itu hal yang bagus?” tanya Bayu, ragu-ragu, mengingat pamannya adalah seorang playboy kelas kakap.

“Tentu saja, iya. Dia pernah bercerita padaku kalau punya karyawan bertangan kidal yang tampan.”

Nala menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Blue? Apakah di dunia ini cuma Bram yang bertangan kidal dan berwajah tampan?”

Blue menggeleng pelan. “Bisa tidak jangan menyelaku bicara?”

Nala mengangkat tangannya dan menyerah. Ia membiarkan Blue menyelesaikan ceritanya.

“Ya, wanita itu seorang pengacara yang memiliki kantor di kota lain. Di kota yang kita singgahi sebelum kota ini. Dia mengatakan padaku kalau karyawan tampannya itu adalah sosok yang hangat dan misterius. Karena wanita ini sepertinya menyukai si pria, ia sering memancing pria itu agar tergoda. Bahkan pernah menjebak si pria dengan alkohol, tapi dia malah mabuk sendiri dan pria itu tetap sadar.”

Blue berdeham. Wajahnya memerah karena ia tiba-tiba teringat peristiwa semalam yang berhubungan dengan alkohol.

“Terus?” desak Nala.

“Tentu saja pria itu bertanggung jawab. Saat wanita pengacara ini ketiduran di meja, si pria dengan sok jagoan malah menggendongnya ke tempat tidur, dan menyelimutinya. Setelah itu, si pria itu pergi tanpa menyentuhhnya sedikit pun dan mengajukan surat pengunduran diri seminggu setelahnya.”

“Apa poin penting dari ceritamu itu?”

“Yah, dalam keadaan setengah sadar, wanita itu bertanya, kenapa pria itu tidak menyentuhnya padahal banyak pria yang mengantri ingin menjadi suaminya. Pria itu bilang, kalau dia sudah punya anak dan istri yang menunggu di rumah.”

Jantung Nala berdegup kencang. “Tapi, di dunia ini, pria kidal yang tampan pasti ada yang punya anak dan istri juga, kan? Bukan hanya Bram saja.”

Blue menggeleng pelan. “Kurasa itu Bram. Karena wanita itu memastikan ada tato trisula kecil di balik telinga kiri pria itu. Sepertinya ia sempat sekelebat melihatnya saat digendong ke kamar.”

Nala terhenyak. Rasanya sepuluh tahun pencariannya berbuah hasil. Selama ini, ia selalu merasa kehilangan banyak petunjuk karena hanya menemukan poin dan hal penting yang tidak diketahui maknanya. Semua petunjuk itu hanya asumsi dan mereka hanya berpegangan pada harapan semu, tak pernah benar-benar mendapati kesaksian sejelas ini.

“Nala, tidak ada pria lain di dunia ini yang kidal, tampan, beranak dan beristri, yang memiliki tato trisula kecil di balik telinga kirinya.”

“A.. apa kau yakin?” Nala butuh kepastian.

“Aku benar-benar yakin. Karena yang memiliki tanda itu hanya ada dua orang di dunia ini.”

“Apa?”

Bayu mengerjapkan matanya dan spontan menyahut, “Itu artinya hanya Paman dan Ayah yang punya tato trisula? Jadi, pria yang ditemui pengacara wanita itu, kemungkinan besar adalah ayahku?”

Blue mengangguk. “Sebelum kejadian itu, wanita ini pernah tak sengaja melihat komputer Sky yang menyamar sebagai karyawan itu. Katanya, isi komputernya berisi banyak kasus hukum yang berkaitan dengan medis dan rumah sakit. Selain itu, Sky memesan sebuah tiket perjalanan ke kota ini.”

“Kapan kejadiannya, paman?”

“Tiga bulan yang lalu.”

Nala mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, dia memang ada disini tiga bulan yang lalu. Tapi, siapa yang bisa memastikan kalau dia tidak pindah kota lagi?”

“Tidak. Aku yakin Sky masih berada di kota ini.”

“Dari mana kau tahu akan hal itu?”

“Karena baru saja ada rumah sakit umum baru yang berdiri di kota ini. Yang mencurigakan dari rumah sakit itu adalah, pembangunannya yang ditutup-tutupi dan seolah dibuat bukan untuk bangunan rumah sakit. Dari yang aku selidiki, denah yang ditandatangani oleh pemerintah mengesahkan pembangunan rumah susun untuk para lansia sebagai dinas sosial tambahan. Tapi, entah bagaimana, dalam sebulan bangunan itu diresmikan sebagai rumah sakit.”

“Eh?”

“Nala. Kemungkinan besar, rumah sakit tempatmu bekerja sekarang adalah..”

“.. tempat Ayah berada sekarang.” sahut Bayu.

Mereka bertiga terdiam, berusaha menekuri benang merah dari rentetan peristiwa yang terjadi. Blue memang yakin kalau kakaknya masih berada di kota ini dari tidak adanya pergerakan mencurigakan saat ia mencoba menyelidiki kota ini malam-malam.

Tepat saat itu, sosok pria berbaju serba hitam kembali muncul di hadapan Bayu. Ia berdiri di depan pintu ruang makan, dan tampak memperhatikan sesuatu dari jauh. Entah bagaimana, Bayu merasa kalau orang itu sedang memperhatikannya. Belum sempat ia meyinggung soal pria misterius mencurigakan, tiba-tiba Blue membuyarkan lamunannya.

“Sepertinya, kali ini kita harus menetap di sebuah rumah sungguhan.” Blue menyimpulkan. Ia punya firasat kalau akan ada hal yang lebih besar yang akan mereka hadapi setelah ini, sehingga mereka butuh tempat pulang yang pasti.

“Apa? Kau serius, kan?” Nala langsung menutup mulutnya karena ia berteriak tanpa sadar.

Sedangkan Bayu, tersedak kuah kari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status