Nala memutuskan menginap di apartemen Sky. Semalaman mereka berdua menelepon Bayu dan dengan heboh berteriak-teriak kesenangan. Mereka bertiga, berempat dengan Blue yang sesekali menyahut, saling berebutan menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Blue sempat memaki Sky yang dengan tega membuat Bayu bertemu wanita aneh berpawakan layaknya medusa tanpa perlindungan apapun. Nala juga ikut sepakat.
“Ah, tapi kapan lagi aku bisa melakukan hal menegangkan seperti itu?” potong Bayu, tak ingin masalah berlarut-larut.“Ya, memangnya apa kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah di tempat ia sedang bekerja? Reputasi SD Matahari yang dibangun dan citranya yang sudah sedemikian rupa, tak akan serta merta dicoreng begitu saja, kan?”Nala mengerucutkan bibir saat mendengar penjelasan Sky yang memang masuk akal. Sky mengecup bibir itu.“Hei, ada anak kecil di sini. Kami bisa mendengar suara tak senonoh, ngomong-ngomong,” tegur Blue.<“Ini pasien mana?” tanya Nala, sambil mengacungkan selembar formulir pemeriksaan ke arah May.“Rawat inap,” jawab May. Suaranya teredam di balik masker yang ia kenakan. “Oh, tunggu. Tadi aku lupa jadinya masuk maternal atau umum.”“Pasiennya ibu hamil?”May tak sempat menjawab. Ia sudah buru-buru pergi mendengar suara statis yang dikeluarkan alat di ruang pemeriksaan.“Ya, akan kucek sendiri kalau begitu.” kata Nala, pada diri sendiri. Wanita itu menarik gagang telepon dan menekan tombol.“Ya, IGD.” suara yang semalam membuat Nala terlelap, menjawab panggilan. Walaupun secara resmi pria itu adalah suaminya, Nala masih belum merasa peristiwa yang terjadi nyata betulan.“Anu, dokter.” Nala gelagapan. “Pasien atas nama Nyonya Lizzie, rekam medis 000127, masuk rawat inap mana?”“Diagnosa yang ditegakkan hemoroid dan dispepsia sindrom. Masuk umum, ya.”“Baik, dok. Terimakasih.”“Oh, selain itu..” Ferdian men
Hari ini, seperti yang sudah diputuskan, Blue berkunjung ke sekolah Bayu, SD Matahari. Tempat paling mencurigakan yang sedang diselidiki oleh Rose, dan yang kemungkinan besar memang menyimpan sejuta misteri terkait organisasi terselubung milik Elang Group. Meskipun Blue melakukannya setengah hati, namun ia tetap totalitas menyamar menjadi kakaknya. Rambutnya mengeriting sempurna dari hari-hari sebelumnya karena Sky sudah membelikannya alat baru yang lebih modis dan canggih. Bayu bahkan memuji ketampanannya yang jarang bocah itu ucapkan. Blue berjalan sambil membusungkan dada. Tentu saja, kepercayaannya selalu penuh di setiap harinya. Hari ini, karena rambut yang oke, perasaan itu seolah bertambah berkali-kali lipat.“Pa-Ayah, kau tidak apa-apa?” Bayu melihat pamannya yang berbunga-bunga tampak aneh. Blue yang hobi tersenyum dan bersikap serampangan sudah menjadi hal yang biasa. Namun, aura yang pamannya keluarkan hari ini amat sangat berbeda. Ramah yang
Bayu memutar-mutar pensilnya yang ringan. Bola matanya memperhatikan tugas yang ditinggalkan seorang guru yang merasa sudah cukup memberikan materi. Seluruh kelas ramai dengan bisik-bisik, berniat menyelesaikan tugas yang diberikan sebelum batas waktu yang ditentukan.Bayu tak merasa kesulitan sama sekali. Ia malah bisa menyelesaikan soal-soal itu hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Hanya saja, otaknya tak membiarkan tubuhnya bekerja. Jiwanya seolah melayang menuju tempat yang jauh, berusaha mengintip ke ruangan tempat Blue sedang menghadapi Bu Anggi. Bocah itu agak ngeri mengetahui kalau-kalau pamannya malah merayu kepala sekolahnya dan mereka bercinta di sana.Membayangkan gambaran itu, perut Bayu menegang. Seluruh sarapannya pagi ini, seolah berebut melompat keluar.“Kau tidak apa-apa?” Joana memperhatikan Bayu sedari tadi dari depan. “Wajahmu pucat dan terlihat.. kau mau muntah ya?”“Kau mual? Belum makan kah?” Aldo yang mendengar den
“Aku pulang..”Nala membenamkan tubuhnya ke atas sofa. Baju ganti yang dibawakan Rose tadi pagi masih baru. Terasa gatal bagi kulit Nala yang sensitif. Namun, wanita itu tetap berbaring sambil meluruskan kaki.Blue mendekatinya. Pria itu mengenakan celemek dan berbau enak. Dari penampakannya bisa diketahui kalau ia sedang memasak.“Halo, sayang..” sapa Blue. Ia meraih tas Nala yang tergeletak di atas lantai dan meletakkannya di meja. “Tak kusangka kau masih sudi pulang ke rumah kita.” sindirnya.“Mau bagaimana lagi? Yang orang lain tahu kau lah suamiku. Akan jadi masalah kalau ada yang mendapati aku serumah dengan Sky,” jawab Nala. Ia masih tidak berniat merubah posisinya yang terlentang.Blue menelan ludah. Posisi Nala membuat jantungnya berdebar. “Sky? Sudah berdamai kalau Bram hanyalah persona buatan?”“Ya, mau bagaimana lagi..”Sebelum pergi, Blue memuaskan dahaga keingintahuannya. Ia menatap kakak iparnya itu lekat-
Sky memperhatikan tampilannya di depan cermin. Jas berwarna hitam dengan dalaman kaos polo dan celana yang senada membungkus badannya yang tegap dan atletis. Rambutnya disisir rapi, lurus ke belakang. Matanya sudah diatur sedemikian rupa dan tampak sipit seperti Ferdian yang dikenal karyawan rumah sakit, dan juga Anya. Sentuhan terakhir, dua semprotan parfum, melengkapi keseluruhan penyamarannya malam ini. Ferdian sudah menata hati mengunjungi rumah ayahnya, setelah lebih dari dua dekade pergi dari sana. Dalam perjalanannya yang panjang, ia mengendarai mobilnya dalam keheningan. Ferdian sadar, suasana hatinya sedang kacau dan debaran jantungnya tak menentu. Pria itu menyalakan radio. Lagu pop romantis lawas, Killing Me Softly with His Song mengiringi perjalanannya. “Killing me softly..” Ferdian bersenandung seolah berbicara pada seseorang. Dia tahu tak ada gunanya menunda pertemuannya dengan pria bengis dan tamak itu. Cepat
Pagi itu, tak seperti biasanya, Anya tampak bersemangat bekerja. Biasanya, ia hanya menunggu hasil yang diselesaikan analis. Namun, kali ini gadis itu ikut melakukan pemeriksaan. Dengan penuh semangat, Anya mengotak-atik alat sentrifus darah. Ia bersenandung. Wajahnya tampak cerah meskipun tertutup masker. Perasaannya berbunga-bunga, sampai-sampai ia tak sadar Rizal meninggalkan ruangan itu, mencari anggota tim yang lain.“Pasiennya ada berapa?” tanya Rizal, begitu berada di ruang admin. Nala memperhatikan rekan kerjanya, keheranan.“Di rawat inap umum sekitar 60 orang. Di maternal ada 7 ibu hamil. Ruang intensif kosong, di neo ada 3 bayi. Di IGD ada 4 orang dalam tahap observasi.”“Bukan,” tukas Rizal. “Maksudku, sampel yang kita kerjakan, ada berapa?”Nala mengerjapkan kedua matanya, masih tidak mengerti maksud pembicaraan rekannya yang tidak biasa.“Tadi sudah kubilang, ada empat puluh..”“Empat puluh tiga.” potong R
Kali terakhir Nala bertengkar dan terlibat dalam perkelahian dengan seorang wanita, sekitar akhir masa sekolahnya. Saat itu, wanita itu melakukannya karena lawannya dengan sengaja mendorong teman sebangkunya ke dalam selokan. Pertama-tama, Nala menjambak lawan dengan keras, memelintir lengan, menendang tulang kering, dan mengunci leher. Apa yang ia lakukan saat itu, sama seperti yang ia lakukan pada Anya hari ini. Dalam keadaan kacau dan berantakan, Nala dan Anya dipanggil ke ruang direktur. Haris memperhatikan kedua karyawan yang berada di hadapannya satu persatu sedang berdiri termenung dalam keadaan menundukkan kepala. Mata Anya sembab. Dengan gamblang, bisa dilihat kalau gadis itu sedang berusaha keras menahan air matanya agar tidak mengalir lagi. Sedangkan mata putrinya, Nala, tampak menyala bagaikan api yang siap melahap apa saja yang menghalangi jalannya. Haris berdeham. Pria itu berdiri di balik meja kerjanya, sambil mengetuk-ngetukkan jari.
“Aku pulang..” Bayu dan Blue yang saat itu sedang duduk di lantai ruang tamu mengitari meja, mendongak. “Kok Ibu sudah pulang?” Bayu beberapa kali mengecek jam dinding. Masih terlalu siang bagi Nala pulang bekerja. “Kau sendiri? Tidak sekolah?” “Dia dihukum libur tiga hari.” sahut Blue. “Kupikir kepala sekolah sudah disuap.” “Ya, semacam formalitas agar kesannya Bayu sudah didisiplinkan. Kau sendiri kenapa? Dipecat?” Nala membanting dirinya ke atas sofa. Bayu menggeser tubuhnya. “Aku juga dihukum libur lima hari.” Bayu dan Blue berpandangan, keheranan. “Kau sekolah di mana?” sindir Blue. “Pak Haris yang menghukumku. Ahh. Tadi aku tidak sengaja menjambak rambut Anya sialan itu dan kami berkelahi.” Bayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia beberapa kali memperhatikan pamannya yang tampak sama terkejutnya.