Home / Romansa / Suamiku seorang Mata-Mata / Bab 8: Tempat asing

Share

Bab 8: Tempat asing

Author: sweetchocosin
last update Last Updated: 2024-03-24 18:41:25

Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan.

Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam.

Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, yang tidak mungkin bisa mendapatkan rumah luas dengan harga yang sama seperti di kota kecil. Apalagi, karena inflasi, harga tanah dan rumah sudah pasti melambung cukup tinggi.

Sebenarnya, ide Nala yang memilih rumah ini. Blue sebenarnya lebih menyukai apartemen, sudah menyediakan fasilitas seperti supermarket, mall, klub dan kolam renang sekaligus. Tapi, ide itu ditolak Nala mentah-mentah. Menurutnya, apartemen dan hotel bentuknya sama saja. Kalau begitu, mereka tidak punya kesempatan menjadi ‘keluarga’ sungguhan dan berinteraksi dengan para tetangga.

Bukankah tujuan mereka kali ini mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang rumah sakit itu?

Nala menyandarkan dirinya ke pintu. Tubuhnya terasa remuk. Sudah nyaris seharian ia membereskan rumah sedangkan Bayu dan Blue malah sibuk berdiskusi boneka figur mana yang harus ditaruh di ruang tamu.

Gambaran itu, entak mengapa membuatnya merindukan masa-masa pindah rumah saat masih berdua dengan Bram. Saat itu, Bram sibuk menekuri kardus yang masih tertutup lakban. Ia tampak kebingungan. Nala memperhatikan hal itu sambil memutar kabel penyedot debu.

“Ada apa, Bram? Kau sedang melamunkan apa?”

Bram berdeham, mengisyaratkan kalau ia sebenarnya sedang berpikir keras, bukan sedang mengosongkan pikiran. “Menurutmu, yang dipajang di dinding ruang tamu boneka figur atau tanaman hias?”

Nala cekikikan. “Aku bukan orang yang suka bercocok tanam.”

Bram menoleh ke arah Nala dan mengedipkan matanya. “Kalau begitu, bagaimana kalau kaktus kecil hias?”

“Kan sudah kubilang kalau aku bukan orang yang telaten.”

Bram menghampiri Nala, membantunya menyalakan penyedot debu dan mulai membersihkan tumpahan gula aren di karpet. “Kan, ada aku.” kata Bram.

Nala menghela nafas panjang. “Yang benar saja, dong. Memindahkan gula ke wadah saja tumpah-tumpah begini.”

Bram mencium pipi Nala, dan merayunya. “Ayolah.. kan kaktus cukup disiram sekali.”

Nara terdiam. Ia menimbang kerugian yang mungkin terjadi saat Bram mulai bercocok tanam. Entah tanamannya mati, atau rak kayunya yang bakal jamuran.

“Pokoknya, kalau ada yang…”

“Tidak akan ada yang tidak beres, kok, sayang..” Bram mencium Nala lagi dan beranjak, lalu membukai lakban kardus-kardus yang bertumpuk-tumpuk satu persatu.

Pemandangan yang dilihat Nala sekarang, kurang lebih sama seperti sebelas tahun yang lalu, membuat Nala jengkel tanpa sebab.

“Bisa tidak tangan dan kaki kalian saja yang gerak? Mulutnya diistirahatkan dulu.”

Blue dan Bayu menatap Nala keheranan. “Tidakkah ibu tahu kalau penempatan yang tidak normal malah menyulut rasa penasaran para tetangga yang berujung pada penyamaran kita yang terbongkar?”

“Bisakah kau ceritakan pada ibu alasan logisnya?”

Bayu berdeham. “Seandainya kita meletakkan boneka figur, pasti tetangga akan bertanya-tanya, ‘wah! Anaknya suka anime, ya?’, dan nanti ibu akan menjawab, ‘ya, anak saya memang suka sekali menonton anime.’ Lalu, percakapan akan berlanjut menjadi, ‘memangnya anak ibu tidak belajar? Pasti anak ibu pintar, ya. Makanya ibu membolehkan anaknya membeli boneka figur ini.’ Kalau sudah begini, nanti ibu bakal ditanyai latar belakang pendidikanku bagaimana. Karena seharusnya, aku ini bocah kelas 4 SD.”

Ya, kau ini bocah kelas 4 SD, Bayu, pikir Nala. Tapi, kenapa pemikiranmu seperti pria berusia 30 tahun?

“Kalau begitu, kita jawab saja kalau boneka itu milik pam-eh, ayahmu.”

“Cukup riskan, bu.” sanggah Bayu. “Kalau begitu, nanti mereka akan bertanya apa pekerjaan paman, atau bisa dibilang, sekarang ia berperan sebagai ayahku. Kalau waktu luangnya terlalu banyak, para tetangga bisa curiga kenapa kita bisa banyak uang dan membeli rumah di kawasan menengah ke atas. Dan kalau waktu luangnya terlihat sedikit, pasti mereka menerka-nerka dimana paman bekerja. Salah jawab sedikit saja, mereka pasti akan menyelidiki dimana alamat perusahaan fiktif yang asal-asalan disebutkan paman.”

“Tapi, aku bisa bilang kalau aku punya klien luar negeri dan seorang pekerja lepas yang memang sudah punya saham dan obligasi yang cukup.” sahut Blue.

“Kalau begitu, nanti bakal ditanya pekerjaan paman sebelum ini apa sampai paman bisa merdeka secara finansial. Indonesia ini negara patriarki. Mereka akan memandang buruk kalau cuma ibu yang terlihat bekerja dan paman malah di rumah bersantai denganku.”

“Warisan orang tua, mungkin?” usul Nala. “Kalau kita bilang semua ini hasil jual sawah, kan, masuk akal.”

Bayu mengangguk pelan. “Sepertinya saran itu cukup masuk akal. Tapi, kita ini berasal dari mana?”

“Sebut saja salah satu kota yang pernah kita singgahi.” saran Blue. “Meskipun kita tidak terlalu tahu pun, mereka pasti memaklumi.”

“Tapi kita tidak bisa asal pilih kota, paman. Ingat. Kekayaan ini hasil menjual sawah. Sedangkan kota yang kita singgahi, bahkan kota kecil tempat aku lahir, sawah luas mana yang dalam satu dekade dijual?”

Sial!, pikir Nala. Ia berpikir kalau anaknya sudah terlalu dewasa di usianya yang masih sepuluh tahun. Bagaimana mungkin wanita sepertinya bisa memiliki anak dengan otak seperti itu.

“Bayu, sepertinya aku sangat menyukaimu.” sahut Blue. Ia menatap Bayu dengan bangga. “Sky sudah memberikan seluruh DNAnya kepadamu sampai DNA ibumu tak memiliki tempat di tubuhmu.”

“Setidaknya bibir tipisnya itu dariku, ya.” Nala memelototi Blue yang mengejeknya. Sayangnya, seluruh tubuh Nala sudah lemas dan kekurangan gula. “Kurasa, aku butuh asupan gula.”

Nala mencoba keluar di situasi tidak menguntungkan itu sesegera mungkin. Tempat tidurnya sudah ia bereskan, jadi ia berencana untuk tidur sebentar setelah mencari minuman manis di kulkas. Keputusan itu ia ambil setelah otaknya terkuras usai berdebat kecil dengan anak semata wayangnya yang kelewat teliti dan kritis.

Dalam hati, Nala tidak yakin harus bersyukur atau tidak dengan sifat Bram yang menurun ke Bayu. Bahkan, rasanya Bayu dua.. atau tiga kali lebih berhati-hati dari Bram.

“Ya, nikmati istirahatmu sana.” Blue mengusir Nala tanpa melihatnya, membuat Nala makin jengkel.

Nala berjalan menuju dapur. Ia melewati foto pernikahannya, dan berhenti sejenak. Ia menatap wajah Bram, suaminya, agak lama. Dalam benaknya, ia punya banyak pertanyaan.

Bagaimana rupa Bram sekarang? Apakah keriputnya membuatnya tak bisa dikenali? Apakah seluruh pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya bisa ia tanyakan dan ia temukan jawabannya?

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menemukan Bram. Meskipun yang ia dapatkan sejauh ini hanyalah kota tempat Bram berada, Nala masih tetap bertekad menemukannya.

Nala harap, dimanapun Bram berada sekarang, semoga selalu dalam keadaan aman dan tak kurang satu hal pun. Nala masih ingin berkumpul dengan Bram sekali lagi untuk waktu yang lama. Ia ingin keluarganya utuh lagi. Nala ingin, Bayu memanggil Mama dan Papa lagi.

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Nala ingin Bayu memanggilnya Mama. Namun, ia rasa, panggilan itu terlalu menyakitkan. Hal terakhir yang ia ributkan dengan Bram adalah soal panggilan Mama dan Papa. Sedangkan, kata pertama yang Bayu ucapkan adalah Papa. Bagaimana mungkin Nala bisa hidup tanpa menderita kalau Bayu memanggilnya Mama?

Saat memikirkan hal ini, hati Nala terasa hangat. Ia tiba-tiba merasa bersyukur dengan kedewasaan mental Bayu, anaknya, yang bisa menerima keadaan rumit dan pelik ini. Berbeda dengan Nala yang dulu dibuang oleh ayah dan ibunya. Saat itu, ia merasa dunia juga membuangnya.

Secercah harapan memang terlihat begitu Nala berada dalam asuhan neneknya yang penyayang dan baik hati. Namun, ketika neneknya meninggal, hampa sudah hidupnya. Hanya Bram yang sanggup meyakinkan Nala agar ia bisa membangun keluarga kecilnya sendiri.

“Kupikir kau butuh gula barusan.” Blue tiba-tiba sudah berada di samping Nala, membuyarkan lamunannya. Wangi kesturi tiba-tiba tercium.

“Apa sudah selesai rapat pentingnya?” ledek Nala, berusaha untuk tetap memfokuskan diri bahwa yang berada di sampingnya adalah Blue, bukan Sky.

“Ya, kurasa ide yang paling bagus bukan meletakkan boneka figur. Kaktus kecil kelihatannya lebih estetik.”

Nala terdiam. Hal-hal kecil seperti ini kembali mengingatkannya pada saat-saat bersama Bram dulu. Tentu saja, semua ini sebuah kebetulan.

“Aku tidak punya waktu untuk merawat makhluk-makhluk kecil begitu.”

Blue mengangguk, “Aku tahu, aku tahu. Aku dan Bayu yang akan merawatnya. Kau tenang saja.”

Nala mendengus kesal. Ia menyembunyikan keterkejutannya saat itu. Blue dan Bayu memang punya darah yang sama dengan Bram. Nala merasa bersyukur bisa tetap merasakan hawa kehadiran suaminya lewat tingkah-tingkah kecil yang dilakukan keduanya.

“Ada apa? Kau merindukan suamimu ya?”

Nala kembali menatap foto suaminya lekat-lekat. Ia tak menjawab pertanyaan Blue. Ia bahkan tak tahu apakah perasaan rindunya ini kepada Bram, atau kepada suaminya. Ia tahu Bram bukan nama asli. Ia juga tahu kalau suaminya pasti sedang memakai identitas orang lain saat ini. Tapi, Nala yakin kalau apa yang ia rasakan 3 tahun bersama Bram, bukanlah sebuah sandiwara. Nala benar-benar yakin kalau perasaan mereka nyata.

“Sky mencintaimu. Itu sudah pasti.”

“Eh, apa?”

Blue berdeham. “Aku yakin salah satu alasan dia pensiun selain ingin punya bengkel sendiri juga karena menemukan belahan jiwanya.”

Nala tersipu. Wajahnya panas dan memerah. Sudah lama tak ada yang membuatnya berdebar kencang begini. “Lalu, Blue..”

“Apa?”

“Memangnya, apa yang dia cari?”

Blue mengangkat bahunya, mengisyaratkan kalau ia pun tak terlalu yakin. “Setelah banyak agen yang mati secara misterius dan beberapa di antaranya menghilang, sepertinya satu-satunya hal yang memungkin adalah Elang Grup sudah menyusupi instansi kami.”

“Kau serius?”

“Iya, aku serius.” Blue menanggapi Nala. “Identitas kami tak pernah terbaca secara gamblang, bahkan di server pusat. Bukankah aneh kalau secara kebetulan hanya agen-agen yang sedang dan yang pernah menyelidiki grup itu yang meninggal?”

“Kalau begitu, Bram dalam bahaya?”

“Bisa dibilang begitu. Tapi, sepertinya Bram tak semudah itu tertangkap. Ia sudah berkali-kali mengirim tanda kalau ia baik-baik saja. Kau tidak sadar, kan?”

“Aku sudah menduganya.” sahut Bayu. Nala terkejut dan memperhatikan Blue dan Bayu bergantian.

“Apa maksudnya ini? Kalian berhubungan dengan Bram tanpa sepengetahuanku?’

“Tidak, bu. Bukan begitu.” Bayu menenangkan. “Ayah itu orang yang pintar dan cerdik. Pasti ayah sudah memperkirakan pekerjaan yang mungkin dilakukan ibu untuk mengintai ayah cuma sebagai teller bank, karena itu masih berhubungan dengan jurusan kuliah yang pernah ibu ambil.”

Sebenarnya, Bayu juga merasa kalau ayahnya sering mengawasi mereka bertiga di suatu tempat. Ia sering punya firasat kuat akan hal itu. Seperti pertemuannya dengan sosok pria berpakaian serba hitam di hotel, beberapa hari yang lalu.

“Kau benar, Bayu.” potong Blue. “Dia seolah-olah selalu menarik uang tepat di tempatmu, Nala, meskipun ada banyak meja teller. Kurasa, sebelum mengambil antrian, ia sudah memperkirakan akan lewat teller mana. Dia, secara khusus, memilihmu.”

Nala mengangguk. Selama ini, mereka mengetahui dan mengikuti jejak Bram saat ia menarik banyak uang tunai. Karena itulah Nala menjadi teller. Blue yang menyarankan penyamaran ini.

Saat itu, Nala selalu terkecoh dengan samaran Bram. Karena Nala berpikir, itu adalah orang lain yang bukan bertangan kidal. Nala baru menemukan keanehan sesaat setelah orang aneh itu meninggalkan sobekan tiket kereta.

Dari sobekan itu, Blue tahu itu milik kakaknya. Karena saat kertas itu disinari dengan sinar ultraviolet, muncul sebuah kata yang berisi nama kota. Esoknya, mereka selalu pindah ke kota yang tertulis di kertas itu. Hal ini berlangsung setidaknya belasan kali.

“Semudah itu..” kata Blue. “..semudah itu ia mengirimkan pesan rahasia kepada kita, dan kau tidak pernah mengerti?”

Nala terpaku. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang terlampau lamban dan kurang cakap dalam hal memecahkan teka-teki.

“Ya, sudah. Itu dibahas nanti saja. Ibu, Paman, apa rencana kita disini? Bagaimana kalau kita membahas strategi sandiwara kita di kehidupan bertetangga ini? Yang.. kayaknya, sih, rumit..”

Bayu benar. Mereka bertiga harus mencari cara bertahan hidup di tengah lingkungan asing di sekitar mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 210: Epilog

    Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 209: Hutang yang terbayar

    Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 208: Pengejaran

    Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 207: Sedikit lagi!

    Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 206: Anya berduka

    "Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 205: Selamat tinggal, Pak Was

    Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status