LOGINVita membuka matanya secara perlahan. Pandangannya masih kabur dan ia hanya bisa melihat langit-langit berwarna putih.
"Aku dimana?" gumam Vita sambil menoleh ke samping. Ia lalu berusaha untuk bangun, namun tiba-tiba kepalanya terasa sakit. "Aw sakit banget," lirihnya sambil menyentuh kepalanya yang dibalut perban. Dengan sekuat tenaga ia mengubah posisinya menjadi duduk. Vita memandang sekeliling. Ruangan itu berwarna krem, dengan sofa abu-abu yang berada di sudut ruangan. Di meja yang berada di dekat jendela ia bisa melihat ada banyak buah-buahan. Tatapannya beralih ke dirinya sendiri. Ia langsung menyadari dirinya yang memakai baju berwarna biru muda dan kondisi tangan kanannya yang terpasang selang infus. "Aku lagi di rumah sakit? Kok bisa?" Vita bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi, sehingga dirinya bisa berakhir di sini. Namun seberapa kuat ia mencoba, ingatannya hanya bisa berputar saat saat ia akan membukakan pintu untuk tamu. Setelah itu ingatannya tampak gelap. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, membuat Vita terkejut. Namun saat ia melihat siapa yang datang, ia bisa bernapas lega. Seseorang yang datang adalag laki-laki yang sangat ia kenal, kakaknya, Desta. Seorang laki-laki kurus tinggi dan berambut panjang. Desta juga tak kalah kaget saat melihat adik satu-satunya sudah bangun dan sedang terduduk di atas ranjang rumah sakit. "Kamu udah bangun? Kapan bangunnya?" tanya desta panik. Dengan cepat ia menghampiri ranjang, dan meletakkan bungkusan yang ia beli ke atas meja. Vita menatap kakaknya sambil tersenyum tipis. "Udah, aku baru aja bangun," jawabnya. Desta menampilkan wajah lega dan mengambil kursi untuk duduk di sisi adiknya. "Syukurlah, abang takut banget kamu bakal mati," ucapnya santai. Vita langsung mendelik mendengar perkataan kakaknya. "Abang ini kalo ngomong sembarangan ya!" serunya. Desta langsung menyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Lagian kamu udah lima hari di rumah sakit tapi ngga bangun-bangun. Ini untuk pertama kalinya kamu bangun," ucapnya. Mata Vita langsung terbelalak. "Hah lima hari?! Kok bisa? Abang serius?" tanya Vita tak percaya. Desta langsung mengangguk. "Abang serius. Emang kamu ngga inget apa-apa?" tanya desta. Vita langsung menggeleng. "Aku ngga inget apapun," jawabnya sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit. "Tapi wajar si, kepala kamu kan emang terluka dan ngeluarin banyak darah," balas Desta yang seketika membuat Vita merinding. "Coba dong abang ceritain apa yang terjadi, aku penasaran banget!" pinta Vita agar Desta segera bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Desta menghela napas sebelum mulai bercerita. Sejujurnya ia merasa tidak tega menceritakan kejadian mengerikan yang terjadi pada adiknya sendiri. "Jadi, hari kamis kemarin, abang kan ke rumah kamu, tapi pintunya udah ke buka. Terus abang langsung masuk aja, eh malah kaget liat kamu lagi tiduran di lantai. Abang lebih kaget lagi waktu liat hidung sama kepala kamu berdarah. Saat itu juga abang langsung bawa kamu ke rumah sakit. Untungnya kata dokter luka kamu ngga parah, tapi ya itu kamu ngga sadar-sadar sampai lima hari ini," jelas Desta. Vita langsung mengangguk mendengarkan penjelasan dari kakaknya. Sekarang ia sudah ingat mengenai penyerangan yang dialami dirinya oleh laki-laki yang memakai setelan berwarna hitam. "Kamu lihat atau inget orang yang udah nyerang kamu?" tanya Desta. Vita mengangguk. "Aku udah inget. Emang ada dua orang laki-laki yang malem-malem dateng ke rumah aku. Mereka pakai baju hitam dari atas sampe bawah. Badan mereka juga tinggi besar, tapi aku ngga bisa lihat muka mereka karena pakai masker," jawab Vita. Desta mengangguk. "Nanti abang kasih keterangan kamu ke polisi. Ngomong-ngomong suami kamu kemana? Abang teleponin ngga diangkat-angkat?" tanya Desta penasaran. Wajah Vita langsung menegang. Ia jadi teringat dengan suaminya yang pergi tanpa pamit kepadanya. "Mas Arga lagi dinas di luar kota, katanya hpnya emang bakal dimatiin jadi ngga bisa dihubungi," jawab Vita senormal mungkin. "Kalian ngga lagi marahan kan?" tanya Desta dengan tatapan menyelidik. Entah mengapa ia merasa ada yang aneh dengan cara bicara adiknya itu. Vita langsung menggeleng. "Ngga kok," jawabnya cepat. "Untunglah, kalau dia macam-macam sama kamu, kamu langsung bilang aja ke abang, biar abang kasih dia pelajaran," ucap Desta sambil memperagakan salah satu gerakan tinju. Vita langsung terkekeh dibuatnya. Desta adalah satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki. Oleh karenanya, Desta selalu bersikap protektif kepadanya. "Makasih ya bang," ucap Vita tulus sambil menggenggam tangan kakaknya. Tatapan desta langsung melunak. "Iya, kayak sama siapa aja. Sekarang kamu tiduran lagi aja ya, abang mau panggil dokter buat periksa kondisi kamu," ucap Desta sambil mengelus rambut Vita. Vita mengangguk sambil bersiap untuk mengubah posisinya menjadi berbaring.Nova menghabiskan hampir satu hari penuh untuk mencari tempat baru yang bisa dijadikan markas. Ia menelusuri ujung kota, melewati jalanan yang semakin sempit dan sunyi, hingga akhirnya menemukan sebuah penginapan tua bernama "Penginapan Ujung Area." Bangunannya berdiri di tepi jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan, dan dikelilingi pohon-pohon besar yang menutupi sebagian fasadnya. Dari luar saja terlihat jelas bahwa penginapan itu sudah lama tidak ramai pengunjung, dibuktikan dengan cat dindingnya yang mengelupas.Ketika Nova menyampaikan temuannya pada Arga, rekannya itu langsung menyetujui tanpa banyak bertanya. Karena bagi pria itu tempat sunyi seperti ini justru ideal. Tak ada yang akan menaruh curiga, dan mereka bisa bekerja dengan tenang.Hari ini keduanya disibukkan dengan memindahkan perlengkapan dari markas lama ke tempat baru. Kotak-kotak berisi perangkat komputer, kabel, serta peralatan investigasi lainnya memenuhi bagasi mobil mereka. Di sela-sela kesibukan itu, Nova
Setelah dua hari berdiam diri di rumah, hari ini Arga memutuskan untuk kembali berangkat ke kantor. Sebenarnya ia ingin berlama-lama menghabiskan waktu bersama Vita, namun ia juga sudah berjanji kepada Nova untuk memberikan jawaban hari ini.Akhirnya sepanjang perjalanan pelipis pria itu tampak menegang pertanda sedang memikirkan hal berat. Sesekali tangannya mengetuk setir, sementara pandangannya kosong menatap ke depan.Setibanya di bangunan yang tampak tua dan usang, Arga langsung memarkirkan mobilnya di tempat rahasia seperti biasa. Lokasi itu nyaris tak pernah diketahui siapa pun selain dirinya dan Nova.Ia menatap sekeliling sejenak, memastikan tak ada yang mengikutinya sebelum akhirnya melangkah menuju pintu.Tangannya mendorong sebuah pintu besi berkarat yang mengeluarkan suara decit panjang. Begitu masuk, Arga menuruni tangga sempit yang dindingnya penuh lumut dan cat yang mulai terkelupas. Namun di ujung tangga, suasananya berubah drastis. Sebuah ruangan bawah tanah yang tam
“Bagaimana Pak? Dia adalah orang yang sudah mengambil tas istri saya!” ujar Arga dengan nada tegas. Matanya tak lepas dari layar laptop yang menampilkan cuplikan rekaman CCTV.Kedua polisi yang duduk di hadapannya memperhatikan video itu dengan seksama. Salah satu dari mereka, seorang pria paruh baya dengan garis tegas di wajahnya mengerutkan kening. Ia memutar rekaman beberapa kali, lalu menghentikannya tepat saat sosok berpakaian serba hitam menatap ke arah kamera.“Gerak-geriknya memang mencurigakan, tapi bagaimana Bapak bisa mendapatkan rekaman CCTV ini?” tanya polisi dengan nada ingin tahu.Arga terdiam sesaat. Ia menatap kedua polisi itu bergantian, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia tahu ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia telah menembus sistem keamanan kota dan menyadap server CCTV secara ilegal.Dengan nada datar, ia menjawab, “Ngga penting saya dapat dari mana, Pak. Yang jelas bukti itu cukup kuat untuk menunjukkan siapa pelakunya. Tolong tang
“Itu karena rekening dia habis diretas sama orang yang nggak dikenal, makanya semua uangnya habis,” jelas Vita. Arga menatapnya sejenak, kemudian mengangguk paham. Pria itu teringat kasus yang kemarin dibawa oleh Nova mengenai kasus peretasan rekening di korea oleh orang Indonesia.Apakah Gilang juga korban dari pelaku yang sama? Tapi seingatnya korban yang melaporkan semuanya adalah perempuan, ataukah ada korban laki-laki yang tak ia ketahui?“Kenapa sih emangnya?” tanya Vita sambil menatap Arga dengan ekspresi menyelidik, sedikit ingin tahu reaksi suaminya."Mas cuma nanya aja,” balas Arga sambil tersenyum tipis.Vita menghela napas pelan, matanya menatap jauh ke luar jendela. “Namanya musibah nggak ada yang tahu,” ucapnya lirih, seolah sedang merenungkan nasib temannya.Tiba-tiba Arga mencondongkan tubuhnya dan menarik hidung Vita dengan cepat. Sontak hal itu membuat Vita menjerit kaget.“Iih sakit! Mas Arga kenapa sih?!” seru Vita kesal.Arga terkekeh pelan, menatap reaksi istrin
“Tadi pagi aku lagi jalan-jalan di taman, dan nggak sengaja nemuin tas kamu di bawah pohon,” ucap Gilang.“Tapi kok kamu bisa tahu kalau itu tas aku?” tanya Vita dengan mata menyipit.Gilang tampak salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya beberapa kali. Tanpa disadari Arga diam-diam mengamati gerakan kecil pria itu dari samping.“Waktu aku buka tasnya ada KTP atas nama kamu, makanya aku bisa tahu," jawab Gilang.Kini Vita paham, dan ia mengangguk pelan. Dengan penuh lega ia memeluk tasnya erat-erat seolah itu adalah bagian dari dirinya sendiri.“Untung aja kamu nemuin. Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau tas ini nggak ketemu,” ucapnya dengan nada senang. “Tapi kok tas kamu bisa ada di taman?” tanya Gilang.Vita menghela napas panjang, ekspresinya kembali sedih. “Ceritanya panjang, intinya tas aku dijambret sama orang waktu aku lagi di pasar,” ucapnya pelan.Wajah Gilang langsung berubah kaget, seolah ia mengerti mengapa Vita yang ditunggu-tunggu yang kunjung muncul di tempat ya
“Mas nggak kenal sama dia,” jawab Arga.Vita mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Tadi aku denger kok waktu kalian lagi ngobrol,” sangkalnya. Arga menghela napas panjang. Ia menyenderkan diri di kursi, membiarkan tubuhnya rileks sejenak walaupun pikirannya tetap sibuk.“Kamu inget waktu itu Mas pernah cerita soal alasan kenapa Mas bisa dikeluarkan dari kepolisian?” tanya Arga.Vita mengangguk pelan. “Inget, kenapa emangnya?” tanyanya penasaran.Arga tampak gelisah. Berulang kali ia menggosok tangannya di atas pahanya, menahan rasa tegang yang tiba-tiba muncul. Pandangannya menunduk sejenak sebelum akhirnya menatap Vita.“Dia dulunya adalah senior Mas di kepolisian yang sudah mengkambing-hitamkan Mas,” ucap Arga."Dia yang udah membuat Mas dikeluarkan dari kepolisian," lanjut pria itu. Vita membuka mulutnya lebar, lalu menutupnya dengan tangan.“Tapi… tapi orang tadi kelihatannya baik banget. Buktinya dia udah nolongin aku,” ucapnya pelan, masih tidak menyangka dengan fakta yang







![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)