"Enak," gumam Vita saat mencicipi seblak buatannya. Ia ingin mencoba melupakan perilah surat yang ditulis oleh Arga, dengan memasak makanan kesukaannya.
Sebenarnya selama menikah ia memang sering ditinggal dinas oleh suaminya, namun baru kali ini Arga tidak berpamitan langsung kepadanya sehingga membuat hatinya tidak tenang. Vita mengecek ponselnya, tidak ada pesan apapun dari suaminya. Ia juga mengecek aplikasi W******p dan menunjukkan kalau Arga terakhir kali aktif sekitar pukul lima sore. "Ternyata kamu emang beneran ngga bisa dihubungi ya?" gumam Vita. Ia kemudian mulai menyantap seblak yang sudah tersaji di mangkok. Baru satu suapan masuk ke mulutnya, tiba tiba ingatan tentang awal ia mengenal Arga kembali berputar di kepalanya. Saat itu Vita masih kuliah, diakhir pekan ia dan teman-temannya terbiasa berkumpul entah di cafe ataupun tempat tongkrongan lain. Pada saat itu ada warung seblak yang baru saja buka dan berada di dekat kampus mereka. Mereka pun bersemangat mengunjungi warung seblak tersebut. Saat itulah ia mengetahui kalau penjual seblak saat itu adalah Arga. Iya Arga. Sebelum bekerja di perusahaan, laki-laki itu memang lebih dulu bekerja sebagai penjual seblak. Saat pertama melihat lelaki itu, Vita bertanya-tanya kenapa lelaki setampan Arga mau bekerja menjadi pedagang seblak? Bukannya ia mau meremehkan pekerjaan tersebut, namun dilihat dari fisik Arga yang atletis dan cara berbicaranya yang luwes dan enak didengar, lelaki itu sepertinya bisa mendapatkan pekerjaan lain. Saat minggu ketiga warung seblak tersebut buka, ia terkejut karena warung tersebut ternyata sudah tutup dan rukonya telah dijual. Ia merasa kecewa karena sebenarnya ia datang untuk menanyakan banyak hal kepada Arga. Ting tong ting tong. Suara bel rumah menyadarkan Vita dari lamunannya. "Siapa yang dateng? Tumben jam segini ada tamu," gumam Vita. Ia melirik jam dinding yang berada di sisi kanan. Jarum pendeknya menunjukkan pukul delapan malam. Ting tong ting tong. Bel rumah kembali berbunyi. Karena penasaran siapa yang datang akhirnya Vita beranjak dari kursinya. Ia berjalan pelan menuju pintu utama. Jujur saja Vita merasa takut karena ia sedang sendirian di rumah. Sebelum membuka pintu, Vita mengintip dari celah-celah tirai untuk melihat siapa yang datang. Dari situ lah ia bisa melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang berdiri tepat di depan pintu rumah. "Dia siapa sih?" gumam Vita. Karena di luar gelap, ia menjadi tidak bisa melihat wajah laki-laki tersebut. Ting tong ting tong. Bel kembali berbunyi. Karena berpikir laki-laki tersebut mungkin saja teman Arga, Vita pun memutuskan untuk membuka pintu. Ia memutar kunci, dan knop pintu secara perlahan. Saat pintu terbuka, Vita bisa melihat sosok lelaki yang di depannya dengan jelas. Laki-laki tersebut memiliki mata tajam, bibir tipis dan rahang keras. Seketika ia merasa takut melihat penampilan laki-laki itu yang menggunakan setelan hitam dari atas hingga bawah. Hal itu membuat tubuhnya kaku dan ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Namun rasa takut itu perlahan menghilang saat laki-laki didepannya menampilkan sebuah senyuman. "Permisi, maaf mengganggu waktunya. Apa benar ini rumahnya Pak Reksa?" tanya laki-laki itu. Vita seketika mengerutkan keningnya. Ia belum pernah mendengar nama itu. "Pak Reksa? Maaf bukan," jawab Ivy dengan cepat. "Ooh bukan, kalau gitu saya pasti salah alamat," balas laki-laki asing itu sambil mengecek ponselnya. Vita hanya bisa menunjukkan senyum kaku. "Mungkin," balasnya singkat. "Kalau begitu saya pamit dulu ya, sekali lagi maaf karena sudah mengganggu," ucap laki-laki asing itu sebelum akhirnya meninggalkan Vita. Vita mengangguk, setelah memastikan laki-laki asing itu benar-benar pergi, ia segera masuk ke dalam rumah. Namun tak lama kemudian pintu kembali diketuk. Tanpa berpikir panjang, Vita langsung membuka pintu rumahnya kembali. "Ada yang bis-" BUG! Vita merasakan sebuah pukulan keras yang mengenai wajahnya. "Aah sakit!" seru Vita. Ia menyentuh hidungnya yang langsung mengeluarkan darah. Ia yang memiliki ketakutan akan darah pun langsung merinding. "Perih!" Vita menoleh ke arah pintu, sosok yang baru saja memukulnya. Di sana ia bisa melihat dua laki-laki bertubuh tinggi besar yang memakai setelan berwarna hitam serta memakai masker. Sehingga Vita tidak bisa melihat wajah mereka. "Kalian siapa?!" seru Vita. Kedua laki-laki itu tidak langsung menjawab. Namun mereka seperti memberikan isyarat ke arah belakang Vita. Tiba-tiba Vita merasakan kepalanya dipukul oleh benda keras. DUG! Sebelum Vita sempat menoleh ke belakang, tubuhnya sudah lebih dulu terjatuh ke lantai, dan ia pun tidak sadarkan diri.Vita membuka matanya perlahan saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh wajahnya. Beberapa tetes air membasahi pipinya dan membuatnya terbangun dari tidurnya yang nyenyak."Huh... hujan?" gumamnya setengah sadar. Ia buru-buru bangkit dari sofa, tapi seketika menyadari sesuatu yang janggal. Ia saat ini berada di kamar sehingga tidak mungkin hujan akan membasahi dirinya. Dahi Vita berkerut. Ia menatap sekeliling, lalu mendesis pelan."Jangan-jangan..."Pandangannya langsung tertuju pada sosok laki-laki yang berdiri tak jauh darinya, memegang gelas kosong dengan sisa-sisa air menetes dari bibirnya."Iiiih, Abang! Nakal banget sih!" teriak Vita sambil bangkit dan memukul dada Desta dengan kesal."Aw! Sakit, tahu!" seru Desta sambil mundur cepat, menutupi dadanya dengan kedua tangan. "Udah, udah! Jangan dipukul terus, aku bisa memar!"Vita mendengus. "Rasain! Emang enak digangguin pas tidur? Ngapain sih nyiram aku segala?" tanya Vita sambil mengepalkan tangannya.Desta justru tertawa,
Di dalam perjalanan pulang, Vita hanya diam sambil memandang jalanan. Entah mengapa firasatnya mengatakan kalau laki-laki asing tadi memanglah Arga. Namun ia juga bertanya-tanya mengapa suaminya berpakaian tak seperti biasanya?"Bang, menurutmu wajar ngga sih kalau Mas Arga dinas di luar kota tapi ngga boleh pegang hp sama sekali?" tanya Vita kepada Desta yang sedang fokus menyetir.Desta mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu nanya gitu?" tanya balik Desta."Ya ngga papa sih, cuma aneh aja," balas Vita.Desta menghela napas pendek. "Jangan karena tadi kamu liat orang yang mirip suamimu di jalanan, terus kamu jadi curiga sama dia," saran Desta yang langsung membuat tubuh Vita membeku."Aku ngga curiga sama Mas Arga, aku cuma nanya pendapatnya abang," ucap Vita tidak mau mengaku kalau ia merasa ada yang janggal dengan suaminya. "Gini, lebih baik kamu tanya langsung aja sama Arga kalau dia udah pulang. Abang ngga mau ikut campur sama urusan rumah tangga kalian, kecuali dia KDRT," jelas De
Keesokan harinya Vita sudah diizinkan pulang oleh dokter karena kondisinya sudah membaik. Saat ini ia sudah berada di mobil bersama kakaknya."Kita berangkat sekarang ya," ucap Desta sambil menarik sabuk pengaman. "Iya," balas Vita. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi.Mobil melaju perlahan dan mulai meninggalkan area rumah sakit. Vita mengedarkan pandangannya ke jalanan. Jalanan pagi tampak sibuk dengan aktivitas setiap manusia. Vita tersenyum melihatnya, tiba-tiba teringat dengan suaminya. Ia tidak sabar bahwa besok Arga akan pulang ke rumah.Mobil perlahan berhenti karena lampu merah. Pandangan Vita tetap mengarah ke jalanan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. Seorang laki-laki dengan pakaian lusuh sedang duduk di depan sebuah ruko kosong."Mas Arga?" gumam Vita."Hah Arga? Mana Arga?" tanya Desta saat mendengar Vita memanggil nama suaminya.Vita tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Ia memilih untuk tetap memperhatikan orang itu, takut kalau ia hanya berhalu
"Kapan aku bisa pulang bang?" tanya Vita kepada desta. Sedari sadar entah sudah berapa kali ia menanyakan pertanyaan yang sama ke kakaknya itu, hingga Desta merasa kesal. "Sabar dulu, kata dokter kalau kondisi kamu membaik, besok kamu udah boleh pulang," jawab Desta mencoba tetap bersikap lembut. Vita mengangguk walaupun ia sudah bosan berada di dalam ruangan seharian. "Arga pergi ke luar kota berapa hari?" tanya desta yang seketika membuyarkan lamunan Vita.Vita menatap wajah kakaknya. "Katanya sih satu minggu. Kalau aku di sini udah lima hari, berarti dia pulangnya dua hari lagi," jawab Vita. Ia tersenyum senang karena akhirnya sebentar lagi ia bisa bertemu kembali dengan suaminya.Desta mengangguk, namun wajahnya menunjukkan kecemasan yang tak biasa. Hal itu tentunya membuat Vita merasa heran."Ada apa bang? Kenapa mukanya kayak gitu?" tanya Vita penasaran.Desta langsung menyentuh wajahnya dengan kedua tangan. "Kayak gitu gimana? Muka abang emang gini," jawab Arga tak paham den
Vita membuka matanya secara perlahan. Pandangannya masih kabur dan ia hanya bisa melihat langit-langit berwarna putih. "Aku dimana?" gumam Vita sambil menoleh ke samping. Ia lalu berusaha untuk bangun, namun tiba-tiba kepalanya terasa sakit. "Aw sakit banget," lirihnya sambil menyentuh kepalanya yang dibalut perban.Dengan sekuat tenaga ia mengubah posisinya menjadi duduk. Vita memandang sekeliling. Ruangan itu berwarna krem, dengan sofa abu-abu yang berada di sudut ruangan. Di meja yang berada di dekat jendela ia bisa melihat ada banyak buah-buahan.Tatapannya beralih ke dirinya sendiri. Ia langsung menyadari dirinya yang memakai baju berwarna biru muda dan kondisi tangan kanannya yang terpasang selang infus."Aku lagi di rumah sakit? Kok bisa?" Vita bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi, sehingga dirinya bisa berakhir di sini. Namun seberapa kuat ia mencoba, ingatannya hanya bisa berputar saat saat ia akan membukakan pintu untuk tamu.
"Enak," gumam Vita saat mencicipi seblak buatannya. Ia ingin mencoba melupakan perilah surat yang ditulis oleh Arga, dengan memasak makanan kesukaannya.Sebenarnya selama menikah ia memang sering ditinggal dinas oleh suaminya, namun baru kali ini Arga tidak berpamitan langsung kepadanya sehingga membuat hatinya tidak tenang.Vita mengecek ponselnya, tidak ada pesan apapun dari suaminya. Ia juga mengecek aplikasi Whatsapp dan menunjukkan kalau Arga terakhir kali aktif sekitar pukul lima sore."Ternyata kamu emang beneran ngga bisa dihubungi ya?" gumam Vita. Ia kemudian mulai menyantap seblak yang sudah tersaji di mangkok.Baru satu suapan masuk ke mulutnya, tiba tiba ingatan tentang awal ia mengenal Arga kembali berputar di kepalanya. Saat itu Vita masih kuliah, diakhir pekan ia dan teman-temannya terbiasa berkumpul entah di cafe ataupun tempat tongkrongan lain. Pada saat itu ada warung seblak yang baru saja buka dan berada di dekat kampus mereka. Mereka pun bersemangat mengunjungi war