Satu-satunya orang yang bisa menolong Shera adalah Edward. Dalam hal apa pun itu, hanya Ed yang selama ini bisa Shera andalkan mengurus masalahnya. Meski Shera sudah membuat sangat banyak kesalahan, Edward masih dengan sabar di sisi gadis itu, bahkan tak sungkan Ed meminta maaf meski Shera yang melakukan kesalahan. Entah apa yang terjadi padanya sampai begitu sensitif, hanya karena Shera mempertanyakan apakah pria itu tulus padanya.“Edward, kau sedang demam?” Shera mengulurkan punggung tangannya ke kening Edward, suhu badan pria itu tidak panas. Tidak mungkin Edward badmood karena PMS kan? Dia laki-laki.“Aku baik dan aku tidak demam. Shera, tolong jawab pertanyaanku. Apakah semua yang kita lalui selama ini tidak berarti bagimu? Apakah kesabaranku menunggu hanya kau anggap sebuah lelucon, sampai kau pikir aku tidak tulus mencintaimu? Untuk apa aku bersabar menunggu, jika aku tidak tulus padamu?” sahut Edward, kali ini kalimatnya lebih panjang.Selama tujuh tahun ini sudah banyak hal
“Aku... hamil.” Kalimat itu terucap setelah Shera bersusah paya menahannya sejak tadi. Esok Albi harus kembali ke luar kota untuk mengikuti test kepolisian, seperti yang diinginkan keluarganya. Shera tidak bisa hanya diam dan menunggu Albi kembali, untuk memberitahu kehamilannya. Saat itu pun senyum Albi merekah menatap Shera, seakan tidak ada rasa takut seperti yang Shera rasakan. Albi membingkai kedua pipi Shera dengan tangannya, sementara mata lelaki itu berbinar sangat senang. “Kau serius, She? Kau tidak sedang berbohong?” Bagaimana Shera bisa berbohong dengan keadaan yang sangat serius seperti itu? Dia memang mengandung setelah mereka melakukannya sebulan yang lalu, saat Albian pulang dari sekolah yang diikutinya. Dan karena itu pula Shera meminta Albi mengambil libur agar bisa berbicara empat mata dengan lelaki yang sudah tiga tahun menjadi kekasihnya. “Aku takut, Bi. Jika ayahku mendengar ini... aku pasti mati,” ungkap Shera, mengingatkan Albi sekeras apa hati ayahnya. Tidak
“Aku... aku mengandung anak Albi, sudah tiga bulan.”Kalimat itu meluncur dari bibir Shera, menjelaskan hubungannya dengan Albi. Berharap gadis di depannya mungkin akan mengerti dengan kondisinya saat ini. Shera sangat mencintai Albi, tak pernah ada keraguan di dalam cintanya.“Lantas, apa urusannya denganku?” Gadis bergaun pengantin itu menatap sinis pada Shera. “Kau yang mengandung, kenapa aku harus tahu?” ucapnya enteng. Hal itu membuat Shera seperti ingin mati detik itu juga.Namun, hinaan itu tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang harus dia pertahankan. Shera tidak keberatan menjatuhkan harga dirinya di depan gadis yang dia ketahui adalah calon istri dari kekasihnya.Shera menyatukan kedua tangan, bersimpuh di atas lututnya dan memohon di belas kasihan sang gadis.“Sebagai sesama perempuan, aku mohon... tolong batalkan pernikahan kalian, demi anak di dalam rahimku,” pinta Shera penuh permohonan.Rahang Vivi mengetat. Kedua tangan saling mencengkeram menunjukkan betap
Shera termenung menatap wine di depannya. Matanya memang tertuju pada gelas itu tapi pikiran sudah sejak tadi mengembara ke tempat lain. Segala pertanyaan di dalam benaknya tak satu pun mendapat jawaban atas apa yang baru saja dia alami.“Apa yang mereka inginkan? Bukannya mereka sudah hidup bahagia? Kenapa harus menggangguku di saat aku sudah berusaha keras melupakan segalanya?” bisik Shera, tangannya meraih gelas wine yang sudah diisi.Selama hidup di Australia, Shera sudah terbiasa dengan minuman yang mengandung alkohol. Dia sangat berubah, tidak seperti Shera yang dikenal lugu sebagai gadis Indonesia pada umumnya– yang tabu dengan hal-hal seperti ini. Bahkan terkadang dia sendiri tidak mengenali dirinya, sangat berbanding terbalik dengan keinginan sang ayah. Teringat dengan ayahnya, Shera seakan dibawa ke masa lalu. Saat sang ayah mendengar kabar kehamilan Shera, kala itu ayahnya tidak mau mendengar alasan apa pun dan menyuruh Shera mendesak Albi menikahinya. Tapi saat Shera dat
Pelukannya masih sama seperti dulu–hangat dan memberikan rasa nyaman. Shera sampai terlena oleh dekapan Albi yang begitu erat memeluknya dari belakang. Matanya terpejam menikmati sentuhan yang sudah lama tak dirasakan, bahkan Shera tak sadar bening hangat sudah meleleh dari sudut mata yang terkunci rapat.“Albi?” panggil Shera berbisik. Tak kuasa dia menahan rasa rindu yang sekian lama mengekang diri. Tapi di detik berikutnya, Shera tersadar bahwa lelaki itu sekarang bukan lagi miliknya.Segera Shera menepis tangan Albian dari lehernya, dengan cepat dia berdiri menatap lelaki itu.“Apa yang kau lakukan?!” sentak Shera, nada suaranya bergetar.Albian mematung. Dari sorot matanya terlihat jelas kerinduan mendalam, seperti tak ingin menjauh dari Shera.“Aku mohon, tolong maafkan aku. Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.”“Kau gila!” Shera meraih tasnya dari atas meja dan bersiap akan meninggalkan Albi. Tapi tangan Albian lebih sigap mencengkeram lengan Shera.“Jangan pergi, kumohon
Pertemuannya dengan Albian sangat mengganggu Shera sejak tadi malam. Keberanian lelaki itu sudah di luar batas, bahkan tidak segan memeluk Shera di kafe umum yang bisa didatangi siapa saja. Shera takut andaikan Vivia mengetahuinya, akan membawa masalah yang akan menyudutkan Shera ke depan nanti.Bagaimana pun, Vivi adalah istri Albian, sedangkan Shera masa lalu yang tak sepatutnya berada di sekitar mereka. Bukan tak mungkin Albian akan mengulang lagi kejadian tadi malam, yang akan membuat namanya buruk atas tuduhan tak berdasar. Shera tidak ingin sekali lagi mengulang kisah lama, yang akan menghancurkan dirinya lebih banyak lagi.“Apa maksudmu, Shera? Sudah aku katakan, Ibu Vivia adalah orang yang sangat berpengaruh di kota ini. Kau sudah menyanggupinya, jadi jangan pernah mundur!” peringat laki-laki bertubuh bongsor itu memperingatkan.Shera tahu hal itu. Selain istri polisi yang sudah berpangkat tinggi, Vivia adalah putri dari keluarga terhormat di kota tempat mereka tinggal. Ayahny
Shera membantu Vivia mengenakan gaun hasil desainnya. Sangat sempurna, sesuai dengan gambar sketsa yang Vivia lihat hari itu. Bahkan ukurannya sangat pas di tubuh Vivi, tidak terlihat sedikit pun cela. Padahal, Shera tidak melakukan fitting padanya, kenapa bisa sangat sempurna?Namun, bukan berarti Vivi akan melepaskan Shera. Akan selalu ada alasan untuknya menyindirnya.“Aku pikir, setelah semua yang terjadi tujuh tahun yang lalu, seharusnya kau malu kembali ke kota ini. Tapi tampaknya kau baik-baik saja, Shera.” Vivia berbicara sambil memperhatikan Shera memasangkan aksesoris di gaunnya.“Kenapa harus malu? Aku tidak mencuri milik orang lain,” sahut Shera, masih terus dengan pekerjaannya. Meski di dalam hati dia sesak ketika Vivi mengingatkan kenangan masa lalunya, dia cukup cerdas membalas Vivia tepat sasaran.Lihat saja wajah Vivia, terlihat memerah kala Shera menyebutkan ‘mencuri milik orang lain.’ Dia merasa dituduh sudah mencuri Albian.“Ya... kau tidak mencuri. Tapi, apa kau t
“Selamat ulang tahun pernikahan, Ibu Vivi, semoga pernikahanmu selalu bahagia.”Para undangan dan rekan menyalami Vivia, mengucapkan selamat berbahagia untuk wanita yang dikenal sebagai pejuang hak perempuan itu. Malam ini adalah hari ulang tahun ketujuh pernikahannya dan Albi, yang dirayakan sangat mewah di sebuah hotel ternama.Vivia dengan balutan gaun panjang berwarna hijau muda terlihat sangat cantik. Rambut panjangnya disanggul tinggi ke atas, hingga menonjolkan lekuk leher jenjang yang putih bersih. Selain karena namanya yang tercium wangi di hadapan para wanita, penampilan Vivia yang selalu anggun juga membuat semua orang sangat kagum padanya.“Terima kasih, doa yang sama buat kalian. Semoga rumah tangga kita semua selalu bahagia,” sahut Vivi memamerkan senyum manis yang tak pernah lekang dari bibirnya.“Ibu Vivi sangat cantik, Pak Albian pasti sangat bersyukur memiliki istri seperti ibu.”“Tentu saja. Pak Albian selalu ada di mana pun Ibu Vivi berada, sudah pasti mereka sali