“Aku... aku mengandung anak Albi, sudah tiga bulan.” Kalimat itu meluncur dari bibir Shera, menjelaskan hubungannya dengan Albi. Berharap gadis di depannya mungkin akan mengerti dengan kondisinya saat ini. Shera sangat mencintai Albi, tak pernah ada keraguan di dalam cintanya. “Lantas, apa urusannya denganku?” Gadis bergaun pengantin itu menatap sinis pada Shera. “Kau yang mengandung, kenapa aku harus tahu?” ucapnya enteng. Hal itu membuat Shera seperti ingin mati detik itu juga. Namun, hinaan itu tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang harus dia pertahankan. Shera tidak keberatan menjatuhkan harga dirinya di depan gadis yang dia ketahui adalah calon istri dari kekasihnya. Shera menyatukan kedua tangan, bersimpuh di atas lututnya dan memohon di belas kasihan sang gadis. “Sebagai sesama perempuan, aku mohon... tolong batalkan pernikahan kalian, demi anak di dalam rahimku,” pinta Shera penuh permohonan. Rahang Vivi mengetat. Kedua tangan saling mencengkeram menunjukkan betapa tidak senang dia mendengar kabar kehamilan Shera. Matanya melotot penuh amarah, seperti akan keluar dari rongganya. “Siapa suruh kau tidur dengannya? Siapa suruh kau mengandung anaknya? Aku tidak peduli, dan jangan bermimpi aku akan membatalkan pernikahanku!” sahut Vivi. “Ayahku akan mati jika aku tidak menikah sekarang. Aku mohon... tolong kembalikan Albi padaku. Kami saling mencintai, kami sudah berjanji akan menikah begitu Albi lulus kepolisian,” isak Shera dalam keputusasaan. Tanpa perasaan gadis itu mengibas gaun pengantinnya dan berkata dengan tajam! “Gugurkan! Ayahmu tidak akan mati jika kau menggugurkan bayi itu!” Kenangan yang menyakitkan itu tidak bisa Shera lupakan. Setelah tujuh tahun berlalu, waktu mempertemukan lagi dirinya dengan Vivia dan Albi. Kesempatan itu Shera manfaatkan untuk membalaskan dendamnya yang sudah berkarat. Lantas, bagaimana kelanjutan kisah mereka? *** Selamat datang di novel ke 5 aku, semoga kakak semua suka. Silakan follow akun sosmed aku untuk mendapatkan info novel lainnya. IG butiran_debu.m dan FB ame mey/Butiran Debu. Terima kasih.
Lihat lebih banyak“Aku... hamil.” Kalimat itu terucap setelah Shera bersusah paya menahannya sejak tadi. Esok Albi harus kembali ke luar kota untuk mengikuti test kepolisian, seperti yang diinginkan keluarganya. Shera tidak bisa hanya diam dan menunggu Albi kembali, untuk memberitahu kehamilannya.
Saat itu pun senyum Albi merekah menatap Shera, seakan tidak ada rasa takut seperti yang Shera rasakan. Albi membingkai kedua pipi Shera dengan tangannya, sementara mata lelaki itu berbinar sangat senang.
“Kau serius, She? Kau tidak sedang berbohong?”
Bagaimana Shera bisa berbohong dengan keadaan yang sangat serius seperti itu? Dia memang mengandung setelah mereka melakukannya sebulan yang lalu, saat Albian pulang dari sekolah yang diikutinya. Dan karena itu pula Shera meminta Albi mengambil libur agar bisa berbicara empat mata dengan lelaki yang sudah tiga tahun menjadi kekasihnya.
“Aku takut, Bi. Jika ayahku mendengar ini... aku pasti mati,” ungkap Shera, mengingatkan Albi sekeras apa hati ayahnya. Tidak mungkin ada toleransi untuk Shera jika ayahnya sampai tahu kehamilannya.
Senyum Albi yang merekah pun mulai memudar. Dia sangat mengenal ayah dari gadis yang menjadi kekasihnya. Pria itu selalu mengingatkan agar hubungan asmara keduanya berjalan dengan semestinya tanpa mempermalukan keluarga. Jika ayah Shera tahu hal itu, sudah barang tentu akan membuatnya sangat berang. Tapi Albi sadar saat ini dirinya tidak mungkin menikahi Shera, Albian harus menuntaskan terlebih dulu sekolahnya sebelum menikahi Shera, sehingga tak ada halangan dari pihak keluarga.
“She, kau percaya aku mencintaimu sangat banyak? Aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Aku mohon, sampai kululusanku diumumkan, kuharap sabar menunggu. Aku akan segera menikahimu begitu aku dinyatakan lulus masuk kepolisian,” ucap Albi, menatap mata kekasihnya sangat dalam. Albi tidak pernah berbohong dalam hal apa pun, sehingga Shera sangat mempercayai kekasihnya sepenuh hati. Tak ada kebohongan di sorot mata Albian yang harus membuat Shera meragukannya.
Namun fakta yang terjadi, Albi kembali dengan calon istri dan melangsungkan pernikahan tanpa mengatakannya pada Shera.
***
Semua itu masih terekam jelas di ingatan. Shera tidak pernah melupakan janji yang Albi ucapkan mengatasnamakan janin yang ada di dalam perutnya. Shera ingat betul bagaimana Albi mengecup perutnya, meminta janinnya bersabar sebentar lagi demi masa depan mereka. Bahkan sampai detik ini, Shera tidak percaya Albi sudah mengkhianati kepercayaannya, juga ingkar janji pada janin mereka.
Kenapa harus bertemu kembali? Setelah tujuh tahun kenangan itu berusaha Shera lupakan, kenapa harus ada pertemuan diantara mereka lagi? Bukan hanya Albi, bahkan ada Vivia, istri Albian di sini. Vivi pula yang membuat Shera berada dalam situasi yang tidak Shera inginkan.
Apakah Vivi sengaja membuka kembali luka di dada Shera, dengan cara mempertemukan mereka?
Entah apa tujuan Vivi membuat Shera dalam kesulitan ini. Merelakan Albi menikah dengan Vivi saja sudah membuat dadanya sesak setiap kali teringat akan masa itu, tapi sekarang dia harus berhadapan dengan Albi, menyentuh tubuh lelaki itu untuk mengambil ukuran tubuhnya.
“Tolong angkat tangannya,” ucap Shera, hendak mengukur bagian dada Albi. Lelaki itu menurut seperti patung yang diberi baterai, mengangkat kedua tangan saat Shera meminta.
Ketika Shera melingkarkan tangannya di tubuh Albi, ada desiran yang sama dia rasakan. Desir kerinduan untuk memeluk Albi sangat kuat di dalam sana. Jika tidak mengingat betapa kejamnya lelaki itu mencampakkan Shera di masa lalu, mungkin Shera sudah melupakan bahwa kini ada Vivia di dekat mereka.
Belum lagi saat tatapan mereka saling bertemu, Shera tidak bisa menahan degupan jantung yang semakin membuncah di dalam sana. Wangi yang sama, Albian masih memakai parfum dengan wangi yang sama, yang dulu Shera pilihkan.
“Sudah selesai, Nona Shera?” Vivi datang ke dekat suaminya, memeluk lengan Albi mesra. Kala itu pun Shera seakan tertampar setelah sebelumnya hanyut akan wangi tubuh Albian.
“I-ya. Sudah.” Shera tergugup dan bergegas menuju meja, mencatat ukuran tubuh Albi di kertas yang sudah disiapkan. “Sekarang giliran Ibu Via.”
Vivi tertawa kecil, melepaskan rangkulannya dari lengan Albi. Kemudian perempuan itu berjalan ke arah Shera, menatap wajah Shera sangat dekat dengan sorot yang sulit diartikan.
“Tidak perlu. Aku tidak suka tubuhku disentuh orang yang bahkan tidak penting dalam hidupku.”
Kata-kata yang sangat menohok bagi Shera. Dia tidak penting bagi perempuan itu, padahal Vivi sendiri yang menginginkan jasanya untuk membuatkan gaun. Apakah Vivi tengah mengingatkan bahwa Shera adalah perempuan tidak berguna? Shera ingin membalas ucapan yang sangat merendahkannya sebagai seorang desainer, tapi hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan.
“Maaf?” kata Shera, masih mencoba bersikap profesional. Andaikan Vivia tahu, Shera juga tidak pernah berharap bertemu dengan perempuan ini, apalagi sampai mengukur tubuhnya.
“Maksudku, aku sudah menyiapkan gaunku sebagai acuan untukmu. Tidak perlu repot mengukur,” ucap Vivi berbisik, wajahnya sangat mudah berubah dari yang tadinya penuh kebencian, sekarang sudah terlihat ramah dengan senyumnya.
Apa sebenarnya yang direncanakan perempuan ini? Ia meminta Shera datang mengambil ukuran tubuhnya, tapi kemudian menolak. Apakah sebenarnya Vivi tengah merencanakan sesuatu? Apa tujuan Vivi mengundang Shera ke tempat ini?
Satu-satunya orang yang bisa menolong Shera adalah Edward. Dalam hal apa pun itu, hanya Ed yang selama ini bisa Shera andalkan mengurus masalahnya. Meski Shera sudah membuat sangat banyak kesalahan, Edward masih dengan sabar di sisi gadis itu, bahkan tak sungkan Ed meminta maaf meski Shera yang melakukan kesalahan. Entah apa yang terjadi padanya sampai begitu sensitif, hanya karena Shera mempertanyakan apakah pria itu tulus padanya.“Edward, kau sedang demam?” Shera mengulurkan punggung tangannya ke kening Edward, suhu badan pria itu tidak panas. Tidak mungkin Edward badmood karena PMS kan? Dia laki-laki.“Aku baik dan aku tidak demam. Shera, tolong jawab pertanyaanku. Apakah semua yang kita lalui selama ini tidak berarti bagimu? Apakah kesabaranku menunggu hanya kau anggap sebuah lelucon, sampai kau pikir aku tidak tulus mencintaimu? Untuk apa aku bersabar menunggu, jika aku tidak tulus padamu?” sahut Edward, kali ini kalimatnya lebih panjang.Selama tujuh tahun ini sudah banyak hal
“Kamu nggak berangkat ke kantor?” tanya Shera yang melihat Albi bermalas-malasan di depan televisi. Pria itu menggeleng, seperti orang yang tak punya harapan hidup saja kelakuannya. Jujur Shera merasa tidak senang melihat Albi hanya diam di rumah.“Bi, kau harus tetap bekerja,” katanya, mengambil posisi duduk di sebelah pria itu.“Untuk apa? Adi Wangsa akan tetap memecatku.” Albi memeluk istri keduanya, membawa Shera ke dalam pelukan. “Mendingan aku habiskan waktu bareng kamu, kan?”Hah! Bukan seperti ini yang Shera inginkan. Meski dia dengan terpaksa harus menikah dengan Albi, dia sama sekali tidak berharap berduaan seperti ini terus menerus. Sejujurnya, bahkan Shera muak mendapat ciuman seperti sekarang dari Albi.“Bi...” bisiknya, menarik diri dari ciuman Albi yang bertubi-tubi di lehernya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Kau takut kehilangan pekerjaanmu ‘kan? Tapi, meski nanti akan seperti itu, kau tidak boleh bolos bekerja. Kau harus tetap hadir di kantor, meski hanya u
Setelah pertemuan dengan Lewin, setiap hari Vivi menerima pesan dari gadis bodoh itu, sebagai bukti Shera sudah meminum obat yang dia berikan. Seperti hari itu, Vivia tersenyum melihat Video saat Lewin memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol vitamin Shera. Bertepatan sekali memang, warna dan bentuk obat penggugur kandungan yang ia beli sama persis dengan vitamin milik Shera. Gadis itu pasti tidak curiga jika yang ia minum adalah obat untuk membunuh janinnya.[Shera sudah meminum obatnya. -Lewin]Sebuah foto ikut terkirim di bawa pesan yang Lewin kirimkan. Vivi hanya membacanya tanpa membalas satu kata pun.Tak berselang lama, pesan masuk lagi ke ponselnya dan itu lagi-lagi dari Lewin.[Kapan obatnya akan bereaksi, Bu Vivi? Sudah tiga hari Shera minum tapi tampaknya dia baik-baik saja. -Lewin][Sabar. -Ibu Vivi]Hanya kata itu yang Vivi kirimkan.Obat itu memang tidak langsung menunjukkan reaksi apa-apa saat diminum. Tapi di dalam sana, perlahan obat itu akan membuat gerak si janin m
Mendapat kesempatan berkuliah juga diberikan rumah yang layak di tengah kota, siapa pun pasti tergiur untuk mendapatkan semua itu. Tak ubahnya dengan Lewin, dia sangat ingin bisa berkuliah dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang desainer. Tapi melenyapkan nyawa seseorang sebagai taruhan, apakah itu bisa dia lakukan? Gadis belia itu menatap tak percaya pada wanita di depannya.“Melenyapkan bayi Shera?” bisik Lewin bertanya pada dirinya sendiri. Meski janin itu belum lahir ke muka bumi, tetap saja dia memiliki nyawa. Melakukan apa yang dikatakan oleh gadis di depannya ini sama saja membuat Lewin menjadi seorang pembunuh.“Kamu salah orang kalau berpikir aku akan melukai temanku dan janinnya. Dan aku katakan padamu, aku akan melaporkan rencanamu ini pada polisi!” kata Lewin tegas.Sejak tadi Lewin berusaha bersikap ramah, berbicara sopan dengan memanggil gadis seusianya itu dengan sebutan kakak, sebab dia pikir untuk menghormati pelanggan yang datang. Tapi setelah mendengar permintaa
“Aku sudah menghubungi orang itu, dia bernama Edward. Ketepatan sekali, ternyata pria itu pemilik perusahaan yang menaungi Shera sebagai desainer. Jadi... dia tidak akan curiga saat aku menghubunginya.”“Hm... bagus. Atur pertemuan dengannya. Aku ingin mengetahui banyak dari pria itu, sebelum melancarkan rencana ini.” Sebelum berperang, Vivia akan mengumpulkan peluru untuk membidik targetnya tepat sasaran. Dia membutuhkan banyak informasi dari pria bernama Edward itu.“Sudah, Bu Vivia. Aku sudah mengatur semuanya. Ketepatan sekali, pria itu akan berkunjung ke Indonesia dalam minggu ini.”Tampaknya keberuntungan tak pernah meninggalkan Vivia. Dia tersenyum membayangkan bagaimana terkejutnya wajah Shera nanti saat bertemu pria itu.“Selain dia yang menyokong hidup Shera selama ini, ternyata pria itu juga yang menolong Shera tujuh tahun yang lalu.”“Maksudmu?” Vivia tak sabaran kala mendengar kata ‘tujuh tahun yang lalu’.“Saat Shera kehilangan janinnya. Pria itu yang menolong Shera dan
“Baik. Tunggu aku di Indonesia, aku akan membawakan Shabi padamu.”Sejak dulu, Edward tidak pernah mengingkari ucapannya. Tak pernah pria itu menolak apa pun yang Shera pinta, meski itu terbilang permintaan yang sangat mustahil. Shera tak merasa khawatir lagi akan permintaan Albi. Dia percaya seutuhnya pada Ed, jika Shabi akan segera datang ke hadapannya. “Aku akan membuat kau bahagia di awal, Bi. Sebelum menjatuhkanmu sangat sakit,” bisik Shera menyentuh rambut pria itu. Dia elus pelan, seperti seorang ibu memanjakan putranya. Tak ubahnya dengan Shera, di tempat lain pun Vivia mengatur rencana baru untuk mengungkap betapa jahatnya seorang Shera. Dia tertawa terbahak-bahak saat menerima email dari seorang pesuruh. “Wah, aku harus mengakui kau begitu cerdik, Shera. Di balik wajah polos yang pamerkan, ternyata kau tak beda liciknya dariku.” Sekali lagi dia tertawa, tak menduga gadis yang ia anggap lugu ternyata jelmaan iblis seperti dirinya. Gadis polos dari mana yang akan memanfaa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen