Mendapat kesempatan berkuliah juga diberikan rumah yang layak di tengah kota, siapa pun pasti tergiur untuk mendapatkan semua itu. Tak ubahnya dengan Lewin, dia sangat ingin bisa berkuliah dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang desainer. Tapi melenyapkan nyawa seseorang sebagai taruhan, apakah itu bisa dia lakukan? Gadis belia itu menatap tak percaya pada wanita di depannya.“Melenyapkan bayi Shera?” bisik Lewin bertanya pada dirinya sendiri. Meski janin itu belum lahir ke muka bumi, tetap saja dia memiliki nyawa. Melakukan apa yang dikatakan oleh gadis di depannya ini sama saja membuat Lewin menjadi seorang pembunuh.“Kamu salah orang kalau berpikir aku akan melukai temanku dan janinnya. Dan aku katakan padamu, aku akan melaporkan rencanamu ini pada polisi!” kata Lewin tegas.Sejak tadi Lewin berusaha bersikap ramah, berbicara sopan dengan memanggil gadis seusianya itu dengan sebutan kakak, sebab dia pikir untuk menghormati pelanggan yang datang. Tapi setelah mendengar permintaa
Setelah pertemuan dengan Lewin, setiap hari Vivi menerima pesan dari gadis bodoh itu, sebagai bukti Shera sudah meminum obat yang dia berikan. Seperti hari itu, Vivia tersenyum melihat Video saat Lewin memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol vitamin Shera. Bertepatan sekali memang, warna dan bentuk obat penggugur kandungan yang ia beli sama persis dengan vitamin milik Shera. Gadis itu pasti tidak curiga jika yang ia minum adalah obat untuk membunuh janinnya.[Shera sudah meminum obatnya. -Lewin]Sebuah foto ikut terkirim di bawa pesan yang Lewin kirimkan. Vivi hanya membacanya tanpa membalas satu kata pun.Tak berselang lama, pesan masuk lagi ke ponselnya dan itu lagi-lagi dari Lewin.[Kapan obatnya akan bereaksi, Bu Vivi? Sudah tiga hari Shera minum tapi tampaknya dia baik-baik saja. -Lewin][Sabar. -Ibu Vivi]Hanya kata itu yang Vivi kirimkan.Obat itu memang tidak langsung menunjukkan reaksi apa-apa saat diminum. Tapi di dalam sana, perlahan obat itu akan membuat gerak si janin m
“Kamu nggak berangkat ke kantor?” tanya Shera yang melihat Albi bermalas-malasan di depan televisi. Pria itu menggeleng, seperti orang yang tak punya harapan hidup saja kelakuannya. Jujur Shera merasa tidak senang melihat Albi hanya diam di rumah.“Bi, kau harus tetap bekerja,” katanya, mengambil posisi duduk di sebelah pria itu.“Untuk apa? Adi Wangsa akan tetap memecatku.” Albi memeluk istri keduanya, membawa Shera ke dalam pelukan. “Mendingan aku habiskan waktu bareng kamu, kan?”Hah! Bukan seperti ini yang Shera inginkan. Meski dia dengan terpaksa harus menikah dengan Albi, dia sama sekali tidak berharap berduaan seperti ini terus menerus. Sejujurnya, bahkan Shera muak mendapat ciuman seperti sekarang dari Albi.“Bi...” bisiknya, menarik diri dari ciuman Albi yang bertubi-tubi di lehernya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Kau takut kehilangan pekerjaanmu ‘kan? Tapi, meski nanti akan seperti itu, kau tidak boleh bolos bekerja. Kau harus tetap hadir di kantor, meski hanya u
Satu-satunya orang yang bisa menolong Shera adalah Edward. Dalam hal apa pun itu, hanya Ed yang selama ini bisa Shera andalkan mengurus masalahnya. Meski Shera sudah membuat sangat banyak kesalahan, Edward masih dengan sabar di sisi gadis itu, bahkan tak sungkan Ed meminta maaf meski Shera yang melakukan kesalahan. Entah apa yang terjadi padanya sampai begitu sensitif, hanya karena Shera mempertanyakan apakah pria itu tulus padanya.“Edward, kau sedang demam?” Shera mengulurkan punggung tangannya ke kening Edward, suhu badan pria itu tidak panas. Tidak mungkin Edward badmood karena PMS kan? Dia laki-laki.“Aku baik dan aku tidak demam. Shera, tolong jawab pertanyaanku. Apakah semua yang kita lalui selama ini tidak berarti bagimu? Apakah kesabaranku menunggu hanya kau anggap sebuah lelucon, sampai kau pikir aku tidak tulus mencintaimu? Untuk apa aku bersabar menunggu, jika aku tidak tulus padamu?” sahut Edward, kali ini kalimatnya lebih panjang.Selama tujuh tahun ini sudah banyak hal
“Aku... hamil.” Kalimat itu terucap setelah Shera bersusah paya menahannya sejak tadi. Esok Albi harus kembali ke luar kota untuk mengikuti test kepolisian, seperti yang diinginkan keluarganya. Shera tidak bisa hanya diam dan menunggu Albi kembali, untuk memberitahu kehamilannya. Saat itu pun senyum Albi merekah menatap Shera, seakan tidak ada rasa takut seperti yang Shera rasakan. Albi membingkai kedua pipi Shera dengan tangannya, sementara mata lelaki itu berbinar sangat senang. “Kau serius, She? Kau tidak sedang berbohong?” Bagaimana Shera bisa berbohong dengan keadaan yang sangat serius seperti itu? Dia memang mengandung setelah mereka melakukannya sebulan yang lalu, saat Albian pulang dari sekolah yang diikutinya. Dan karena itu pula Shera meminta Albi mengambil libur agar bisa berbicara empat mata dengan lelaki yang sudah tiga tahun menjadi kekasihnya. “Aku takut, Bi. Jika ayahku mendengar ini... aku pasti mati,” ungkap Shera, mengingatkan Albi sekeras apa hati ayahnya. Tidak
“Aku... aku mengandung anak Albi, sudah tiga bulan.”Kalimat itu meluncur dari bibir Shera, menjelaskan hubungannya dengan Albi. Berharap gadis di depannya mungkin akan mengerti dengan kondisinya saat ini. Shera sangat mencintai Albi, tak pernah ada keraguan di dalam cintanya.“Lantas, apa urusannya denganku?” Gadis bergaun pengantin itu menatap sinis pada Shera. “Kau yang mengandung, kenapa aku harus tahu?” ucapnya enteng. Hal itu membuat Shera seperti ingin mati detik itu juga.Namun, hinaan itu tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang harus dia pertahankan. Shera tidak keberatan menjatuhkan harga dirinya di depan gadis yang dia ketahui adalah calon istri dari kekasihnya.Shera menyatukan kedua tangan, bersimpuh di atas lututnya dan memohon di belas kasihan sang gadis.“Sebagai sesama perempuan, aku mohon... tolong batalkan pernikahan kalian, demi anak di dalam rahimku,” pinta Shera penuh permohonan.Rahang Vivi mengetat. Kedua tangan saling mencengkeram menunjukkan betap
Shera termenung menatap wine di depannya. Matanya memang tertuju pada gelas itu tapi pikiran sudah sejak tadi mengembara ke tempat lain. Segala pertanyaan di dalam benaknya tak satu pun mendapat jawaban atas apa yang baru saja dia alami.“Apa yang mereka inginkan? Bukannya mereka sudah hidup bahagia? Kenapa harus menggangguku di saat aku sudah berusaha keras melupakan segalanya?” bisik Shera, tangannya meraih gelas wine yang sudah diisi.Selama hidup di Australia, Shera sudah terbiasa dengan minuman yang mengandung alkohol. Dia sangat berubah, tidak seperti Shera yang dikenal lugu sebagai gadis Indonesia pada umumnya– yang tabu dengan hal-hal seperti ini. Bahkan terkadang dia sendiri tidak mengenali dirinya, sangat berbanding terbalik dengan keinginan sang ayah. Teringat dengan ayahnya, Shera seakan dibawa ke masa lalu. Saat sang ayah mendengar kabar kehamilan Shera, kala itu ayahnya tidak mau mendengar alasan apa pun dan menyuruh Shera mendesak Albi menikahinya. Tapi saat Shera dat
Pelukannya masih sama seperti dulu–hangat dan memberikan rasa nyaman. Shera sampai terlena oleh dekapan Albi yang begitu erat memeluknya dari belakang. Matanya terpejam menikmati sentuhan yang sudah lama tak dirasakan, bahkan Shera tak sadar bening hangat sudah meleleh dari sudut mata yang terkunci rapat.“Albi?” panggil Shera berbisik. Tak kuasa dia menahan rasa rindu yang sekian lama mengekang diri. Tapi di detik berikutnya, Shera tersadar bahwa lelaki itu sekarang bukan lagi miliknya.Segera Shera menepis tangan Albian dari lehernya, dengan cepat dia berdiri menatap lelaki itu.“Apa yang kau lakukan?!” sentak Shera, nada suaranya bergetar.Albian mematung. Dari sorot matanya terlihat jelas kerinduan mendalam, seperti tak ingin menjauh dari Shera.“Aku mohon, tolong maafkan aku. Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.”“Kau gila!” Shera meraih tasnya dari atas meja dan bersiap akan meninggalkan Albi. Tapi tangan Albian lebih sigap mencengkeram lengan Shera.“Jangan pergi, kumohon