Home / Romansa / Suamimu Masih Mencintaiku / Dalam Genggaman Malam

Share

Dalam Genggaman Malam

Author: Borneng
last update Last Updated: 2025-04-14 16:22:35

“Apa kamu yang melakukannya?” tanyaku tiba-tiba. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri—pelan, getir, tapi cukup tajam untuk membelah udara.

Tubuhku membeku. Nafasku tercekat. Aku tidak boleh lemah. Tidak di hadapan dia.

“Iya,” jawabnya enteng. “Gue pikir malam itu kita melakukannya beberapa ronde. Gue bahkan pengin bilang makasih... karena lo sungguh sangat memuaskanku.”

Deg. Napasku membentur dinding dada, tertahan di sana. Kata-katanya menamparku lebih keras dari seribu tamparan.

Tatapan matanya menusuk, sinis, menghina—seolah aku cuma angka dalam daftar petualangan kasualnya. Lelaki tinggi bertubuh atletis itu berdiri santai, bersandar dengan aura congkak, mata coklat terang itu menyala dalam kegelapan. Berkarisma, memikat, tapi mematikan. Seperti racun dalam cangkir anggur.

Jantungku berdentam keras, ingin meloncat keluar dari dada. Aku tidak menduga. Ternyata aku sudah datang ke kandang buaya.

“Aku... aku tidak mengingatnya. Maaf,” kataku lirih. Lidahku kelu. Pandangan mulai berkunang-kunang.

“Oh?” Dia tersenyum sinis. “Padahal malam itu lo yang paling menguasai permainan. Gaya lo liar banget, gue sampe heran.”

Hancur.

"Aku tidak mengingatnya," ulangku. Kali ini, tangis yang selama ini kupendam akhirnya pecah. Aku merasa seperti terperosok ke lumpur busuk yang lengket—dan tak ada sabun secanggih apapun yang bisa membersihkanku dari rasa jijik ini.

Saat aku hendak masuk ke penginapan, dia mendekat. Nafasnya hangat di telingaku. Kalimat berikutnya menghantamku seperti peluru.

“Jalang sepertimu... ternyata bisa juga memuaskan. Gue sangat menikmatinya. Apa kita bisa ulang lagi?”

Air mataku tumpah. Aku pikir aku sudah cukup jauh dari masa lalu yang kelam. Tapi ternyata tidak. Aku hanya berputar dalam lingkaran takdir—kembali ke titik awal, tapi kali ini lebih dalam, lebih menyakitkan.

Tangannya mencengkeram daguku.

“Lo nangis? Kenapa? Hahaha! Nyesel ketemu gue?”

Aku diam. Tak punya tenaga bahkan untuk berdiri. Luka di tubuhku tidak seberapa dibanding cabikan pada harga diriku. Hinaan itu... menempel seperti racun yang menjalar perlahan.

"Aku mau tidur," ucapku lemah. “Aku ingin masuk...”

“Kenapa? Lo gak mau layanin gue lagi?”

"Aku sak—"

BRAK!

Dunia gelap. Tubuhku ambruk. Samar-samar kudengar dia memanggilku.

“Hei! Hei, lo kenapa?!”

Aku membuka mata dengan susah payah. Perutku melilit hebat. Baru kusadari... aku belum makan seharian. Hanya beberapa sendok ketoprak di apartemen Iren yang masuk ke perut ini. Dan sekarang... perut kosong ini memberontak seakan ingin meledak.

Mataku melirik kanan-kiri. Aku berada di kamar yang berbeda. Sepertinya kamar miliknya. Syukurlah... pakaianku masih utuh. Dia tidak menyentuhku. Tapi tetap saja, aku tidak ingin melihat wajahnya lagi.

Dengan perut yang terasa seperti dipelintir, aku tertatih berjalan keluar dari kamar. Baru beberapa langkah...

“Apa kabur memang jadi hobi lo?”

Suara itu terdengar dari balik dinding. Aslan berdiri bersandar, tangan di saku celana, wajah tampannya dingin, sinis. Mata coklat terangnya menelanjangiku seperti sinar X-ray.

“Aku cuma mau cari makanan,” jawabku cepat, bohong.

“Ini tengah malam, Sany. Gak ada warung buka. Kecuali lo mau berenang ke seberang laut itu,” katanya, menunjuk restoran yang lampunya sudah redup di kejauhan.

Aku hanya bisa diam. Suara ombak terdengar jauh lebih tenang daripada isi hatiku yang berkecamuk.

“Kenapa gak cari di dapur aja?”

Aku masuk ke dapur. Hanya menemukan mie instan di laci. Tanganku mulai gemetar. Lapar sudah memelukku terlalu erat.

Perkakas? Kompor? Entahlah.

"Aku nggak tahu tempat untuk masak," ucapku lirih. Suara itu hampir tenggelam dalam rasa malu.

"Dasar orang kampung," sindirnya, lalu membuka lemari dengan kasar. Ia mengeluarkan kotak bubur instan dan menyiapkannya dengan gerakan praktis.

Aku terdiam. Mataku hanya mengikuti gerakan tangannya. Aroma bubur yang sederhana itu terasa seperti aroma surgawi.

Dia menyodorkan mangkok padaku.

"Terima kasih," ujarku pelan. Aku tahu dia tak butuh ucapan itu, tapi aku tetap mengatakannya.

“Makan pelan-pelan. Lo kayak monyet kelaparan,” katanya datar.

Aku mengabaikannya. Rasa lapar lebih menyakitkan daripada hinaannya.

Tapi saat aku sedang menikmati suapan ketiga, mendadak...

BRAK!

Dia merebut mangkokku dan melemparkannya ke lantai. Bubur dan mangkok pecah berantakan.

“Sikap lo bikin gue emosi! Gue tahu lo sengaja nyulut gue! Dasar wanita jalang!”

Aslan berjalan pergi, meninggalkanku di antara puing-puing bubur dan ego yang hancur. Aku hanya bisa menatap lantai. Perutku masih lapar. Tapi yang lebih menyakitkan... hatiku.

Aku berjongkok, mencoba membersihkan lantai. Tapi saat tanganku menyentuh pecahan mangkok—SRET!

Tangan kananku terluka. Darah mengalir deras.

Sakit.

Tapi aku tidak ingin dia melihat aku seperti ini. Aku bangkit, mencari kotak P3K. Nihil. Bahkan luka sekecil ini pun aku harus tangani sendiri.

Aku melangkah keluar. Ingin mencari obat di luar. Tapi...

“Asik banget lo keluar malam-malam begini. Apa yang lo sembunyiin di belakang?”

Suara itu terdengar lagi. Aslan muncul, wajahnya kini lebih tajam dari biasanya.

"Aduh... sakit," aku meringis saat dia menarik tanganku yang berdarah.

Dia membawaku masuk kembali ke kamarnya. Tidak dengan kelembutan, tapi dengan dominasi khasnya.

“Gue gak tahu harus berapa kali lagi ngurusin lo. Apa lo sengaja nyakitin diri sendiri biar dapet perhatian gue?” Suaranya keras, tapi ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang hampir menyerupai... kepedulian?

Aku diam. Aku tahu, seangkuh dan sedingin apapun dia, dia tetap seorang dokter. Dan luka ini harus diobati.

Jarum suntik itu masuk ke kulitku. Aku menahan napas. Menggigit bibir. Bukan karena takut—tapi karena malu. Emosi ini menumpuk. Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—luka fisik atau luka hati yang dia tinggalkan.

“Sudah,” katanya akhirnya, melepaskan tanganku dengan kasar.

Aku menahan erangan pelan. Ketegangan kembali mengalir di udara.

“Terima kasih, Dokter,” ucapku.

Kata-kata itu terasa seperti serpihan duri yang kucabut sendiri dari dadaku.

**

Tangan kiriku masih nyeri, meski dibalut rapi oleh Aslan. Tapi setidaknya... dia tidak pergi begitu saja. Ada sisi dirinya yang menolak membiarkanku hancur. Sekalipun itu diselimuti oleh amarah dan sindiran.

Aku berjalan perlahan, mencoba keluar dari kamar. Tapi belum sempat mencapai pintu...

"Kenapa lo kabur lagi?"

Suara itu lagi. Kali ini terdengar seperti desah napas di antara dua denyut jantung yang tak sinkron.

"Aku cuma mau beli obat," jawabku datar. Tenang di luar, padahal dalam hatiku aku ingin berteriak.

Tapi akhirnya, aku hanya diam.

Karena kadang... diam adalah satu-satunya perlawanan saat semua kata sudah gagal membela diri.

"Kenapa lo selalu kabur dari gue, ? Apa lo takut... atau lo cuma pura-pura berani?"

Bersambung

Kakak yang baik hati, saya minta tolong  untuk dukungannya untuk karya ini, mengajak kakak semua memberi tanggapan atau komentar untuk karya ini, kalian juga memberi like, gem jika karya ini bagus terimakasih untuk kakak semua, salam sehat untuk kalian, terimakasih

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Pelangi Setelah Luka

    Malam itu telah tiba. Udara terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, mungkin karena lampu-lampu gantung yang mulai menyala lembut dari halaman rumah keluarga Aslan. Gaunku menjuntai indah, warna merah marun yang kupilih dengan keraguan kini menyatu manis dengan rona pipiku yang memerah karena gugup. Aku ingin memberi kabar itu pada Aslan, sebagai hadiah ulang tahun. Saat ia berdiri di depan kaca merapikan dasi. Aku datang dari belakang dengan langkah pelan tapi pasti. Jantungku berdetak kencang. Sementara tamu sudah berdatangan di bawah.“Sayang …” panggilku pelan.“Hmmm … jawabnya tanpa menoleh ke belakang, lalu dia menatapku dari pantulan kaca, Matanya melonggo dan berbalik.“Sayang … kamu sangat cantik pakai hijab,” ucapnya antusias.“Sayang, aku sudah siap memakainya mulai sekarang. Apa kamu mendukungku?”“Tentu saja,” jawab Aslan dengan cepat.“Aku juga mau kasih sesesuatu.”Aslan menatapku dengan senyuman manis. “Apa itu?”“Ini, Buka.”Tangannya dengan cepat membuka kotak kec

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Hadiah Ulang Tahun dari Langit

    Saat semua orang di rumah sibuk berangkat kerja dan kuliah, inilah waktuku. Me time yang selalu kutunggu-tunggu. Aku menghirup aroma kopi caramel favoritku yang mengepul hangat dari gelas keramik, duduk santai di pinggir kolam renang, sambil menikmati sunyi yang menyelimuti rumah besar ini.Hanya beberapa asisten rumah tangga yang berlalu-lalang, sibuk merapikan ruangan, sementara Pak Raga terlihat sibuk memangkas semak dan menyiram taman. Aku duduk dengan kaki terentang, memejamkan mata sejenak. Pundak dan tubuhku terasa lemah, nyeri yang tak bisa kujelaskan. Lelah. Mungkin karena beberapa minggu terakhir ini, aku terlalu banyak bergerak. Aku mulai mengurut pundakku pelan-pelan.“Sany!” suara itu memanggil dari dalam rumah.“Iya, Bi!” jawabku sambil menoleh.“Biar Abi yang jemput Haikal nanti, ya. Bilang saja ke sopir, tidak usah jemput,” ucap Abi—ayah mertuaku, yang kini sudah tampak sehat, berdiri tanpa tongkat, tanpa kursi roda. Ya, beliau akhirnya bisa berjalan lagi.Semuanya ber

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Ketika Jumat Sunah Gagal Total

    Senja mengambang tenang di langit barat, semburat oranye mencium lembut jendela kaca ruang tengah tempatku duduk bersandar. Angin sore Bali berhembus ringan dari celah jendela, membawa harum melati dari taman belakang. Hari itu nyaris sempurna—jika bukan karena satu telepon yang membuat hatiku bergemuruh.Melisa menghubungiku.Setelah sekian lama tak ada kabar, akhirnya suara lembut itu terdengar kembali di telingaku. Sejak menemani Panji menjalani masa-masa kritis dan pemulihan pasca operasi transplantasi jantung, Melisa seperti lenyap dari peredaran. Tapi hari itu, ia muncul kembali dengan kabar yang membuat dadaku terasa hangat seperti diselimuti matahari pagi."Sany, aku dan Mas Panji akan menikah. Aku cuma ingin pamit dan minta restu darimu," katanya pelan, seperti takut mengusik rasa.Aku membeku sejenak. Mataku langsung berkaca-kaca. "Melisa… Ya Allah. Aku bahagia sekali. Akhirnya kamu mendapatkan kebahagiaan yang kamu layak dapatkan."Dalam diam, aku teringat pada nazar yang pe

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Kepulangan yang Tak Diduga

    Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, sudah satu tahun aku tinggal bersama keluarga Aslan. Banyak hal yang telah kami lewati bersama—suka maupun duka.Dan malam ini, kejutan kembali datang. Tidak ada yang menyangka, Indah akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Ia adalah putri pertama Panji dan Monik—wanita cantik dengan luka masa lalu yang masih membekas. Dulu, dia pergi dari rumah karena tak sudi melihatku tinggal di sini. Tapi kini, ia pulang. Begitu saja.Flashback.Satu tahun yang lalu…Aku masih ingat samar-samar bagaimana Indah marah besar pada Kakek Haikal saat mendengar aku akan tinggal di rumah Aslan.“Indah, jangan diungkit lagi, Nak,” ujar Kakek dengan nada lelah.“Tidak, Kek! Ibuku mati karena wanita itu!” Ia menunjukku dengan amarah yang membara.“Hentikan, jangan sampai Pamanmu dengar,” bisik Kakek, namun sayang, Aslan sudah mendengarnya.“Aku tidak peduli! Aku yatim piatu karena dia!”Kakek menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Kamu salah. Justru mami-m

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Tangis di Meja Sarapan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak berawan tipis. Sinar matahari menyelinap malu-malu dari balik tirai jendela kaca besar ruang makan kami. Jam masih menunjukkan pukul tujuh, dan seperti biasa, meja makan panjang diisi oleh aroma roti panggang, kopi hitam, dan tawa-tawa ringan keluarga yang baru bangun dari tidur malam.Rumah besar ini memang tak pernah sepi. Meski berlantai dua dan memiliki banyak kamar, suara dan langkah-langkah penghuninya menyatu menjadi harmoni pagi yang menenangkan. Hari ini, aku duduk di sisi kiri meja makan, berdampingan dengan Aslan yang masih dalam balutan kaos putih dan celana tidur abu. Wajahnya seperti biasa: tampan, kaku, tapi tenang. Tangannya menggenggam cangkir kopi sementara matanya memantau layar ponsel.Haikal duduk di ujung meja, bersandar malas sambil menyeruput susu hangatnya. Bibi dari dapur sesekali mondar-mandir membawa selai stroberi dan irisan buah. Lesa, kakak ipar, sudah lebih dulu berangkat ke rumah sakit. Kak Mona masih mandi. Hanya kami be

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Seragam Cinta, Tangisan Seorang Cucu

    Pagi yang teduh di rumah besar ini selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara langkah kaki para asisten rumah tangga yang saling bersahutan dari dapur ke ruang makan. Matahari menerobos dari jendela kaca besar, menyapu marmer putih yang mengkilap. Tapi pagi ini berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara sejak semalam.Keputusan itu datang mendadak. Malam sebelumnya, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar yang selama ini lebih sering sunyi dari tawa. Di bawah cahaya hangat lampu gantung kristal, ayah mertua—dengan suara yang tenang tapi berwibawa—menyatakan sesuatu yang mengubah hidupku.“Sany, mulai sekarang, semua urusan rumah ini menjadi tanggung jawabmu,” ucap beliau dengan senyum teduh. “Kamu adalah nyonya besar di rumah ini.”Aku tertegun. “Sany gak bisa, Yah... Sany orangnya ceroboh,” ujarku pelan, menunduk, tak sanggup menatap wajah semua yang hadir.Ayah mertua hanya tersenyum. Tapi senyuman itu mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persetu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status