“Apa kamu yang melakukannya?” tanyaku tiba-tiba. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri—pelan, getir, tapi cukup tajam untuk membelah udara.
Tubuhku membeku. Nafasku tercekat. Aku tidak boleh lemah. Tidak di hadapan dia.
“Iya,” jawabnya enteng. “Gue pikir malam itu kita melakukannya beberapa ronde. Gue bahkan pengin bilang makasih... karena lo sungguh sangat memuaskanku.”
Deg. Napasku membentur dinding dada, tertahan di sana. Kata-katanya menamparku lebih keras dari seribu tamparan.
Tatapan matanya menusuk, sinis, menghina—seolah aku cuma angka dalam daftar petualangan kasualnya. Lelaki tinggi bertubuh atletis itu berdiri santai, bersandar dengan aura congkak, mata coklat terang itu menyala dalam kegelapan. Berkarisma, memikat, tapi mematikan. Seperti racun dalam cangkir anggur.
Jantungku berdentam keras, ingin meloncat keluar dari dada. Aku tidak menduga. Ternyata aku sudah datang ke kandang buaya.
“Aku... aku tidak mengingatnya. Maaf,” kataku lirih. Lidahku kelu. Pandangan mulai berkunang-kunang.
“Oh?” Dia tersenyum sinis. “Padahal malam itu lo yang paling menguasai permainan. Gaya lo liar banget, gue sampe heran.”
Hancur.
"Aku tidak mengingatnya," ulangku. Kali ini, tangis yang selama ini kupendam akhirnya pecah. Aku merasa seperti terperosok ke lumpur busuk yang lengket—dan tak ada sabun secanggih apapun yang bisa membersihkanku dari rasa jijik ini.
Saat aku hendak masuk ke penginapan, dia mendekat. Nafasnya hangat di telingaku. Kalimat berikutnya menghantamku seperti peluru.
“Jalang sepertimu... ternyata bisa juga memuaskan. Gue sangat menikmatinya. Apa kita bisa ulang lagi?”
Air mataku tumpah. Aku pikir aku sudah cukup jauh dari masa lalu yang kelam. Tapi ternyata tidak. Aku hanya berputar dalam lingkaran takdir—kembali ke titik awal, tapi kali ini lebih dalam, lebih menyakitkan.
Tangannya mencengkeram daguku.
“Lo nangis? Kenapa? Hahaha! Nyesel ketemu gue?”
Aku diam. Tak punya tenaga bahkan untuk berdiri. Luka di tubuhku tidak seberapa dibanding cabikan pada harga diriku. Hinaan itu... menempel seperti racun yang menjalar perlahan.
"Aku mau tidur," ucapku lemah. “Aku ingin masuk...”
“Kenapa? Lo gak mau layanin gue lagi?”
"Aku sak—"
BRAK!
Dunia gelap. Tubuhku ambruk. Samar-samar kudengar dia memanggilku.
“Hei! Hei, lo kenapa?!”
Aku membuka mata dengan susah payah. Perutku melilit hebat. Baru kusadari... aku belum makan seharian. Hanya beberapa sendok ketoprak di apartemen Iren yang masuk ke perut ini. Dan sekarang... perut kosong ini memberontak seakan ingin meledak.
Mataku melirik kanan-kiri. Aku berada di kamar yang berbeda. Sepertinya kamar miliknya. Syukurlah... pakaianku masih utuh. Dia tidak menyentuhku. Tapi tetap saja, aku tidak ingin melihat wajahnya lagi.
Dengan perut yang terasa seperti dipelintir, aku tertatih berjalan keluar dari kamar. Baru beberapa langkah...
“Apa kabur memang jadi hobi lo?”
Suara itu terdengar dari balik dinding. Aslan berdiri bersandar, tangan di saku celana, wajah tampannya dingin, sinis. Mata coklat terangnya menelanjangiku seperti sinar X-ray.
“Aku cuma mau cari makanan,” jawabku cepat, bohong.
“Ini tengah malam, Sany. Gak ada warung buka. Kecuali lo mau berenang ke seberang laut itu,” katanya, menunjuk restoran yang lampunya sudah redup di kejauhan.
Aku hanya bisa diam. Suara ombak terdengar jauh lebih tenang daripada isi hatiku yang berkecamuk.
“Kenapa gak cari di dapur aja?”
Aku masuk ke dapur. Hanya menemukan mie instan di laci. Tanganku mulai gemetar. Lapar sudah memelukku terlalu erat.
Perkakas? Kompor? Entahlah.
"Aku nggak tahu tempat untuk masak," ucapku lirih. Suara itu hampir tenggelam dalam rasa malu.
"Dasar orang kampung," sindirnya, lalu membuka lemari dengan kasar. Ia mengeluarkan kotak bubur instan dan menyiapkannya dengan gerakan praktis.
Aku terdiam. Mataku hanya mengikuti gerakan tangannya. Aroma bubur yang sederhana itu terasa seperti aroma surgawi.
Dia menyodorkan mangkok padaku.
"Terima kasih," ujarku pelan. Aku tahu dia tak butuh ucapan itu, tapi aku tetap mengatakannya.
“Makan pelan-pelan. Lo kayak monyet kelaparan,” katanya datar.
Aku mengabaikannya. Rasa lapar lebih menyakitkan daripada hinaannya.
Tapi saat aku sedang menikmati suapan ketiga, mendadak...
BRAK!
Dia merebut mangkokku dan melemparkannya ke lantai. Bubur dan mangkok pecah berantakan.
“Sikap lo bikin gue emosi! Gue tahu lo sengaja nyulut gue! Dasar wanita jalang!”
Aslan berjalan pergi, meninggalkanku di antara puing-puing bubur dan ego yang hancur. Aku hanya bisa menatap lantai. Perutku masih lapar. Tapi yang lebih menyakitkan... hatiku.
Aku berjongkok, mencoba membersihkan lantai. Tapi saat tanganku menyentuh pecahan mangkok—SRET!
Tangan kananku terluka. Darah mengalir deras.
Sakit.
Tapi aku tidak ingin dia melihat aku seperti ini. Aku bangkit, mencari kotak P3K. Nihil. Bahkan luka sekecil ini pun aku harus tangani sendiri.
Aku melangkah keluar. Ingin mencari obat di luar. Tapi...
“Asik banget lo keluar malam-malam begini. Apa yang lo sembunyiin di belakang?”
Suara itu terdengar lagi. Aslan muncul, wajahnya kini lebih tajam dari biasanya.
"Aduh... sakit," aku meringis saat dia menarik tanganku yang berdarah.
Dia membawaku masuk kembali ke kamarnya. Tidak dengan kelembutan, tapi dengan dominasi khasnya.
“Gue gak tahu harus berapa kali lagi ngurusin lo. Apa lo sengaja nyakitin diri sendiri biar dapet perhatian gue?” Suaranya keras, tapi ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang hampir menyerupai... kepedulian?
Aku diam. Aku tahu, seangkuh dan sedingin apapun dia, dia tetap seorang dokter. Dan luka ini harus diobati.
Jarum suntik itu masuk ke kulitku. Aku menahan napas. Menggigit bibir. Bukan karena takut—tapi karena malu. Emosi ini menumpuk. Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—luka fisik atau luka hati yang dia tinggalkan.
“Sudah,” katanya akhirnya, melepaskan tanganku dengan kasar.
Aku menahan erangan pelan. Ketegangan kembali mengalir di udara.
“Terima kasih, Dokter,” ucapku.
Kata-kata itu terasa seperti serpihan duri yang kucabut sendiri dari dadaku.
**
Tangan kiriku masih nyeri, meski dibalut rapi oleh Aslan. Tapi setidaknya... dia tidak pergi begitu saja. Ada sisi dirinya yang menolak membiarkanku hancur. Sekalipun itu diselimuti oleh amarah dan sindiran.
Aku berjalan perlahan, mencoba keluar dari kamar. Tapi belum sempat mencapai pintu...
"Kenapa lo kabur lagi?"
Suara itu lagi. Kali ini terdengar seperti desah napas di antara dua denyut jantung yang tak sinkron.
"Aku cuma mau beli obat," jawabku datar. Tenang di luar, padahal dalam hatiku aku ingin berteriak.
Tapi akhirnya, aku hanya diam.
Karena kadang... diam adalah satu-satunya perlawanan saat semua kata sudah gagal membela diri.
"Kenapa lo selalu kabur dari gue, ? Apa lo takut... atau lo cuma pura-pura berani?"Bersambung
Aslan masih berdiri di depanku, menatap tajam seolah matanya ingin menyayat kulitku dan menguliti isi kepalaku.“Tolong ceritakan padaku. Kenapa kamu selalu seperti ini?” tanyanya, datar namun penuh tuntutan.“Tidak ada, Pak Aslan. Tolonglah, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku karena ulahmu. Aku tulang punggung keluargaku... tidak bisakah kamu membiarkanku hidup tenang?” ucapku, memohon, suaraku lirih nyaris patah. Aku berharap lelaki itu punya hati, walau setitik saja.“Tidak.” Jawabnya pendek. Santai. Dingin seperti biasa.Iya, kamu memang lelaki tak berhati, Aslan. Umpatku dalam hati, getir.“Apa yang harus aku ceritakan padamu?” tanyaku, mencoba mempertahankan harga diri yang tersisa.“Semuanya,” desaknya tanpa ampun.Aku menarik napas panjang, lelah.“Kamu itu bukan siapa-siapaku. Kekasih bukan, suami juga bukan... bahkan bukan tetanggaku. Lalu untuk apa aku harus menceritakan hidupku padamu?”“Asumsikan saja aku penggemarmu,” sahutnya santai, dengan senyum tipis yang menyeba
Aku berjalan pelan menuju kamar yang kutempati. Segelas air kutuang ke gelas, lalu kuteguk sampai habis. Dadaku sesak, pikiranku tak tenang. Aku hanya berharap ia… tidak kenapa-kenapa. Tanganku refleks mengelus perut yang masih terasa sakit. Ada gerakan halus yang samar, tapi nyata, di sana.“Tenang sayang , tidak akan terjadi apa-apa, kita berdua kuat,” ucapku mengusapku perut di balik seragamku yang sengaja aku pili ukuran jumbo.Janin yang dulu begitu ingin aku lenyapkan… kini masih bersemayam dengan tegar dalam rahim ini. Ia, si kecil yang paling ajaib. Karena sebesar apa pun keinginanku dulu untuk menggugurkannya, ia tetap bertahan. Tetap hidup.Bahkan malam saat aku melarikan diri dari Aslan empat bulan lalu, ia tetap bertahan. Malam itu, aku kabur dari apartemen Aslan—panik, ketakutan. Aku berlari sampai ke jalan raya, mengejar mobil bak sayur yang lewat, lalu melompat masuk dan terhempas keras hingga pingsan. Aku tak peduli saat itu. Tak peduli pada diriku, bahkan pada janin i
"Apa kamu ingin melarikan diri lagi?"“Tidak, aku hanya ingin ke kamar mandi.”Suara jantungku bergemuruh, bergema seperti gendang yang dipukul keras. Suara bariton itu menyusup ke relung tubuhku, membuat jemariku gemetar saat meremas ujung jari—berusaha keras menahan gugup. Aku membalikkan tubuh perlahan, dan... menatap wajahnya.Wajah itu.Tatapan mata itu kembali menusukku. Seolah-olah hendak menguliti diriku hanya dengan pandangan. Mata coklat pekat yang menelusuri tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Membuatku merasa telanjang meski aku tengah mengenakan seragam kerja.“Apa kabar?”"Baik, Pak." Aku mencoba berbicara sekuat tenaga, menahan agar suaraku tak bergetar."Kamu... sangat cantik," ujarnya, menatapku dari bawah ke atas lagi.Tubuhku nyaris tumbang. Tanganku kembali meremas kuat jemariku, menahan diri dari lari terbirit-birit.Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan."Aku tidak pernah membayangkan kita akan bertemu di tempat ini. Kamu kerja di s
Besok, pantai akan ramai. Penginapan kami sudah hampir penuh oleh tamu-tamu dari berbagai daerah, datang untuk mengikuti festival surfing—olahraga yang paling diminati anak-anak muda.Pagi ini, seluruh karyawan perempuan tampak antusias, senyum mereka mengembang, tawa bersahutan. Aku tahu pasti alasannya: mereka akan bertemu dengan pria-pria tampan dari seluruh penjuru negeri.“Bukan main, Kak! Ganteng-ganteng semua!” seru Tere, karyawan muda yang mendekat dengan wajah bersinar seperti habis menang undian.“Kenapa?” tanyaku, pura-pura tak tertarik meski aku tahu apa yang membuat mereka begitu hidup pagi ini.“Di blok barat, tamu-tamunya anak-anak muda dari Jakarta. Semua berkarisma! Kak, boleh aku yang jaga sana, ya? Biarin Mira aja di blok timur, isinya orang tua semua. Malas aku.”Aku tersenyum tipis melihat matanya yang berkedip-kedip, memohon layaknya anak kecil yang ingin dibelikan permen.“Baiklah, jaga baik-baik, ya.”“Siap, Kak! Makasiiih!” jawab Tere dengan wajah berseri, ram
Melarikan diri dari Aslan adalah keputusan paling waras yang bisa kupilih. Aku tak sanggup lagi menjadi pion dalam permainan balas dendamnya terhadap Mas Panji—lelaki yang selama ini mencintaiku, meski dengan cara yang salah.Ya, aku sadar, aku hanya simpanan. Tapi lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekadar disebut pelarian nafsu. Mas Panji memberiku cinta yang tak pernah kutemukan di mata ayahku, apalagi di mata Aslan yang penuh kebencian.Dia memanjakanku, memberiku perhatian, membelikan apa pun yang aku mau. Kalau dia menyakitiku, itu hanya karena dia cemburu—dan karena dia terlalu mencintaiku dengan cara yang keliru.Tapi aku pun harus waras. Aku harus berhenti mencintai seseorang yang sudah memiliki istri. Cinta ini salah arah sejak awal. Ini cinta curian. Dan semua masalah ini memang berawal dari cinta yang kucuri.Kini aku telah pergi. Pergi sejauh mungkin. Kupinta Ibu Dokter—wanita yang menyelamatkanku malam itu—untuk membawaku menjauh. Jauh dari Ibu Kota, jauh dari As
Beberapa minggu kemudian."Katakan kamu di mana? Aku akan menjemputmu. Bukankah kita sudah sepakat untuk tetap bersama?"Suara Aslan terdengar bergetar di ujung telepon. Kali ini, ia memakai panggilan video. Tentu saja—ia ingin melihat langsung keadaanku. Menelanjangiku dengan pandangannya yang selalu penuh penilaian."Jangan mempermainkan hidupku, Sany."Nada dinginnya biasanya bisa membuatku ciut, tapi tidak kali ini."Aku sudah keguguran, Pak Aslan."Aku menunduk, membiarkan suara lirihku terdengar rapuh. "Jadi, tidak ada lagi alasan untuk kita menikah. Aku harap kamu bisa memiliki anak dari wanita yang kamu cintai nantinya... bukan dari wanita yang kamu benci. Dan juga... yang dibenci keluargamu."Aku menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang nyaris menetes—air mata yang sengaja kutahan agar tidak terlihat dramatis."Mungkin... mungkin karena rasa bencimu yang tak pernah reda, makanya aku kehilangan dia. Tadinya kupikir, dengan kehadirannya, hati ini akan baik-baik saja..."
Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar, ketika suara Aslan dari arah balkon menusuk telingaku seperti sembilu.“Kamu harus pastikan Panji hancur, Kak. Dia sudah terlalu lama main di belakang keluarga kita,”ucapnya dengan nada dingin. Bukan dingin biasa, tapi dingin yang mengandung ancaman dan tekanan.Lalu, terdengar suara seorang perempuan. Kakaknya.“Dan perempuan itu?”“Biarkan saja di sini. Aku akan urus. Panji tidak akan macam-macam kalau dia bersamaku. Aku ingin anakku lahir setelah itu...”Kalimat itu terputus. Tapi bagi telingaku, sudah cukup menyayat. Seolah dunia runtuh di atas kepalaku.Jadi… semuanya masih sama? Bahkan setelah aku mengandung anaknya? Aku masih tetap sekadar alat, pion dalam permainan dendam keluarga mereka?‘Ah, bodohnya aku. Aku yang terlalu berharap’Tawa lirih keluar dari mulutku, bergetar seperti hujan pertama di musim kemarau. Tanganku gemetar saat kutarik tas kecil dari kolong tempat tidur. Aku tidak boleh tinggal di sini. Tidak sedetik pun la
Beberapa hari kemudian.Aku menatap ruangan luas apartemen itu. Dinding kacanya menjulang dari lantai ke langit-langit, memperlihatkan pemandangan kota yang seharusnya menakjubkan. Tapi bagiku, ini bukan surga. Ini penjara.“Aslan,” panggilku pelan, mencoba tetap tenang walau dadaku sesak. “Kamu bilang ini cuma sementara.”“Dan aku menepati janjiku.” Suaranya terdengar ringan, sambil mengeluarkan isi kantong belanja: vitamin kehamilan, buah potong, dan satu kotak susu ibu hamil.Aku tertawa kecil—tawa getir yang tak bisa kutahan. “Kamu serius memaksaku tinggal di sini cuma karena aku hamil?”Dia mendekat. Wajahnya tak berubah. Mata cokelat itu menatap tajam seperti biasa. “Ini bukan paksaan. Ini tanggung jawab.”“Kalau itu tanggung jawab,” nadaku meninggi, “kenapa harus menculikku dari hidupku sendiri? Kamu kembali mengurungku Aslan. Seharusnya aku bisa bebas keluar masuk dari ruangan ini.”“Karena kamu keras kepala, Sany. Dan karena aku...” Ia terdiam sejenak, napasnya mengambang. “
Sebelum ayam sempat berkokok menyambut pagi dan mentari mengangkat tubuhnya dari balik cakrawala, aku sudah pergi. Meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini membuatku merasa lebih seperti tawanan daripada tamu.Aslan tidak tahu. Atau setidaknya belum tahu.Seluruh keluarga mereka masih terlelap dalam mimpi. Aku hanya menitip pesan singkat pada Bi Nur—tanpa air mata, tanpa salam manis atau peluk haru. Aku tidak butuh drama. Hanya satu pesan pendek: “Aku pergi. Titip salam untuk semua.”Tidak perlu pamit. Tidak perlu babibu. Tidak ada tempat lagi untuk basa-basi dalam hidupku sekarang. Aku butuh ruang. Butuh napas. Butuh kebebasan yang selama ini mereka rampas dariku.*Kini, aku di sebuah kamar kos kecil—sederhana, murah, dan seadanya. Dindingnya tipis, kipas di langit-langitnya berderit pelan, kasurnya lipat dan empuknya pas-pasan. Tapi di sinilah aku bisa bernapas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa lepas.“Ah, akhirnya aku bebas dari mereka semua,” gumamku pel