Seperti orang gila yang kehilangan akal. Dan ia makin menggila sejak tahu aku punya niat kabur darinya.
Baginya, tubuhku ini adalah miliknya seutuhnya. Ia mencintaiku, terlalu mencintai, sampai-sampai cinta itu berubah jadi rantai besi yang menjerat napasku. Aku tahu, kalau tidak segera melarikan diri… mungkin, dia akan meremukkan tulang-tulangku sampai hancur, lalu membungkusnya dengan baju pesta dan bilang aku cuma terpeleset.
Kesempatan itu datang tiba-tiba—ketika ibu muncul di pintu.
Dengan sekuat tenaga, aku mendorong tubuhnya hingga jatuh. “Pergi, Bu! Sekarang!” teriakku dengan napas terengah. Lalu tanpa menoleh lagi, aku lari… lari sekuat yang aku bisa, menuju apartemen Irene.
Kalau bukan karena keberanian sesaat itu, mungkin aku sudah jadi jenazah cantik di lemari es rumah sakit.
"Sudah, jangan nangis lagi. Semua akan baik-baik saja. Kamu berani, dan itu luar biasa, Sany." Irene memelukku sambil mengusap-usap bahuku di dalam mobil. Hangat dan tulus, seperti pelukan seorang kakak yang aku harap kumiliki sejak dulu.
Saat Panji datang mencari ke apartemen Irene dan tak menemukan jejakku, dia pulang dengan motor besarnya. Aku bisa bayangkan betapa matanya menyala—bukan karena cinta, tapi karena marah tak berdaya.
"Aku takut, Iren," suaraku gemetar. Luka di wajahku mulai perih, berdenyut seperti bara.
Irene menatapku lekat. "Kalau kamu terus hidup dalam ketakutan seperti ini, kapan kamu akan bebas? Kamu bahkan nggak ingat tidur sama siapa malam itu, kan?"
Aku menggeleng pelan. Bahkan wajah lelaki itu pun tak bisa kuingat. Malam itu… kabur, seperti mimpi buruk yang dicampur alkohol dan penyesalan.
"Aku bisa tahan kalau dia cuma ancam bunuh aku, Ren. Tapi dia pernah bilang—kalau aku kabur, anak-anak dan ibuku yang akan dia sakiti." Mataku panas.
Irene menggenggam tanganku erat. "Dia polisi, Sany. Dia nggak sebodoh itu buat menghancurkan kariernya sendiri. Tenang, anak-anak kamu ada ayah mereka, dan ibumu... dia pasti bisa jaga diri."
"Dia bisa buat yang benar jadi salah, Ren. Dia pernah bilang, menjadikan orang sebagai kriminal itu mudah. Dan dia mengancam akan menjerat ibuku. Kamu tahu sendiri… Ibu punya masa lalu yang... rumit." Aku menghela napas. "Dia tahu Ibu kesepian, tahu Ibu pernah simpan lelaki di rumah kalau Ayah nggak ada."
Ancaman itu seperti tali tak terlihat yang melilit leherku setiap kali aku bernapas. Aku tak hanya takut... aku terjebak.
"Terus, kita mau ke mana sekarang?" tanyaku lirih, memandangi jalanan dari balik jendela mobil.
"Oh, iya, aku lupa bilang! Kita ke Ancol. Temanku yang baru pulang dari Jerman ngajak ngumpul, cuma sepuluh orang kok. Mereka naik kapal ke Pulau Seribu, sekalian nginep di hotel pinggir pantai. Santai aja."
"Jadi... aku ganggu liburanmu dong? Teman-temanmu kan anak-anak pejabat. Aku malu, Ren..."
"Aduh, kamu tuh cantik, dan mereka juga manusia, Sayang. Lagian kamu nggak harus gabung. Bisa istirahat di kamar. Tapi mereka baik-baik kok."
Aku mengangguk ragu. Irene membawaku ke penginapan dekat pantai Ancol. Ia menyerahkan setelan bajunya padaku.
"Ren, aku pinjam sweater-mu lagi ya. Lihat nih," ujarku sambil menunjukkan luka lebam di lengan dan pundakku.
"Waduh, kasihan. Nih, pakai aja. Tapi temanku pengen kenalan, cuma sebentar ya? Habis itu kamu boleh masuk lagi."
Aku hanya mengangguk. Tidak enak menolak. Padahal hatiku ingin bersembunyi di bawah kasur dan menghilang dari dunia.
Di luar, teman-teman Irene sedang duduk santai menghadap laut. Aku berdiri di sisinya, sedikit menyembunyikan pipi yang lebam di balik sweater.
Tiba-tiba, mataku bertemu dengan sorot tatapan tajam—seorang pria tinggi dengan wajah angkuh. Hidungnya mancung, rahangnya tegas, dan matanya... mata itu berwarna coklat terang seperti sinar matahari sore yang menyilaukan. Tapi bukan itu yang membuatku ciut. Tatapannya. Tatapan yang seolah menelanjangi jiwaku dan menghakimi setiap dosa yang tak kukatakan.
Ia menyodorkan tangan. "Aslan Fariz Gumala."
"O-Oh… Sany." Suaraku nyaris tercekat. Nama itu, wajah itu... mengingatkanku pada seseorang.
"Dia dokter. Baru pulang dari Jerman," bisik Irene.
Aku ingin segera masuk kamar. Tapi Irene menahanku.
"Nanti kita mau naik kapal ke pulau seribu. Bakar-bakar ikan. Kamu ikut ya?"
"Enggak, aku di sini saja. Kalau lapar aku masak mi instan."
Akhirnya, mereka pun pergi meninggalkan penginapan. Aku merebahkan tubuh di ranjang, tapi mataku menolak terpejam. Luka di pipi masih terasa, dan kepalaku berat oleh beban yang tak bisa disembuhkan obat warung.
Aku berjalan keluar, duduk sendirian di teras menghadap laut. Angin pantai mengusap rambutku yang tergerai, dan untuk sesaat, sepi ini menenangkan. Tapi juga menyakitkan.
Saat sedang melamun, suara mengejutkanku.
"Jangan melamun. Nanti kesambet setan."
Aku menoleh. Lelaki berwajah angkuh itu berdiri di belakangku, tangan terlipat di dada, tatapannya tetap sama—sinis dan menusuk.
"Aku hanya menikmati pantai ini."
"Tapi apa kamu menikmati hidupmu?"
Pertanyaannya membuatku diam. Dia tidak mengenalku, kan? Atau… jangan-jangan?
"Apa jalan hidup seperti ini jadi pilihanmu?"
Aku berdiri, menahan emosi. "Berhenti menilai hidupku seolah kamu mengenalku."
Dia tersenyum miring. "Gue kira... malam itu sudah cukup buat gue mengenalmu."
Aku membeku.
"Apa? Jadi… lelaki yang meniduriku malam itu… kamu?!"
"Aslan Fariz Gumala. Nama belakang itu nggak cukup membekas di kepalamu, ya?"
Aku ingin menampar kesombongannya dengan sandal jepit. Tapi tubuhku gemetar, bukan karena takut. Tapi karena amarah… dan kenyataan yang mulai menyeretku ke dalam pusaran masalah baru.
“Ternyata lelaki yang meniduriku malam itu… bukan orang asing.”
Bersambung
Aslan masih berdiri di depanku, menatap tajam seolah matanya ingin menyayat kulitku dan menguliti isi kepalaku.“Tolong ceritakan padaku. Kenapa kamu selalu seperti ini?” tanyanya, datar namun penuh tuntutan.“Tidak ada, Pak Aslan. Tolonglah, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku karena ulahmu. Aku tulang punggung keluargaku... tidak bisakah kamu membiarkanku hidup tenang?” ucapku, memohon, suaraku lirih nyaris patah. Aku berharap lelaki itu punya hati, walau setitik saja.“Tidak.” Jawabnya pendek. Santai. Dingin seperti biasa.Iya, kamu memang lelaki tak berhati, Aslan. Umpatku dalam hati, getir.“Apa yang harus aku ceritakan padamu?” tanyaku, mencoba mempertahankan harga diri yang tersisa.“Semuanya,” desaknya tanpa ampun.Aku menarik napas panjang, lelah.“Kamu itu bukan siapa-siapaku. Kekasih bukan, suami juga bukan... bahkan bukan tetanggaku. Lalu untuk apa aku harus menceritakan hidupku padamu?”“Asumsikan saja aku penggemarmu,” sahutnya santai, dengan senyum tipis yang menyeba
Aku berjalan pelan menuju kamar yang kutempati. Segelas air kutuang ke gelas, lalu kuteguk sampai habis. Dadaku sesak, pikiranku tak tenang. Aku hanya berharap ia… tidak kenapa-kenapa. Tanganku refleks mengelus perut yang masih terasa sakit. Ada gerakan halus yang samar, tapi nyata, di sana.“Tenang sayang , tidak akan terjadi apa-apa, kita berdua kuat,” ucapku mengusapku perut di balik seragamku yang sengaja aku pili ukuran jumbo.Janin yang dulu begitu ingin aku lenyapkan… kini masih bersemayam dengan tegar dalam rahim ini. Ia, si kecil yang paling ajaib. Karena sebesar apa pun keinginanku dulu untuk menggugurkannya, ia tetap bertahan. Tetap hidup.Bahkan malam saat aku melarikan diri dari Aslan empat bulan lalu, ia tetap bertahan. Malam itu, aku kabur dari apartemen Aslan—panik, ketakutan. Aku berlari sampai ke jalan raya, mengejar mobil bak sayur yang lewat, lalu melompat masuk dan terhempas keras hingga pingsan. Aku tak peduli saat itu. Tak peduli pada diriku, bahkan pada janin i
"Apa kamu ingin melarikan diri lagi?"“Tidak, aku hanya ingin ke kamar mandi.”Suara jantungku bergemuruh, bergema seperti gendang yang dipukul keras. Suara bariton itu menyusup ke relung tubuhku, membuat jemariku gemetar saat meremas ujung jari—berusaha keras menahan gugup. Aku membalikkan tubuh perlahan, dan... menatap wajahnya.Wajah itu.Tatapan mata itu kembali menusukku. Seolah-olah hendak menguliti diriku hanya dengan pandangan. Mata coklat pekat yang menelusuri tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Membuatku merasa telanjang meski aku tengah mengenakan seragam kerja.“Apa kabar?”"Baik, Pak." Aku mencoba berbicara sekuat tenaga, menahan agar suaraku tak bergetar."Kamu... sangat cantik," ujarnya, menatapku dari bawah ke atas lagi.Tubuhku nyaris tumbang. Tanganku kembali meremas kuat jemariku, menahan diri dari lari terbirit-birit.Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan."Aku tidak pernah membayangkan kita akan bertemu di tempat ini. Kamu kerja di s
Besok, pantai akan ramai. Penginapan kami sudah hampir penuh oleh tamu-tamu dari berbagai daerah, datang untuk mengikuti festival surfing—olahraga yang paling diminati anak-anak muda.Pagi ini, seluruh karyawan perempuan tampak antusias, senyum mereka mengembang, tawa bersahutan. Aku tahu pasti alasannya: mereka akan bertemu dengan pria-pria tampan dari seluruh penjuru negeri.“Bukan main, Kak! Ganteng-ganteng semua!” seru Tere, karyawan muda yang mendekat dengan wajah bersinar seperti habis menang undian.“Kenapa?” tanyaku, pura-pura tak tertarik meski aku tahu apa yang membuat mereka begitu hidup pagi ini.“Di blok barat, tamu-tamunya anak-anak muda dari Jakarta. Semua berkarisma! Kak, boleh aku yang jaga sana, ya? Biarin Mira aja di blok timur, isinya orang tua semua. Malas aku.”Aku tersenyum tipis melihat matanya yang berkedip-kedip, memohon layaknya anak kecil yang ingin dibelikan permen.“Baiklah, jaga baik-baik, ya.”“Siap, Kak! Makasiiih!” jawab Tere dengan wajah berseri, ram
Melarikan diri dari Aslan adalah keputusan paling waras yang bisa kupilih. Aku tak sanggup lagi menjadi pion dalam permainan balas dendamnya terhadap Mas Panji—lelaki yang selama ini mencintaiku, meski dengan cara yang salah.Ya, aku sadar, aku hanya simpanan. Tapi lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekadar disebut pelarian nafsu. Mas Panji memberiku cinta yang tak pernah kutemukan di mata ayahku, apalagi di mata Aslan yang penuh kebencian.Dia memanjakanku, memberiku perhatian, membelikan apa pun yang aku mau. Kalau dia menyakitiku, itu hanya karena dia cemburu—dan karena dia terlalu mencintaiku dengan cara yang keliru.Tapi aku pun harus waras. Aku harus berhenti mencintai seseorang yang sudah memiliki istri. Cinta ini salah arah sejak awal. Ini cinta curian. Dan semua masalah ini memang berawal dari cinta yang kucuri.Kini aku telah pergi. Pergi sejauh mungkin. Kupinta Ibu Dokter—wanita yang menyelamatkanku malam itu—untuk membawaku menjauh. Jauh dari Ibu Kota, jauh dari As
Beberapa minggu kemudian."Katakan kamu di mana? Aku akan menjemputmu. Bukankah kita sudah sepakat untuk tetap bersama?"Suara Aslan terdengar bergetar di ujung telepon. Kali ini, ia memakai panggilan video. Tentu saja—ia ingin melihat langsung keadaanku. Menelanjangiku dengan pandangannya yang selalu penuh penilaian."Jangan mempermainkan hidupku, Sany."Nada dinginnya biasanya bisa membuatku ciut, tapi tidak kali ini."Aku sudah keguguran, Pak Aslan."Aku menunduk, membiarkan suara lirihku terdengar rapuh. "Jadi, tidak ada lagi alasan untuk kita menikah. Aku harap kamu bisa memiliki anak dari wanita yang kamu cintai nantinya... bukan dari wanita yang kamu benci. Dan juga... yang dibenci keluargamu."Aku menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang nyaris menetes—air mata yang sengaja kutahan agar tidak terlihat dramatis."Mungkin... mungkin karena rasa bencimu yang tak pernah reda, makanya aku kehilangan dia. Tadinya kupikir, dengan kehadirannya, hati ini akan baik-baik saja..."
Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar, ketika suara Aslan dari arah balkon menusuk telingaku seperti sembilu.“Kamu harus pastikan Panji hancur, Kak. Dia sudah terlalu lama main di belakang keluarga kita,”ucapnya dengan nada dingin. Bukan dingin biasa, tapi dingin yang mengandung ancaman dan tekanan.Lalu, terdengar suara seorang perempuan. Kakaknya.“Dan perempuan itu?”“Biarkan saja di sini. Aku akan urus. Panji tidak akan macam-macam kalau dia bersamaku. Aku ingin anakku lahir setelah itu...”Kalimat itu terputus. Tapi bagi telingaku, sudah cukup menyayat. Seolah dunia runtuh di atas kepalaku.Jadi… semuanya masih sama? Bahkan setelah aku mengandung anaknya? Aku masih tetap sekadar alat, pion dalam permainan dendam keluarga mereka?‘Ah, bodohnya aku. Aku yang terlalu berharap’Tawa lirih keluar dari mulutku, bergetar seperti hujan pertama di musim kemarau. Tanganku gemetar saat kutarik tas kecil dari kolong tempat tidur. Aku tidak boleh tinggal di sini. Tidak sedetik pun la
Beberapa hari kemudian.Aku menatap ruangan luas apartemen itu. Dinding kacanya menjulang dari lantai ke langit-langit, memperlihatkan pemandangan kota yang seharusnya menakjubkan. Tapi bagiku, ini bukan surga. Ini penjara.“Aslan,” panggilku pelan, mencoba tetap tenang walau dadaku sesak. “Kamu bilang ini cuma sementara.”“Dan aku menepati janjiku.” Suaranya terdengar ringan, sambil mengeluarkan isi kantong belanja: vitamin kehamilan, buah potong, dan satu kotak susu ibu hamil.Aku tertawa kecil—tawa getir yang tak bisa kutahan. “Kamu serius memaksaku tinggal di sini cuma karena aku hamil?”Dia mendekat. Wajahnya tak berubah. Mata cokelat itu menatap tajam seperti biasa. “Ini bukan paksaan. Ini tanggung jawab.”“Kalau itu tanggung jawab,” nadaku meninggi, “kenapa harus menculikku dari hidupku sendiri? Kamu kembali mengurungku Aslan. Seharusnya aku bisa bebas keluar masuk dari ruangan ini.”“Karena kamu keras kepala, Sany. Dan karena aku...” Ia terdiam sejenak, napasnya mengambang. “
Sebelum ayam sempat berkokok menyambut pagi dan mentari mengangkat tubuhnya dari balik cakrawala, aku sudah pergi. Meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini membuatku merasa lebih seperti tawanan daripada tamu.Aslan tidak tahu. Atau setidaknya belum tahu.Seluruh keluarga mereka masih terlelap dalam mimpi. Aku hanya menitip pesan singkat pada Bi Nur—tanpa air mata, tanpa salam manis atau peluk haru. Aku tidak butuh drama. Hanya satu pesan pendek: “Aku pergi. Titip salam untuk semua.”Tidak perlu pamit. Tidak perlu babibu. Tidak ada tempat lagi untuk basa-basi dalam hidupku sekarang. Aku butuh ruang. Butuh napas. Butuh kebebasan yang selama ini mereka rampas dariku.*Kini, aku di sebuah kamar kos kecil—sederhana, murah, dan seadanya. Dindingnya tipis, kipas di langit-langitnya berderit pelan, kasurnya lipat dan empuknya pas-pasan. Tapi di sinilah aku bisa bernapas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa lepas.“Ah, akhirnya aku bebas dari mereka semua,” gumamku pel