แชร์

Bertemu Lelaki Angkuh

ผู้เขียน: Borneng
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-14 16:20:58

Seperti orang gila yang kehilangan akal.

Dan dia… makin menggila sejak tahu aku punya niat kabur darinya.

Baginya, tubuhku ini adalah miliknya. Utuh. Tak terbagi. Ia mencintaiku, terlalu mencintai… sampai-sampai cinta itu berubah jadi rantai besi yang membelit leherku. Mengikatku begitu kuat, sampai-sampai napas pun rasanya jadi barang mahal.

Kadang aku berpikir, cinta yang tak mengenal batas itu tak ubahnya racun. Awalnya manis, tapi perlahan merusak, melemahkan, bahkan membunuh.

Aku tahu, kalau aku tidak segera melarikan diri… mungkin, dia akan remukkan tulang-tulangku sampai hancur, lalu membungkus tubuhku dengan baju pesta, sambil berkata ke semua orang bahwa aku cuma terpeleset.

Skenario kematian yang tampak manis di permukaan, tapi busuk di dalamnya.

Kesempatan itu datang tiba-tiba—saat Ibu muncul di pintu, wajahnya panik, suaranya gemetar.

Dengan sisa tenaga yang masih kugenggam, aku mendorong tubuhnya hingga jatuh ke lantai. “Pergi, Bu! Sekarang!” teriakku, napasku sudah hampir putus, tapi tekadku utuh.

Aku tak menoleh lagi. Aku lari… lari sekuat yang aku bisa, meninggalkan rumah itu, meninggalkan ketakutan, menuju satu-satunya tempat aman yang tersisa: apartemen Irene.

Kadang, keselamatan datang dari keberanian sesaat. Dan kalau bukan karena keberanian itu, mungkin aku sudah jadi jenazah cantik yang teronggok di lemari es rumah sakit, dikenang dalam diam, dilupakan dalam hitungan hari.

“Udah… jangan nangis lagi,” ucap Irene, memelukku erat di dalam mobil. Hangatnya menembus dinginnya malam. “Semua akan baik-baik aja. Kamu berani, San… dan itu luar biasa.”

Pelukan Irene seperti pelukan kakak yang nggak pernah aku miliki. Hangat, tulus, dan penuh kekuatan yang tak terlihat.

Ketika Panji datang ke apartemen Irene, mencari jejakku dan tak menemukan apa-apa, dia pulang dengan motor besarnya. Aku bisa membayangkan sorot matanya yang menyala—bukan karena cinta, tapi karena ego dan amarah yang tak berdaya.

"Aku takut, Iren," suaraku gemetar. Luka di wajahku mulai perih, berdenyut seperti bara api yang ditabur di kulit.

Irene menatapku dalam-dalam. "Kalau kamu terus hidup dalam ketakutan kayak gini, kapan kamu bakal bebas? Hidup bukan cuma soal bertahan, San… hidup juga soal memilih, meski itu sakit."

Aku diam. Kata-katanya menghantam tepat di dada.

"Lo bahkan nggak ingat tidur sama siapa malam itu, kan?" lanjutnya pelan.

Aku menggeleng. Malam itu kabur seperti bayangan dalam mimpi buruk, dicampur alkohol, kabut pikiran, dan penyesalan yang tak ada habisnya.

"Aku bisa tahan kalau dia cuma ancam bunuh aku, Ren. Tapi dia pernah bilang… kalau aku kabur, anak-anak dan Ibu yang dia sakiti." Mataku panas, air mata nyaris tumpah.

Irene menggenggam tanganku, menguatkanku dengan caranya. "Dia polisi, Sany. Dia nggak sebodoh itu buat ngancurin kariernya sendiri. Tenang, anak-anak kamu aman sama ayah mereka, dan Ibu… dia harus bisa jaga diri."

Aku menghela napas berat, dada ini rasanya seperti dihimpit batu besar.

"Dia bisa ngebuat yang benar jadi salah, Ren. Dia pernah bilang, menjadikan orang biasa sebagai kriminal itu gampang. Dan dia tahu masa lalu Ibu… dia tahu kelemahan kita."

Ancaman itu seperti tali tak kasat mata, melilit leherku, setiap tarikan napas serasa luka baru.

"Terus… kita mau ke mana sekarang?" tanyaku lirih, menatap jalanan kota yang mulai sepi dari balik jendela mobil.

"Oh iya, aku lupa bilang!" Irene menepuk pahaku pelan. "Kita ke Ancol. Temenku baru pulang dari Jerman, ngajak ngumpul. Cuma sepuluh orang, santai aja. Mereka naik kapal ke Pulau Seribu, sekalian nginep di hotel pinggir pantai."

Aku mengerutkan dahi. "Jadi… aku ganggu liburan kamu, dong? Temen-temen kamu kan anak pejabat. Aku malu, Ren."

Irene mencibir gemas. "Aduh, kamu tuh cantik, mereka juga manusia, Sayang. Lagi pula, kamu nggak harus gabung. Bisa istirahat di kamar. Tapi tenang aja, mereka baik-baik kok."

Aku mengangguk, meski hatiku masih penuh ragu. Rasanya… aku cuma ingin bersembunyi di balik selimut, hilang dari dunia.

Begitu tiba di penginapan dekat pantai Ancol, suara ombak terdengar samar, memukul-mukul bibir pantai, seolah ikut bercerita tentang luka-luka manusia yang tak terlihat.

Irene memberiku setelan bajunya.

"Ren, aku pinjam sweater lo ya," ucapku, menunjukkan lebam di lengan dan pundak.

"Waduh, kasihan banget. Nih, pakai aja. Tapi temen gue pengen kenalan, cuma sebentar ya. Habis itu lo bebas ngilang lagi."

Aku mengangguk. Nggak enak juga menolak, meski hatiku meringkuk ketakutan.

Di luar, teman-teman Irene duduk santai menghadap laut. Angin malam mengibaskan rambutku yang tergerai. Aku berdiri di sisi Irene, sedikit menyembunyikan pipi lebam di balik sweater.

Lalu… mataku bertemu dengan sepasang mata tajam itu.

Seorang pria tinggi, postur tegap, wajahnya angkuh, rahangnya tegas, hidung mancung. Matanya… coklat terang seperti sinar matahari sore yang menyilaukan, tapi penuh ketegasan dingin. Tatapannya… seperti menelanjangi jiwaku, menyibak luka-luka yang kusembunyikan.

Ia menyodorkan tangan.

"Aslan Fariz Gumala."

"O-Oh… Sany," suaraku tercekat. Nama itu… wajah itu… ada jejak samar dalam ingatanku.

"Dia dokter, baru pulang dari Jerman," bisik Irene di telingaku.

Aku ingin kabur masuk kamar. Tapi Irene menahanku.

"Nanti kita naik kapal ke Pulau Seribu, bakar-bakar ikan. Kamu ikut ya?"

"Enggak… aku di kamar aja. Kalau lapar, masak mi instan."

Mereka pun pergi, meninggalkan penginapan. Aku merebahkan tubuh di ranjang, tapi mata ini menolak terpejam. Luka di pipi makin perih, kepala berat oleh beban hidup yang tak sembuh cuma dengan tidur.

Aku berjalan ke luar, duduk sendirian di teras menghadap laut. Angin pantai mengusap wajahku. Lautan malam itu gelap, tapi suara ombak memberi ketenangan. Untuk sesaat, dunia ini seolah berhenti, membiarkanku bernafas.

Tapi sepi itu tak lama.

Suara sinis mengusik ketenanganku.

"Jangan melamun. Nanti kesambet setan."

Aku menoleh. Lelaki berwajah angkuh itu berdiri di belakangku, tangan terlipat di dada, tatapannya sinis, menusuk.

"Aku cuma menikmati pantai."

"Tapi apa kamu menikmati hidupmu?"

Pertanyaannya menusuk, membuatku diam. Dia tidak mengenalku, kan? Atau… mungkin?

"Apa hidup kayak gini pilihan kamu?"

Aku berdiri, menahan emosi. "Berhenti nilai hidup gue seolah lo kenal gue."

Dia tersenyum miring. "Gue kira… malam itu udah cukup buat gue kenal lo."

Aku membeku. Jantungku seperti dihantam palu godam.

"Apa? Jadi… lelaki yang meniduriku malam itu… lo?"

"Aslan Fariz Gumala. Nama belakang itu nggak cukup membekas ya?"

Aku ingin melempar sandal ke wajah angkuhnya. Tapi tubuhku gemetar, bukan karena takut. Tapi karena amarah… dan kenyataan.

Ternyata lelaki yang meniduriku malam itu… bukan orang asing. Dia… adalah pintu masuk ke babak baru dari hidupku yang penuh luka.

Kadang, semesta mempertemukan kita dengan orang yang salah… untuk pelajaran yang paling benar.

Dan malam itu, aku sadar… kisah hidupku baru saja memasuki pusaran yang lebih dalam.

Bersambung

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Pelangi Setelah Luka

    Malam itu telah tiba. Udara terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, mungkin karena lampu-lampu gantung yang mulai menyala lembut dari halaman rumah keluarga Aslan. Gaunku menjuntai indah, warna merah marun yang kupilih dengan keraguan kini menyatu manis dengan rona pipiku yang memerah karena gugup. Aku ingin memberi kabar itu pada Aslan, sebagai hadiah ulang tahun. Saat ia berdiri di depan kaca merapikan dasi. Aku datang dari belakang dengan langkah pelan tapi pasti. Jantungku berdetak kencang. Sementara tamu sudah berdatangan di bawah.“Sayang …” panggilku pelan.“Hmmm … jawabnya tanpa menoleh ke belakang, lalu dia menatapku dari pantulan kaca, Matanya melonggo dan berbalik.“Sayang … kamu sangat cantik pakai hijab,” ucapnya antusias.“Sayang, aku sudah siap memakainya mulai sekarang. Apa kamu mendukungku?”“Tentu saja,” jawab Aslan dengan cepat.“Aku juga mau kasih sesesuatu.”Aslan menatapku dengan senyuman manis. “Apa itu?”“Ini, Buka.”Tangannya dengan cepat membuka kotak kec

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Hadiah Ulang Tahun dari Langit

    Saat semua orang di rumah sibuk berangkat kerja dan kuliah, inilah waktuku. Me time yang selalu kutunggu-tunggu. Aku menghirup aroma kopi caramel favoritku yang mengepul hangat dari gelas keramik, duduk santai di pinggir kolam renang, sambil menikmati sunyi yang menyelimuti rumah besar ini.Hanya beberapa asisten rumah tangga yang berlalu-lalang, sibuk merapikan ruangan, sementara Pak Raga terlihat sibuk memangkas semak dan menyiram taman. Aku duduk dengan kaki terentang, memejamkan mata sejenak. Pundak dan tubuhku terasa lemah, nyeri yang tak bisa kujelaskan. Lelah. Mungkin karena beberapa minggu terakhir ini, aku terlalu banyak bergerak. Aku mulai mengurut pundakku pelan-pelan.“Sany!” suara itu memanggil dari dalam rumah.“Iya, Bi!” jawabku sambil menoleh.“Biar Abi yang jemput Haikal nanti, ya. Bilang saja ke sopir, tidak usah jemput,” ucap Abi—ayah mertuaku, yang kini sudah tampak sehat, berdiri tanpa tongkat, tanpa kursi roda. Ya, beliau akhirnya bisa berjalan lagi.Semuanya ber

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Ketika Jumat Sunah Gagal Total

    Senja mengambang tenang di langit barat, semburat oranye mencium lembut jendela kaca ruang tengah tempatku duduk bersandar. Angin sore Bali berhembus ringan dari celah jendela, membawa harum melati dari taman belakang. Hari itu nyaris sempurna—jika bukan karena satu telepon yang membuat hatiku bergemuruh.Melisa menghubungiku.Setelah sekian lama tak ada kabar, akhirnya suara lembut itu terdengar kembali di telingaku. Sejak menemani Panji menjalani masa-masa kritis dan pemulihan pasca operasi transplantasi jantung, Melisa seperti lenyap dari peredaran. Tapi hari itu, ia muncul kembali dengan kabar yang membuat dadaku terasa hangat seperti diselimuti matahari pagi."Sany, aku dan Mas Panji akan menikah. Aku cuma ingin pamit dan minta restu darimu," katanya pelan, seperti takut mengusik rasa.Aku membeku sejenak. Mataku langsung berkaca-kaca. "Melisa… Ya Allah. Aku bahagia sekali. Akhirnya kamu mendapatkan kebahagiaan yang kamu layak dapatkan."Dalam diam, aku teringat pada nazar yang pe

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Kepulangan yang Tak Diduga

    Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, sudah satu tahun aku tinggal bersama keluarga Aslan. Banyak hal yang telah kami lewati bersama—suka maupun duka.Dan malam ini, kejutan kembali datang. Tidak ada yang menyangka, Indah akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Ia adalah putri pertama Panji dan Monik—wanita cantik dengan luka masa lalu yang masih membekas. Dulu, dia pergi dari rumah karena tak sudi melihatku tinggal di sini. Tapi kini, ia pulang. Begitu saja.Flashback.Satu tahun yang lalu…Aku masih ingat samar-samar bagaimana Indah marah besar pada Kakek Haikal saat mendengar aku akan tinggal di rumah Aslan.“Indah, jangan diungkit lagi, Nak,” ujar Kakek dengan nada lelah.“Tidak, Kek! Ibuku mati karena wanita itu!” Ia menunjukku dengan amarah yang membara.“Hentikan, jangan sampai Pamanmu dengar,” bisik Kakek, namun sayang, Aslan sudah mendengarnya.“Aku tidak peduli! Aku yatim piatu karena dia!”Kakek menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Kamu salah. Justru mami-m

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Tangis di Meja Sarapan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak berawan tipis. Sinar matahari menyelinap malu-malu dari balik tirai jendela kaca besar ruang makan kami. Jam masih menunjukkan pukul tujuh, dan seperti biasa, meja makan panjang diisi oleh aroma roti panggang, kopi hitam, dan tawa-tawa ringan keluarga yang baru bangun dari tidur malam.Rumah besar ini memang tak pernah sepi. Meski berlantai dua dan memiliki banyak kamar, suara dan langkah-langkah penghuninya menyatu menjadi harmoni pagi yang menenangkan. Hari ini, aku duduk di sisi kiri meja makan, berdampingan dengan Aslan yang masih dalam balutan kaos putih dan celana tidur abu. Wajahnya seperti biasa: tampan, kaku, tapi tenang. Tangannya menggenggam cangkir kopi sementara matanya memantau layar ponsel.Haikal duduk di ujung meja, bersandar malas sambil menyeruput susu hangatnya. Bibi dari dapur sesekali mondar-mandir membawa selai stroberi dan irisan buah. Lesa, kakak ipar, sudah lebih dulu berangkat ke rumah sakit. Kak Mona masih mandi. Hanya kami be

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Seragam Cinta, Tangisan Seorang Cucu

    Pagi yang teduh di rumah besar ini selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara langkah kaki para asisten rumah tangga yang saling bersahutan dari dapur ke ruang makan. Matahari menerobos dari jendela kaca besar, menyapu marmer putih yang mengkilap. Tapi pagi ini berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara sejak semalam.Keputusan itu datang mendadak. Malam sebelumnya, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar yang selama ini lebih sering sunyi dari tawa. Di bawah cahaya hangat lampu gantung kristal, ayah mertua—dengan suara yang tenang tapi berwibawa—menyatakan sesuatu yang mengubah hidupku.“Sany, mulai sekarang, semua urusan rumah ini menjadi tanggung jawabmu,” ucap beliau dengan senyum teduh. “Kamu adalah nyonya besar di rumah ini.”Aku tertegun. “Sany gak bisa, Yah... Sany orangnya ceroboh,” ujarku pelan, menunduk, tak sanggup menatap wajah semua yang hadir.Ayah mertua hanya tersenyum. Tapi senyuman itu mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persetu

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status