Beranda / Romansa / Suamimu Masih Mencintaiku / Jejak Air Mata di Pintu Panti

Share

Jejak Air Mata di Pintu Panti

Penulis: Borneng
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 15:42:37

Jejak Air Mata di Pintu Panti

Aku berdiri cukup lama di balik pohon ketapang tua, memandangi jendela kecil yang samar terlihat dari luar. Tirai putih berenda tipis tampak bergerak pelan tertiup angin, menandakan ruang dalam panti itu tidak sepenuhnya mati. Di dalam sana, Haikal, anakku—jantung yang berdetak bersamaan dengan hidupku, sedang tertidur dalam dunia tanpa tahu kenyataan getir yang menantinya kelak.

Angin membawa aroma tanah basah dan daun gugur yang membusuk. Hujan rintik tiba-tiba turun tanpa aba-aba, seperti langit pun tahu kalau hati seorang ibu sedang remuk.

Aku mendongak. Langit kelabu seperti menyetujui keputusan beratku—meninggalkan buah hatiku untuk sementara demi keselamatannya. Hanya demi itu. Bukan karena aku lemah, bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku terlalu mencintainya. Aku tidak ingin hal buruk menimpanya.

“Maafkan Ibu, Nak…” gumamku pelan. Suaraku tercekat.

Ada perih yang merobek saat aku mengucapkannya. Dada ini seolah dihimpit batu, dan semua napas
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Rumah Baru untuk Ibu

    Rumah Baru untuk Ibu Waktu seolah berhenti, pikiranku kosong, lidahku kelu, dan dadaku sesak. Aku tidak bisa menangis, tidak bisa tertawa, bahkan tidak mampu berbicara. Hanya diam membatu, seolah ragaku tak mampu lagi menampung semua duka yang bertubi-tubi datang dalam hidupku. Aku sudah kehilangan ibuku. Aku tidak pernah menduga kalau kami berpisah selamanya dengan cara seperti ini.‘Ya Allah kenapa cobaan hidup yang kau berikan padaku begitu berat’“Mbak, tidak apa-apa?” tanya Mbak Nur, menatapku dengan pandangan menyelidik.“Kapan Ibu meninggal, Mbak Nur?” tanyaku lirih, melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi menutupi wajahku yang sebenarnya sudah nyaris hancur oleh air mata yang belum tumpah.Ia mendekat, lalu terperanjat melihat wajahku. “Sany…? Ya Allah, Sany! Kamu rupanya. Kamu dari mana saja, Nak?”Aku memeluknya erat. Pelukanku bukan sekadar pelukan, tapi tempat semua penyesalan yang ingin kuluapkan. Tangisku pecah di pelukannya.“Ibu… kapan… bagaimana Ibu, Mbak?” tanyak

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Terlambat untuk Minta Maaf"

    Menaiki pesawat dari Bali menuju Jakarta, aku akhirnya mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma setelah menempuh beberapa jam penerbangan. Sengaja kupilih bandara itu—lebih dekat ke rumah, lebih cepat sampai ke ibu malam ini.Namun sesaat sebelum pulang, aku sadar… aku datang tanpa membawa apa-apa. Bukan hanya tangan kosong, tapi juga hati yang dulu beku, keras, penuh dendam."Apa kau lupa, Sany? Tidak baik pulang ke rumah orang tua tanpa buah tangan," bisik kenangan suara ibu di kepalaku, menggaung seperti gema yang menyakitkan.Dulu aku terlalu cuek. Bahkan mungkin kejam. Tak pernah sekalipun kubawakan oleh-oleh untuknya. Tak pernah kukecup tangannya saat pulang dari luar kota. Aku… aku bahkan sangat membencinya dulu.Dulu, aku menyalahkannya atas segala penderitaan yang kulewati. "Untuk apa aku dilahirkan? Untuk disiksa dunia?"—itu kalimat yang sering kulontarkan padanya, saat diriku didera masalah demi masalah.Aku benci ibu karena ia tak seperti ibu-ibu lain. Tak pernah memelukku

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Perempuan yang Pergi Tanpa Nama

    Sore itu aku dan Melisa datang ke panti, tujuan kami melengkapi semua kebutuhan Haikal. Aku tidak ingin dia kekurangan susu dan pampers. Setelah membereskan semuanya , kami keluar dan duduk di bangku taman. Hatiku terasa sangat sedih ketika melihat baby Haikal terlelap tidur dalam gendongan pengasuhnya. Aku ingin mengendongnya, aku ingin membawanya bersamaku. Tapi aku menahan diri. Aku akan berjuang untuk anak-anakku, untuk saat ini kami akan berpisah dulu sementara. “Sany, setelah meninggalkan anakmu di panti… apa yang ingin kamu lakukan?”“Untuk saat ini, otakku belum bisa diajak berpikir. Tapi aku ingin menghasilkan uang.”“Bekerja hal yang tepat,” ucap Melisa. Tapi kamu mau kerja apa? Kamu lulusan apa?”Pertanyaan itu meluncur dari bibir Dokter Melisa saat kami duduk di taman kecil. Langit sore menggantung kelabu, angin membawa aroma tanah basah, dan suara anak-anak bermain terdengar sayup. Tapi semuanya terasa jauh. Seolah aku duduk di sini hanya dengan ragaku—jiwaku entah di ma

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Jejak Air Mata di Pintu Panti

    Jejak Air Mata di Pintu PantiAku berdiri cukup lama di balik pohon ketapang tua, memandangi jendela kecil yang samar terlihat dari luar. Tirai putih berenda tipis tampak bergerak pelan tertiup angin, menandakan ruang dalam panti itu tidak sepenuhnya mati. Di dalam sana, Haikal, anakku—jantung yang berdetak bersamaan dengan hidupku, sedang tertidur dalam dunia tanpa tahu kenyataan getir yang menantinya kelak.Angin membawa aroma tanah basah dan daun gugur yang membusuk. Hujan rintik tiba-tiba turun tanpa aba-aba, seperti langit pun tahu kalau hati seorang ibu sedang remuk.Aku mendongak. Langit kelabu seperti menyetujui keputusan beratku—meninggalkan buah hatiku untuk sementara demi keselamatannya. Hanya demi itu. Bukan karena aku lemah, bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku terlalu mencintainya. Aku tidak ingin hal buruk menimpanya.“Maafkan Ibu, Nak…” gumamku pelan. Suaraku tercekat.Ada perih yang merobek saat aku mengucapkannya. Dada ini seolah dihimpit batu, dan semua napas

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Jejak Luka di Balik Nama

    Melahirkan anak sendirian, hal yang sangat berat bagiku. Beberapa bulan terahir aku sempat merangkai mimpi yang indah bersama Aslan. Dia bahkan sudah membuat daftar tempat di mana aku akan melahirkan. Ia juga memintaku memilih antara melahirkan normal atau cecar. Ah … Aku sempat merasa bahagia. Namun, takdir kembali memainkan perannya. Aku terpaksa melarikan diri demi menyelamatkan diri dari Monik kakak dari suamiku. Aku terpaksa melahirkan sendiri tanpa didampingi suami.‘Aslan … anakmu sudah lahir dia tampan seperti kamu’ ucapku membatin.“Sany, anakmu dikasih nama siapa?” tanya Dr. Melisa, sambil menggendong bayi merah yang wajahnya begitu rupawan.Aku memandang putra kecil itu yang kini tertidur tenang di pelukannya. Dada ini terasa sesak, namun aku tetap mengangguk pelan.“Haikal Aslan Gumala… nama pemberian Eyang dari suamiku,” ucapku pelan.Dr. Melisa mengangguk, senyumnya lembut. “Nama yang indah… seanggun wajahnya yang tampan.”Bayi kecil itu kini menyusu dengan tenang di pelu

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Pelarian di Ujung Malam

    “Bapak... harus selamatkan aku dari mereka,” pintaku dengan suara gemetar, penuh harap.Pak Bimo menatapku lekat, raut wajahnya berubah jadi penuh keraguan. “Sany... kamu yakin ini semua ulah kakaknya Pak Dokter itu? Aku justru mikir yang aneh-aneh. Gimana kalau tunangannya yang marah? Atau... Panji yang—”“Aku juga nggak tahu, Pak,” potongku cepat, menahan sesak di dada. “Semuanya terasa membingungkan. Tapi satu hal yang pasti: meninggalkan mereka berdua adalah satu-satunya keputusan yang bisa aku ambil saat ini.”Pak Bimo menghela napas berat. “Sany, ada banyak wajah dalam cinta. Kadang yang terlihat cinta, sebenarnya hanyalah obsesi yang menyamar. Seperti kakaknya Aslan. Dia rela lakukan apa pun demi mempertahankan suaminya. Tapi, itu bukan cinta—itu ego. Dia hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa memiliki segalanya. Tapi makin dia kejar, makin suaminya menjauh...”Aku terdiam. Kata-katanya menusuk. Aku paham maksudnya.“Pernah nggak kamu mikir, orang-orang kaya itu jauh lebih men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status