Share

Tetangga Terpercaya

Kiran hendak menelfon Agung kembali, ia penasaran ingin memastikan apa yang sedang suaminya lakukan sampai mendesah seperti itu?

Tidak mungkin Agung sedang makan seblak level sepuluh. Kiran tahu, Agung jelas-jelas tidak bisa makan masakan pedas. 

Ia harus pulang sekarang juga. Namun, ia urungkan mengingat kondisi dompetnya. Lima belas ribu hanya cukup setengah perjalanan saja. Lagipula sepertinya percuma.

Jika apa yang ada di otaknya itu adalah sebuah kebenaran, maka hal itu telah terjadi. Kiran percaya akan perasaannya, ditambah lagi dengan analisa yang Nunik katakan.

Kiran menghapus air mata kemudian mengucap terima kasih terhadap Nunik atas nasi bungkusnya. Ia bilang, ia hanya kelelahan menghadapi hal ini sendirian. Nunik mengangguk mengerti.

Nunik pun minta maaf karena merasa telah melontarkan kata-kata yang membuat Kiran cemas dan meninggalkan Kiran karena ia ingin melihat cucunya kembali.

Kiran menatap layar ponselnya, melihat aplikasi w******p. Kiran kemudian menghubungi Caca, tetangga yang tinggal di depan rumahnya. Mereka seumuran dan dengan sendirinya jadi bersahabat.

"Hallo, Kiran," jawab Caca di jalur telefon.

"Ca ...." ucap Kiran lirih.

"Kiran? Kenapa? Kamu nangis? Malika ya, Ran? Gimana Malika, Ran? Astaga, kamu baik-baik aja kan, Ran?" tanya Caca tanpa jeda.

"Malika dirawat lagi, Ca. Tapi bukan itu yang membuat aku bersedih."

"Ya ampun, sabar ya. Terus kamu kenapa, Ran?"

Kiran mengusap air matanya berkali-kali. Selama ini ia mencoba menelan segala kesulitannya sendiri. Ia tidak ingin membuat Agung merasa repot dengan keadaan Malika. Namun, dadanya terasa sangat sesak saat ini.

"Nggak, Ca. Nggak papa. Mungkin aku cuma capek aja."

"Ooh, iya. Itu pasti, Ran. Maaf ya, aku belum bisa ke sana lagi, menjenguk kalian."

"Iya, Ca. Nggak papa. Aku cuma perlu temen untuk ngobrol aja sekarang. Kamu nggak sibuk kan?"

"Nggak kok, Ran. Aawww ...."

"Kenapa, Ca?"

"Aduh, maaf, Ran. Ini suamiku. Dia lagi di rumah."

"Oh, aku jadi ganggu ya. Maaf ya, Ca."

"Eh, nggak kok, Ran. Ya ampun jangan sungkan begitu. Lanjut aja ngobrolnya."

"Iya, Ca. Sebenarnya aku mau minta tolong."

"Apa, Ran? Kalau bisa, pasti aku bantuin."

"Tolong liatin suami aku. Dia ada nggak di rumah?"

"Hah? Aduh gimana caranya, Ran? Aku nggak enak, kan suami kamu pendiam. Nggak suka nanya sama tetangga."

"Iya sih, Ca. Tapi ...."

"Aww ...." jerit Caca Cagi.

"Aduh, Ran. Maaf ya, ini suamiku. Ih, sabar kenapa sih, Mas?" ucap Caca, disela omelan ke suaminya.

"Oh ya sudah. Aku yang minta maaf, Ca, udah ganggu kalian. Nanti aku telefon lagi ya."

"Iya, Ran. Nanti aku coba liat ke rumah kamu ya. Udah dulu ya, Ran."

Kiran menutup telefonnya kemudian melemparkan pandangan sejauh mungkin.

'Bodoh. Mikir apa aku sekarang? Ganggu orang lagi asyik saja,' batin Kiran menertawakan diri sendiri sambil meringis.

Ia tidak tahu perasaan apa yang terselip di hatinya saat ini? Secara tidak langsung, ia tidak dapat mencegah perasaan iri kepada Caca. Lukman, suami Caca bekerja di kantor yang bonafit.

Walau usia mereka berbeda jauh, Lukman selalu bisa membahagiakan Caca. Di mata Kiran, Caca selalu ceria dan penuh dengan kebahagiaan. Berbeda jauh dengan dirinya. 

'Ya, tentu saja. Apalah kehidupanku dibanding Caca? Ditambah lagi Mas Agung dan Pak Lukman sangat jauh berbeda. Caca pasti selalu dipenuhi kebutuhan lahir dan batin oleh Pak Lukman,' batin Kiran. 

Kiran menunduk, meratapi nasib. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Dengan uang lima belas ribu. Apa sebaiknya ia pulang saja?

'Kenapa tadi nggak sekalian ngomong sama Caca minjam uang aja ya? Biar dia langsung transfer. Uang dia kan banyak dari Pak Lukman. Dia pasti mau nolongin aku,' batin Kiran, lagi-lagi ia merutukin kebodohannya.

Kiran menggigit bibir bawahnya, pikirannya kembali mengembara. Pulang? Ya, ia memliki urusan dengan Agung. Ia harus tahu apa yang suaminya lakukan selama ini di belakangnya. Agung harus bertanggung jawab atas dirinya dan juga Malika.

"Lima belas ribu nggak akan cukup buat ongkos pulang, aku w* Caca aja lah. Pinjam uang," ucap Kiran pada dirinya sendiri dengan pelan.

Sebelum mengirim pesan pada Caca, Kiran memejamkan mata sebentar, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi Agung di rumah nanti.

Keputusannya sudah bulat, Agung tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja.

Kiran membuang napas panjang lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah sakit. Namun, pandangannya bertumbuk pada tiga orang laki-laki berpakaian rapi. Kiran mengenali wajah salah satu dari laki-laki yang berada di sana.

"Lho itu kan Pak Lukman?! Terus tadi si Caca ber-aw-aw-ria sama siapa?"

Kiran berdiri dari tempat duduknya. Pandangannya berkali-kali berganti antara ponsel dan wajah laki-laki yang berdiri jauh di depannya. Apa benar itu adalah suaminya Caca? Bukankah Caca tadi sedang bersenang-senang dengan suami di rumah? 

Untuk lebih meyakinkan diri sendiri sendiri, Kiran segera membuka fesbuk dari ponselnya. Tanpa perlu skrol beranda lebih jauh, postingan Caca bersama Lukman bisa ia dapat karena Caca memang rajin memposting momen-momennya bersama Lukman.

Kiran membuka salah satu foto Caca bersama Lukman. Wajah Lukman terlihat jelas di sana, ditambah lagi seragam yang dipakai Lukman sama seperti yang dipakai saat ini.

"Astaga, kenapa aku jadi kepo begini sih sama urusan orang?" ucap Kiran pelan.

Kiran kembali berdiri terpaku. Ia kembali menatap ponselnya.

'Jadi pinjam uang nggak ya sama Caca?' batin Kiran.

Kiran ragu, ia bukanlah termasuk orang yang mudah meminta kepada orang lain. Sejak dulu ia memiliki prinsip, sebisa mungkin tidak berutang.

Kiran kembali menoleh ke arah Lukman.

"Apa aku nebeng aja ya sama Pak Lukman sampai rumah? Kan satu arah. Ya daripada ngutang, nambah-nambahin beban."

Kiran berjalan menghampiri Lukman. Kebetulan kedua teman Lukman sedang pergi entah ke mana.

"Permisi, Pak," sapa Kiran.

"Pak Lukman kan ya?" sambung Kiran lagi.

Lukman menoleh ke arah Kiran, mencoba mengenali wanita yang menyapa dan berdiri di depannya.

"Iya. Mbak siapa ya?"

"Saya Kiran. Kita tetanggaan."

Dahi Lukman semakin mengkerut mendengarnya.

"Bapak suaminya Caca kan?" tanya Kiran. Ia sempat salah tingkah karena sikapnya Lukman.

"O ya ya. Kita tetanggaan ya? Maaf ya, Mbak. Saya kurang ngeh," jawab Lukman.

"Iya, Pak. Kebetulan saya juga jarang di rumah. Lebih sering di rumah sakit dan rumah singgah, mendampingin putri saya."

Lukman memandang Kiran dengan wajah turut prihatin.

"Anaknya sakit apa, Mbak?"

"Hidrosefalus, Pak."

"Astaghfirullaah. Sabar ya, Mbak."

"Iya, Pak. Terima kasih. Tapi, Pak Lukman, apa saya bisa minta tolong?"

"Oh iya, minta tolong apa, Mbak? Semoga saya bisa bantu."

"Apa saya bisa menumpang mobil Pak Lukman sampai rumah? Saya ada keperluan di rumah, tapi suami saya belum datang."

"Oh, begitu. Bisa, Mbak. Sebentar saya kasih informasi dulu ke teman-teman saya ya."

Kiran bisa bernapas dengan lega. Ternyata Pak Lukman sama baiknya dengan Caca. Akhirnya ia mendapatkan satu solusi untuk salah satu masalahnya. Ia harus bertemu langsung dengan Agung. Meminta uang untuk bulan ini dan juga meminta penjelasan apa yang sedang Agung lakukan tadi.

"Mbak Kiran. Kita berangkat sekarang. Soalnya saya harus segera kembali ke kantor."

"Oh, iya. Teman-teman Bapak, nggak papa?"

"Nggak papa, teman saya ada yang bawa mobil juga kok."

"Terima kasih banyak kalau begitu, Pak Lukman."

Kiran berjalan mengikuti Lukman dari belakang dan naik ke mobil Lukman saat telah tiba di parkiran.

Setelah sabuk pengaman terpasang, Lukman menjalankan mobil meninggalkan rumah sakit.

"Maaf ya, Mbak Kiran. Saya boleh tau tentang anaknya?"

"Iya, boleh, Pak."

"Sudah lama masuk rumah sakitnya?"

"Bolak balik sudah lebih dari enam bulanan, Pak."

"Ya Allah. Begini, Mbak. Kebetulan di perusahaan saya itu ada program donatur untuk anak-anak penderita hidrosefalus. Sudah ada yayasannya sendiri. Ini kartu nama saya ya, Mbak. Tolong kirim biodata, foto dan juga keterangan tentang anaknya Mbak Kiran. Nanti saya coba ajukan nama anak Mbak Kiran ke yayasan."

Kiran mengambil kartu nama Lukman dengan semringah. Setidaknya ini adalah salah satu kabar gembira yang ia dapatkan di antara kegundahan hatinya.

"Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih. Pasti saya akan menghubungi Bapak."

Hampir satu jam sudah mereka menempuh perjalanan. Lukman menghentikan mobilnya di depan sebuah gang kemudian ia kembali berbicara kepada Kiran.

"Saya nggak ikut turun ya, Mbak Kiran."

"O iya, gapapa, Pak. Makasih banget ya, Pak. Pak Lukman pasti mau langsung balik ke kantor ya? Nanti cerita sama Caca kalau Bapak sudah bantuin saya."

"Bukan sesuatu yang sulit kok, Mbak. Selain mau balik ke kantor, hari ini kebetulan bukan jatah kunjungan saya ke Caca."

Kiran tertegun mendengar ucapan Lukman barusan.

"Caca itu istri kedua saya, Mbak."

Kiran mengangkat kedua alisnya, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.

"Istri pertama saya tau kok, Mbak. Tenang saja. Bahkan dia yang minta dimadu karena sakit yang ia derita."

Kiran semakin bengong mendengar ucapan Lukman.

"Makanya saya nggak mau turun. Soalnya kalau saya datang, Caca pasti menahan saya supaya nggak pulang ke istri saya yang pertama. Kasian nanti dia, Mbak. Lagi sakit, saya mau menemani dia sebisa mungkin. Saya enggan poligami sebenarnya. Saya juga lebih nyaman bersama istri pertama saya. Dia yang menemani saya dari zaman saya susah. Jadi saya jarang ke sini, makanya saya nggak kenal sama Mbak Kiran tadi walaupun kita bertetangga."

Lukman bercerita dengan tenang. Dari suaranya terdengar kalau dia sangat mencintai istri pertamanya.

Mendengar cerita Lukman barusan, membuat pikiran Kiran kalut kembali. Agung adalah laki-laki kesepian karena ditinggal olehnya menjaga Malika. Lalu Caca adalah wanita muda yang jarang dikunjungi oleh suami karena dipoligami.

"Astaga! Jangan-jangan?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status